Selasa, 04 Februari 2014

FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN



A.  Kodrat Manusia Pencipta Pengetahuan
                   Manusia adalah salah satu wujud dari tiga makhluk hidup yang disebut sebagai anima intelektualita yang cirinya sangat berbeda dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya, yaitu anima sensitiva dan anima vegetatif.
Perbedaan khas itu ditandai oleh manusia yang memiliki kodrat selain mempunyai seperangkat peralatan jasmaniah seperti panca indera dan anggota tubuh, juga dilengkapi oleh Tuhan dengan seperangkat peralatan rokhaniah, di mana selain memiliki naluri yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan binatang, juga memiliki peralatan rokhaniah yang tidak dimiliki oleh binatang atau tumbuhan, yakni apa yang disebut dengan akal dan budi.
Akal dan budi ini berfungsi sebagai alat bagi manusia untuk dapat melakukan proses trias dinamika dalam dunia kecilnya (micro cosmos) atas segala in put yang dihasilkan oleh hasil kerja peralatan jasmaniah berupa sentuhan dengan dunia luar atau macro kosmos. Karenanya, maka dengan akal manusia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang , dan dengan budi manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk terhadap obyek (macro cosmos).
Dengan kodrat di atas, manusia dalam hidupnya senantiasa diiringi  dengan motif-motif, Salah satu motif itu yakni motivasi untuk selalu ingin tahu tentang obyek, atau untuk mengerti tentang obyek, yang dikatakan Aristoteles sebagai sesuatu yang sudah menjadi kodrat manusia. Dari sini, maka lahirlah berbagai pengetahuan manusia. Pengetahuan tersebut terdiri dari pengetahuan biasa (common sense); pengetahuan ilmu (science); pengetahuan filsafat; dan pengetahuan religi.
Dengan ragam jenis pengetahuan manusia di atas kiranya memperlihatkan bahwa keragaman jenis pengetahuan itu timbul karena dalam memperolehnya manusia bisa melakukannya dengan lebih dari satu cara. Cara yang dilakukan melalui pendekatan biasa-biasa saja terhadap sesuatu obyek, misalnya berdasarkan kebiasaan sehari-hari, maka manuia akan memperoleh pengetahuan berupa pengetahuan biasa mengenai obyek tadi. Cara yang dilakukan melalui pendekatan keagamaan mengenai sersuatu obyek, maka manusia akan memperoleh pengetahuan berupa pengetahuan keagamaan mengenai obyek yang dipelajarinya.
Begitu pula pada pengetahuan filsafat dan pengetahuan ilmu (ilmu pengetahuan), keduanya menjadi jenis pengetahuan karena manusia yang mempelajari sesuatu obyek melakukannya dengan menggunakan pendekatan filsafat dan pendekatan ilmu.
Khusus terkait dengan dua jenis pengetahuan yang disebutkan terakhir tadi, berdasarkan sejarahnya diketahui bahwa dua jenis pengetahuan itu pada mulanya, sesungguhnya merupakan satu pengetahuan yang disebut dengan filsafat. Namun, seiring dengan proses berfikir kritis manusia itu terus tumbuh dan berkembang dalam menyikapi segala yang ada dan yang mungkin ada, maka menyebabkannya menjadi berseberangan (kontradiktif) dengan kebenaran-kebenaran dalam filsafat sebagai satu-satunya ilmu. Perseberangan mana, sebagaimana diketahui, itu akhirnya berujung pada lahirnya ilmu dari ilmu, lahirnya ilmu baru yang bernama ilmu pengetahuan (science) dari ilmu induk (materscientiarum) yang bernama filsafat.
  B. Filsafat dan Pengetahuan Filsafat
Kata filsafat adalah kata jadian yang berasal dari gabungan dua kata  dalam bahasa   Yunani. Dua kata itu terdiri dari philein (cinta) dan sophia (kebijaksanaan), gabungan mana kemudian diartikan sebagai cinta kebijaksanaan.
Penggunaan kata filsafat yang berarti cinta akan kebijaksanaan itu sendiri, menurut sejarahnya digunakan pertama kali oleh Socrates dan Pythagoras, hal mana ditandai oleh pernyataan keduanya tentang diri mereka yang philosophus, yakni orang yang mencintai kebijaksanaan. Bukan orang yang bijaksana, sebagaimana diakui oleh kaum sophist atau kalanagan terpelajar saat itu. Jadi, pemunculan konsep filsafat oleh Socrates dan Pythagoras itu, kiranya merupakan sikap protes keduanya terhadap kaum sophist.
Sekarang, apakah sasaran yang dikejar dengan mencintai kebijaksanaan sebagaimana dimaksudkan Socrates dan Pythagoras  itu ? Sasaran yang dikejar dengan cara mencintai  kebijaksanaan itu tak lain adalah know (tahu/mengerti) dan knowledge (pengetahuan). Pengetahuan yang mana, yakni suatu pengetahuan yang proses perolehannya dilatarbelakangi oleh keingintahuan atau keinginan untuk mengerti dominan. Keinginan yang demikian, sebagaimana dikemukakan sebelumnya oleh Socrates disebutkan sudah menjadi kodrat manusia.
Sebagai kodrat, dengan diawali suatu kebenaran maka keinginan untuk mengerti dominan tadi sejak masa kanap-kanak sudah tampak. Sang anak manusia melihat, mendengar, meraba-raba dan dengan akalnya ia mengerjakan fakta-fakta, menggolong-golongkan, menghubung-hubungkan dan menarik kesimpulan. Namun ia tidak puas dengan hanya menetapkan fakta itu. Karenanya fikirannya menyusun, mengatur, menghubung-hubungkan, mempersatukan bermacam-macam pengalaman dan menciba mencari keterangannya. Dengan kata lain manusia tidak hanya mengerti bahwa “ini adalah demikian”, tetapi ia juga ingin mengerti “mengapa ini memang demikian adanya”.
Lantas bagaimanakah caranya agar manusia dalam rangka mengejar pengetahuan itu tadi , yakni pengetahuan yang anatar lain berupa “mengapa ini memang demikian adanya ?”, bisa dilakukannya dengan cara mencintai kebijaksanaan ? Caranya, yaitu dengan menggunakan ciri-ciri berfikir filsafat demi tercapainya kebijaksanaan saat berfikir tentang obyek. Ciri-ciri itu terdiri dari : radikal; sistematis; dan universal (Salam, 1995). Suriasumantri (1984: 20-21) menyebut ciri-ciri ini dengan istilah menyeluruh; mendasar dan spekulatif.
Berfikir radikal berarti berfikir sampai  ke akar-akar, tidak tanggung-tanggung sampai kepada konsekuensinya yang terakhir. Berfikir yaitu berfikir logis yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran dengan urutan yang bertanggung jawab dan saling hubungan yang teratur. Sementara berfikir universal yaitu berfikir secara non fragmentaris, tidak berfikir khusus, tidak terbatas pada bagian-bagian tertentu dari ada umum namun mencakup secara keseluruhan atas sesuatu obyek yang ditelaah. Dengan berfikir universal ini manusia diharapkan bisa menyerap secara keseluruhan apa yang ada pada alam semesta ini.
Kini dengan bertolak dari pengertian filsafat di atas untuk sementara dapatlah diambil pengertian tentang apa itu pengetahuan filsafat sebagai sebagai salah satu dari beberapa jenis pengetahuan yang ada, yakni suatu wujud pengetahuan yang proses pemerolehannya dilakukan dengan cara berfikir radikal, sistematik dan universal.
Apakah yang dijadikan obyek dalam upaya menemukan pengetahuan filsafat itu ? Yang dijadikan obyeknya yaitu tentang ada. Segala yang ada dan yang mungkin ada (Poedjawijatna, 1983). Dengan pengertian  mengenai obyek filsafat tersebut, kini dapatlah disusun kembali tentang apa itu pengetahuan filsafat. Pengetahuan filsafat adalah pengetahuan tentang keterangan mendalam dari segala yang ada dan yang mungkin ada dengan mana proses pemerolehannya dilakukan dengan cara berfikir radikal, sistematik dan universal.
Pada mulanya wujud ada yang hendak dijadikan pengetahuan filsafat itu yakni saat di mana pengetahuan yang disebut ilmu masih berada dalam kandungan ibunya yang bernama filsafat (mater scientiarum), yaitu berupa segala yang ada dalam hidup dan kehidupan manusia. Ragam rupa dari segala yang ada itu, diidentifikasi antara lain menyangkut masalah yang terdiri dari : individu (manusia pribadi) l sosial (manusia dengan sesama); budaya; teknik; ekonomi; kedokteran; hukum; dunia dan juga Tuhan (Salam’ 1995 : 136).
Guna memudahkan filsafat dalam upaya menemukan pengetahuannya mengenai ragam rupa dari segala yang ada itu tadi, maka dilakukanlah spesifikasi kajian dengancara membuat cabang-cabang kajian filsafat. Plato membedakan filsafat terdiri dari tiga bagian, yakni !) Dialektika (tentang idea-idea atau pengertian-pengertian 2) Fisika (tentang dunia materiil dan 3) Etika (tentang kebaikan). Sementara Aristoteles yang juga murid Plato, kemudian membaginya lebih rinci lagi menjadi :
(1) Logika (tentang bentuk susunan fikiran);
(2) Filosopia Teoritika : a. Fisika (tentang dunia materiil-seperti ilmu alam   
                                           dan sebagainya);
                                                          b. Matematika (tentang barang mernurut
                                                              kuantitasnya);
                                                          c. Metafisika (tentang “ada”);
                  ( 3) Filosofia Praktika (tentang hidup kesusilaan-berbuat) :
                                       a. Etika (tentang kesusilaan dalam hidup perorangan);
                                       b. Ekonomia (tentang kesusilaan dalam hidup kekeluargaan);
                                       c.Politika (tentang kesusilaan dalam hidup kenegaraan);
                  (4) Filosofia Poetika/aktiva pencipta (filsafat tentang kesenia) (Salam ,1995).

C. Pengetahuan Filsafat Versus Pengetahuan Ilmu
Terkait khusus dengan obyek kajian filsafat Aristoteles tadi, maka untuk kasus Eropa , secara terbatas kajian itu (Logika) masuk ke daratan Eropa melalui terjemahan Boethius (524-489 BC). Boethius berjasa besar dengan menerjemahkan beberapa karya Aristoteles tentang Logika ke dalam bahasa Latin (Bertens, 2001 : 25).
Pengetahuan terbatas mengenai obyek kajian filsafat Aristoteles itu berlangsung hingga kira-kira pertengahan abad ke 12. Lalu, sekitar pertengahan abad ini pula situasi mulai berubah. Ajaran-ajaran Aristoteles yang sesungguhnya, mulai masuk ke dunia Barat. Prosesnya melalui dua cara, dengan jalan tak langsung dan dengan jalan langsung (Bertens, 2001:30).
Secara tidak langsung dimaksudkan, bahwa ajaranAristoteles itu diterjemahkan pada sekitar abad ke-12 dari bahasa Arab ke bahasa Latin. Penerjemahan inisendiri dilakukan karena bangsa Arab telash lebih dahulu melakukan penerjemahannya pada abad ke-8 dan ke-9 dari bahasa Siria ke bahasa Arab (Bartens, 2001 : 22). Sementara dengan cara langsung dimaksudkan, bahwa karya karya Aristoteles itu secara langsung diterjemahkan dari bahasa Yunani ke bahasa Latin yang terjadi sepenjang abad abad ke -13. Hal mana dimungkinkan karena karya-karya Aristoteles itu ada yang masuk Eropa melalui Sisilia (lihat, Berten, 2001 :32).
Perubahan yang terjai setelah masuknya ajaran Aristoterles secara langsung ditandai oleh mulai terjadinya perubahan dalam paradigma berfilsafat di Eropa. Dari paradigma yang semula bertumpu pada pandangan dunia kristiani, menjadi diwarnai oleh pandangan baru yang bersumber dari Aristoteles yang nota bene bukan berasal dari lingkungan kristen. Diantara pemikir yang menggunakan paradigma baru waktu itu, yakni dalam abad -13 adalah Siger dari Brahant (1240-1281), Aqlbertus Agung (1205-1280) dan Thomas Aquinas (1225-1274).
Dengan perubahan paradigma tadi, di satu sisi memperlihatkan fenomena yang kurang mendapat dukungan dari lingkungan agamawan. Namun di sisi lain, perubahan paradigma itu (baca : paradigma Aristoteles) justru  semakin mendapat banyak dukungan dari kalangan pemikir yang kala itu disebut sebagai kalangan Aristotelian.
Beberapa bukti yang memperlihatkan fenomena tidak mendukung kehadiran paradigma filsafat  Aristoteles, tersebutlah antara lain adanya pelarangan beberapa kali dari pihak gereja untuk membahas karya-karya filsafat Aristoteles dalam  perkuliahan sastra  di Universitas Paris. Menurut Bartens (2001 : 34) pelarangan ini bertolak dari adanya  dua pendapat utama  dalam ajaran Aristoteles itu yang  tidak bisa dicocokkan dengan ajaran Gereja  yang resmi, yakni pendapat yang menyatakan bahwa (1) dunia berada dari kekal dan (2) hanya ada satu jiwa bagi seluruh bangsa manusia.
Bentuk resistensi lainnya dari pihak Gereja adalah berupa penghukuman sejumlah pendapat yang dianut oleh fakultas sastra di Universitas Paris (terutama Sigers dari Brabant) oleh uskup Paris Etienne Tempier pada tahun 1277. Dalam waktu serupa juga terjadi di Inggris, uskup dari Canterbury Robertus Kilwardhy menghukum beberapa pendapat Thomas Aquinas yang Aristotelian.
Sementara itu, bukti-bukti yang mendukung tentang kehadiran paradigma baru waktu itu, diantaranya adalah bahwa pelarangan pihak Gereja yang justru semakin memicu perkembangan pengaruh ajaran Aristoteles dari waktu ke waktu. Namun dalam perkembangan tersebut, secara substantif tampak mengarah pada upaya bagaimana memperdamaikan alam fikiran filsafat Aristoteles, terutama menyangkut dua hal yang menjadi dasar [elarangan Gereja tadi, dengan alam fikiran ajaran kristiani.
Dalam perkembangan sebagaimana dimaksud di atas, tercatatlah diantaranya seperti yang dilakukan oleh Thomas Aquinas, filsuf yang banyak diikuti para pemikir kristiani yang kemudian disebut  mazhab Thomistis, yakni melalui pengakuannya  tentang jiwa yang sesudah kematian hidup terus sebagai bentuk , tetap terarah kepada badan itu, sebagai relevan dengan ajaran kristiani mengenai kebangkitan badan. Namun sintesa (tesa) Thomas Aquinas tentang mansuia ini kemudian dilawan dengan antitesa yang dimunculkan Johannes Duns Scotis (1266-1308) yang Bonaventura oriented, filsuf mana kemudian memunculkan mazhab Scotistis.
Meskipun kedua filsuf di atas melahirkan dua sintesa berbeda tentang hakikat manusia, namun diantara keduanya dipersamakan oleh adanya pengakuan tentang kemampuan rasio insani dalam membuktikan adanya Tuhan. Karenanya, melalui sintesa kedua filsuf dikmaksud, maka pendapat utama dalam ajaran Aristoteles berupa  dunia berada dari kekal dan hanya ada satu jiwa bagi seluruh bangsa manusia, yang sebelumnya tidak bisa dicocokkan dengan ajaran Gereja yang resmi itu, menjadi bisa dicocokkan oleh para teolog kristiani.
Dalam abad 14 kecenderungan akan sintesa tidak diteruskan, sebaliknya yang terjadi adalah suatu kecenderungan akan perselisihan dan perpecahan. Dalam abad ini terdapat banyak diskusi antara mazhab-mazhab yang mengikuti ajaran salah seorang “magister” dari abad 13. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa jaman ini memperlihatkan suatu sikap kritis yang lebih besar.
Sikap kritis itu menampakkan diri terlebih dengan penyimpangan yang semakin jelas dari  pendapat-pendapat  Aristoteles dalam bidang ilmu pengetahuan alam. Inilah suatu petanda yang menunjukkan bahwa abad 14 menuju ke jaman modern (Bartens, 2001 : 40), yakni jaman yang kelak mengakui eksistensi ilmu pengetahuan sebagai suatu pengetahuan yang berbeda dengan pengetahuan filsafat.
Pertanda sebagaimana dimaksud itu, pada tahap awal paling tidak dapat disimbolkan  melalui kemunculan sliran nominalisme-nya Gulielmus dari Ockam (1285-1349) yang kemudian dicap sebagai “via moderna” yang menentang “via antiqua” yang diidentikkan dengan pemikir Skolastik umumnya. Perbedaan psinsipil diantara kedua via tersebut terutama menyangkut teologi, soal hubungan manusia dengan keberadaan Tuhan.
Menurut Gulielmus, rasio manusia saja tidak mampu untuk membuktikan adanya Tuhan dan siapa Tuhan itu, melainkan perlu adanya iman. Itu tentu berbeda dengan pemahaman Skolastik, seperti terungkap dari pendapat aliran Thomistik dan Scotis sebelumnya, bahwa rasio manusia itu mampu adanya.
Satu hak penting dari kehadiran nominalisme (berasal dari kata dasar nomen = nama-tanda- simbol) bagi apa yang kelak disebut sebagai ilmu penghetahuan, yakni upayanya yang tegas saat itu untuk membedakan pengetahuan tentang ada umum (Soal Tuhan  sebagai sebab yang tidak disebabkan) dari pengetahuan tentang ada khusus (soal ragawi atau empiris) (Lihat, Poedjawijatna, 1983).
Pengetahuan tentang ada khusus itu dapat diperoleh melalui pengenalan inderawi terhadap obyek empiris dengan dibantu sebelumnya oleh proses pengenalan intelektual abstrak yang memiliki konsep-konsep. Konsep tersebut berupa tanda atau simbol-simbol atas suatu obyek fisik. Dengan demikian nominalisme mengarahkan kepada studi-studi empirisme yang nota bene kelak berujuing pada keluarnya studi tersebut dari obyek kajian filafat.
Kehadiran nominalisme banyak mendapat sambutan positip dari kalangan pemikir di seluruh Eropa  saat itu. Sukses nominalisme yang “via moderna” tersebut  menurut dugaan Bertens karena pada saat itu banyak orang yang sudah merasa jenuh dengan perselisihan-perselisihan yang tidak berguna dalam kalngan Skolastik yang perdebatannya berputar-putas  sekitar universale.
Sambutan positip itu tadi tampil dalam bentuk-bentuk pencarian pengetahuan bersumber dari alam  yang bersifat jasmaniah. Pencarian tersebut dilakukan melalui pendekatan-pendekatan eksperimen. Jadi, sudah selangkah ;ebih maju dibanding masa sebelumnya, yakni pada tingkat deskriptif dengan cara menggolong-golongkan obyek melalui observasi.
Beberapa perintis yang memb uka jalan baru bagi perkembangan pengetahuan modern dengan pendekatan eksperimen yang kemudian disebut dengan pendekatan ilmiah  diantaranya adalah Nicolaus Copernicus (1473-1543) melalui heliosentrisnya yang berlawanan dengan geosentris yang umumnya telah diterima dengan baik di Eropa selama abad pertengahan.
Galileo Galilei (1564-16430 melalui teleskop buatannya pada 1609, banyak menemukan fakta yang mendukung pandangan heliosentrisnya Nicolas Copernicus yang sebelumnya banyak ditentang karena belum memuaskan kaum Aristotelian. Diantara fakta itu misalnya soal temuan mengenai permukaan bulan yang ternyata sana dengan permukaan bumi, temuan mana menurut Aristotelian sebelumnya dikatakan berbeda, di m,ana benda-benda angkasa dianggap sempurna dan langgeng dan bumi beserta tanda-tandanya  selalu berubah dan bisa rusak.
Fakta lain yang ditemukan Galileo Galilei yang mendukung hipotesa-hipotesa Nicolas Copernicus adalah mengenai besarnya Mars dan Venus yang berubah-ubah dalam cara yang pernah diramalkan Copernicus; ditemukannya bulan lain selain bulan bumi, yakni bulan-bulan planet Jupiter. Namun, sejauh Galilei dengan keberhasilannya itu, ia tetap tidak mampu menjawab pertanyaan yang juga tak mampu dijawab Copernicus sebelumnya, yakni mengenai pertanyaan tentang benda-benda lepas di permukaan bumi yang tidak terlempar ke luar dari bumi yang berputar ini.
Rekan sejaman Galileo, Johannes Kepler (1571-1630) dengan penemuannya tentang masing-masing planet ternyata memiliki orbit ellips yang berpusat pada matahari, bukan berbentuk lingkaran yang berpusat oada bumi pada bumi sebagaimana dipahami sebelumnya, kiranya menjadi jalan bagi terjawabnya pertanyaan pertanyaan tadi dikemudian hari.
Adalah Isaac Newton (1642-1727( yang antara lain belajar dari kelemahan karya Galileodan Kepler, melalui Principal yang dipublikasikan pada 1687 mampu menjawab pertanyaan tadi itu dengan hukum kelambanan lurus dan gravitasinya (Chalmers, 1983 :78).
Temuan-temuan yang diperoleh melalui serangkaian eksperimen tadi, pada zamannya dianggap spektakuler dan ini menyebabkan lahirnya pandangan baru waktu itu , bahwa pengalaman adalah sebagai sumber pengetahuan. Filsuf Francis Bacon (1561-1623) dan banyak rekan-rekan sejamannya, karenanya mengikhtiarkan sikap ilmiah dan mengemukakan ketika itu, bahwa apabila kita hendak memahami alam sehatrusnya kita berkonsultasi dengan alam dan bukan dengan tulisan-tulisan Aristoteles (Chalmers, 1983 : 1).
Filsuf Francis Bacon, bangsawan Inggris yang  dinilai sebagai peletak dasar filosofis bagi perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan (Bartens, 2001 “44) dan sebagai kekuatan progresif abad ke-17, akhirnya  telah menyadarkan para filsuf alam  di zaman pertengahan yang berpegangan pada karya-karya kuno terutama Aristoteles dan Kitab Injil sebagai sumber-sumber pengetahuan yang salah (Chalmers, 1983 : 1). Dengan kesadaran itu pula, pandangan dunia Aristotelian yang menguasai seluruh abad pertengahan, akhirnya ditinggalkan secara definitif. (Bartens, 2002 : 44).
Sejak saat itu maka yang terjadi adalah perkembangan demi perkembangan bagi kemjuan  ilmu pengetahuan dan mengalami perkembangan pesatnya dalam abad ke-18, abad yang disebut sebagai masa Aufklarung (pencerahan)/. Namun, di antara masa-masa tersebut, kiranya ada sejumlah nama filsuf yang sulit untuk tidak dikemukakan di sini dalam hubungannya dengan pembahasan ilmu pengetahuan yang secara normatif  cirinya belum terbantahkan dan masih diterapkan ilmuwan hingga kini. Ciri ilmu dimaksud yaitu salah satu dari beberapa ciri proses berfikir ilmiah, yakni proses berfikir deduktif dan induktif.
Kembali ke soal filsuf tadi, maka tersebutlah Rene Descartes (1596-1659)’ John Locke (1632-1704) dan Immanuel Kant (1724-1904). Rerne Descartes dengan rasionalismenya mementingkan unsur-unsur apriori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman. Sementara John Locke dengan empirismenya lebih menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman. Menurut Kant baik rasionalisme maupun empirisme, dua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan paduan atau sintesa unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori (Bartens, 2001 : 60).
Kritik Kant di atas kiranya merupakan upaya bagaimana mempertemukan dua kutub pemikiran yang kontradiktif tentang bagaimana seharusnya manusia dalam proses pengenalan. Dengan pendapat Kant yang menyebutkan bahwa proses pengenalan manusia itu sebagai suatu sintesa, maka teranglah bagi kita kini, bahwa prose berfikir deduktif dan induktif yang hingga kini tetap masih menjadi salah satu ciri pokok dalam proses berfikir ilmiah dalam menemukan pengetahuan ilmu, terutama dalam pendekatan ilmu menurut positivistik, asalnya bersumber dari jasa Kant.
Dalam kaitan pendapat Kant tadi, maka dalam pendekatan positivistik sintesa itu berupa pertemuan antara data empirik-induktif (aposteriori-nya empirisme) yang terkumpul berdasarkan instrument yang dikembangkan dari definisi operasional variabel dalam hipotesis dengan hipotesis itu sendiri yang dirumuskan secara deduktif melalui prinsif kebenaran koherensif (apriori-nya rasionalisme).
Bentuk pertemuan yang disebut paduan atau sintesa itu sendiri bergantung pada bagaimana kualitas korespondensi data empirik dengan hipotesis. Jika data empirik berkorespondensi positip dengan hipotesis, maka berarti hipotesis dapat diterima dan karenanya terbentuklah sintesa berupa generalisasi empirik yang mendukung teori-teori yang diacu dalam proses deduktif. Sebaliknya, jika data empirik berkorespondensi negatif dengan hipotesis, maka berarti hipotesis ditolak dan karenaya terbentuklah sintesa berupa generalisasi empirik  yang menolak teori-teori yang diacu dalam proses deduktif.

D. Reorientasi Kajian Ilmu Filsafat
Uraian sebelumnya menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan yang kita kenal sekarang ini, sebelumnya tampak begitu bersusah payah untuk bisa berhasil ke luar dari kooptasi dominasi induknya  yang bernama filsafat itu guna menjadi ilmu pengetahuan khusus. Terhadap keberhasilan ini, lantas bagaimanakah  filsafat menyikapi dirinya sebagai materscientiarum pasca anaknya yang bernama ilmu itu berhasil meninggalkan dirinya ?
Berdasarkan indikasinya, secara umum tampak ada dua sikap ilmu filsafat dalam merespon perubahan penting tadi, Pertama menyangkut eksistensi sifat obyek material ikmu filsafatm yakni tetap konsisten pada prinsip non fragmentaris. Dalam sikapnya yang demikian, ilmu filsafat tetap bekerja pada misinya semula, yakni mengusahakan pemecahan segala masalah yang tidak dapaty dipecahkan  oleh ilmu-ilmu pengetahuan khusus. (lihat, Salam 1995 : 137). Kedua, para filsuf mencoba melakukan reorientasi terhadap obyek-obyek kajiannya guna tetap relevan dengan situasi perubahan yang terjadi, yaitu ke luarnya ilmu pengetahuan sebagai ilmu pengetahuan khusus dari ilmu filsafat.
Dalam konteks kedua, beberapa filsuf ternama yang mencoba mengemukakan reorientasinya tadi, antara lain adalah Alcuinus, Langevelt, Castell dan De Vos.(Salam. 1995 :130) yang mengacu pada pendapat-pendapat filsuf ternama barusan, mengemukakan pendapatnya tentang bagaimana obyek kajian ilmu filsafat pasaca ditinggalkan ilmu-ilmu khuisus tadi. Pembagian obyek itu, sbb.:
A.  Filsafat Teorits : Filsafat Real
1. Metafisika
a.          Metafisika fundamental : Kritika
b.          Metafisika sistematis : Ontologi Theodycea
            2. Filsafat tentang
a.          Alam : Kosmologia
b.          Manusia : Anthropologia
B.   Filsafat Rasional = Logika
           1.Logika Umum/formal : Logika
           2. LogikaKhusus/material : Filsafat tentang ilmu-ilmu pengetahuan
                   C. Filsafat Praktis (Filsafat tentang kebudayaan)
                        1. Filsafat praktis (tentang keseluruhan kegiatan manusia) :
                            a. Filsafat Etika :
                                1. etika umum (dengan filsafat hukum) : Etika
                                2. etika khusus : etika individual – etika sosial
                            b. Filsafat tentang Agama
                        2. Filsafat Kebudayaan (tentang perbuatan-perbuatan lahiriah manusia) :
                            a. Bagian Umum : Filsafat Kebudayaan
                            b. Bagian Khusus: Filsafat tentang : bahasa; kesenian; ekonomi; sejarah;  
                                                          hukum; alam; pendidikan; manusia.
Pembagian di atas memperlihatkan tiga bagian besar obyek kajian filsafat pasca terpisahnya ilmu pengetahuan dari filsafat. Khusus terkait dengan eksistensi ilmu pengetahuan, terlihat bahwa keberadaannya menjadi begitu berbeda jika dibandingkan dengan obyek filsafat sebagaimana  dibagi oleh Aristoteles sebelumnya.
Dalam pembagian Aristoteles, filsafat ilmu penget5ahuan itu menjadi salah satu bagian dari bidang filsafat teoritika. Sementara pada pasca ke luarnya ilmu pengetahuan dari filsafat, maka filsafat ilmu pengetahuan (logika khusus/material) merupakan salah satu sub dari dua sub bagian yang ada dalam salah satu dari tiga bagian obyek kajian filsafat yang disebut dengan Filsafat Rasional/logika. Jadi, sudah terpisah dari filsafat teoritika.
Posisi filsafat ilmu dalam pembagian bidang obyekkajian filsafat itu, kiranya memperlihatkan kalau filsafat ilmu itu merupakan salah satu bagian kecil saja dari begitu banyaknya obyek-obyek yang harus dikaji ilmu filsafat dalam upayanya menemukan kebenaran obyeknya. Dari sini, jelas pula bahwa dalam berupaya membangun kuantitas dan kualitas literatur filsafat ilmu pengetahuan, termasuk filsafat cabang-cabang ilmu pengetahuan, baik ilmu sosial dan ilmui alam, sebenarnya itu sudah menjadi tugas akademisi ilmu filsafat untuk mewujudkannya. Bukan dari kalangan ilmuwan khusus, seperti sosiolog, komunikolog, psikolog, dan lain-lain.
Gambaran ideal itu seiring dengan apa yang dikatakan Poedjawijatna (1983 : 68), “...... kami tidak mau menyatakan bahwa ahli ilmu tidak boleh berfilsafat, melainkan hendaklah ilmu sadar, bahwa ia sudah ke luar dari hidangnya sendiri. Begitu pula janganlah filsafat turun  ke bidang pengalaman sehingga terjadi seperti dalam jaman lampau. Ada pendapat filsafat bahwa bintang itu harus terdiri dari bahan lain dari bahan di dunia pengamatan ini....”
Fenomena yang muncul terkait dengan literatur, mengindikasikan adanya kekurangsesuaian dengan gambaran ideal Poedjawijatna itu. Cukup banyak literatur filsafat ilmu dan terutama filsafat ilmu khusus (misal ilmu komunikasi , dll), bukan ditulis oleh para sarjana filsafat melainkan ditulis oleh para ilmuwan khusus. Untuk sekedar contoh, maka tersebutlah antara lain Jujun Suparjan Suriasumantri dengan filsafat ilmu Sebuah Pengantar Populer-nya. Onong Uchjana Effendi dengan Ilmu, Teori dan Filsafat Komujikasi-nya.  
Apa yang dikatakan para ilmuwan khusus itu, meski kurang ideal, namun dalam realitanya mereka sukar dipermasalahkan. Dapat dikatakan bahwa para ilmuwan itu sebenarnya berperilaku dalam konteks tanggung jawab moral akademis mereka saja dalam upayanya mengisi keminimalan literatur filsafat ilmu-ilmu khusus yang seyogyanya diisi oleh para ilmuwan filsafat. Jadi, dengan demikian upaya yang dilakukan para ilmuwan khusus dalam mengisi kekurangan literatur tentang filsafat ilmu-ilmu khusus itu, karena begitu pentingnya ilmu pengetahuan diketahui secara fikosofis oleh para akademisinya, maka upaya tadi seyogyanya hendaknya dipandang sebagai partisipasi positip kalangan ilmuwan khusus saja dalam ranah filsafat dan bukan sebagai upaya campur tangan ilmuwan khusus terhadap bidang kajian ilmu filsafat.

Soal-Soal Latihan :
1) Apa yang menjadi pembeda hakiki antara anima intelektualita dengan
    anima sensitiva dan anima vegetatif itu ?
2) Jelaskan, apa yang dimaksud dengan proses trias dinamika itu ?
3) Apa yang memungkinkan manusia itu bisa melakukan proses trias
    dinamika itu ?
4) Coba sebutkan ada berapa jenis pengetahuan manusia itu ?
5).Ragam cara berkonsekuensi dengan ragam jenis pengetahuan, coba
     jelaskan maksudnya !
6) Apakah perbedaan philosophus dan sophist  itu ?
7) Mana yang paling berperan dalam melahirkan ‘ilmu pengetahuan’ , via
    antiqua atau via moderna ?

Referensi
Bertens, K., 2001, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta, Kanisius.
Chalmers,A.F., 1983, Apa itu yang dinamakan Ilmu ? terjemahan Redaksi Hasta Mitra, Jakarta, Hasta Mitra.
Effendi, Onong Uchyana, 1993, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Peursen, C.A., Van, 1985, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, terjemahan J. Drost, Jakarta , Gramedia, P.T.
Poedjawijatna , I.R. 1983, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar Ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta, Bina Aksara.
Salam, Burhanuddin, 1995, Pengantar Filsafat, Jakarta, Bumi Aksara.
Suriasumantri, Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar Harapan.

                                                                                

GENDERLECT STYLES DAN FENOMENA KOMUNIKASI


Hasyim Ali Imran
(Peneliti bidang studi komunikasi dan media di BPPKI Jakarta Balitbang SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika)

Abstrak
Berlatarbelakangkan fenomena masih dijumpainya kesulitan mahasiswa dalam memahami hakikat suatu teori, tulisan ini bermaksud untuk  menjelaskan secara sederhana mengenai pemanfaatan teori. Untuk maksud tersebut, dalam penjelasannya tulisan ini berangkat dari penggunaan konsep-konsep teoritik dalam teori Genderlect Styles dari Deborah Tannen. Konsep-konsep dimaksud yaitu :  1) percakapan publik versus percakapan pribadi; 2) menyampaikan cerita; 3) mendengarkan; 4) mengajukan pertanyaan; dan 5) konflik. Dari hasil pembahasan diketahui bahwa konsep-konsep teoritik dari Tannen itu memang bekerja dalam realitas kehidupan sehari-hari.
Kata-kata kunci : Genderlect Styles ; fenomena komunikasi.

Abstract
Based on phenomenon of student’s difficulty in understanding the essence of a theory, this article will explain simply about theory using. Accordingly, in the elaboration, this article dealts with the use of theoretical concepts in Genderlect Styles theory introduced by Deborah Tannen. Those concepts are :  1) public dialogue versus individual dialogue; 2) Telling story; 3) hearing; 4) raising question; and 5) conflict. This article elaboration shows that Tannen’s theoretical concepts function in real life.

Key words : Genderlect Styles; Communication phenomenon.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dalam tradisi ilmiah, teori menempati posisi sangat penting dalam upaya akademisi menemukan kebenaran ilmiah. Dalam posisinya, ia berfungsi sebagai petunjuk bagi para akademisi dalam ”menerangi” diri dari kegelapan mengenai sesuatu fenomena yang secara ontologis memang menjadi bagian dari obyek forma ilmunya.
Teori sendiri, dalam ilmu sosial dintaranya didefinisikan sebagai “as a system of interconnected abstractions or ideas that condenses and organizes knowledge about the social world.”[1]. Sedang James Anderson, sebagaimana dikutip Littlejohn, teori yaitu sebuah rangkaian mengenai petunjuk-petunjuk dalam mengetahui dunia dan bertindak sesuai dengan petunjuk-petunjuk dimaksud. Relatif mirip dengan yang barusan, Stanley Deetz[2] mengatakan, a theory is a way of seeing and thinking about the world. Sementara Littlejohn sendiri mendefinisikannya lebih sempurna, yakni : any organized set of concepts, explanations, and principles of some aspect of human experience[3]. 
Dengan definisi Littlejohn, itu dapat diartikan bahwa dalam kapasitasnya sebagai petunjuk, maka di antara sesama teori ternyata berindikasi tidak memiliki kadar kekuatan petunjuk yang sama. Karena dalam kenyataannya, kriteria kekuatan petunjuk sebagaimana  dikatakan Liilejohn tadi, tidak semua teori mampu memenuhinya. Suatu keterpenuhan yang kemudian dijadikan Littlejohn sebagai kriteria dalam menilai baik buruknya sebuah teori. Teori yang baik sendiri, menurutnya harus dapat memenuhi empat komponen, yakni asumsi filosofis, konsep, eksplanasi dan prinsip atau panduan untuk bertindak.
Permasalahan dan Tujuan
Dalam literatur komunikasi, dari jumlahnya yang beratusan, masih banyak dijumpai teori-teori  yang belum memenuhi keempat komponen tadi. Bahkan, diantaranya terdapat teori yang baru hanya memenuhi satu komponen, yakni komponen konsep. Konsep yaitu generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama[4]. Teori yang hanya memiliki sebatas konsep, dikenal juga dengan istilah taxonomy. Dengan kata lain, taxonomy yaitu teori yang baru memiliki komponen konsep saja, salah satu elemen dasar dari teori. Belum ada unsur explanations tentang bagaimana konsep-konsep yang dikandungnya itu saling berhubungan. Apalagi menyangkut elemen-elemen lainnya, seperti elemen asumsi filosofis dan prinsip atau panduan untuk bertindak[5]. Beberapa teori yang tergolong pada kategori taxonomi ini, diantaranya adalah Interpersonal Deception Theory by David Buller & Judee Burgon; Queer Theory by Judith Butler; Relational Dialectic by Leslie Baxter dan Barbara Montgomery; dan Genderlect Styles dari Deborah Tannen[6].
Meskipun suatu teori yang tergolong taxonomy belum dapat diharapkan peran maksimalnya dalam menjelaskan suatu fenomena keilmuan, misalnya seperti fenomena komunikasi, namun dengan konsep yang diajukannya, ia tetap saja dapat memainkan peran yang berarti bagi para akademisi yang hendak memahami sebuah fenomena. Ini karena, sesuai dengan peran konsep teoritik dalam proses penemuan kebenaran ilmiah, konsep-konsep dalam taxonomi tadi sangat membantu peneliti ketika dia berupaya mengkonseptualisir suatu fenomena komunikasi. Sebagai contoh, fenomena itu misalnya terkait dengan gaya bicara antara yang diperankan perempuan dan gaya yang diperankan oleh pria.
Dalam banyak kasus, dapat dijumpai kalau gaya yang diperankan oleh pria cenderung berbeda dengan gaya yang diperankan oleh perempuan. Perempuan misalnya, tampak cenderung lebih suka membicarakan hal-hal spesifik, misalnya seperti soal pacar atau suaminya. Karenanya, kita menjadi tak perlu heran kalau di suatu tempat umum, kita menemukan kaum perempuan asyik-asyik membicarakan suami mereka. ”Wah, gue liat, suami, lho, makin keren aja, ya, Wi..!”. Beda dengan kaum pria, maka dalam hampir setiap event, topik-topik umum yang bersifat publik, sudah tidak asing dalam pengalaman kita. ”Bagaimana semalam, Liverpool menang atau kalah, Jack ?”; ”Eh.., udah diumumkan belum, tuh, reshuffle kabinet ? Koq, nggak jadi-jadi, sih ?” Kalimat-kalimat bermuatan publik yang demikian tentu tidak asing kita jumpai dalam lingkungan kita, di kantor, ataupun di lingkungan RT.
Fenomena mengenai gaya bicara sebagai mana dipaparkan sebelumnya, bagi kalangan awam, bisa jadi itu hanya dianggap hal biasa. Namun, dari segi ilmiah, itu sebenarnya telah lama menjadi fokus perhatian Tannen. Fenomena itu kemudian ia teliti dan akhirnya melahirkan sejumlah konsep teoritik yang terkandung dalam sebuah teori yang ia namakan Genderlect Styles, sebagai mana telah disebut sebelumnya.
Tulisan ini sendiri, dimaksudkan untuk membahas teori yang diajukan oleh Tannen tadi. Tujuannya yaitu untuk memaparkan konsep-konsep yang diangkat Tannen dalam teorinya. Di samping itu, juga dimaksudkan untuk menunjukkan beberapa contoh tentang bagaimana konsep-konsep teoritik Tannen itu bekerja dalam realitas kemasyarakatan. Dengan upaya ini dimaksudkan, agar para akademisi pemula, terutama para mahasiswa, dapat terbantu dalam upayanya mencerna makna sebuah teori.

PEMBAHASAN
Teori dari Deborah Tannen mencoba menjelaskan fenomena komunikasi antar sesama manusia  dari segi konteks budaya dalam arti menurut variabel jenis kelamin, yaitu antara laki-laki dan perempuan. Disebutkan, bahwa budaya perempuan tidak sama dengan budaya laki-laki. Perbedaan budaya ini menyebabkan cara berbicara (dialek) perempuan menjadi tidak sama dengan cara berbicara laki-laki. Akan tetapi, dalam teorinya Deborah Tannen tidak memberikan penjelasannya tentang bagaimana perbedaan budaya itu menyebabkan munculnya perbedaan dalam hal dialek antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, teori ini dapat dikatakan masih berupa teori yang berada dalam taraf taxonomi.
Deborah Tannen mencoba melihat perbedaan dialek antara laki-laki dan perempuan saat berkomunikasi itu, berdasarkan lima kelompok.gambaran situasi proses komunikasi, yang dikonseptualisirnya menjadi : 1) percakapan publik versus peprcakapan pribadi; 2) menyampaikan cerita; 3) mendengarkan; 4) mengajukan pertanyaan; dan 5) konflik.

1.  Percakapan Publik versus Percakapan Pribadi
Dalam berkomunikasi, laki-laki memanfaatkan kemampuannya dalam berbicara itu sebagai senjata yang digunakannya untuk menunjukkan siapa dirinya (status). Hal yang demikian dilakukan agar harga dirinya di mata orang lain tetap terjaga. Untuk keperluaan ini maka dalam berbicara pria cenderung menekankan gaya informative dalam format reportase yang berkaitan dengan topik-topik umum.
Berdasarkan pengamatan, asumsi Tannen mengenai cara bicara pria ini kerap terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, misalnya antara saya dengan Edwin, teman seangkatan di PPS UPDM (B). Ketika suatu saat saya melihat-lihat buku di ruang baca kampus, Edwin yang baru datang dan mengambil posisi untuk menggunakan computer berkata kepada saya, “Wah, Pak, Yogya kena Tsunami, tuh …”. “Ah, masak, sih, Win, kapan !?” Saya berkata dengan nada meragukan. “Benar, Pak, tadi padi saya dengar berita, kakak saya juga ada yang nelepon …”, jawab Edwin. “Gempanya memang berapa skala richter, Win ?  Tsunaminya belum pasti, kan ?” Tanya saya pada Edwin. “ Iya, sih, belum pasti ……, mudah-mudahan aja nggak …” jawab Edwin.
Begitulah kalau pria berbicara, biasanya topik itu bersifat umum menyangkut di luar dirinya. Namun berbeda dengan perempuan, topik yang dibicarakan biasanya bersifat pribadi dan cenderung digunakan dalam rangka membangun hubungan dengan lawan bicaranya. Sebagai contoh, misalnya percakapan yang pernah saya dengar antara Tika dengan Oca di suatu saat. “Eh, Tika…., tumben, kog, masih di sini (kampus), nunggu dijemput, ya ? Sapa Oca pada Tika sambil duduk di samping Tika. “ Iya, nih, barusan nelepon katanya (suami) udah di Sudirman…” jawab Tika datar. “Cakep banget, lu, Tik, emang mau ke mana, sih ? Tanya Oca sambil terus memandangi wajah Tika. “ Rencananya, sih, mau ke Puncak ………“ jawab Tika sambil bertanya kenapa Oca juga masih di kampus.

2. Menyampaikan Cerita
Bagi kalangan laki-laki, guyonan dianggap sebagai cara yang maskulin dalam menunjukkan status mereka. Karena itulah menurut Tannen kaum pria ini lebih banyak bercerita dengan menggunakan lelucon dibanding dengan kaum perempuan. Suatu saat di ruang kantor kepala sebuah institusi (sebutlah kantor X), saya terlibat dalam sebuah pembicaraan dengan Pak Kepala kantor.
Ketika itu, saat selesai menandatangani tanda terima honor, Pak Kepala kantor yang memperhatikan saya dengan serius melihat namanya yang diurutan pertama dengan jumlah rupiah yang jauh berbeda, segera menarik tanda terima itu dari tangan saya dengan sopan sembari berkata, “ Beda, donggggg ……, saya, kan, kepala …… “ ucapnya dengan nada guyon. Perkataan Pak Kepala kantor ini memang disampaikan dengan nada bercanda, namun di balik itu tetap tersirat bahwa Pak Kepala kantor mau menunjukkan statusnya bahwa dirinya lebih tinggi dari pada diri saya di kantor itu.
Kalau pria dalam bercerita cenderung berusaha menonjolkan siapa dirinya, maka berbeda halnya dengan wanita yang dalam bercerita cenderung akan menceritakan orang lain. Suatu saat tanpa kehadiran Oca saya mendengar obrolan di antara sesama cewek di kelas PPS Semester I Angkatan VIII. “Eh, Dit .., Oca sekarang feminis, ya, !!? kata Nisa pada Dita. Asti yang mendengar percakapan itu ikut nimbrung, “Iya, ya, kayaknya ….” Dita yang memotong pembicaraan Asti berkata, “Iya, sejak ditegur Bu Wati Minggu lalu …:”.

3. Mendengarkan
Dalam mendengarkan suatu cerita, wanita lebih cenderung melakukannya dengan bertatapan, menganggukkan kepala dan bereaksi seperti : hmmmmm …..; ooo ….; atau respon yang menyatakan bahwa “ …. saya mendengarkan.” Atau “saya bersamamu..”. Contoh : Ketika teman kuliah saya yang bernama Tika bertanya kepada saya tentang apa manfaat mempelajari ilmu komunikasi di tingkat S2, saya menjawabnya dengan penjelasan berdasarkan kepentingan akademis dan kepentingan praktis. Dalam mendengarkan penjelasan saya, sembari terus menatap saya, Tika lebih dari sekali berkata, “ Ooo, gitu, Pak, ya ……. “. Contoh lain, beberapa hari lalu teman sekantor bernama Mawar (bukan nama sebenarnya) dirampok di depan kantor. Setibanya di kantor Mawar bercerita sambil menangis tentang peristiwa yang baru dialaminya kepada teman sekantor lainnya bernama Rara (nama samaran). Rara yang mendengar cerita dari Mawar dengan ekspresi sedih campur kecewa itu, segera memeluk Mawar seraya berkata, “Ya, sudahlah, Mbak, sabar aja, itu cobaan ……,” ucap Rara dengan nada pelan sembari menuntun Mawar untuk duduk. Pelukan yang dilakukan Rara merupakan respon darinya sebagai cermin bahwa iapun ikut merasakan apa yang baru saja dialami oleh Mawar.
Kalau pada kaum pria, ketika mendengar ia menghindarkan sikap yang tunduk atau sikap yang merendahkan dirinya sendiri. Gaya yang berterus terang dari seseorang yang mendengarkan adalah “saya sependapat denganmu”. Kalau di kalangan wanita menyela pembicaraan adalah biasa karena dimaksudkan sebagai bentuk dukungan, namun di kalangan pria ini merupakan suatu pantangan yang dianggap merendahkan dirinya. Kejadian ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, atau termasuk dalam acara talk show di media tv. Sebagai contoh, misalnya Yusril Iza Mahendra yang kesal  ketika pembicaraannya tiba-tiba dipotong pembawa acara dalam suatu acara talk show di suatu stasiun tv. “Tunggu dulu, dong, bagaimana saya bisa menjelaskan dengan baik kalau pembicaraan saya dipotong-potong terus ..!” kata Yusril dengan nada kesal menolak interupsi pembawa acara.

4. Mengajukan pertanyaan
Wanita mengajukan pertanyaan guna terjalinnya hubungan dengan orang lain. Wanita sering mengajukan pertanyaan di akhir kalimat pendapatnya. Seperti, “Tadi itu adalah film yang bagus, menurutmu gimana ?” Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk membuka percakapan dengan cara mengajak orang lain untuk berpartisipasi. Kalangan pria melihat ini sebagai bentuk pernyataan yang tidak konsisten dari kalangan wanita. Pria tidak akan mengajukan pertanyaan yang bisa merendahkan dirinya sendiri. Bagi pria pendapat umum penting baginya dan karenanya pria tidak mau kelihatan rendah di mata orang lain dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bodoh. Sebagai contoh, kepala kantor saya pernah bertanya kepada saya tentang bagaimana menyikapi staf saya bernama Dodo (bukan nama sebenarnya) yang sering absen. Pertanyaannya tegas dan tidak plin-plan, sbb. “Mengenai Si Dodo, menurutmu bagaimana, Mas Par, kita pertahankan di kantor ini atau kita kembalikan ke biro kepegawaian ?” Sementara kalau wanita bertanya, “Pacar Edwin cakep,ya, Pak ?” kata salah seorang mahasiswi kepada saya ketika melihat Edwin berjalan dengan pacarnya menuju halaman kampus.

5.Konflik
Bagi pria hidup adalah ibarat sebuah kontes dan karenanya pria merasa lebih nyaman dengan konflik. Sebaliknya dengan wanita, kaum wanita ini cenderung menghindari konflik. Contoh : Dalam suatu diskusi kaum pria cenderung mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada pemunculan perdebatan. Hal yang demikian kerap terlihat, misalnya ketika rapat orang tua murid dengan pihak sekolah dan Komite Sekolah dalam rangka menetapkan jumlah uang pembangunan siswa yang baru masuk. Antara bapak siswa yang satu dengan yang lainnya cenderung saling menonjolkan dirinya ketika diberi kesempatan untuk berbicara di depan oleh panitia.
Di antara bapak siswa itu ada yang berkata, misalnya Pak Badu, “Menurut saya, sebelum panitia menentukan jumlah uang sumbangan, semestinya orang tua murid sudah diberikan tentang program pembangunan kelas-kelas yang akan dibangun dalam tahun ajaran ini. Dengan demikian, rationya akan dapat diketahui dengan pasti. Bukan seperti sekarang ini, jumlah sumbangan yang akan kami bayar malah jauh lebih banyak dari pada tahun lalu. Padahal, logikanya, kan, semakin ke sini semakin murah karena semakin sedikit jumlah kelas yang mau dibangun !!”
Kalau pria lebih menyukai konflik maka prempuan cenderung menghindarinya. Berdasarkan pengalaman saya mengikuti rapat tersebut, para ibu umumnya lebih memilih berdiam diri, sebagai bentuk lain untuk menghindari konflik dalam rapat. Sementara ibu lain yang berani tampil ke depan pertanyaannya cenderung menutup bagi munculnya konflik dalam rapat itu. Komentar ini antara lain dikemukakan Ibu Kiki, “ … Yah, kami memang maklum kalau pendidikan itu memang perlu dana. Tapi, kami juga mohon pengertian dari Bapak-bapak, bahwa kami ini kemampuannya tidak sama, jadi tolonglah difikirkan, Pak. Itu saja … sekian dan terima kasih.”.

PENUTUP
Seperti telah disebutkan sebelumnya pada bagian awal tulisan, bahwa berdasarkan kategori menurut kelengkapan komponen yang dikandungnya, suatu teori ada yang disebut dengan taxonomi, yaitu teori yang hanya memenuhi satu komponen saja, yakni komponen konsep. Teori yang demikian, meski tidak dapat memainkan peran maksimal dalam proses penemuan kebenaran ilmiah, namun dengan konsep yang dimilikinya, ia masih dapat memainkan peran pada tahap-tahap awal proses penemuan kebenaran ilmiah. Tahapan awal dimaksud yaitu konseptualisasi fenomena. Dalam kaitannya dengan Teori taxonomi Deborah Tannen, maka dengan mengacu pada uraian sebelumnya pada bagian pembahasan, itu membuktikan bahwa fenomena menyangkut gaya bicara antara wanita dan pria, semuanya itu sebenarnya telah dikonseptualisasikan oleh Tannen.ke dalam teori yang ia sebut Genderlect Styles Theory. Dengan demikian, kalangan akademis, terutama para mahasiswa, sebenarnya telah dibantu oleh Tannen dalam mencoba mengkonseptualisir fenomena pembicaraan yang dilakukan oleh pria dan wanita.
Dengan konsep-konsep teoritiknya tadi, kita, baik dari kaum pria maupun wanita, jadi terbantu untuk bisa bersikap bijak ketika kita terjebak dalam suatu iklim komunikasi yang pesertanya berbaur antara peserta komunikasi yang berasal dari kaum wanita maupun pria. Kaum pria pun hendaknya menjadi maklum, dan tidak perlu marah, ketika sedang serius-serius berbicara topik politik, tiba-tiba kaum wanita yang berada di sekitar melakukan peluk cium sembari mengeluarkan percakapan spesifik bernada rada tinggi. “Aduhhh…. , apa khabarrrr…….., kapan dateng.., eh, mana si kecil, Nok ? Idiih, makin cakep aja, deh …! Yuk, yuk , mari gue kenalin, ama, pacar gue !!!”
Bagi para mahasiswa, konsep-konsep teoritik Tannen tadi tentu bermanfaat bagi upaya awalnya dalam memahami fenomena komunikasi yang dilakukan pria dan wanita. Namun, kelemahan teori Tannen yang masih bersifat Taxonomi itu, tentu dapat menjadi pancingan untuk menutupi kekurangannya. Dalam kaitan ini, maka upaya yang kiranya perlu dilakukan pada tahapan awal pengembangan, yakni dengan cara berupaya menemukan penjelasan-penjelasan (eksplanasi) atas konsep-konsep teoritik yang telah diajukan Tannen dalam teorinya. Dalam teori Tannen, kita tidak menemukan jawaban tentang mengapa pria dan wanita memiliki gaya atau dialek bicara yang seperti itu, misalnya, pembicaraan pria cenderung open to conflict dan wanita cenderung close to conflict.

DAFTAR PUSTAKA
Deetz, Stanley, dalam, Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.
Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York,
Mc Graw Hill.
Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition,
Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.
Neuman, W. Lawrence, 2000, “The Ethics And Politic of Social Research”, in chapter 5
on Social Research Methods-Qualitative and Quantitative Approaches, Allyn
and Bacon, Boston, USA.
Tannen, Deborah, “Genderlect Styles”, 2003, dalam, A First Look at Communication
Theory, Fifth Edition, by EM Griffin, In Chapter 33, p. 463-473, New York, McGraw Hill, 2003.



[1] Neuman, W. Lawrence, 2000, “The Ethics And Politic of Social Research”, in chapter 5 on Social Research Methods-Qualitative
and Quantitative Approaches, Allyn and Bacon, Boston, USA.
[2]  Deetz, Stanley, dalam, Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson
Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA
[3] Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont,
USA.
[4] Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, 1984, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES.
[5] Imran, Hasyim Ali, “Beberapa Aspek Penting Dalam Hubungan Antara Teori dan Metode Riset Komunikasi”, dalam Jurnal Studi Komunikasi dan Media, Vol. 10(1), Jakarta, Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi Wilayah II Jakarta.
[6] Lihat, Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill.