Senin, 01 Februari 2010

Teori komunikasi dan asumsi filosofis


TEORI KOMUNIKASI DAN ASUMSI FILOSOFIS
(Tinjauan Aspek Epistemologi)

Hasyim Ali Imran[1]

Abstract
Existence carelessness of the perspective in connection with the uses of the theory for the interests of the research, still often was encountered in the circle of the academic of the beginner's communication. In connection with this, this paper tried to discuss the existence of the theory of communication according to the assumption filofis with the focus to the epistemology component.Results of discussions according to the History of Epistemology showed that the scientist's circle did not have the method that was same towards him found the truth to the object of knowledge.Because of that was influential towards the process of the production of the theory of communication. From results of discussions according to the Reflection of epistemology in forma penteorisasian the phenomenon of communication, was known that like that the difficulty in understanding the existence of a theory of communication well.But the level of this complexity could be in part reduced by means of grouping theories of available communication according to each available genre.

Kata-kata kunci : Teori Komunikasi; asumsi filosofis dan epistemologi.

Latar Belakang dan Permasalahan
Sebagai salah satu sisi dalam kehidupan manusia, aktifitas komunikasi itu dikatakan akademisi komunikasi sebagai aktifitas vital dalam kehidupannya. Communication is so deeply rooted in human behaviors and the structures of society that it is difficult to think of social or behavioral events that are absent communication[2]. Soesanto mensinyalirnya sebagai aktifitas yang dilakukan manusia sebanyak 90 % dalam kehidupannya sehari-hari. Cangara[3]yang mengklaim sebagai penilaian dari banyak pakar, mengatakan bahwa komunikasi adalah sebagai suatu kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat. Menurut Schram komunikasi dan masyarakat merupakan dua kata kembar yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Tanpa komunikasi tidak mungkin masyarakat terbentuk, sebaliknya tanpa masyarakat maka manusia tidak mungkin dapat mengembangkan komunikasi[4].

Melihat dua pendapat tadi kiranya menyiratkan kalau komunikasi itu sebagai aktifitas penting bagi setiap orang dalam kehidupannya dengan sesama dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, komunikasi itu antara lain dapatlah diartikan sebagai suatu aktifitas yang terjadi di antara sesama manusia yang berfungsi sebagai penghubung di antara mereka dengan cara melakukan penyampaian pesan berupa lambang verbal dan non verbal yang artinya diusahakan dapat dimaknai secara bersama.Sebagai sebuah fenomena kemanusiaan, maka komunikasi antar manusia yang disebut Littlejohn dengan human communication itu, proses keterjadiannya muncul pada beberapa bentuk atau tingkatan. Bentuk atau tingkatan yang sebelumnya diistilahkan Littlejohn dengan setting/konteks komunikasi yang terdiri dari konteks interpersonal, group, organization dan mass[5], itu kemudian diubahnya menjadi lima tingkatan (level), yakni meliputi : 1-interpersonal, 2-group, 3-public or rhetoric, 4-organizational dan 5- mass. [6]

Fenomena komunikasi di antara sesama umat manusia yang terjadi dalam lima level itu, masing-masing memiliki problemanya sendiri yang begitu kompleks. Guna memahaminya, diperlukan pemikiran yang relatif serius. Terkait dengan kekompleksitasan itu, karenanya banyak akademisi dari lintas disiplin ilmu yang tertarik dan menuangkan keseriusannya terhadap fenomena human communication. Sebuah fenomena yang belakangan dikenal menjadi obyek forma dari suatu ranting ilmu sosial yang disebut dengan ilmu komunikasi.

Bagi ilmu komunikasi sendiri, latar belakang yang bersifat multi disipliner tadi, mengandung banyak konsekuensi. Konsekuensinya antara lain berupa munculnya beragam teori yang dirumuskan menurut beragam perspektif. Karenanya, konsekuensi ragam perspektif ini menjadi perlu mendapat perhatian dalam kaitan pemanfaatan suatu teori komunikasi untuk menjadikannya sebagai kompas dalam menelaah suatu fenomena komunikasi pada setiap level keterjadiannya.

Berdasarkan pengamatan, eksistensi perspektif itu masih relatif sering dijumpai pengabaiannya oleh kalangan akademisi. Bentuk pengabaian itu, entah karena disadari atau tidak, antara lain berupa pengacuan teori yang tidak relevan dengan paradigma penelitian yang diterapkan dalam suatu penelitian. Wujud lainnya, dan ini mungkin yang paling kerap terlihat di kalangan akademisi, yakni saling mempertentangkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Padahal, seyogyanya ini merupakan hal yang kurang perlu, sehubungan eksistensi keduanya masing-masing telah diakui di kalangan akademisi.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengarahkan pada keunggulan teori pada suatu perspektif tertentu. Namun, dengan mengacu pada percikan fenomena aplikasi teori yang relatif keliru dalam kepentingan akademik tadi, tulisan ini bermaksud hanya terbatas pada upaya menelaah eksistensi teori komunikasi menurut asumsi filofisnya saja, dan difokuskan pada komponen epistemologis. Dengan telaah dimaksud, diharapkan dapat terwujud kesepahaman dalam memaknai teori, terutama dalam kaitannya dengan kepentingan pelaksanaan penelitian. Dalam kaitan upaya dimaksud, maka tulisan ini akan memulainya dari risalah teori komunikasi dalam kaitan kepentingan pemahaman fenomena komunikasi yang kompleks yang dikonseptualisir ke dalam teori komunikasi. Setelah itu dilakukan peninjauan terhadap upaya teorisasi fenomena menurut komponen epistemologis sebagai salah satu dari tiga bagian dalam elemen asumsi filosofis sebagai salah satu dari empat komponen dasar dalam suatu teori komunikasi.

A. Fenomena komunikasi dan upaya teorisasinya
Dilihat dari sejarah filsafat, perhatian terhadap fenomena komunikasi sebagai upaya dalam menjadikannya sebagai bagian dari obyek forma ilmu, diketahui bahwa itu dimulai oleh Aristotle[7] ketika ia mempelajari tentang seni atau cara-cara berbicara di depan umum. Hasil telaah yang kemudian digolongkan sebagai teori praktika ini, lalu dikenal luas dengan konsep retorika[8]. Telaah komunikasi kemudian mulai ditingkatkan pada upaya pencapaian yang lebih sistematis. Untuk itu, berdasarkan ketertarikan terhadap fenomena kemasyarakatan dalam kaitan penerbitan pers di Jerman, maka Max Weber secara akademik meresmikannya menjadi bagian dari obyek studi sosiologi, yakni sosiologi pers. Namun, upaya Weber ini dinilai menemui kegagalan, karena dalam perjalanannya, sosiologi ternyata terjebak pada habitat aslinya, yakni lebih fokus pada masyarakatnya ketimbang pers itu sendiri. Jadi, ini berlawanan dengan latar belakang lahirnya konsentrasi studi tadi, yang notabene karena fenomena “pers terhadap masyarakat”, bukan karena “masyarakat terhadap pers’[9].

Untuk kepentingan serupa, perhatian terhadap komunikasipun semakin melebar. Ini terutama dalam kaitannya untuk mengetahui kesuksesan propaganda politik melalui media massa pada saat pecahnya perang dunia. Dalam kaitan ini, akademisi yang pertama kali mencoba memahaminya adalah ilmuwan politik Lasswell pada 1948[10]. Komentarnya yang dikenal luas terhadap fenomena komunikasi yaitu, : Siapa, mengatakan apa, dengan saluran yang mana, kepada siapa dan dengan pengaruh apa ? Formula ini memang relatif memadai, namun akademisi lain tidak puas dan mencoba meningkatkannya ke dalam bentuk yang lebih baik, yakni dalam wujud model komunikasi[11].

Model[12] berarti gambaran yang sistematis dan abstrak. Komplitnya, yakni seperti sebagaimana dikatakan Karl Deutsch (1952)[13] dalam "On Communication Models in the Social Sciences", yaitu merupakan "a structure of symbols and operating rules which is supposed to match a set of relevant points in an existing structure or process." Dengan kata lain, model merupakan a simplified representation or template of a process that can be used to help understand the nature of communication in a social setting. Fungsinya untuk menerangkan potensi-potensi tertentu yang berkaitan dengan beragam aspek dari suatu proses [14]. Pada proses menyangkut suatu fenomena komunikasi, maka melalui sebuah model, fenomena komunikasi yang muncul dalam setiap levelnya itu, unsur-unsur yang terlibat di didalamnya dapat dilihat dengan mudah. Model komunikasi dibuat untuk membantu kita memahami komunikasi dan menspesifikasi bentuk-bentuk komunikasi dalam hubungan antarmanusia.

