A. Kodrat Manusia Pencipta Pengetahuan
Manusia adalah salah satu
wujud dari tiga makhluk hidup yang disebut sebagai anima intelektualita yang
cirinya sangat berbeda dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya, yaitu anima
sensitiva dan anima vegetatif.
Perbedaan
khas itu ditandai oleh manusia yang memiliki kodrat selain mempunyai
seperangkat peralatan jasmaniah seperti panca indera dan anggota tubuh, juga
dilengkapi oleh Tuhan dengan seperangkat peralatan rokhaniah, di mana selain
memiliki naluri yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan binatang, juga
memiliki peralatan rokhaniah yang tidak dimiliki oleh binatang atau tumbuhan,
yakni apa yang disebut dengan akal dan budi.
Akal
dan budi ini berfungsi sebagai alat bagi manusia untuk dapat melakukan proses
trias dinamika dalam dunia kecilnya (micro
cosmos) atas segala in put yang
dihasilkan oleh hasil kerja peralatan jasmaniah berupa sentuhan dengan dunia
luar atau macro kosmos. Karenanya, maka dengan akal manusia bisa membedakan
mana yang benar dan mana yang , dan dengan budi manusia dapat membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk terhadap obyek (macro cosmos).
Dengan
kodrat di atas, manusia dalam hidupnya senantiasa diiringi dengan motif-motif, Salah satu motif itu
yakni motivasi untuk selalu ingin tahu tentang obyek, atau untuk mengerti
tentang obyek, yang dikatakan Aristoteles sebagai sesuatu yang sudah menjadi
kodrat manusia. Dari sini, maka lahirlah berbagai pengetahuan manusia. Pengetahuan
tersebut terdiri dari pengetahuan biasa (common
sense); pengetahuan ilmu (science);
pengetahuan filsafat; dan pengetahuan religi.
Dengan
ragam jenis pengetahuan manusia di atas kiranya memperlihatkan bahwa keragaman
jenis pengetahuan itu timbul karena dalam memperolehnya manusia bisa
melakukannya dengan lebih dari satu cara. Cara yang dilakukan melalui
pendekatan biasa-biasa saja terhadap sesuatu obyek, misalnya berdasarkan
kebiasaan sehari-hari, maka manuia akan memperoleh pengetahuan berupa pengetahuan
biasa mengenai obyek tadi. Cara yang dilakukan melalui pendekatan keagamaan
mengenai sersuatu obyek, maka manusia akan memperoleh pengetahuan berupa
pengetahuan keagamaan mengenai obyek yang dipelajarinya.
Begitu
pula pada pengetahuan filsafat dan pengetahuan ilmu (ilmu pengetahuan),
keduanya menjadi jenis pengetahuan karena manusia yang mempelajari sesuatu
obyek melakukannya dengan menggunakan pendekatan filsafat dan pendekatan ilmu.
Khusus
terkait dengan dua jenis pengetahuan yang disebutkan terakhir tadi, berdasarkan
sejarahnya diketahui bahwa dua jenis pengetahuan itu pada mulanya, sesungguhnya
merupakan satu pengetahuan yang disebut dengan filsafat. Namun, seiring dengan
proses berfikir kritis manusia itu terus tumbuh dan berkembang dalam menyikapi
segala yang ada dan yang mungkin ada, maka menyebabkannya menjadi berseberangan
(kontradiktif) dengan kebenaran-kebenaran dalam filsafat sebagai satu-satunya
ilmu. Perseberangan mana, sebagaimana diketahui, itu akhirnya berujung pada
lahirnya ilmu dari ilmu, lahirnya ilmu baru yang bernama ilmu pengetahuan (science) dari ilmu induk (materscientiarum) yang bernama filsafat.
B.
Filsafat dan Pengetahuan Filsafat
Kata
filsafat adalah kata jadian yang berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Yunani. Dua kata itu terdiri
dari philein (cinta) dan sophia
(kebijaksanaan), gabungan mana kemudian diartikan sebagai cinta kebijaksanaan.
Penggunaan
kata filsafat yang berarti cinta akan kebijaksanaan itu sendiri, menurut
sejarahnya digunakan pertama kali oleh Socrates dan Pythagoras, hal mana
ditandai oleh pernyataan keduanya tentang diri mereka yang philosophus, yakni orang yang mencintai kebijaksanaan. Bukan orang
yang bijaksana, sebagaimana diakui oleh kaum sophist atau kalanagan terpelajar saat itu. Jadi, pemunculan konsep
filsafat oleh Socrates dan Pythagoras itu, kiranya merupakan sikap protes
keduanya terhadap kaum sophist.
Sekarang,
apakah sasaran yang dikejar dengan mencintai kebijaksanaan sebagaimana
dimaksudkan Socrates dan Pythagoras itu
? Sasaran yang dikejar dengan cara mencintai
kebijaksanaan itu tak lain adalah know
(tahu/mengerti) dan knowledge
(pengetahuan). Pengetahuan yang mana, yakni suatu pengetahuan yang proses
perolehannya dilatarbelakangi oleh keingintahuan atau keinginan untuk mengerti
dominan. Keinginan yang demikian, sebagaimana dikemukakan sebelumnya oleh
Socrates disebutkan sudah menjadi kodrat manusia.
Sebagai
kodrat, dengan diawali suatu kebenaran maka keinginan untuk mengerti dominan
tadi sejak masa kanap-kanak sudah tampak. Sang anak manusia melihat, mendengar,
meraba-raba dan dengan akalnya ia mengerjakan fakta-fakta,
menggolong-golongkan, menghubung-hubungkan dan menarik kesimpulan. Namun ia
tidak puas dengan hanya menetapkan fakta itu. Karenanya fikirannya menyusun,
mengatur, menghubung-hubungkan, mempersatukan bermacam-macam pengalaman dan
menciba mencari keterangannya. Dengan kata lain manusia tidak hanya mengerti
bahwa “ini adalah demikian”, tetapi ia juga ingin mengerti “mengapa ini memang
demikian adanya”.
Lantas
bagaimanakah caranya agar manusia dalam rangka mengejar pengetahuan itu tadi ,
yakni pengetahuan yang anatar lain berupa “mengapa ini memang demikian adanya
?”, bisa dilakukannya dengan cara mencintai kebijaksanaan ? Caranya, yaitu
dengan menggunakan ciri-ciri berfikir filsafat demi tercapainya kebijaksanaan
saat berfikir tentang obyek. Ciri-ciri itu terdiri dari : radikal; sistematis;
dan universal (Salam, 1995). Suriasumantri (1984: 20-21) menyebut ciri-ciri ini
dengan istilah menyeluruh; mendasar dan spekulatif.
Berfikir
radikal berarti berfikir sampai ke
akar-akar, tidak tanggung-tanggung sampai kepada konsekuensinya yang terakhir.
Berfikir yaitu berfikir logis yang bergerak selangkah demi selangkah dengan
penuh kesadaran dengan urutan yang bertanggung jawab dan saling hubungan yang
teratur. Sementara berfikir universal yaitu berfikir secara non fragmentaris,
tidak berfikir khusus, tidak terbatas pada bagian-bagian tertentu dari ada umum
namun mencakup secara keseluruhan atas sesuatu obyek yang ditelaah. Dengan berfikir
universal ini manusia diharapkan bisa menyerap secara keseluruhan apa yang ada
pada alam semesta ini.
Kini
dengan bertolak dari pengertian filsafat di atas untuk sementara dapatlah
diambil pengertian tentang apa itu pengetahuan filsafat sebagai sebagai salah
satu dari beberapa jenis pengetahuan yang ada, yakni suatu wujud pengetahuan
yang proses pemerolehannya dilakukan dengan cara berfikir radikal, sistematik
dan universal.
Apakah
yang dijadikan obyek dalam upaya menemukan pengetahuan filsafat itu ? Yang
dijadikan obyeknya yaitu tentang ada. Segala yang ada dan yang mungkin ada
(Poedjawijatna, 1983). Dengan pengertian
mengenai obyek filsafat tersebut, kini dapatlah disusun kembali tentang
apa itu pengetahuan filsafat. Pengetahuan filsafat adalah pengetahuan tentang
keterangan mendalam dari segala yang ada dan yang mungkin ada dengan mana
proses pemerolehannya dilakukan dengan cara berfikir radikal, sistematik dan
universal.
Pada
mulanya wujud ada yang hendak dijadikan pengetahuan filsafat itu yakni saat di
mana pengetahuan yang disebut ilmu masih berada dalam kandungan ibunya yang
bernama filsafat (mater scientiarum),
yaitu berupa segala yang ada dalam hidup dan kehidupan manusia. Ragam rupa dari
segala yang ada itu, diidentifikasi antara lain menyangkut masalah yang terdiri
dari : individu (manusia pribadi) l sosial (manusia dengan sesama); budaya;
teknik; ekonomi; kedokteran; hukum; dunia dan juga Tuhan (Salam’ 1995 : 136).
Guna
memudahkan filsafat dalam upaya menemukan pengetahuannya mengenai ragam rupa
dari segala yang ada itu tadi, maka dilakukanlah spesifikasi kajian dengancara
membuat cabang-cabang kajian filsafat. Plato membedakan filsafat terdiri dari
tiga bagian, yakni !) Dialektika (tentang idea-idea atau pengertian-pengertian
2) Fisika (tentang dunia materiil dan 3) Etika (tentang kebaikan). Sementara
Aristoteles yang juga murid Plato, kemudian membaginya lebih rinci lagi menjadi
:
(1)
Logika (tentang bentuk susunan fikiran);
(2)
Filosopia Teoritika : a. Fisika (tentang dunia materiil-seperti ilmu alam
dan sebagainya);
b. Matematika (tentang barang mernurut
kuantitasnya);
c. Metafisika (tentang “ada”);
( 3) Filosofia Praktika
(tentang hidup kesusilaan-berbuat) :
a. Etika
(tentang kesusilaan dalam hidup perorangan);
b.
Ekonomia (tentang kesusilaan dalam hidup kekeluargaan);
c.Politika (tentang kesusilaan dalam hidup kenegaraan);
(4) Filosofia Poetika/aktiva
pencipta (filsafat tentang kesenia) (Salam ,1995).
C.
Pengetahuan Filsafat Versus Pengetahuan Ilmu
Terkait
khusus dengan obyek kajian filsafat Aristoteles tadi, maka untuk kasus Eropa ,
secara terbatas kajian itu (Logika) masuk ke daratan Eropa melalui terjemahan
Boethius (524-489 BC). Boethius berjasa besar dengan menerjemahkan beberapa
karya Aristoteles tentang Logika ke dalam bahasa Latin (Bertens, 2001 : 25).
Pengetahuan
terbatas mengenai obyek kajian filsafat Aristoteles itu berlangsung hingga
kira-kira pertengahan abad ke 12. Lalu, sekitar pertengahan abad ini pula
situasi mulai berubah. Ajaran-ajaran Aristoteles yang sesungguhnya, mulai masuk
ke dunia Barat. Prosesnya melalui dua cara, dengan jalan tak langsung dan
dengan jalan langsung (Bertens, 2001:30).
Secara
tidak langsung dimaksudkan, bahwa ajaranAristoteles itu diterjemahkan pada
sekitar abad ke-12 dari bahasa Arab ke bahasa Latin. Penerjemahan inisendiri
dilakukan karena bangsa Arab telash lebih dahulu melakukan penerjemahannya pada
abad ke-8 dan ke-9 dari bahasa Siria ke bahasa Arab (Bartens, 2001 : 22).
Sementara dengan cara langsung dimaksudkan, bahwa karya karya Aristoteles itu
secara langsung diterjemahkan dari bahasa Yunani ke bahasa Latin yang terjadi
sepenjang abad abad ke -13. Hal mana dimungkinkan karena karya-karya
Aristoteles itu ada yang masuk Eropa melalui Sisilia (lihat, Berten, 2001 :32).
Perubahan
yang terjai setelah masuknya ajaran Aristoterles secara langsung ditandai oleh
mulai terjadinya perubahan dalam paradigma berfilsafat di Eropa. Dari paradigma
yang semula bertumpu pada pandangan dunia kristiani, menjadi diwarnai oleh
pandangan baru yang bersumber dari Aristoteles yang nota bene bukan berasal
dari lingkungan kristen. Diantara pemikir yang menggunakan paradigma baru waktu
itu, yakni dalam abad -13 adalah Siger dari Brahant (1240-1281), Aqlbertus
Agung (1205-1280) dan Thomas Aquinas (1225-1274).
Dengan
perubahan paradigma tadi, di satu sisi memperlihatkan fenomena yang kurang
mendapat dukungan dari lingkungan agamawan. Namun di sisi lain, perubahan
paradigma itu (baca : paradigma Aristoteles) justru semakin mendapat banyak dukungan dari
kalangan pemikir yang kala itu disebut sebagai kalangan Aristotelian.
Beberapa
bukti yang memperlihatkan fenomena tidak mendukung kehadiran paradigma filsafat Aristoteles, tersebutlah antara lain adanya
pelarangan beberapa kali dari pihak gereja untuk membahas karya-karya filsafat
Aristoteles dalam perkuliahan sastra di Universitas Paris. Menurut Bartens (2001 :
34) pelarangan ini bertolak dari adanya
dua pendapat utama dalam ajaran
Aristoteles itu yang tidak bisa
dicocokkan dengan ajaran Gereja yang
resmi, yakni pendapat yang menyatakan bahwa (1) dunia berada dari kekal dan (2)
hanya ada satu jiwa bagi seluruh bangsa manusia.
Bentuk
resistensi lainnya dari pihak Gereja adalah berupa penghukuman sejumlah
pendapat yang dianut oleh fakultas sastra di Universitas Paris (terutama Sigers
dari Brabant) oleh uskup Paris Etienne Tempier pada tahun 1277. Dalam waktu
serupa juga terjadi di Inggris, uskup dari Canterbury Robertus Kilwardhy
menghukum beberapa pendapat Thomas Aquinas yang Aristotelian.
Sementara
itu, bukti-bukti yang mendukung tentang kehadiran paradigma baru waktu itu,
diantaranya adalah bahwa pelarangan pihak Gereja yang justru semakin memicu
perkembangan pengaruh ajaran Aristoteles dari waktu ke waktu. Namun dalam
perkembangan tersebut, secara substantif tampak mengarah pada upaya bagaimana
memperdamaikan alam fikiran filsafat Aristoteles, terutama menyangkut dua hal
yang menjadi dasar [elarangan Gereja tadi, dengan alam fikiran ajaran
kristiani.
Dalam
perkembangan sebagaimana dimaksud di atas, tercatatlah diantaranya seperti yang
dilakukan oleh Thomas Aquinas, filsuf yang banyak diikuti para pemikir
kristiani yang kemudian disebut mazhab
Thomistis, yakni melalui pengakuannya
tentang jiwa yang sesudah kematian hidup terus sebagai bentuk , tetap
terarah kepada badan itu, sebagai relevan dengan ajaran kristiani mengenai
kebangkitan badan. Namun sintesa (tesa) Thomas Aquinas tentang mansuia ini kemudian
dilawan dengan antitesa yang dimunculkan Johannes Duns Scotis (1266-1308) yang
Bonaventura oriented, filsuf mana kemudian memunculkan mazhab Scotistis.
Meskipun
kedua filsuf di atas melahirkan dua sintesa berbeda tentang hakikat manusia,
namun diantara keduanya dipersamakan oleh adanya pengakuan tentang kemampuan
rasio insani dalam membuktikan adanya Tuhan. Karenanya, melalui sintesa kedua
filsuf dikmaksud, maka pendapat utama dalam ajaran Aristoteles berupa dunia berada dari kekal dan hanya ada satu
jiwa bagi seluruh bangsa manusia, yang sebelumnya tidak bisa dicocokkan dengan
ajaran Gereja yang resmi itu, menjadi bisa dicocokkan oleh para teolog
kristiani.
Dalam
abad 14 kecenderungan akan sintesa tidak diteruskan, sebaliknya yang terjadi
adalah suatu kecenderungan akan perselisihan dan perpecahan. Dalam abad ini
terdapat banyak diskusi antara mazhab-mazhab yang mengikuti ajaran salah
seorang “magister” dari abad 13. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa jaman ini
memperlihatkan suatu sikap kritis yang lebih besar.
Sikap
kritis itu menampakkan diri terlebih dengan penyimpangan yang semakin jelas
dari pendapat-pendapat Aristoteles dalam bidang ilmu pengetahuan
alam. Inilah suatu petanda yang menunjukkan bahwa abad 14 menuju ke jaman
modern (Bartens, 2001 : 40), yakni jaman yang kelak mengakui eksistensi ilmu
pengetahuan sebagai suatu pengetahuan yang berbeda dengan pengetahuan filsafat.
Pertanda
sebagaimana dimaksud itu, pada tahap awal paling tidak dapat disimbolkan melalui kemunculan sliran nominalisme-nya
Gulielmus dari Ockam (1285-1349) yang kemudian dicap sebagai “via moderna” yang
menentang “via antiqua” yang diidentikkan dengan pemikir Skolastik umumnya.
Perbedaan psinsipil diantara kedua via tersebut terutama menyangkut teologi,
soal hubungan manusia dengan keberadaan Tuhan.
Menurut
Gulielmus, rasio manusia saja tidak mampu untuk membuktikan adanya Tuhan dan
siapa Tuhan itu, melainkan perlu adanya iman. Itu tentu berbeda dengan
pemahaman Skolastik, seperti terungkap dari pendapat aliran Thomistik dan
Scotis sebelumnya, bahwa rasio manusia itu mampu adanya.
Satu
hak penting dari kehadiran nominalisme (berasal dari kata dasar nomen =
nama-tanda- simbol) bagi apa yang kelak disebut sebagai ilmu penghetahuan,
yakni upayanya yang tegas saat itu untuk membedakan pengetahuan tentang ada
umum (Soal Tuhan sebagai sebab yang
tidak disebabkan) dari pengetahuan tentang ada khusus (soal ragawi atau
empiris) (Lihat, Poedjawijatna, 1983).
Pengetahuan
tentang ada khusus itu dapat diperoleh melalui pengenalan inderawi terhadap
obyek empiris dengan dibantu sebelumnya oleh proses pengenalan intelektual
abstrak yang memiliki konsep-konsep. Konsep tersebut berupa tanda atau
simbol-simbol atas suatu obyek fisik. Dengan demikian nominalisme mengarahkan
kepada studi-studi empirisme yang nota bene kelak berujuing pada keluarnya
studi tersebut dari obyek kajian filafat.
Kehadiran
nominalisme banyak mendapat sambutan positip dari kalangan pemikir di seluruh
Eropa saat itu. Sukses nominalisme yang
“via moderna” tersebut menurut dugaan
Bertens karena pada saat itu banyak orang yang sudah merasa jenuh dengan
perselisihan-perselisihan yang tidak berguna dalam kalngan Skolastik yang
perdebatannya berputar-putas sekitar
universale.
Sambutan
positip itu tadi tampil dalam bentuk-bentuk pencarian pengetahuan bersumber
dari alam yang bersifat jasmaniah.
Pencarian tersebut dilakukan melalui pendekatan-pendekatan eksperimen. Jadi,
sudah selangkah ;ebih maju dibanding masa sebelumnya, yakni pada tingkat
deskriptif dengan cara menggolong-golongkan obyek melalui observasi.
Beberapa
perintis yang memb uka jalan baru bagi perkembangan pengetahuan modern dengan
pendekatan eksperimen yang kemudian disebut dengan pendekatan ilmiah diantaranya adalah Nicolaus Copernicus
(1473-1543) melalui heliosentrisnya yang berlawanan dengan geosentris yang
umumnya telah diterima dengan baik di Eropa selama abad pertengahan.
Galileo
Galilei (1564-16430 melalui teleskop buatannya pada 1609, banyak menemukan
fakta yang mendukung pandangan heliosentrisnya Nicolas Copernicus yang
sebelumnya banyak ditentang karena belum memuaskan kaum Aristotelian. Diantara
fakta itu misalnya soal temuan mengenai permukaan bulan yang ternyata sana
dengan permukaan bumi, temuan mana menurut Aristotelian sebelumnya dikatakan
berbeda, di m,ana benda-benda angkasa dianggap sempurna dan langgeng dan bumi
beserta tanda-tandanya selalu berubah
dan bisa rusak.
Fakta
lain yang ditemukan Galileo Galilei yang mendukung hipotesa-hipotesa Nicolas
Copernicus adalah mengenai besarnya Mars dan Venus yang berubah-ubah dalam cara
yang pernah diramalkan Copernicus; ditemukannya bulan lain selain bulan bumi,
yakni bulan-bulan planet Jupiter. Namun, sejauh Galilei dengan keberhasilannya
itu, ia tetap tidak mampu menjawab pertanyaan yang juga tak mampu dijawab
Copernicus sebelumnya, yakni mengenai pertanyaan tentang benda-benda lepas di
permukaan bumi yang tidak terlempar ke luar dari bumi yang berputar ini.
Rekan
sejaman Galileo, Johannes Kepler (1571-1630) dengan penemuannya tentang masing-masing
planet ternyata memiliki orbit ellips yang berpusat pada matahari, bukan
berbentuk lingkaran yang berpusat oada bumi pada bumi sebagaimana dipahami
sebelumnya, kiranya menjadi jalan bagi terjawabnya pertanyaan pertanyaan tadi
dikemudian hari.
Adalah
Isaac Newton (1642-1727( yang antara lain belajar dari kelemahan karya
Galileodan Kepler, melalui Principal yang
dipublikasikan pada 1687 mampu menjawab pertanyaan tadi itu dengan hukum
kelambanan lurus dan gravitasinya (Chalmers, 1983 :78).
Temuan-temuan
yang diperoleh melalui serangkaian eksperimen tadi, pada zamannya dianggap
spektakuler dan ini menyebabkan lahirnya pandangan baru waktu itu , bahwa
pengalaman adalah sebagai sumber pengetahuan. Filsuf Francis Bacon (1561-1623)
dan banyak rekan-rekan sejamannya, karenanya mengikhtiarkan sikap ilmiah dan
mengemukakan ketika itu, bahwa apabila kita hendak memahami alam sehatrusnya
kita berkonsultasi dengan alam dan bukan dengan tulisan-tulisan Aristoteles
(Chalmers, 1983 : 1).
Filsuf
Francis Bacon, bangsawan Inggris yang
dinilai sebagai peletak dasar filosofis bagi perkembangan dalam bidang
ilmu pengetahuan (Bartens, 2001 “44) dan sebagai kekuatan progresif abad ke-17,
akhirnya telah menyadarkan para filsuf
alam di zaman pertengahan yang
berpegangan pada karya-karya kuno terutama Aristoteles dan Kitab Injil sebagai
sumber-sumber pengetahuan yang salah (Chalmers, 1983 : 1). Dengan kesadaran itu
pula, pandangan dunia Aristotelian yang menguasai seluruh abad pertengahan,
akhirnya ditinggalkan secara definitif. (Bartens, 2002 : 44).
Sejak
saat itu maka yang terjadi adalah perkembangan demi perkembangan bagi
kemjuan ilmu pengetahuan dan mengalami
perkembangan pesatnya dalam abad ke-18, abad yang disebut sebagai masa
Aufklarung (pencerahan)/. Namun, di antara masa-masa tersebut, kiranya ada
sejumlah nama filsuf yang sulit untuk tidak dikemukakan di sini dalam
hubungannya dengan pembahasan ilmu pengetahuan yang secara normatif cirinya belum terbantahkan dan masih
diterapkan ilmuwan hingga kini. Ciri ilmu dimaksud yaitu salah satu dari
beberapa ciri proses berfikir ilmiah, yakni proses berfikir deduktif dan
induktif.
Kembali
ke soal filsuf tadi, maka tersebutlah Rene Descartes (1596-1659)’ John Locke
(1632-1704) dan Immanuel Kant (1724-1904). Rerne Descartes dengan rasionalismenya
mementingkan unsur-unsur apriori
dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman.
Sementara John Locke dengan empirismenya lebih menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang
berasal dari pengalaman. Menurut Kant baik rasionalisme maupun empirisme, dua-duanya
berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan
paduan atau sintesa unsur-unsur apriori
dengan unsur-unsur aposteriori (Bartens,
2001 : 60).
Kritik
Kant di atas kiranya merupakan upaya bagaimana mempertemukan dua kutub
pemikiran yang kontradiktif tentang bagaimana seharusnya manusia dalam proses
pengenalan. Dengan pendapat Kant yang menyebutkan bahwa proses pengenalan
manusia itu sebagai suatu sintesa, maka teranglah bagi kita kini, bahwa prose
berfikir deduktif dan induktif yang hingga kini tetap masih menjadi salah satu
ciri pokok dalam proses berfikir ilmiah dalam menemukan pengetahuan ilmu,
terutama dalam pendekatan ilmu menurut positivistik, asalnya bersumber dari
jasa Kant.
Dalam
kaitan pendapat Kant tadi, maka dalam pendekatan positivistik sintesa itu
berupa pertemuan antara data empirik-induktif (aposteriori-nya empirisme) yang terkumpul berdasarkan instrument
yang dikembangkan dari definisi operasional variabel dalam hipotesis dengan
hipotesis itu sendiri yang dirumuskan secara deduktif melalui prinsif kebenaran
koherensif (apriori-nya
rasionalisme).
Bentuk
pertemuan yang disebut paduan atau sintesa itu sendiri bergantung pada
bagaimana kualitas korespondensi data empirik dengan hipotesis. Jika data
empirik berkorespondensi positip dengan hipotesis, maka berarti hipotesis dapat
diterima dan karenanya terbentuklah sintesa berupa generalisasi empirik yang
mendukung teori-teori yang diacu dalam proses deduktif. Sebaliknya, jika data
empirik berkorespondensi negatif dengan hipotesis, maka berarti hipotesis
ditolak dan karenaya terbentuklah sintesa berupa generalisasi empirik yang menolak teori-teori yang diacu dalam
proses deduktif.
D.
Reorientasi Kajian Ilmu Filsafat
Uraian
sebelumnya menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan yang kita kenal sekarang ini,
sebelumnya tampak begitu bersusah payah untuk bisa berhasil ke luar dari
kooptasi dominasi induknya yang bernama
filsafat itu guna menjadi ilmu pengetahuan khusus. Terhadap keberhasilan ini,
lantas bagaimanakah filsafat menyikapi
dirinya sebagai materscientiarum
pasca anaknya yang bernama ilmu itu berhasil meninggalkan dirinya ?
Berdasarkan
indikasinya, secara umum tampak ada dua sikap ilmu filsafat dalam merespon
perubahan penting tadi, Pertama menyangkut eksistensi sifat obyek material ikmu
filsafatm yakni tetap konsisten pada prinsip non fragmentaris. Dalam sikapnya
yang demikian, ilmu filsafat tetap bekerja pada misinya semula, yakni
mengusahakan pemecahan segala masalah yang tidak dapaty dipecahkan oleh ilmu-ilmu pengetahuan khusus. (lihat,
Salam 1995 : 137). Kedua, para filsuf mencoba melakukan reorientasi terhadap
obyek-obyek kajiannya guna tetap relevan dengan situasi perubahan yang terjadi,
yaitu ke luarnya ilmu pengetahuan sebagai ilmu pengetahuan khusus dari ilmu
filsafat.
Dalam
konteks kedua, beberapa filsuf ternama yang mencoba mengemukakan reorientasinya
tadi, antara lain adalah Alcuinus, Langevelt, Castell dan De Vos.(Salam. 1995
:130) yang mengacu pada pendapat-pendapat filsuf ternama barusan, mengemukakan
pendapatnya tentang bagaimana obyek kajian ilmu filsafat pasaca ditinggalkan
ilmu-ilmu khuisus tadi. Pembagian obyek itu, sbb.:
A. Filsafat Teorits
: Filsafat Real
1. Metafisika
a.
Metafisika
fundamental : Kritika
b.
Metafisika
sistematis : Ontologi Theodycea
2. Filsafat tentang
a.
Alam
: Kosmologia
b.
Manusia
: Anthropologia
B.
Filsafat
Rasional = Logika
1.Logika Umum/formal : Logika
2. LogikaKhusus/material : Filsafat
tentang ilmu-ilmu pengetahuan
C. Filsafat Praktis (Filsafat
tentang kebudayaan)
1. Filsafat praktis (tentang
keseluruhan kegiatan manusia) :
a. Filsafat Etika :
1. etika umum (dengan filsafat
hukum) : Etika
2. etika khusus : etika individual – etika
sosial
b. Filsafat tentang Agama
2. Filsafat Kebudayaan (tentang
perbuatan-perbuatan lahiriah manusia) :
a. Bagian Umum : Filsafat
Kebudayaan
b. Bagian Khusus: Filsafat tentang
: bahasa; kesenian; ekonomi; sejarah;
hukum; alam; pendidikan; manusia.
Pembagian
di atas memperlihatkan tiga bagian besar obyek kajian filsafat pasca
terpisahnya ilmu pengetahuan dari filsafat. Khusus terkait dengan eksistensi
ilmu pengetahuan, terlihat bahwa keberadaannya menjadi begitu berbeda jika
dibandingkan dengan obyek filsafat sebagaimana
dibagi oleh Aristoteles sebelumnya.
Dalam
pembagian Aristoteles, filsafat ilmu penget5ahuan itu menjadi salah satu bagian
dari bidang filsafat teoritika. Sementara pada pasca ke luarnya ilmu
pengetahuan dari filsafat, maka filsafat ilmu pengetahuan (logika
khusus/material) merupakan salah satu sub dari dua sub bagian yang ada dalam
salah satu dari tiga bagian obyek kajian filsafat yang disebut dengan Filsafat
Rasional/logika. Jadi, sudah terpisah dari filsafat teoritika.
Posisi
filsafat ilmu dalam pembagian bidang obyekkajian filsafat itu, kiranya
memperlihatkan kalau filsafat ilmu itu merupakan salah satu bagian kecil saja
dari begitu banyaknya obyek-obyek yang harus dikaji ilmu filsafat dalam
upayanya menemukan kebenaran obyeknya. Dari sini, jelas pula bahwa dalam
berupaya membangun kuantitas dan kualitas literatur filsafat ilmu pengetahuan,
termasuk filsafat cabang-cabang ilmu pengetahuan, baik ilmu sosial dan ilmui
alam, sebenarnya itu sudah menjadi tugas akademisi ilmu filsafat untuk
mewujudkannya. Bukan dari kalangan ilmuwan khusus, seperti sosiolog,
komunikolog, psikolog, dan lain-lain.
Gambaran
ideal itu seiring dengan apa yang dikatakan Poedjawijatna (1983 : 68), “......
kami tidak mau menyatakan bahwa ahli ilmu tidak boleh berfilsafat, melainkan
hendaklah ilmu sadar, bahwa ia sudah ke luar dari hidangnya sendiri. Begitu
pula janganlah filsafat turun ke bidang
pengalaman sehingga terjadi seperti dalam jaman lampau. Ada pendapat filsafat
bahwa bintang itu harus terdiri dari bahan lain dari bahan di dunia pengamatan
ini....”
Fenomena
yang muncul terkait dengan literatur, mengindikasikan adanya kekurangsesuaian
dengan gambaran ideal Poedjawijatna itu. Cukup banyak literatur filsafat ilmu
dan terutama filsafat ilmu khusus (misal ilmu komunikasi , dll), bukan ditulis
oleh para sarjana filsafat melainkan ditulis oleh para ilmuwan khusus. Untuk
sekedar contoh, maka tersebutlah antara lain Jujun Suparjan Suriasumantri
dengan filsafat ilmu Sebuah Pengantar Populer-nya. Onong Uchjana Effendi dengan
Ilmu, Teori dan Filsafat Komujikasi-nya.
Apa
yang dikatakan para ilmuwan khusus itu, meski kurang ideal, namun dalam
realitanya mereka sukar dipermasalahkan. Dapat dikatakan bahwa para ilmuwan itu
sebenarnya berperilaku dalam konteks tanggung jawab moral akademis mereka saja
dalam upayanya mengisi keminimalan literatur filsafat ilmu-ilmu khusus yang
seyogyanya diisi oleh para ilmuwan filsafat. Jadi, dengan demikian upaya yang
dilakukan para ilmuwan khusus dalam mengisi kekurangan literatur tentang
filsafat ilmu-ilmu khusus itu, karena begitu pentingnya ilmu pengetahuan
diketahui secara fikosofis oleh para akademisinya, maka upaya tadi seyogyanya hendaknya
dipandang sebagai partisipasi positip kalangan ilmuwan khusus saja dalam ranah
filsafat dan bukan sebagai upaya campur tangan ilmuwan khusus terhadap bidang
kajian ilmu filsafat.
Soal-Soal
Latihan :
1) Apa yang menjadi pembeda hakiki antara anima
intelektualita dengan
anima
sensitiva dan anima vegetatif itu ?
2)
Jelaskan, apa yang dimaksud dengan proses trias dinamika itu ?
3)
Apa yang memungkinkan manusia itu bisa melakukan proses trias
dinamika itu ?
4)
Coba sebutkan ada berapa jenis pengetahuan manusia itu ?
5).Ragam
cara berkonsekuensi dengan ragam jenis pengetahuan, coba
jelaskan maksudnya !
6)
Apakah perbedaan philosophus dan sophist itu ?
7)
Mana yang paling berperan dalam melahirkan ‘ilmu pengetahuan’ , via
antiqua atau via moderna ?
Referensi
Bertens, K., 2001, Ringkasan Sejarah
Filsafat, Yogyakarta, Kanisius.
Chalmers,A.F.,
1983, Apa itu yang dinamakan Ilmu ? terjemahan Redaksi Hasta Mitra, Jakarta,
Hasta Mitra.
Effendi,
Onong Uchyana, 1993, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung, Citra Aditya
Bakti.
Peursen,
C.A., Van, 1985, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu,
terjemahan J. Drost, Jakarta , Gramedia, P.T.
Poedjawijatna
, I.R. 1983, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar Ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta,
Bina Aksara.
Salam,
Burhanuddin, 1995, Pengantar Filsafat, Jakarta, Bumi Aksara.
Suriasumantri,
Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar
Harapan.