Sebagai ilmu sosial yang obyek formanya difokuskan pada human communication, maka dalam ilmu komunikasi diketahui terdapat banyak model-model komunikasi. Ragam model komunikasi yang ada itu, oleh Mc Quail dan Windahl digolongkan ke dalam lima kelompok model, terdiri dari : Model dasar; model pengaruh personal, penyebaran dan dampak komunikasi massa terhadap individu; model efek komunikasi massa; model khalayak dan model komunikasi tentang sistem, produksi, seleksi dan alir media massa.

Sebuah model komunikasi memang merupakan representasi simbolik dari suatu proses komunikasi. Meskipun demikian, sebuah model komunikasi tidak mengandung adanya penjelasan (explanation) mengenai hubungan kausalitas di antara komponen yang terdapat dalam model. Penjelasan mana, merupakan salah satu dari empat ciri yang harus dipenuhi oleh sebuah teori guna diperolehnya predikat sebagai teori yang baik. Jadi, seperti dikatakan Severin dan Tankard[15], model komunikasi itu perannya baru terbatas hanya sebagai salah satu sumber yang dapat membantu dalam proses perumusan suatu teori komunikasi, sebuah elemen ilmiah yang notabene perannya sangat signifikan dalam proses kerja ilmiah. Karena keterbatasan tersebut, dalam kaitan upaya pemahaman fenomena komunikasi, para akademisi akhirnya berupaya meningkatkan model ke tingkat yang lebih memadai secara ilmiah, dan karenanya lahirlah apa yang disebut dengan taxonomies[16].

Taxonomies yaitu teori yang baru memiliki komponen konsep saja, salah satu elemen dasar dari teori. Belum ada unsur explanations tentang bagaimana konsep-konsep yang dikandungnya itu saling berhubungan. Apalagi menyangkut elemen-elemen lainnya, seperti elemen asumsi filosofis dan prinsip atau panduan untuk bertindak.[17]. Dalam ilmu komunikasi sendiri, teori yang termasuk jenis ini (taxomomie) masih banyak dijumpai, antara lain misalnya seperti teori pembentukan keputusan kelompok dari Randy Hirokawa dan Dennis Gouran; Genderlect Styles-nya Deborah Tannen, atau Teori Relational Dialectic dari Baxter dan Montgomery[18].

Sebagai sebuah teori, dalam kaitannya dengan upaya ilmu komunikasi untuk mengembangkan dirinya sendiri (pure science), maka teori berkadar taxonomie tadi masih belum cukup memadai dalam membantu ditemuinya pengetahuan yang seumum-umumnya mengenai fenomena human communication. Untuk keperluan tersebut diantaranya diperlukan teori yang di dalamnya terpenuhi empat komponen dasar teori, yakni meliputi komponen : asumsi filosofis, konsep, penjelasan dan prinsip atau panduan untuk bertindak[19].

Selain itu, diperlukan upaya pengembangan kemampuan teori sebagai petunjuk ini secara kontinyu. Berdasarkan kemampuannya dalam memerankan fungsi sebagai petunjuk dimaksud, maka teori tadi diketahui tingkatannya ada tiga. Terdiri dari : Micro level theory- Macro level tyheory – dan Meso Level Theory. Micro level theory deals with small slices of time, space, or numbers of people. Konsep-konsep yang dikandung biasanya tidak begitu abstrak. Macro level theory lebih perhatian terhadap soal “the operation of larger aggregates”,misalnya seperti lembaga-lembaga sosial, sistem budaya secara keseluruhan, dan masyarakat secara keseluruhan. Konsep-konsep yang digunakannya lebih abstrak. Meso Level theory, level ini secara relatif jarang dijumpai. Level teori tersebut mencoba menghubungkan level makro dan mikro, atau berupaya untuk mengoperasikan teori pada suatu tingkatan intermediate. Teori-teori sosial yang sering mencapai taraf meso ini adalah teori-teori mengenai organisasi, gerakan-gerakan sosial, atau mengenai komunitas-komunitas[20].

Semua ilmu, termasuk tentunya ilmu komunikasi yang merupakan salah satu pecahan dari ilmu sosial, juga menginginkan terwujudnya teori-teori komunikasi yang mencapai taraf meso sebagaimana banyak dicapai oleh teori-teori organisasi, gerakan sosial atau komunitas tadi. Dalam upaya ini, maka sama halnya dengan ilmuwan dalam disiplin lain, ilmuwan dalam disiplin ilmu komunikasipun berangkat dari model dasar dalam proses penyelidikan.[21]

Sistematika proses penyelidikan itu sendiri, langkah-langkahnya terdiri dari tiga tahap. Langkah pertama yaitu mengajukan pertanyaan. Pertanyaan ini bisa berwujud dalam beragam jenis. Ada pertanyaan yang diajukan untuk menjawab batasan tentang sebuah konsep; pertanyaan menyangkut kaitan sebuah konsep dengan lainnya, hingga pertanyaan yang berkaitan dengan soal value probe aesthetic, pragmatic and ethical qualities. Misalnya, Is it beautiful ? Is it effective ? Is it good ? Langkah kedua, yaitu mengobservasi. Pada tahap ini, ilmuwan berusaha mencari jawaban dengan cara mengamati fenomena dibawah proses penyelidikan. Langkah ketiga, yaitu membangun jawaban. Pada fase ini, ilmuwan mencoba mendefinisikan, menggambarkan dan menjelaskan – membuat penilaian dan penafsiran terhadap apa yang telah diamatinya.[22]

Kemudian, dalam upaya ilmuwan komunikasi untuk meningkatkan teorinya menjadi lebih bermutu, maka ada dua jenis teori yang memungkinkan bagi terwujudnya pencapaian upaya itu. Kedua teori dimaksud adalah nomothetic theory dan practical theory. Nomothetic theory is defined as that which seeks universal or general law. Pendekatan yang biasa dilakukan dalam ilmu alam, namun sudah banyak dijadikan model dalam penelitian ilmu sosial. Teori yang demikian bertujuan untuk menggambarkan secara akurat tentang bagaimana kehidupan sosial bekerja. Langkah-langkah yang dilakukan ilmuwan tradisional dalam aplikasi pendekatan nomothetic theory, terdiri dari : 1) mengembangkan pertanyaan; 2) membentuk hipotesis; 3) menguji hipotesis dan 4) memformulasi teori. Pendekatan yang demikian dikenal juga sebagai hypothetico – deductive method .[23]

Dalam ilmu sosial, teori sendiri didefinisikan sebagai “as a system of interconnected abstractions or ideas that condenses and organizes knowledge about the social world.[24] Dalam kaitan upaya Littlejohn to represent a wide range of thought – or theories about the communication process, maka Littlejohn mendefinisikan teori itu sebagai any organized set of concepts, explanations, and principles of some aspect of human experience. Mengutip pendapat James Anderson, Littlejohn[25] mengatakan teori itu mengandung sebuah rangkaian mengenai petunjuk-petunjuk (indikator) dalam mengetahui dunia dan bertindak sesuai dengan petunjuk-petunjuk dimaksud. Dalam pengertian demikian, karenanya Stanley Deetz[26] berpendapat, a theory is a way of seeing and thinking about the world. Ilmu komunikasi yang jelas mempunyai dunianya sendiri, yakni fenomena komunikasi antar sesama manusia, dengan demikian menjadi relatif mudah dipelajari para akademisi sehubungan dengan telah begitu banyaknya indikator dalam teori komunikasi yang tersedia, dari teori yang menjelaskan komunikasi dalam level interpersonal hingga konteks massa.

Meskipun begitu, ada kalanya suatu petunjuk justru dapat menjadi penjerumus tatkala petunjuk itu dijadikan referensi secara sembarangan, tanpa mengenal lebih dahulu eksistensi hakiki sebuah petunjuk. Dalam kehidupan akademis, malpraktek demikianpun kerap terjadi. Misalnya, terkait dengan instrument penelitian. Karena secara populer diketahui bahwa skala Likert sebagai alat yang mumpuni dalam mengukur sikap, maka alat inipun serta merta diadopsi untuk mengukur sikap responden penelitian dengan skala lima. Instrument yang dirancang di negara Barat dengan tradisi “research minded” masyarakatnya yang relatif matang inipun, akhirnya melahirkan data bias, karena masyarakat Indonesia dengan tradisi Timur-nya yang “tak enak menilai to the point “ itu, umumnya “mengambil jalan aman” dengan memilih alternatif jawaban tengah alias netral. Menjadikan teori sebagai petunjuk dalam menelaah suatu fenomena komunikasipun demikian, tidak bisa sembarangan kalau tidak mau dijerumuskannya ke dalam kekeliruan memahami masalah karena data yang bias. Untuk itu, perlu mengetahui eksistensinya terlebih dahulu agar suatu teori benar-benar terberdayakan menjadi kompas dalam menelaah fenomena komunikasi. Upaya memahami eksistensi hakiki dimaksud, dalam terminologi filsafat ilmu, itu diantaranya dapat dilakukan melalui telaah ilmu pada aspek epistemologi[27].

B. Sub Komponen Epistemologi Dalam Komponen Asumsi Filosofis
Memahami eksistensi teori komunikasi dalam konteks upaya pemberdayaannya sebagai kompas dalam menelaah fenomena komunikasi, maka--yang lazim dilakukan dalam dunia akademik antara lain dilakukan dengan cara mengetahui dan memahami konsep-konsep yang terkandung di dalam suatu teori komunikasi. Akan tetapi, upaya ini saja secara relatif masih belum memadai karena masih belum mampu memberikan gambaran keseluruhan tentang hakikat suatu konsep dalam sebuah teori. Terutama ini dalam kaitannya dengan “siapa pencetusnya”, yang nota bene ini akan sangat mempengaruhi warna perspektifnya dalam menteorisasi suatu fenomena. Terlebih lagi jika disadari bahwa komponen konsep itu hanya merupakan salah satu saja dari empat komponen yang ada dalam suatu teori. Komponen lainnya, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, yaitu mencakup komponen asumsi filosofis, konsep[28], penjelasan[29] dan prinsip[30]. Jadi, upaya memahami suatu teori secara utuh, tampaknya antara lain dapat dilakukan dengan baik melalui upaya pemahaman terhadap masing-masing dari keempat komponen dimaksud dalam suatu keseluruhan. Meskipun demikian, paper ini tidak bermaksud untuk meninjau semua komponen dimaksud, melainkan akan dibatasi pada komponen asumsi filosofis melalui sub komponen epistemologis[31]. Upaya inipun akan dibatasi lagi pada topik epistemologi secara historis dan refleksi epistemologi dalam forma penteorisasian fenomena komunikasi menurut genre komunikasi. Dengan demikian diharapkan akan dapat membantu dalam mengenal “siapa pencetus” suatu teori komunikasi.

1. Sejarah Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang philosophy yang mempelajari pengetahuan. Epistemologi mencoba untuk menjawab pertanyaan mendasar : apa yang membedakan pengetahuan yang benar dari pengetahuan yang salah. Secara praktis, pertanyaan-pertanyaan ini ditranslasikan ke dalam masalah-masalah metodologi ilmu pengetahuan. Misalnya seperti : how can one develop theories or models that are better than competing theories?[32] Relatif sejalan dengan ini, maka sebagai salah satu komponen dalam filsafat ilmu, epistemologi disebutkan difokuskan pada telaah tentang bagaimana cara ilmu pengetahuan memperoleh kebenarannya, atau bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar[33], atau how people know what they claim to know [34]. Jadi, dari sini tampaknya “how” menjadi kata kunci dalam upaya menemukan “rahasia” dibalik kemunculan konsep-konsep teoritis dalam suatu teori komunikasi. Banyak cara mungkin dapat dilakukan dalam usaha menemukan esensi dari kata “how” tadi. Salah satunya yang paling utama, mungkin menurut sejarah “epistemologi” itu sendiri. Bila ditinjau menurut sejarah epistemologi, maka terlihat adanya suatu kecenderungan yang jelas mengenai bagaimana riwayat cara-cara menemukan kebenaran (pengetahuan), kendatipun riwayat dimaksud memperlihatkan adanya kekacauan banyak perspektif yang posisinya saling bertentangan. Teori pertama pengetahuan dititikberatkan pada keabsolutannya, karakternya yang permanen[35]. Sedangkan teori berikutnya menaruh penekanannya pada kerelativitasan atau situation (keadaan)–dependence (ketergantungan), kerelativitasan pengetahuan tersebut berkembang secara terus-menerus atau berevolusi, dan pengetahuan secara aktif campur tangan terhadap the world dan subyek maupun obyeknya. Secara keseluruhan cenderung bergerak dari suatu ke-statis-an, pandangan pasif pengetahuan bergerak secara aktif ke arah penyesuaian demi penyesuaian. Mari kita mulai dari filsuf Yunani. Dalam pandangan Plato, pengetahuan adalah hanya sebuah kesadaran mutlak, universal Ideas or Forms., keberadaan bebas suatu subyek yang perlu dipahami[36]. Pemikiran Aristotle lebih menaruh penekanan pada metode logika dan empirik bagi upaya penghimpunan pengetahuan, dia masih menyetujui pandangan bahwa pengetahuan seperti itu merupakan sebuah apprehension of necessary and universal principles. Mengikuti masa-masa Renaisans, terdapat dua epistemological utama yang posisinya mendominasi filsafat, yaitu empiricism dan rationalism. Empiricism (empirisme) yaitu suatu epistemologi yang memahami bahwa pengetahuan itu sebagai produk persepsi indrawi. Sementara rationalism (rasionalisme) melihat pengetahuan itu sebagai sebuah produk refleksi rasional.Pengembangan terbaru yang dilakukan empirisme melalui eksperimen ilmu pengetahuan telah berimplikasi pada berkembangnya pandangan ilmu pengetahuan yang secara eksplisit dan implicit hingga sekarang masih dipedomani oleh banyak ilmuwan. Pedoman dimaksud yaitu reflection-correspondence theory. Menurut pandangan ini pengetahuan dihasilkan dari sejenis pemetaan atau refleksi obyek eksternal melalui organ indrawi kita, yang dimungkinkan terbantu melalui alat-alat pengamatan berbeda, menuju ke otak atau pikiran kita. Meskipun pengetahuan tidak mempunyai keberadaan a priori, seperti dalam konsepsi Plato, tetapi mesti dibangun dengan pengamatan, hal yang demikian karenanya masih absolute sifatnya, in the sense that any piece of proposed knowledge is supposed to either truly correspond to a part of external reality, or not. In that view, we may in practice never reach complete or absolute knowledge, but such knowledge is somehow conceivable as a limit of ever more precise reflections of reality.Ada teori penting yang diperkembangkan pada periode itu yang layak untuk diikuti, yaitu menyangkut sintesa rasionalisme dan empirisme-nya para pengikut Kant. Menurut Kant[37], pengetahuan itu dihasilkan dari the organization of perceptual data on the basis of inborn cognitive structures, which he calls "categories". Kategori mencakup ruang, waktu, obyek dan kausalitas. Epistemologi tersebut menerima ke-subyektifitas-an konsep-konsep dasar, seperti ruang dan waktu, dan ketidakmungkinan untuk menjangkau kemurnian representasi objektiv dari sesuatu dalam dirinya. Jadi kategori a priori masih tetap bersifat statis atau given.

Tahap berikutnya dari perkembangan epistemologi mungkin disebut pragmatis (pragmatic)[38]. Bagian-bagian dari perkembangan dimaksud dapat dijumpai pada masa-masa mendekati awal abad dua puluh, misalnya seperti logika positivisme, konvensionalisme, dan mekanika kuantum menurut "Copenhagen interpretation”[39]. Filsafat ini masih mendominasi kebanyakan cara kerja ilmiah dalam cognitive science dan artificial intelligence.

Menurut epistemologi pragmatis, pengetahuan terdiri dari model-model yang mencoba merepresentasikan lingkungan sedemikian rupa guna penyederhanaan secara maksimal pemecahan masalah, to maximally simplify problem-solving. Pemahaman demikian karena diasumsikan bahwa tidak ada model yang pernah bisa diharapkan untuk mampu menangkap semua informasi yang relevan, dan sekalipun model yang lengkap seperti itu ada, model tersebut mungkin akan sangat rumit untuk digunakan dalam cara praktis apapun. Karena itu kita harus menerima keberadaan kesejajaran model-model yang berbeda, sekalipun model-model dimaksud mungkin terlihat saling bertentangan. Model yang akan dipilih tergantung pada masalah yang akan dipecahkan. Ketentuan dasarnya adalah bahwa model yang digunakan sebaiknya menghasilkan perkiraan (melalui pengujian) yang benar (atau approximate) atau problem-solving, dan sesederhana mungkin. Pertanyaan lebih jauh yaitu menyangkut tentang the " the Ding an Sich" or ultimate reality behind the model are meaningless.[40] Epistemologi pragmatis tidak memberikan jawaban jelas terhadap pertanyaan mengenai asal-usul pengetahuan atau model. Ada asumsi tersirat bahwa model dibangun dari bagian-bagian model lain dan data empiris yang perolehannya didasarkan pada prinsip coba-coba-salah (trial and error) yang dilengkapi dengan beberapa heuristics atau ilham. Pandangan yang lebih radikal ditawarkan oleh para penganut constructivism. Kalangan ini mengasumsikan bahwa semua pengetahuan dibangun dari scratch by the subject of knowledge. Tidak ada sesuatu yang 'givens', data atau fakta empiris yang obyektif, kategori-kategori bawaan sejak lahir atau struktur-struktur kognitif.Gagasan korespondensi[41] atau refleksi realitas eksternal karenanya menjadi sesuatu hal yang ditolak. Karena kekurangan hubungan di antara model dan hal yang mereka representasikan ini, maka bahayanya bagi constructivism adalah bahwa mereka mungkin cenderung menjadi relativisme, karena dengan keyakinan mereka bahwa semua pengetahuan dibangun dari scratch by the subject of knowledge maka cara untuk membedakan pengetahuan memadai atau 'sebenarnya' dari pengetahuan yang tidak cukup atau 'palsu', menjadi tiada.Kita bisa membedakan dua pendekatan yang mencoba menghindari 'kemutlakan relativisme'. Pendekatan yang pertama disebut konstruktivisme individual (individual constructivism) dan kedua konstruktivisme sosial (social constructivism)[42]. Konstruktivisme individual mengasumsikan bahwa seorang individu mencoba mencapai koherensi di antara perbedaan potongan-potongan pengetahuan itu. Pembuatan atau pengkonstruksian yang tidak konsisten dengan mayoritas pengetahuan lain akan menyebabkan individu jadi cenderung untuk menolaknya. Pengkonstruksian yang berhasil dalam mengintegrasikan potongan-potongan pengetahuan yang sebelumnya tidak bertautan (incoherent)akan dipelihara. Konstruktivisme sosial memahami mufakat antara subyek berbeda sebagai ketentuan tertinggi untuk menilai pengetahuan. 'Kebenaran' atau 'kenyataan' hanya akan diberikan terhadap pengkonstruksian yang disetujui kebanyakan orang dari suatu kelompok masyarakat. Dalam filsafat tersebut pengetahuan tampak sebagai sebuah hipotesis ‘realitas eksternal’yang sangat independent. Sebagai ilmuwan constructivists ’radikal' Maturana[43] dan Varela berargumentasi bahwa, the nervous system of an organism cannot in any absolute way distinguish between a perception (caused by an external phenomenon) and a hallucination (a purely internal event)[44].Satu-satunya kriteria dasar ialah bahwa perbedaan mental entitas atau perbedaan proses kejiwaan di dalamnya atau di antara individu-individu sebaiknya menjangkau semacam keseimbangan.Melalui pendekatan Konstruktivis tampak penekanannya lebih banyak pada soal perubahan dan sifat relatif dari pengetahuan, dan cara-cara mereka yang mengunggulkan kesepakatan sosial atau koherensi internal dalam menemukan kebenaran, ini menyebabkan mereka tetap masih memiliki ciri yang absolut. Dengan kata lain, keabsolutan ini ditandai oleh keyakinan para konstruktivist bahwa synthetic outlook is offered by different forms or evolutionary epistemology. Melalui cara ini dianggap bahwa pengetahuan itu dikonstruksikan oleh the subject or group of subjects in order to adapt to their environment in the broad sense.[45] Pengkonstruksian itu merupakan sebuah proses yang terus berkelanjutan pada tingkatan-tingkatan yang berbeda, baik secara biologis maupun psikologis atau sosial. Pengkonstruksian terjadi melalui blind variation of existing pieces of knowledge, and the selective retention of those new combinations that somehow contribute most to the survival and reproduction of the subject(s) within their given environment.[46] Oleh karena itu, sebagaimana dikatakan Heylighen, bahwa the 'external world' again enters the picture, although no objective reflection or correspondence is assumed, only an equilibrium between the products of internal variation and different (internal or external) selection criteria.[47] Dalam kaitan ini, maka bentuk kemutlakan atau ke-permanen-an apapun sudah hilang dalam pendekatan ini. Namun demikian, sebagaimana dikatakan Heylighen, knowledge is basically still a passive instrument developed by organisms in order to help them in their quest for survival.Pendekatan paling baru terkait epistemologi, dan mungkin ini pendekatan yang lebih radikal, yaitu kalangan ilmuwan yang memandang bahwa ilmuwan itu harus to make knowledge actively pursue goals of its own. Pengetahuan itu dibuat harus mampu aktif untuk mencapai cita-citanya sendiri. Pendekatan epistemologi ini disebut memetics[48]. Memetics mencatat bahwa pengetahuan bisa ditransmisikan dari satu subyek kepada subyek lainnya, dan dengan cara demikian kehilangan ketergantungannya pada individu tunggal manapun. Sepotong pengetahuan yang bisa ditranmisikan atau ditiru dengan cara sedemikian rupa disebut 'meme' [49](dibaca : -meem-mim). The death of an individual carrying a certain meme now no longer implies the elimination of that piece of knowledge, as evolutionary epistemology would assume. Sepanjang meme menjalar lebih cepat sampai ke pengangkut baru, setelah itu alat pengangkutnya mati, maka meme akan tetap berkembang biak, sekalipun pengetahuan itu menyebabkan dalam diri individu pengangkut manapun, kemungkinan sama sekali tidak mampu dan juga berbahaya bagi kelangsungan hidupnya.[50]

Dalam pandangan ini, sepotong pengetahuan mungkin succesful (in the sense that it is common or has many carriers) sekalipun mungkin prediksinya salah sama sekali, sejauh pengetahuan tersebut cukup meyakinkan bagi para individu yang berperan sebagai pengangkut baru pengetahuan. Di sini tampak gambaran di mana subyek pengetahuan pun sudah kehilangan keunggulannya sendiri, dan pengetahuan menjadi a force of its own with proper goals and ways of developing itself. Pengetahuan dalam pengertian dimaksud, dalam kenyataan dapat diilustrasikan melalui banyaknya takhyul, cerita-cerita iseng, dan kepercayaan-kepercayaan tak masuk diakal yang telah merambah ke seluruh dunia, dan terkadang dengan kecepatan yang luar biasa.

Seperti halnya social constructivism, maka memetics perhatiannya juga tertarik pada komunikasi dan proses sosial dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Namun dalam memandang pengetahuan sebagai hasil konstruksi sistem sosial, memetic lebih melihat sistem sosial itu sebagai sesuatu yang dikonstruksikan oleh proses pengetahuan. Memang, satu kelompok sosial bisa didefinisikan melalui fakta bahwa semua anggotanya membagikan meme yang sama (Heylighen, 1992). Konsep 'self' -pun ', yaitu konsep yang membedakan seseorang sebagai seorang individu (a person as an individual), bisa dipertimbangkan sebagai sebuah potongan pengetahuan, yang terkonstruksikan melalui proses sosial, dan oleh sebab itu menjadi sebuah hasil dari evolusi memetic. Dari pendekatan konstruktivis, di mana pengetahuan merupakan hasil konstruksi individu atau masyarakat, maka kita telah bergerak ke pendekatan memetic, yakni pendekatan yang melihat masyarakat dan individu sebagai dihasilkan oleh pengkonstruksian melalui sebuah proses evolusi yang terus-menerus dari fragmentasi independent pengetahuan yang berkompetisi demi dominasi.

Dari riwayat singkat tentang cara-cara menemukan kebenaran (pengetahuan) sebelumnya, kiranya memberikan gambaran bahwa melalui argumentasinya masing-masing, kalangan ilmuwan tidak memiliki cara yang sama dalam upayanya menemukan kebenaran pada obyek ilmu dan karena itu berkonsekuensi pada penteorisasian fenomena komunikasi. Jadi, memang benar apa yang dikatakan Neuman[51], bahwa Theories come in many shapes and sizes.

2. Refleksi epistemologi dalam forma penteorisasian fenomena komunikasi
Ilmu komunikasi, sebagai ilmu yang menurut banyak ahli sebagai ilmu yang bersifat interdisipliner, telah menimbulkan banyak pandangan ahli dalam berupaya mengkateorikan teori-teori komunikasi yang telah ada. Dalam upaya pengkategorian ini, para teoritisinya masing-masing menunjukkan penggunaan istilah yang berbeda. Istilah itu, menurut penulis ada yang pengkodefikasiannya menurut tempat berasalnya pemikiran-pemikiran teoritis, ada yang menurut “ideologi” yang mendasari lahirnya perspektif teoritis, dan ada yang berdasarkan cara bekerjanya ilmu dalam proses mencapai kebenaran ilmiahnya.

Terhadap pengkodefikasian yang dilakukan berdasarkan tempat asal lahirnya pemikiran teoritis, maka pengkodefikasiannya dikenal dengan kelompok Chicago School yang Liberal-Pluralis dan direpresentasikan sebagai perspektif teori komunikasi Barat yang nota bene positivistic/obyektif. Karenanya, penelitian dalam kubu ini diarahkan pada penggunaan unit analisis individu dengan methode survey dan instrumen-instrumen yang standar, yang dimaksudkan sebagai usaha dalam menjelaskan gejala-gejala sosial sebagaimana dalam hukum-hukum alam, yang hanya terbatas pada erklaeren berdasarkan hubungan causal. Lawannya adalah Frankfurt School-Marxis Kritikal[52], yang direpresentasikan sebagai pemikiran-pemikiran yang melahirkan teori-teori komunikasi Timur. Para Ilmuwan dalam kelompok ini, dengan tokoh yang antara lain terdiri dari Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse, banyak dipengaruhi oleh kritik idealisme Karl Marx. Jadi, di antara dua kubu tersebut, forma penteorisasian fenomena komunikasinya, secara epistemologis terutama terbedakan karena soal ‘value’ dalam proses bekerjanya ilmu dalam menemukan kebenaran ilmiahnya.

Kemudian, pengkodefikasian yang dilakukan menurut cara bekerjanya ilmu dalam proses mencapai kebenaran ilmiahnya, maka termasuklah di sini pengistilahan yang diberikan Mc Quail dan Griffin. Mc Quail sendiri mengkodefikasikan istilahnya itu dengan konsep model, yakni model komunikasi yang terdiri dari model Transmisi dan Ritual. Model transmisi merupakan model yang menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi dalam perspektif tradisional atau positivistic yang nota bene free value. Jadi, sama dengan proses bekerjanya ilmu dalam perspektif Teori Barat sebelumnya. Sementara model ritual, yakni model yang menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi itu dengan proses seperti yang terjadi pada perspektif interpretif (humanis) sebagaimana dikatakan Griffin seperti telah disinggung sebelumnya. Griffin sendiri, mengistilahkan transmisi sebagaimana digunakan Mc Quail tadi dengan istilah Scientific (Objektive). Dengan mana, perspektifnya relatif tidak berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Mc Quail.

Kemudian, kodefikasi yang dilakukan menurut “ideologi” sebagai landasan epistemologis yang mendasari lahirnya perspektif teoritis. Untuk yang ini, maka ada dua teoritisi yang mengemukakan gagasannya. Pertama seperti yang dikemukakan Littlejohn melalui istilah yang disebutnya dengan genre[53] atau jenis-jenis teori komunikasi, dan kedua oleh Miller dengan istilahnya Conceptual Domains of Communication Theory.

Terkait dengan Littlejohn, maka genre teori komunikasi itu menurutnya ada lima: 1. teori struktural fungsional; 2. teori kognitif dan behavioral; 3. teori interaksional; 4. teori interpretif dan 5. teori kritis. (Littlejohn, 1994 : 13). Basis pada teori “1” adalah perspektif sosiologi struktural-fungsionalisme dari Emile Durkheim dan Talcott Parson. Perspektif ini berdasarkan pada perspektif dalam falsafah determinisme. Pada teori kedua, maka basis pemikirannya bertolak pada perspektif psikologis, yakni Stimulus (S) dan Respon (R). Manusia mendapatkan pengetahuannya dengan cara merespon rangsangan-rangsangan yang ada di alam ini. Pada genre ketiga, maka basisnya adalah bahwa kehidupan sosial dipandang sebagai sebuah proses interaksi, tokohnya antara lain Herbert Mead. Kemudian genre keempat, basisnya yaitu pada upaya menemukan makna pada teks. Dalam kelompok ini tergabung para ilmuwan yang menamakan diri dengan henneneuticists, poststructuralis, deconstructivis, phenomenologis, peneliti studi budaya, dan ada yang menyebutnya dengan ahli teori aksi sosial. Terakhir yaitu teori kritis, basis teorinya adalah kritik idealisme Karl Marx, dengan tokoh awalnya Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse.

Meskipun teori komunikasi itu terbagi menjadi lima genre, namun ini bukan berarti masing-masing genre tidak memiliki persamaan sama sekali. Persamaan yang kasat mata, paling tidak itu dimungkinkan terjadi menurut motif yang melatar belakangi para ilmuwannya dalam memunculkan salah satu sudut pandang terhadap upaya menelaah fenomena komunikasi. Persamaan dimaksud, dapat dikatakan sebagai sebuah persamaan umum yang ada pada masing-masing genre teori komunikasi, yakni upaya untuk menemukan kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang fenomena (Erscheinungen) komunikasi sebagai obyek forma dari ilmu komunikasi.

Selain persamaan umum, juga terdapat persamaan yang khas pada kelima genre itu. Persamaan dimaksud, misalnya antara genre struktural and functional theories dengan genre cognitif and behavioral theories, keduanya dipersamakan oleh landasan falsafah ilmu yang dianut, yakni determinisme – positivisme yang dipelopori A. Comte (1798-1857)[54]. Dengan demikian, komunikasi antara lain dianggap sebagai proses yang linier, dari komunikator ke komunikan. Jadi, persis seperti apa yang dimaksudkan Mc Quail dalam model transmisinya.

Namun demikian, khusus terhadap genre pertama sebelumnya (struktural and functional), genre itu lahir dari akar pemahaman yang berbeda, di mana struktural berbasis pada pandagan sosiologi, sementara functional basisnya pada biologi, terutama terhadap konsep sistem anatomi tubuh manusianya, yang kemudian dinilai tidak berbeda halnya dengan sosial. Persamaan lainnya adalah, bahwa kedua genre teori komunikasi dimaksud, juga berada dalam posisi yang sama dalam melihat posisi value dalam ilmu, yakni sama-sama meyakini bahwa nilai tidak boleh terlibat dalam proses keilmuan demi tidak lahirnya bad science. Dengan demikian, ilmuwan dalam kelompok ini berupaya tetap menjaga jarak antara dirinya dengan obyek dalam usahanya mengkonseptualisir suatu fenomena. Karenanya, hipotesis yang dirumuskan dengan proses berfikir ilmiah deduktif, dinilai jadi sangat berperan dalam kedua genre ketika berupaya menemukan kebenarannya.

Berbeda dengan dua genre teori komunikasi sebagaimana dibahas barusan, maka pada tiga genre lainnya, yaitu interactionist symbolic theories; interpretive theories dan critical theories, masalah value dinilai syah dalam proses ilmiah. Ini berhubungan dengan pemahaman bahwa manusia itu sebagai makhluk yang memiliki kehendak bebas. Seiring dengan itu, komunikasipun dirumuskan bukan sebagai sebuah proses yang linier, melainkan sirkuler, dengan mana manusia-manusia yang terlibat di dalamnya tidak dibedakan dalam hal status seperti halnya dalam genre teori yang berperspektif positivis dengan isitilah komunikator dan komunikan. Dalam tiga genre ini, individu yang terlibat disebut dengan partisipan komunikasi, atau ada yang dengan istilah komunikan sebagai ekuivalen dengan partisipan Dengan demikian, maka komunikasipun antara lain didefinisikan sebagai sebuah proses pertukaran makna dan konseptualisasi fenomenanya dilakukan menurut subyek penelitian dengan prinsip ongoing process.

Dari uraian tentang refleksi epistemologi dalam forma penteorisasian fenomena komunikasi tadi, kiranya mengindikasikan bahwa relatif rumitnya dalam upaya memahami eksistensi suatu teori komunikasi dengan baik. Suatu pemahaman yang secara pra kondisional tentunya sangat diperlukan oleh para akademisi komunikasi, terutama bagi para pemula, guna tidak terjadinya kekeliruan dalam mengaplikasikan suatu teori ketika mengkonseptualisasikan sebuah fenomena komunikasi. Namun, kerumitan ini tampaknya antara lain bisa dikurangi dengan cara mengelompokkan teori-teori komunikasi yang ada menurut setiap genre yang ada. Akan tetapi, sejauh pengamatan menunjukkan bahwa upaya yang demikian belum ditemui. Yang ada bukan menurut genre, melainkan diantaranya menurut level, gugusan, dan menurut alpabetisnya. Upaya yang demikian antara lain telah dilakukan oleh University of Twente Nedherland[55].
Micro level theory deals with small slices of time, space, or numbers of people. Konsep-konsep yang dikandung biasanya tidak begitu abstrak. Theories micro level, diantaranya terdiri dari : Argumentation Theory; Cognitive Dissonance theory; Elaboration Likelihood Model; Model of Text Comprehension; Semiotics; Speech Act; Uncertainty Reduction Theory. Meso Level theory, level ini secara relatif jarang dijumpai. Level teori tersebut mencoba menghubungkan level makro dan mikro, atau berupaya untuk mengoperasikan teori pada suatu tingkatan intermediate. Teori-teori sosial yang sering mencapai taraf meso ini adalah teori-teori mengenai organisasi, gerakan-gerakan sosial, atau mengenai komunitas-komunitas. Theories meso level ini diantaranya : Adaptive Structuration Theory; Attraction-Selection-Attrition Framework; Contingency Theories; Media Richness Theory. Sedang Macro level theory lebih perhatian terhadap soal “the operation of larger aggregates”,misalnya seperti lembaga-lembaga sosial, sistem budaya secara keseluruhan, dan masyarakat secara keseluruhan. Konsep-konsep yang digunakannya lebih abstrak. Theories macro level diantaranya : Agenda Setting Theory; Cultivation Theory; Diffusion of Innovations Theory; Hypodermic Needle Theory; Medium Theory; Priming; Spiral of Silence; Two Step Flow Theory.

Sementara terkait dengan kategori menurut gugusan (cluster), ini dikelompokkan menjadi menurut :
1) Interpersonal Communication and Relations
2) Organizational Communication
3) Mass Media
4) Communication and Information Technology
5) Communication Processes
6) Health Communication
7) Language Theories and Linguistics
8) Media, Culture and Society
9) Public Relations, Advertising, Marketing and Consumer Behavior
Secara rinci mengenai penggugusan tersebut, misalnya pada gugusan Interpersonal Communication and Relations theory, diantaranya terdiri dari : Attribution Theory; ACT* Theory; Argumenation Theory; Contagion Theories; Classical Rhetoric; Cognitive Dissonance theory; Elaboration Likelihood Model; Expectancy Value Model; Interpretative and Interaction Theories; Language Expectancy Theory; Network Theory and Analysis; Sensemaking; Social Identity Theory; Symbolic Interactionism; Social Cognitive Theory; Speech Act ; Theory of Planned Behavior/ Reasoned Action; Uncertainty Reduction Theory. Pada Organizational Communication, terdiri dari : Adaptive Structuration Theory, Attraction-Selection-Attrition Framework; Competing Values Framework; Contingency Theories; Enactment Theory; Framing in organizations; Groupthink; Media Richness Theory; Network Theory and Analysis in Organizations; Sensemaking; Structurational Theory; System Theory; Uncertainty Reduction Theory. Sementara pada kelompok Mass Media Theory, antara lain terdiri dari : Agenda Setting Theory; Priming; Framing; Cultivation Theory; Dependency Theory; Hypodermic Needle Theory; Knowledge Gap; Media Richness Theory; Medium Theory; Spiral of Silence; Two Step Flow Theory; Uses and Gratifications Approach[56].

Penutup
Sebagaimana telah dibatasi sebelumnya pada bagian awal makalah ini, bahwa fokus telaah makalah dibatasi pada risalah teori komunikasi dalam kaitan kepentingan pemahaman fenomena komunikasi yang kompleks yang dikonseptualisir ke dalam teori komunikasi. Setelah itu dilakukan peninjauan terhadap upaya teorisasi fenomena menurut komponen epistemologis sebagai salah satu dari tiga bagian dalam elemen asumsi filosofis, yang nota bene juga menjadi salah satu dari empat komponen dasar dalam suatu teori komunikasi. Dengan pembatasan dimaksud, makalah tersebut membagi pembahasannya menjadi sbb. : A. Fenomena komunikasi dan upaya teorisasinya; B. Sub Komponen Epistemologi Dalam Komponen Asumsi Filosofis : 1. Sejarah Epistemologi dan 2. Refleksi epistemologi dalam forma penteorisasian fenomena komunikasi.

Dari hasil pembahasan terhadap permasalahan Fenomena komunikasi dan upaya teorisasinya, diketahui bahwa upaya dimaksud secara historis telah dimulai sejak filsuf Yunani Aristotle mempelajari seni atau cara-cara berbicara di depan umum. Hasil telaahnya kemudian dikenal luas dengan konsep retorika. Telaah komunikasi kemudian menjadi bagian dari obyek studi sosiologi, yakni sosiologi pers. Perhatian terhadap komunikasipun semakin melebar dan terutama dalam kaitannya untuk mengetahui kesuksesan propaganda politik melalui media massa pada saat pecahnya perang dunia. Dari sini, telaah fenomena komunikasi mulai dituangkan ke dalam bentuk model. Model komunikasi itu perannya baru terbatas hanya sebagai salah satu sumber yang dapat membantu dalam proses perumusan suatu teori komunikasi, sebuah elemen ilmiah yang notabene perannya sangat signifikan dalam proses kerja ilmiah. Karena keterbatasan tersebut, dalam kaitan upaya pemahaman fenomena komunikasi, para akademisi akhirnya berupaya meningkatkan model ke tingkat lebih memadai secara ilmiah, dan karenanya lahirlah apa yang disebut dengan taxonomies. Sebagai sebuah teori, dalam kaitan upaya ilmu komunikasi mengembangkan dirinya sendiri (pure science), maka teori berkadar taxonomie belum memadai dalam membantu ditemuinya pengetahuan yang seumum-umumnya mengenai fenomena human communication. Untuk keperluan tersebut diantaranya diperlukan teori yang di dalamnya terpenuhi empat komponen dasar teori, yakni meliputi komponen : asumsi filosofis, konsep, penjelasan dan prinsip atau panduan untuk bertindak.

Selain itu, diperlukan upaya pengembangan kemampuan teori sebagai petunjuk ini secara kontinyu. Berdasarkan kemampuannya dalam memerankan fungsi sebagai petunjuk dimaksud, maka teori tadi diketahui tingkatannya ada tiga. Terdiri dari : Micro level theory- Macro level tyheory – dan Meso Level Theory. Kemudian, dalam upaya ilmuwan komunikasi untuk meningkatkan teorinya menjadi lebih bermutu, maka ada dua jenis teori yang memungkinkan bagi terwujudnya pencapaian upaya itu. Kedua teori dimaksud adalah nomothetic theory dan practical theory. Teori itu mengandung sebuah rangkaian mengenai petunjuk-petunjuk (indikator) dalam mengetahui dunia dan bertindak sesuai dengan petunjuk-petunjuk dimaksud. Dalam kaitan upaya menjadikan teori sebagai petunjuk dalam menelaah suatu fenomena komunikasi, maka perlu diketahui eksistensi hakikinya terlebih dahulu agar fungsinya sebagai kompas benar-benar dapat terberdayakan. Upaya memahami eksistensi hakiki dimaksud, dalam terminologi filsafat ilmu, itu diantaranya dapat dilakukan melalui telaah ilmu pada aspek epistemologi.

Berdasarkan pembahasan pada Sub Komponen Epistemologi Dalam Komponen Asumsi Filosofis, maka menurut telaah Sejarah Epistemologi diketahui bahwa melalui argumentasinya masing-masing, kalangan ilmuwan tidak memiliki cara yang sama dalam upayanya menemukan kebenaran pada obyek ilmu dan karena itu berkonsekuensi pada penteorisasian fenomena komunikasi. Sementara dari hasil pembahasan menurut Refleksi epistemologi dalam forma penteorisasian fenomena komunikasi, diketahui bahwa relatif rumitnya memahami eksistensi suatu teori komunikasi dengan baik. Namun, kerumitan ini tampaknya antara lain bisa dikurangi dengan cara mengelompokkan teori-teori komunikasi yang ada menurut setiap genre yang ada. Akan tetapi, sejauh pengamatan upaya yang demikian masih sulit ditemui. Pengelompokan teori komunikasi yang telah dilakukan akademisi cenderung masih sebatas menurut level, gugusan, dan menurut alpabetisnya.***

DAFTAR PUSTAKA
1. Cangara, Hafied, 1998, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
2. Chandler, Daniel “The word genre comes from the French (and originally Latin) word for 'kind' or 'class'. The term is widely used in rhetoric, literary theory, media theory, and more recently linguistics, to refer to a distinctive type of 'text'*. How we define a genre depends on our purpose. (http://www.aber.ac.uk/media/Documents/intgenre/ intgenre1.html).
3. F., Heylighen,”Epistemology, introduction”, dalam, Heylighen, F. ,” Epistemology, introduction”, dalam, http://pespmc1.vub.ac.be/ EPISTEMI. html, diakses, 22 Maret 2007.
4. Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill, chapter 11.
5. Karl Deutsch, dalam : http//en.wikibooks.org., diakses tanggal 13 September 2006.
6. Littlejohn, Stephen W., 1983, Theories of Human Communication, Columbus –Ohio, Charles E. Merrill Publishing Company, p. 381-382.
7. Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.
8. Neuman, W. Lawrence, 2000, “The Ethics And Politic of Social Research”, in chapter 5 on Social Research Methods-Qualitative and Quantitative Approaches, Allyn and Bacon, Boston, USA., p. 40, 49-50.
9. Poedjawijatna, I.R., 1983, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta, Bina Aksara, hal. 94.
10. Robert N. St. Clair; Walter E. Rodríguez; dan Carma Nelson, “PLATO AND THE WORLDS OF IDEAL AND MATERIAL FORMS” dalam HABITUS AND COMMUNICATION THEORY, dalam http://louisville.edu/~rnstcl01/R- Bourdieu.html, diakses 22 Maret 2007.
11. Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, 1984, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES.
12. Suriasumantri, Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar Harapan.
13. University of Twente, Netherlands , (http://www.tcw.utwente.nl/theorieenoverzicht /index.html).
14. Wiryanto, 2004, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Grasindo, PT.
15. Wright, Charles R., 1986, Sosiologi Komunikasi Massa, Editor, Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Remadja Karya, CV.

Situs Web :

http://www.utm.edu/research/iep/k/kantmeta.htm, diakses, 6 Juni 2007.
Taken from http//en.wikibooks.org, on Sept 13, 2006.
http://en.wikipedia.org/wiki/Communication_theory#History_of_communication_theory
http://en.wikipedia.org/wiki/Harold_Lasswell.
http://dictionary.reference.com/browse/pragmatic%20theory
http://en.wikipedia.org/wiki/Copenhagen_interpretation. http://gsi.berkeley.edu/resources/learning/social.html.
http://www.enolagaia. com/Tutorial1.html#MV.
http://aleph.se/Trans/Cultural/Memetics/.
http://pespmc1.vub.ac.be/MEMLEX.html.

footnotes:
[1] Peneliti Madya Bidang Studi Komunikasi dan Media pada BPPI Wilayah II Jakarta.
[2] (Taken from http//en.wikibooks.org, on Sept 13, 2006).
[3] Cangara, Hafied, 1998, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hal. 1.
[4] Schramm, 1982, dalam Cangara, 1998 :2).
[5]Littlejohn, Stephen W., 1983, Theories of Human Communication, Columbus –Ohio, Charles E. Merrill Publishing Company, p. 381-382.
[6]Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.



[7] Aristotle’s definition of rhetoric. Ehninger, Gronbeck and Monroe: One of the earliest definitions of communication came from the Greek philosopher-teacher Aristotle (384-322 B.C.). “Rhetoric” is “the faculty of observing in any given case the available means of persuasion” (Rhetoric 1335b). (dalam, C. David Mortensen, Communication: The Study of Human Communication (New York: McGraw-Hill Book Co., 1972), Chapter 2, “Communication Models.”, http://www.shkaminski.com/Classes/Handouts/Communication%20Models.htm#_What_is_a_Model?).
[8] http://en.wikipedia.org/wiki/Communication_theory#History_of_communication_theory
[9] Wright, Charles R., 1986, Sosiologi Komunikasi Massa, Editor, Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Remadja Karya, CV.
[10] Harold D. Lasswell pada 1948, dalam, http://en.wikipedia.org/wiki/Harold_Lasswell.
[11]Menurut Mortensen, 1972, a model is a systematic representation of an object or event in idealized and abstract form. ... “Communication models are merely pictures; they’re even distorting pictures, because they stop or freeze an essentially dynamic interactive or transactive process into a static picture.” (Mortensen, C. David, 1972 Communication: The Study of Human Communication, New York: McGraw-Hill Book Co.,Chapter 2. , dalam , http://www.shkaminski.com/ Classes/Handouts/Communication%20Models.htm#_What_is_a_Model?
[12] Menurut Mortensen, model komunikasi paling klasik dihasilkan oleh filsuf Junani Aristotle, model komunikasi Aristotle ini memusatkan posisi pembicara dalam upaya menyederhanakan fenomena komunikasi. (dalam, http://www.shkaminski.com/ Classes/Handouts/Communication%20Models.htm#_What_is_a_Model?
[13] Karl Deutsch, dalam : http//en.wikibooks.org., diakses tanggal 13 September 2006.
[14] Menurut Mortensen, fungsi atau kegunaan model ada tiga, 1) They should allow us to ask questions;2) They should clarify complexity; 3) They should lead us to new discoveries-most important. (http://www.shkaminski.com/ Classes/Handouts/Communication%20Models.htm#_What_is_a_Model?
[15] (1992 : 36, dalam Wiryanto, 2004, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Grasindo, PT, : 10.
[16] Taxonomy is the practice and science of classification. The word comes from the Greek τάξις, taxis, 'order' + νόμος, nomos, 'law' or 'science'. Taxonomies, which are composed of taxonomic units known as taxa (singular taxon), are frequently hierarchical in structure, commonly displaying parent-child relationships.
[17] Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.
[18] Lihat, dalam Griffin, EM, 2003, A First Look at Communication Theory, Fifth Edition, New York, McGraw Hill, chapter 11.
[19] Littlejohn., Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA, p. 18.
[20] Neuman, W. Lawrence, 2000, “The Ethics And Politic of Social Research”, in chapter 5 on Social Research Methods-Qualitative and Quantitative Approaches, Allyn and Bacon, Boston, USA, p. 40, 49-50.
[21] Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA, p. : 6
[22] idem
[23] Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA, p. 23.
[24] Neuman, W. Lawrence, 2000, “The Ethics And Politic of Social Research”, in chapter 5 on Social Research Methods-Qualitative and Quantitative Approaches, Allyn and Bacon, Boston, USA, p. 40.
[25]Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA, p. 23.
[26] Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA, p. 17.
[27] Epistemologi merupakan cabang philosophy yang mempelajari pengetahuan. Epistemologi mencoba untuk menjawab pertanyaan mendasar : apa yang membedakan pengetahuan yang benar dari pengetahuan yang salah. Secara praktis, pertanyaan-pertanyaan ini ditranslasikan ke dalam masalah-masalah metodologi ilmu pengetahuan. Misalnya seperti : how can one develop theories or models that are better than competing theories?, lihat : Heylighen, F. ,” Epistemology, introduction”, dalam, http://pespmc1.vub.ac.be/ EPISTEMI. html, diakses, 22 Maret 2007.
[28] Mengenai komponen konsep, ini diartikan sebagai generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Singarimbun dan Effendy, 1984 : 17). Konsep ini sifatnya masih bermakna tunggal sehingga belum bisa dilakukan pengukuran terhadap fenomena yang dijelaskannya. Guna memungkinkan pengukuran, maka bagi ilmuwan tradisional terhadap suatu konsep harus diberikan sifat-sifat tertentu. Concepts are typically operationalized in traditional science (Littlejohn (2005 : 25) karena ilmu ini memerlukan ketepatan dalam melakukan observasi terhadap konsep yang dipelajari.
[29] Komponen ketiga pada teori adalah penjelasan atau eksplanasi. The theorist identifies regularities or patterns in the relationships among variables. In simplest terms, explanation answers the question, Why ? An explanation identifies a “logical force” among variables that connect them in some way. Penjelasan tersebut banyak jenisnya, namun dua diantaranya yang umum adalah penjelasan sebab-akibat (causal) dan penjelasan praktis (practical). Causal explanation explains outcomes as responses, whereas practical explanation sees action as controllable and strategic. In causal explanation, the consequent event is determined by some antecedent event. In practical explanation, outcomes are made to happen by actions that are chosen. Perbedaan antara penjelasan sebab akibat dan praktis ini sangat penting dalam debat mengenai apa yang harus dilakukan sebuah teori. Banyak teoritisi tradisional mengatakan bahwa teori-teori akan berhenti pada tingkatan penjelasan ini. (Lihat, dalam Littlejohn, 2005 : 22).
[30] Sebuah prinsip adalah sebuah pedoman yang memungkinkan kita untuk melakukan interpretasi pada sebua peristiwa, membuat sebuah penilaian mengenai apa yang terjadi, dan kemudian memutuskan bagaimana melakukan tindakan dalam suatu situasi. Suatu prinsip memiliki tiga bagian; (1) prinsip mengidentifikasikan suatu situasi atau peristiwa; (2) prinsip ini mengandung sebuah rangkaian norma-norma atau nilai-nilai, dan (3) prinsip menuntut sebuah hubungan antara suatu jarak tindakan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin muncul. Principles enable researcher to repflect on the quality of actions observed and to provide guidelines for practice as well. (Littlejohn, 2005 : 23).
[31] Komponen asumsi filosofis sering dibagi ke dalam tiga jenis pembahasan, meliputi pembahasan menurut sub komponen : epistemologi, or questions of knowledge; ontologi, or questions of existence; aksiologi, or questions of value((Littlejohn, 2005 : 20).Looking for these assumptions provides a foundation for understanding how a given theory positions itself in relation to other theories on these basic issues that help construct a theory”, kata Littlejohn (2005 :18).
[32] Heylighen,, F.,”Epistemology, Introduction”, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI.html, diakses, 22 Maret 2007.
[33] Suriasumantri, Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar Harapan., hlm. 33-34.
[34] (Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA, p. : 18).
[35] Lihat, Robert N. St. Clair; Walter E. Rodríguez; dan Carma Nelson, “PLATO AND THE WORLDS OF IDEAL AND MATERIAL FORMS” dalam HABITUS AND COMMUNICATION THEORY, dalam http://louisville.edu/~rnstcl01/R- Bourdieu.html, diakses 22 Maret 2007.
[36] Robert N. St. Clair; Walter E. Rodríguez; dan Carma Nelson, “PLATO AND THE WORLDS OF IDEAL AND MATERIAL FORMS” dalam HABITUS AND COMMUNICATION THEORY, dalam http://louisville.edu/~rnstcl01/R- Bourdieu.html, diakses 22 Maret 2007.
[37]Immanuel Kant is one of the most influential philosophers in the history of Western philosophy. His contributions to metaphysics, epistemology, ethics, and aesthetics have had a profound impact on almost every philosophical movement that followed him. This portion of the Encyclopedia entry will focus on his metaphysics and epistemology in one of his most important works, The Critique of Pure Reason. (All references will be to the A (1781) and B(1787) edition pages in Werner Pluhar's translation. Indianapolis: Hackett, 1996.) A large part of Kant's work addresses the question "What can we know?" The answer, if it can be stated simply, is that our knowledge is constrained to mathematics and the science of the natural, empirical world. It is impossible, Kant argues, to extend knowledge to the supersensible realm of speculative metaphysics. The reason that knowledge has these constraints, Kant argues, is that the mind plays an active role in constituting the features of experience and limiting the mind's access to the empirical realm of space and time.( dalam , http://www.utm.edu/research/iep/k/kantmeta.htm, diakses, 6 Juni 2007)
[38] pragmatic theory is the theory of truth that the truth of a statement consists in its practical consequences, esp. in its agreement with subsequent experience.( http://dictionary.reference.com/browse/pragmatic%20theory).
[39] The Copenhagen interpretation is an interpretation of quantum mechanics formulated by Niels Bohr and Werner Heisenberg while collaborating in Copenhagen around 1927. Bohr and Heisenberg extended the probabilistic interpretation of the wave function, proposed by Max Born. Their interpretation attempts to answer some perplexing questions which arise as a result of the quantum mechanics, such as wave-particle duality and the measurement problem. There is no quantum world. There is only an abstract physical description. It is wrong to think that the task of physics is to find out how nature is. Physics concerns what we can say about nature.[1]There is no definitive statement of the Copenhagen Interpretation[2] since it consists of the views developed by a number of scientists and philosophers at the turn of the 20th Century. Thus, there are a number of ideas that have been associated with the Copenhagen interpretation.(dalam, http://en.wikipedia.org/wiki/Copenhagen_interpretation).
[40] Heylighen,, F.,” Epistemology, introduction”, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI.html, diakses, 22 Maret 2007.
[41] correspondence theory is the theory of truth that a statement is rendered true by the existence of a fact with corresponding elements and a similar structure. (http://dictionary.reference.com/search?q=correspondence%20theory).
[42] Social constructivism is a variety of cognitive constructivism that emphasizes the collaborative nature of much learning. Social constructivism was developed by post-revolutionary Soviet psychologist, Lev Vygotsky. Vygotsky was a cognitivist, but rejected the assumption made by cognitivists such as Piaget and Perry that it was possible to separate learning from its social context. He argued that all cognitive functions originate in, and must therefore be explained as products of, social interactions and that learning was not simply the assimilation and accommodation of new knowledge by learners; it was the process by which learners were integrated into a knowledge community. According to Vygotsky: Every function in the child's cultural development appears twice: first, on the social level and, later on, on the individual level; first, between people (interpsychological) and then inside the child (intrapsychological). This applies equally to voluntary attention, to logical memory, and to the formation of concepts. All the higher functions originate as actual relationships between individuals. (p. 57). (lihat, http://gsi.berkeley.edu/resources/learning/social.html).
[43] Maturana, Humberto is the founder of radical constructivism. Menurutnya : Cognition is a biological phenomenon and can only be understood as such; any epistemological insight into the domain of knowledge requires this understanding. (http://www.enolagaia. com/Tutorial1.html#MV).
[44] Heylighen,, F.,” Epistemology, introduction”, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI.html, diakses, 22 Maret 2007.
[45] Heylighen,, F.,” Epistemology, introduction”, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI.html, diakses, 22 Maret 2007.
[46] Heylighen,, F.,” Epistemology, introduction”, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI.html, diakses, 22 Maret 2007.
[47] Idem.
[48] Memetics is the study of ideas and concepts viewed as "living" organisms, capable of reproduction and evolution in an "Ideosphere" (similar to the Biosphere) consisting of the collective of human minds. Memes reproduce by spreading to new hosts, who will spread them further (typical examples are jokes, catchphrases or politicial ideas). (http://aleph.se/Trans/Cultural/Memetics/).
[49] Dalam kamus memetics, meme (pron. `meem') : A contagious information pattern that replicates by parasitically infecting human minds and altering their behavior, causing them to propagate the pattern. (Term coined by Dawkins, by analogy with "gene".) Individual slogans, catch-phrases, melodies, icons, inventions, and fashions are typical memes. An idea or information pattern is not a meme until it causes someone to replicate it, to repeat it to someone else. All transmitted knowledge is memetic. (Wheelis, quoted in Hofstadter.) (http://pespmc1.vub.ac.be/MEMLEX.html).
[50] Heylighen,, F.,” Epistemology, introduction”, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI.html, diakses, 22 Maret 2007.
[51] Neuman, W. Lawrence, 2000, “The Ethics And Politic of Social Research”, in chapter 5 on Social Research Methods-Qualitative and Quantitative Approaches, Allyn and Bacon, Boston, USA.
[52] The Frankfurt School is a school of neo-Marxist social theory, social research, and philosophy. The grouping emerged at the Institute for Social Research (Institut für Sozialforschung) of the University of Frankfurt am Main in Germany when Max Horkheimer became the Institute's director in 1930. The term "Frankfurt School" is an informal term used to designate the thinkers affiliated with the Institute for Social Research or influenced by them: it is not the title of any institution, and the main thinkers of the Frankfurt School did not use the term to describe themselves.
[53] Daniel Chandler , “The word genre comes from the French (and originally Latin) word for 'kind' or 'class'. The term is widely used in rhetoric, literary theory, media theory, and more recently linguistics, to refer to a distinctive type of 'text'*. How we define a genre depends on our purpose. (http://www.aber.ac.uk/media/Documents/intgenre/ intgenre1.html).
[54] dalam, Poedjawijatna, I.R., 1983, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta, Bina Aksara., hlm. 94.

[55] Lihat, University of Twente, Netherlands , (http://www.tcw.utwente.nl/theorieenoverzicht/index.html).
[56] Rincian lengkap mengenai teori menurut penggugusan tersebut, dapat dilihat dalam situs University of Twente, Netherlands , (http://www.tcw.utwente.nl/theorieenoverzicht/index.html).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar