Jumat, 14 Mei 2010

TEORI KOMUNIKASI DAN ASUMSI FILOSOFIS
(Tinjauan Aspek Epistemologi)

Hasyim Ali Imran

Abstract
Existence carelessness of the perspective in connection with the uses of the theory for the interests of the research, still often was encountered in the circle of the academic of the beginner's communication. In connection with this, this paper tried to discuss the existence of the theory of communication according to the assumption filofis with the focus to the epistemology component.Results of discussions according to the History of Epistemology showed that the scientist's circle did not have the method that was same towards him found the truth to the object of knowledge.Because of that was influential towards the process of the production of the theory of communication. From results of discussions according to the Reflection of epistemology in forma penteorisasian the phenomenon of communication, was known that like that the difficulty in understanding the existence of a theory of communication well.But the level of this complexity could be in part reduced by means of grouping theories of available communication according to each available genre.
(Pengabaian eksistensi perspektif dalam kaitannya dengan penggunaan teori untuk kepentingan penelitian, masih sering dijumpai di kalangan akademisi komunikasi pemula. Dalam hubungan ini, makalah ini mencoba membahas eksistensi teori komunikasi menurut asumsi filofis dengan fokus pada komponen epistemologi. Hasil pembahasan menurut Sejarah Epistemologi menunjukkan bahwa kalangan ilmuwan tidak memiliki cara yang sama dalam upayanya menemukan kebenaran pada obyek ilmu dan karena itu berkonsekuensi pada proses pembuatan teori komunikasi. Dari hasil pembahasan menurut Refleksi epistemologi dalam forma penteorisasian fenomena komunikasi, diketahui bahwa begitu rumitnya dalam memahami eksistensi suatu teori komunikasi dengan baik. Akan tetapi tingkat kerumitan ini antara lain bisa dikurangi dengan cara mengelompokkan teori-teori komunikasi yang ada menurut setiap genre yang ada).

Kata-kata kunci : Teori Komunikasi; Asumsi Filosofis dan Epistemologi.

Latar Belakang dan Permasalahan
Sebagai salah satu sisi dalam kehidupan manusia, aktifitas komunikasi itu dikatakan akademisi komunikasi sebagai aktifitas vital dalam kehidupannya. Communication is so deeply rooted in human behaviors and the structures of society that it is difficult to think of social or behavioral events that are absent communication . Soesanto mensinyalirnya sebagai aktifitas yang dilakukan manusia sebanyak 90 % dalam kehidupannya sehari-hari. Cangara yang mengklaim sebagai penilaian dari banyak pakar, mengatakan bahwa komunikasi adalah sebagai suatu kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat. Menurut Schram komunikasi dan masyarakat merupakan dua kata kembar yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Tanpa komunikasi tidak mungkin masyarakat terbentuk, sebaliknya tanpa masyarakat maka manusia tidak mungkin dapat mengembangkan komunikasi .

Melihat dua pendapat tadi kiranya menyiratkan kalau komunikasi itu sebagai aktifitas penting bagi setiap orang dalam kehidupannya dengan sesama dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, komunikasi itu antara lain dapatlah diartikan sebagai suatu aktifitas yang terjadi di antara sesama manusia yang berfungsi sebagai penghubung di antara mereka dengan cara melakukan penyampaian pesan berupa lambang verbal dan non verbal yang artinya diusahakan dapat dimaknai secara bersama.Sebagai sebuah fenomena kemanusiaan, maka komunikasi antar manusia yang disebut Littlejohn dengan human communication itu, proses keterjadiannya muncul pada beberapa bentuk atau tingkatan. Bentuk atau tingkatan yang sebelumnya diistilahkan Littlejohn dengan setting/konteks komunikasi yang terdiri dari konteks interpersonal, group, organization dan mass , itu kemudian diubahnya menjadi lima tingkatan (level), yakni meliputi : 1-interpersonal, 2-group, 3-public or rhetoric, 4-organizational dan 5- mass.

Fenomena komunikasi di antara sesama umat manusia yang terjadi dalam lima level itu, masing-masing memiliki problemanya sendiri yang begitu kompleks. Guna memahaminya, diperlukan pemikiran yang relatif serius. Terkait dengan kekompleksitasan itu, karenanya banyak akademisi dari lintas disiplin ilmu yang tertarik dan menuangkan keseriusannya terhadap fenomena human communication. Sebuah fenomena yang belakangan dikenal menjadi obyek forma dari suatu ranting ilmu sosial yang disebut dengan ilmu komunikasi.

Bagi ilmu komunikasi sendiri, latar belakang yang bersifat multi disipliner tadi, mengandung banyak konsekuensi. Konsekuensinya antara lain berupa munculnya beragam teori yang dirumuskan menurut beragam perspektif. Karenanya, konsekuensi ragam perspektif ini menjadi perlu mendapat perhatian dalam kaitan pemanfaatan suatu teori komunikasi untuk menjadikannya sebagai kompas dalam menelaah suatu fenomena komunikasi pada setiap level keterjadiannya.

Berdasarkan pengamatan, eksistensi perspektif itu masih relatif sering dijumpai pengabaiannya oleh kalangan akademisi. Bentuk pengabaian itu, entah karena disadari atau tidak, antara lain berupa pengacuan teori yang tidak relevan dengan paradigma penelitian yang diterapkan dalam suatu penelitian. Wujud lainnya, dan ini mungkin yang paling kerap terlihat di kalangan akademisi, yakni saling mempertentangkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Padahal, seyogyanya ini merupakan hal yang kurang perlu, sehubungan eksistensi keduanya masing-masing telah diakui di kalangan akademisi.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengarahkan pada keunggulan teori pada suatu perspektif tertentu. Namun, dengan mengacu pada percikan fenomena aplikasi teori yang relatif keliru dalam kepentingan akademik tadi, tulisan ini bermaksud hanya terbatas pada upaya menelaah eksistensi teori komunikasi menurut asumsi filofisnya saja, dan difokuskan pada komponen epistemologis. Dengan telaah dimaksud, diharapkan dapat terwujud kesepahaman dalam memaknai teori, terutama dalam kaitannya dengan kepentingan pelaksanaan penelitian. Dalam kaitan upaya dimaksud, maka tulisan ini akan memulainya dari risalah teori komunikasi dalam kaitan kepentingan pemahaman fenomena komunikasi yang kompleks yang dikonseptualisir ke dalam teori komunikasi. Setelah itu dilakukan peninjauan terhadap upaya teorisasi fenomena menurut komponen epistemologis sebagai salah satu dari tiga bagian dalam elemen asumsi filosofis sebagai salah satu dari empat komponen dasar dalam suatu teori komunikasi.

A. Fenomena komunikasi dan upaya teorisasinya
Dilihat dari sejarah filsafat, perhatian terhadap fenomena komunikasi sebagai upaya dalam menjadikannya sebagai bagian dari obyek forma ilmu, diketahui bahwa itu dimulai oleh Aristotle ketika ia mempelajari tentang seni atau cara-cara berbicara di depan umum. Hasil telaah yang kemudian digolongkan sebagai teori praktika ini, lalu dikenal luas dengan konsep retorika . Telaah komunikasi kemudian mulai ditingkatkan pada upaya pencapaian yang lebih sistematis. Untuk itu, berdasarkan ketertarikan terhadap fenomena kemasyarakatan dalam kaitan penerbitan pers di Jerman, maka Max Weber secara akademik meresmikannya menjadi bagian dari obyek studi sosiologi, yakni sosiologi pers. Namun, upaya Weber ini dinilai menemui kegagalan, karena dalam perjalanannya, sosiologi ternyata terjebak pada habitat aslinya, yakni lebih fokus pada masyarakatnya ketimbang pers itu sendiri. Jadi, ini berlawanan dengan latar belakang lahirnya konsentrasi studi tadi, yang notabene karena fenomena “pers terhadap masyarakat”, bukan karena “masyarakat terhadap pers’ .
Untuk kepentingan serupa, perhatian terhadap komunikasipun semakin melebar. Ini terutama dalam kaitannya untuk mengetahui kesuksesan propaganda politik melalui media massa pada saat pecahnya perang dunia. Dalam kaitan ini, akademisi yang pertama kali mencoba memahaminya adalah ilmuwan politik Lasswell pada 1948 . Komentarnya yang dikenal luas terhadap fenomena komunikasi yaitu, : Siapa, mengatakan apa, dengan saluran yang mana, kepada siapa dan dengan pengaruh apa ? Formula ini memang relatif memadai, namun akademisi lain tidak puas dan mencoba meningkatkannya ke dalam bentuk yang lebih baik, yakni dalam wujud model komunikasi .
Model berarti gambaran yang sistematis dan abstrak. Komplitnya, yakni seperti sebagaimana dikatakan Karl Deutsch (1952) dalam "On Communication Models in the Social Sciences", yaitu merupakan "a structure of symbols and operating rules which is supposed to match a set of relevant points in an existing structure or process." Dengan kata lain, model merupakan a simplified representation or template of a process that can be used to help understand the nature of communication in a social setting. Fungsinya untuk menerangkan potensi-potensi tertentu yang berkaitan dengan beragam aspek dari suatu proses . Pada proses menyangkut suatu fenomena komunikasi, maka melalui sebuah model, fenomena komunikasi yang muncul dalam setiap levelnya itu, unsur-unsur yang terlibat di didalamnya dapat dilihat dengan mudah. Model komunikasi dibuat untuk membantu kita memahami komunikasi dan menspesifikasi bentuk-bentuk komunikasi dalam hubungan antarmanusia.

Sebagai ilmu sosial yang obyek formanya difokuskan pada human communication, maka dalam ilmu komunikasi diketahui terdapat banyak model-model komunikasi. Ragam model komunikasi yang ada itu, oleh Mc Quail dan Windahl digolongkan ke dalam lima kelompok model, terdiri dari : Model dasar; model pengaruh personal, penyebaran dan dampak komunikasi massa terhadap individu; model efek komunikasi massa; model khalayak dan model komunikasi tentang sistem, produksi, seleksi dan alir media massa.
Sebuah model komunikasi memang merupakan representasi simbolik dari suatu proses komunikasi. Meskipun demikian, sebuah model komunikasi tidak mengandung adanya penjelasan (explanation) mengenai hubungan kausalitas di antara komponen yang terdapat dalam model. Penjelasan mana, merupakan salah satu dari empat ciri yang harus dipenuhi oleh sebuah teori guna diperolehnya predikat sebagai teori yang baik. Jadi, seperti dikatakan Severin dan Tankard , model komunikasi itu perannya baru terbatas hanya sebagai salah satu sumber yang dapat membantu dalam proses perumusan suatu teori komunikasi, sebuah elemen ilmiah yang notabene perannya sangat signifikan dalam proses kerja ilmiah. Karena keterbatasan tersebut, dalam kaitan upaya pemahaman fenomena komunikasi, para akademisi akhirnya berupaya meningkatkan model ke tingkat yang lebih memadai secara ilmiah, dan karenanya lahirlah apa yang disebut dengan taxonomies .

Taxonomies yaitu teori yang baru memiliki komponen konsep saja, salah satu elemen dasar dari teori. Belum ada unsur explanations tentang bagaimana konsep-konsep yang dikandungnya itu saling berhubungan. Apalagi menyangkut elemen-elemen lainnya, seperti elemen asumsi filosofis dan prinsip atau panduan untuk bertindak. . Dalam ilmu komunikasi sendiri, teori yang termasuk jenis ini (taxomomie) masih banyak dijumpai, antara lain misalnya seperti teori pembentukan keputusan kelompok dari Randy Hirokawa dan Dennis Gouran; Genderlect Styles-nya Deborah Tannen, atau Teori Relational Dialectic dari Baxter dan Montgomery .

Sebagai sebuah teori, dalam kaitannya dengan upaya ilmu komunikasi untuk mengembangkan dirinya sendiri (pure science), maka teori berkadar taxonomie tadi masih belum cukup memadai dalam membantu ditemuinya pengetahuan yang seumum-umumnya mengenai fenomena human communication. Untuk keperluan tersebut diantaranya diperlukan teori yang di dalamnya terpenuhi empat komponen dasar teori, yakni meliputi komponen : asumsi filosofis, konsep, penjelasan dan prinsip atau panduan untuk bertindak .

Selain itu, diperlukan upaya pengembangan kemampuan teori sebagai petunjuk ini secara kontinyu. Berdasarkan kemampuannya dalam memerankan fungsi sebagai petunjuk dimaksud, maka teori tadi diketahui tingkatannya ada tiga. Terdiri dari : Micro level theory- Macro level tyheory – dan Meso Level Theory. Micro level theory deals with small slices of time, space, or numbers of people. Konsep-konsep yang dikandung biasanya tidak begitu abstrak. Macro level theory lebih perhatian terhadap soal “the operation of larger aggregates”,misalnya seperti lembaga-lembaga sosial, sistem budaya secara keseluruhan, dan masyarakat secara keseluruhan. Konsep-konsep yang digunakannya lebih abstrak. Meso Level theory, level ini secara relatif jarang dijumpai. Level teori tersebut mencoba menghubungkan level makro dan mikro, atau berupaya untuk mengoperasikan teori pada suatu tingkatan intermediate. Teori-teori sosial yang sering mencapai taraf meso ini adalah teori-teori mengenai organisasi, gerakan-gerakan sosial, atau mengenai komunitas-komunitas .
Semua ilmu, termasuk tentunya ilmu komunikasi yang merupakan salah satu pecahan dari ilmu sosial, juga menginginkan terwujudnya teori-teori komunikasi yang mencapai taraf meso sebagaimana banyak dicapai oleh teori-teori organisasi, gerakan sosial atau komunitas tadi. Dalam upaya ini, maka sama halnya dengan ilmuwan dalam disiplin lain, ilmuwan dalam disiplin ilmu komunikasipun berangkat dari model dasar dalam proses penyelidikan.

Sistematika proses penyelidikan itu sendiri, langkah-langkahnya terdiri dari tiga tahap. Langkah pertama yaitu mengajukan pertanyaan. Pertanyaan ini bisa berwujud dalam beragam jenis. Ada pertanyaan yang diajukan untuk menjawab batasan tentang sebuah konsep; pertanyaan menyangkut kaitan sebuah konsep dengan lainnya, hingga pertanyaan yang berkaitan dengan soal value probe aesthetic, pragmatic and ethical qualities. Misalnya, Is it beautiful ? Is it effective ? Is it good ? Langkah kedua, yaitu mengobservasi. Pada tahap ini, ilmuwan berusaha mencari jawaban dengan cara mengamati fenomena dibawah proses penyelidikan. Langkah ketiga, yaitu membangun jawaban. Pada fase ini, ilmuwan mencoba mendefinisikan, menggambarkan dan menjelaskan – membuat penilaian dan penafsiran terhadap apa yang telah diamatinya.
Kemudian, dalam upaya ilmuwan komunikasi untuk meningkatkan teorinya menjadi lebih bermutu, maka ada dua jenis teori yang memungkinkan bagi terwujudnya pencapaian upaya itu. Kedua teori dimaksud adalah nomothetic theory dan practical theory. Nomothetic theory is defined as that which seeks universal or general law. Pendekatan yang biasa dilakukan dalam ilmu alam, namun sudah banyak dijadikan model dalam penelitian ilmu sosial. Teori yang demikian bertujuan untuk menggambarkan secara akurat tentang bagaimana kehidupan sosial bekerja. Langkah-langkah yang dilakukan ilmuwan tradisional dalam aplikasi pendekatan nomothetic theory, terdiri dari : 1) mengembangkan pertanyaan; 2) membentuk hipotesis; 3) menguji hipotesis dan 4) memformulasi teori. Pendekatan yang demikian dikenal juga sebagai hypothetico – deductive method .

Dalam ilmu sosial, teori sendiri didefinisikan sebagai “as a system of interconnected abstractions or ideas that condenses and organizes knowledge about the social world. Dalam kaitan upaya Littlejohn to represent a wide range of thought – or theories about the communication process, maka Littlejohn mendefinisikan teori itu sebagai any organized set of concepts, explanations, and principles of some aspect of human experience. Mengutip pendapat James Anderson, Littlejohn mengatakan teori itu mengandung sebuah rangkaian mengenai petunjuk-petunjuk (indikator) dalam mengetahui dunia dan bertindak sesuai dengan petunjuk-petunjuk dimaksud. Dalam pengertian demikian, karenanya Stanley Deetz berpendapat, a theory is a way of seeing and thinking about the world. Ilmu komunikasi yang jelas mempunyai dunianya sendiri, yakni fenomena komunikasi antar sesama manusia, dengan demikian menjadi relatif mudah dipelajari para akademisi sehubungan dengan telah begitu banyaknya indikator dalam teori komunikasi yang tersedia, dari teori yang menjelaskan komunikasi dalam level interpersonal hingga konteks massa.

Meskipun begitu, ada kalanya suatu petunjuk justru dapat menjadi penjerumus tatkala petunjuk itu dijadikan referensi secara sembarangan, tanpa mengenal lebih dahulu eksistensi hakiki sebuah petunjuk. Dalam kehidupan akademis, malpraktek demikianpun kerap terjadi. Misalnya, terkait dengan instrument penelitian. Karena secara populer diketahui bahwa skala Likert sebagai alat yang mumpuni dalam mengukur sikap, maka alat inipun serta merta diadopsi untuk mengukur sikap responden penelitian dengan skala lima. Instrument yang dirancang di negara Barat dengan tradisi “research minded” masyarakatnya yang relatif matang inipun, akhirnya melahirkan data bias, karena masyarakat Indonesia dengan tradisi Timur-nya yang “tak enak menilai to the point “ itu, umumnya “mengambil jalan aman” dengan memilih alternatif jawaban tengah alias netral. Menjadikan teori sebagai petunjuk dalam menelaah suatu fenomena komunikasipun demikian, tidak bisa sembarangan kalau tidak mau dijerumuskannya ke dalam kekeliruan memahami masalah karena data yang bias. Untuk itu, perlu mengetahui eksistensinya terlebih dahulu agar suatu teori benar-benar terberdayakan menjadi kompas dalam menelaah fenomena komunikasi. Upaya memahami eksistensi hakiki dimaksud, dalam terminologi filsafat ilmu, itu diantaranya dapat dilakukan melalui telaah ilmu pada aspek epistemologi .

B. Sub Komponen Epistemologi Dalam Komponen Asumsi Filosofis
Memahami eksistensi teori komunikasi dalam konteks upaya pemberdayaannya sebagai kompas dalam menelaah fenomena komunikasi, maka--yang lazim dilakukan dalam dunia akademik antara lain dilakukan dengan cara mengetahui dan memahami konsep-konsep yang terkandung di dalam suatu teori komunikasi. Akan tetapi, upaya ini saja secara relatif masih belum memadai karena masih belum mampu memberikan gambaran keseluruhan tentang hakikat suatu konsep dalam sebuah teori. Terutama ini dalam kaitannya dengan “siapa pencetusnya”, yang nota bene ini akan sangat mempengaruhi warna perspektifnya dalam menteorisasi suatu fenomena. Terlebih lagi jika disadari bahwa komponen konsep itu hanya merupakan salah satu saja dari empat komponen yang ada dalam suatu teori. Komponen lainnya, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, yaitu mencakup komponen asumsi filosofis, konsep , penjelasan dan prinsip . Jadi, upaya memahami suatu teori secara utuh, tampaknya antara lain dapat dilakukan dengan baik melalui upaya pemahaman terhadap masing-masing dari keempat komponen dimaksud dalam suatu keseluruhan. Meskipun demikian, paper ini tidak bermaksud untuk meninjau semua komponen dimaksud, melainkan akan dibatasi pada komponen asumsi filosofis melalui sub komponen epistemologis . Upaya inipun akan dibatasi lagi pada topik epistemologi secara historis dan refleksi epistemologi dalam forma penteorisasian fenomena komunikasi menurut genre komunikasi. Dengan demikian diharapkan akan dapat membantu dalam mengenal “siapa pencetus” suatu teori komunikasi.

1. Sejarah Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang philosophy yang mempelajari pengetahuan. Epistemologi mencoba untuk menjawab pertanyaan mendasar : apa yang membedakan pengetahuan yang benar dari pengetahuan yang salah. Secara praktis, pertanyaan-pertanyaan ini ditranslasikan ke dalam masalah-masalah metodologi ilmu pengetahuan. Misalnya seperti : how can one develop theories or models that are better than competing theories? Relatif sejalan dengan ini, maka sebagai salah satu komponen dalam filsafat ilmu, epistemologi disebutkan difokuskan pada telaah tentang bagaimana cara ilmu pengetahuan memperoleh kebenarannya, atau bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar , atau how people know what they claim to know . Jadi, dari sini tampaknya “how” menjadi kata kunci dalam upaya menemukan “rahasia” dibalik kemunculan konsep-konsep teoritis dalam suatu teori komunikasi. Banyak cara mungkin dapat dilakukan dalam usaha menemukan esensi dari kata “how” tadi. Salah satunya yang paling utama, mungkin menurut sejarah “epistemologi” itu sendiri.

Bila ditinjau menurut sejarah epistemologi, maka terlihat adanya suatu kecenderungan yang jelas mengenai bagaimana riwayat cara-cara menemukan kebenaran (pengetahuan), kendatipun riwayat dimaksud memperlihatkan adanya kekacauan banyak perspektif yang posisinya saling bertentangan. Teori pertama pengetahuan dititikberatkan pada keabsolutannya, karakternya yang permanen . Sedangkan teori berikutnya menaruh penekanannya pada kerelativitasan atau situation (keadaan)–dependence (ketergantungan), kerelativitasan pengetahuan tersebut berkembang secara terus-menerus atau berevolusi, dan pengetahuan secara aktif campur tangan terhadap the world dan subyek maupun obyeknya. Secara keseluruhan cenderung bergerak dari suatu ke-statis-an, pandangan pasif pengetahuan bergerak secara aktif ke arah penyesuaian demi penyesuaian.

Mari kita mulai dari filsuf Yunani. Dalam pandangan Plato, pengetahuan adalah hanya sebuah kesadaran mutlak, universal Ideas or Forms., keberadaan bebas suatu subyek yang perlu dipahami . Pemikiran Aristotle lebih menaruh penekanan pada metode logika dan empirik bagi upaya penghimpunan pengetahuan, dia masih menyetujui pandangan bahwa pengetahuan seperti itu merupakan sebuah apprehension of necessary and universal principles. Mengikuti masa-masa Renaisans, terdapat dua epistemological utama yang posisinya mendominasi filsafat, yaitu empiricism dan rationalism. Empiricism (empirisme) yaitu suatu epistemologi yang memahami bahwa pengetahuan itu sebagai produk persepsi indrawi. Sementara rationalism (rasionalisme) melihat pengetahuan itu sebagai sebuah produk refleksi rasional.

Pengembangan terbaru yang dilakukan empirisme melalui eksperimen ilmu pengetahuan telah berimplikasi pada berkembangnya pandangan ilmu pengetahuan yang secara eksplisit dan implicit hingga sekarang masih dipedomani oleh banyak ilmuwan. Pedoman dimaksud yaitu reflection-correspondence theory. Menurut pandangan ini pengetahuan dihasilkan dari sejenis pemetaan atau refleksi obyek eksternal melalui organ indrawi kita, yang dimungkinkan terbantu melalui alat-alat pengamatan berbeda, menuju ke otak atau pikiran kita. Meskipun pengetahuan tidak mempunyai keberadaan a priori, seperti dalam konsepsi Plato, tetapi mesti dibangun dengan pengamatan, hal yang demikian karenanya masih absolute sifatnya, in the sense that any piece of proposed knowledge is supposed to either truly correspond to a part of external reality, or not. In that view, we may in practice never reach complete or absolute knowledge, but such knowledge is somehow conceivable as a limit of ever more precise reflections of reality.

Ada teori penting yang diperkembangkan pada periode itu yang layak untuk diikuti, yaitu menyangkut sintesa rasionalisme dan empirisme-nya para pengikut Kant. Menurut Kant , pengetahuan itu dihasilkan dari the organization of perceptual data on the basis of inborn cognitive structures, which he calls "categories". Kategori mencakup ruang, waktu, obyek dan kausalitas. Epistemologi tersebut menerima ke-subyektifitas-an konsep-konsep dasar, seperti ruang dan waktu, dan ketidakmungkinan untuk menjangkau kemurnian representasi objektiv dari sesuatu dalam dirinya. Jadi kategori a priori masih tetap bersifat statis atau given.

Tahap berikutnya dari perkembangan epistemologi mungkin disebut pragmatis (pragmatic) . Bagian-bagian dari perkembangan dimaksud dapat dijumpai pada masa-masa mendekati awal abad dua puluh, misalnya seperti logika positivisme, konvensionalisme, dan mekanika kuantum menurut "Copenhagen interpretation” . Filsafat ini masih mendominasi kebanyakan cara kerja ilmiah dalam cognitive science dan artificial intelligence.

Menurut epistemologi pragmatis, pengetahuan terdiri dari model-model yang mencoba merepresentasikan lingkungan sedemikian rupa guna penyederhanaan secara maksimal pemecahan masalah, to maximally simplify problem-solving. Pemahaman demikian karena diasumsikan bahwa tidak ada model yang pernah bisa diharapkan untuk mampu menangkap semua informasi yang relevan, dan sekalipun model yang lengkap seperti itu ada, model tersebut mungkin akan sangat rumit untuk digunakan dalam cara praktis apapun. Karena itu kita harus menerima keberadaan kesejajaran model-model yang berbeda, sekalipun model-model dimaksud mungkin terlihat saling bertentangan. Model yang akan dipilih tergantung pada masalah yang akan dipecahkan. Ketentuan dasarnya adalah bahwa model yang digunakan sebaiknya menghasilkan perkiraan (melalui pengujian) yang benar (atau approximate) atau problem-solving, dan sesederhana mungkin. Pertanyaan lebih jauh yaitu menyangkut tentang the " the Ding an Sich" or ultimate reality behind the model are meaningless.

Epistemologi pragmatis tidak memberikan jawaban jelas terhadap pertanyaan mengenai asal-usul pengetahuan atau model. Ada asumsi tersirat bahwa model dibangun dari bagian-bagian model lain dan data empiris yang perolehannya didasarkan pada prinsip coba-coba-salah (trial and error) yang dilengkapi dengan beberapa heuristics atau ilham. Pandangan yang lebih radikal ditawarkan oleh para penganut constructivism. Kalangan ini mengasumsikan bahwa semua pengetahuan dibangun dari scratch by the subject of knowledge. Tidak ada sesuatu yang 'givens', data atau fakta empiris yang obyektif, kategori-kategori bawaan sejak lahir atau struktur-struktur kognitif.Gagasan korespondensi atau refleksi realitas eksternal karenanya menjadi sesuatu hal yang ditolak. Karena kekurangan hubungan di antara model dan hal yang mereka representasikan ini, maka bahayanya bagi constructivism adalah bahwa mereka mungkin cenderung menjadi relativisme, karena dengan keyakinan mereka bahwa semua pengetahuan dibangun dari scratch by the subject of knowledge maka cara untuk membedakan pengetahuan memadai atau 'sebenarnya' dari pengetahuan yang tidak cukup atau 'palsu', menjadi tiada.

Kita bisa membedakan dua pendekatan yang mencoba menghindari 'kemutlakan relativisme'. Pendekatan yang pertama disebut konstruktivisme individual (individual constructivism) dan kedua konstruktivisme sosial (social constructivism) . Konstruktivisme individual mengasumsikan bahwa seorang individu mencoba mencapai koherensi di antara perbedaan potongan-potongan pengetahuan itu. Pembuatan atau pengkonstruksian yang tidak konsisten dengan mayoritas pengetahuan lain akan menyebabkan individu jadi cenderung untuk menolaknya. Pengkonstruksian yang berhasil dalam mengintegrasikan potongan-potongan pengetahuan yang sebelumnya tidak bertautan (incoherent)akan dipelihara.
Konstruktivisme sosial memahami mufakat antara subyek berbeda sebagai ketentuan tertinggi untuk menilai pengetahuan. 'Kebenaran' atau 'kenyataan' hanya akan diberikan terhadap pengkonstruksian yang disetujui kebanyakan orang dari suatu kelompok masyarakat. Dalam filsafat tersebut pengetahuan tampak sebagai sebuah hipotesis ‘realitas eksternal’yang sangat independent. Sebagai ilmuwan constructivists ’radikal' Maturana dan Varela berargumentasi bahwa, the nervous system of an organism cannot in any absolute way distinguish between a perception (caused by an external phenomenon) and a hallucination (a purely internal event) .Satu-satunya kriteria dasar ialah bahwa perbedaan mental entitas atau perbedaan proses kejiwaan di dalamnya atau di antara individu-individu sebaiknya menjangkau semacam keseimbangan.

Melalui pendekatan Konstruktivis tampak penekanannya lebih banyak pada soal perubahan dan sifat relatif dari pengetahuan, dan cara-cara mereka yang mengunggulkan kesepakatan sosial atau koherensi internal dalam menemukan kebenaran, ini menyebabkan mereka tetap masih memiliki ciri yang absolut. Dengan kata lain, keabsolutan ini ditandai oleh keyakinan para konstruktivist bahwa synthetic outlook is offered by different forms or evolutionary epistemology. Melalui cara ini dianggap bahwa pengetahuan itu dikonstruksikan oleh the subject or group of subjects in order to adapt to their environment in the broad sense. Pengkonstruksian itu merupakan sebuah proses yang terus berkelanjutan pada tingkatan-tingkatan yang berbeda, baik secara biologis maupun psikologis atau sosial. Pengkonstruksian terjadi melalui blind variation of existing pieces of knowledge, and the selective retention of those new combinations that somehow contribute most to the survival and reproduction of the subject(s) within their given environment. Oleh karena itu, sebagaimana dikatakan Heylighen, bahwa the 'external world' again enters the picture, although no objective reflection or correspondence is assumed, only an equilibrium between the products of internal variation and different (internal or external) selection criteria. Dalam kaitan ini, maka bentuk kemutlakan atau ke-permanen-an apapun sudah hilang dalam pendekatan ini. Namun demikian, sebagaimana dikatakan Heylighen, knowledge is basically still a passive instrument developed by organisms in order to help them in their quest for survival.
Pendekatan paling baru terkait epistemologi, dan mungkin ini pendekatan yang lebih radikal, yaitu kalangan ilmuwan yang memandang bahwa ilmuwan itu harus to make knowledge actively pursue goals of its own. Pengetahuan itu dibuat harus mampu aktif untuk mencapai cita-citanya sendiri. Pendekatan epistemologi ini disebut memetics . Memetics mencatat bahwa pengetahuan bisa ditransmisikan dari satu subyek kepada subyek lainnya, dan dengan cara demikian kehilangan ketergantungannya pada individu tunggal manapun. Sepotong pengetahuan yang bisa ditranmisikan atau ditiru dengan cara sedemikian rupa disebut 'meme' (dibaca : -meem-mim). The death of an individual carrying a certain meme now no longer implies the elimination of that piece of knowledge, as evolutionary epistemology would assume. Sepanjang meme menjalar lebih cepat sampai ke pengangkut baru, setelah itu alat pengangkutnya mati, maka meme akan tetap berkembang biak, sekalipun pengetahuan itu menyebabkan dalam diri individu pengangkut manapun, kemungkinan sama sekali tidak mampu dan juga berbahaya bagi kelangsungan hidupnya.

Dalam pandangan ini, sepotong pengetahuan mungkin succesful (in the sense that it is common or has many carriers) sekalipun mungkin prediksinya salah sama sekali, sejauh pengetahuan tersebut cukup meyakinkan bagi para individu yang berperan sebagai pengangkut baru pengetahuan. Di sini tampak gambaran di mana subyek pengetahuan pun sudah kehilangan keunggulannya sendiri, dan pengetahuan menjadi a force of its own with proper goals and ways of developing itself. Pengetahuan dalam pengertian dimaksud, dalam kenyataan dapat diilustrasikan melalui banyaknya takhyul, cerita-cerita iseng, dan kepercayaan-kepercayaan tak masuk diakal yang telah merambah ke seluruh dunia, dan terkadang dengan kecepatan yang luar biasa.

Seperti halnya social constructivism, maka memetics perhatiannya juga tertarik pada komunikasi dan proses sosial dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Namun dalam memandang pengetahuan sebagai hasil konstruksi sistem sosial, memetic lebih melihat sistem sosial itu sebagai sesuatu yang dikonstruksikan oleh proses pengetahuan. Memang, satu kelompok sosial bisa didefinisikan melalui fakta bahwa semua anggotanya membagikan meme yang sama (Heylighen, 1992). Konsep 'self' -pun ', yaitu konsep yang membedakan seseorang sebagai seorang individu (a person as an individual), bisa dipertimbangkan sebagai sebuah potongan pengetahuan, yang terkonstruksikan melalui proses sosial, dan oleh sebab itu menjadi sebuah hasil dari evolusi memetic. Dari pendekatan konstruktivis, di mana pengetahuan merupakan hasil konstruksi individu atau masyarakat, maka kita telah bergerak ke pendekatan memetic, yakni pendekatan yang melihat masyarakat dan individu sebagai dihasilkan oleh pengkonstruksian melalui sebuah proses evolusi yang terus-menerus dari fragmentasi independent pengetahuan yang berkompetisi demi dominasi.

Dari riwayat singkat tentang cara-cara menemukan kebenaran (pengetahuan) sebelumnya, kiranya memberikan gambaran bahwa melalui argumentasinya masing-masing, kalangan ilmuwan tidak memiliki cara yang sama dalam upayanya menemukan kebenaran pada obyek ilmu dan karena itu berkonsekuensi pada penteorisasian fenomena komunikasi. Jadi, memang benar apa yang dikatakan Neuman , bahwa Theories come in many shapes and sizes.
2. Refleksi epistemologi dalam forma penteorisasian fenomena komunikasi
Ilmu komunikasi, sebagai ilmu yang menurut banyak ahli sebagai ilmu yang bersifat interdisipliner, telah menimbulkan banyak pandangan ahli dalam berupaya mengkateorikan teori-teori komunikasi yang telah ada. Dalam upaya pengkategorian ini, para teoritisinya masing-masing menunjukkan penggunaan istilah yang berbeda. Istilah itu, menurut penulis ada yang pengkodefikasiannya menurut tempat berasalnya pemikiran-pemikiran teoritis, ada yang menurut “ideologi” yang mendasari lahirnya perspektif teoritis, dan ada yang berdasarkan cara bekerjanya ilmu dalam proses mencapai kebenaran ilmiahnya.

Terhadap pengkodefikasian yang dilakukan berdasarkan tempat asal lahirnya pemikiran teoritis, maka pengkodefikasiannya dikenal dengan kelompok Chicago School yang Liberal-Pluralis dan direpresentasikan sebagai perspektif teori komunikasi Barat yang nota bene positivistic/obyektif. Karenanya, penelitian dalam kubu ini diarahkan pada penggunaan unit analisis individu dengan methode survey dan instrumen-instrumen yang standar, yang dimaksudkan sebagai usaha dalam menjelaskan gejala-gejala sosial sebagaimana dalam hukum-hukum alam, yang hanya terbatas pada erklaeren berdasarkan hubungan causal. Lawannya adalah Frankfurt School-Marxis Kritikal , yang direpresentasikan sebagai pemikiran-pemikiran yang melahirkan teori-teori komunikasi Timur. Para Ilmuwan dalam kelompok ini, dengan tokoh yang antara lain terdiri dari Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse, banyak dipengaruhi oleh kritik idealisme Karl Marx. Jadi, di antara dua kubu tersebut, forma penteorisasian fenomena komunikasinya, secara epistemologis terutama terbedakan karena soal ‘value’ dalam proses bekerjanya ilmu dalam menemukan kebenaran ilmiahnya.

Kemudian, pengkodefikasian yang dilakukan menurut cara bekerjanya ilmu dalam proses mencapai kebenaran ilmiahnya, maka termasuklah di sini pengistilahan yang diberikan Mc Quail dan Griffin. Mc Quail sendiri mengkodefikasikan istilahnya itu dengan konsep model, yakni model komunikasi yang terdiri dari model Transmisi dan Ritual. Model transmisi merupakan model yang menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi dalam perspektif tradisional atau positivistic yang nota bene free value. Jadi, sama dengan proses bekerjanya ilmu dalam perspektif Teori Barat sebelumnya. Sementara model ritual, yakni model yang menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi itu dengan proses seperti yang terjadi pada perspektif interpretif (humanis) sebagaimana dikatakan Griffin seperti telah disinggung sebelumnya. Griffin sendiri, mengistilahkan transmisi sebagaimana digunakan Mc Quail tadi dengan istilah Scientific (Objektive). Dengan mana, perspektifnya relatif tidak berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Mc Quail.

Kemudian, kodefikasi yang dilakukan menurut “ideologi” sebagai landasan epistemologis yang mendasari lahirnya perspektif teoritis. Untuk yang ini, maka ada dua teoritisi yang mengemukakan gagasannya. Pertama seperti yang dikemukakan Littlejohn melalui istilah yang disebutnya dengan genre atau jenis-jenis teori komunikasi, dan kedua oleh Miller dengan istilahnya Conceptual Domains of Communication Theory.

Terkait dengan Littlejohn, maka genre teori komunikasi itu menurutnya ada lima: 1. teori struktural fungsional; 2. teori kognitif dan behavioral; 3. teori interaksional; 4. teori interpretif dan 5. teori kritis. (Littlejohn, 1994 : 13). Basis pada teori “1” adalah perspektif sosiologi struktural-fungsionalisme dari Emile Durkheim dan Talcott Parson. Perspektif ini berdasarkan pada perspektif dalam falsafah determinisme. Pada teori kedua, maka basis pemikirannya bertolak pada perspektif psikologis, yakni Stimulus (S) dan Respon (R). Manusia mendapatkan pengetahuannya dengan cara merespon rangsangan-rangsangan yang ada di alam ini. Pada genre ketiga, maka basisnya adalah bahwa kehidupan sosial dipandang sebagai sebuah proses interaksi, tokohnya antara lain Herbert Mead. Kemudian genre keempat, basisnya yaitu pada upaya menemukan makna pada teks. Dalam kelompok ini tergabung para ilmuwan yang menamakan diri dengan henneneuticists, poststructuralis, deconstructivis, phenomenologis, peneliti studi budaya, dan ada yang menyebutnya dengan ahli teori aksi sosial. Terakhir yaitu teori kritis, basis teorinya adalah kritik idealisme Karl Marx, dengan tokoh awalnya Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse.

Meskipun teori komunikasi itu terbagi menjadi lima genre, namun ini bukan berarti masing-masing genre tidak memiliki persamaan sama sekali. Persamaan yang kasat mata, paling tidak itu dimungkinkan terjadi menurut motif yang melatar belakangi para ilmuwannya dalam memunculkan salah satu sudut pandang terhadap upaya menelaah fenomena komunikasi. Persamaan dimaksud, dapat dikatakan sebagai sebuah persamaan umum yang ada pada masing-masing genre teori komunikasi, yakni upaya untuk menemukan kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang fenomena (Erscheinungen) komunikasi sebagai obyek forma dari ilmu komunikasi.

Selain persamaan umum, juga terdapat persamaan yang khas pada kelima genre itu. Persamaan dimaksud, misalnya antara genre struktural and functional theories dengan genre cognitif and behavioral theories, keduanya dipersamakan oleh landasan falsafah ilmu yang dianut, yakni determinisme – positivisme yang dipelopori A. Comte (1798-1857) . Dengan demikian, komunikasi antara lain dianggap sebagai proses yang linier, dari komunikator ke komunikan. Jadi, persis seperti apa yang dimaksudkan Mc Quail dalam model transmisinya.

Namun demikian, khusus terhadap genre pertama sebelumnya (struktural and functional), genre itu lahir dari akar pemahaman yang berbeda, di mana struktural berbasis pada pandagan sosiologi, sementara functional basisnya pada biologi, terutama terhadap konsep sistem anatomi tubuh manusianya, yang kemudian dinilai tidak berbeda halnya dengan sosial. Persamaan lainnya adalah, bahwa kedua genre teori komunikasi dimaksud, juga berada dalam posisi yang sama dalam melihat posisi value dalam ilmu, yakni sama-sama meyakini bahwa nilai tidak boleh terlibat dalam proses keilmuan demi tidak lahirnya bad science. Dengan demikian, ilmuwan dalam kelompok ini berupaya tetap menjaga jarak antara dirinya dengan obyek dalam usahanya mengkonseptualisir suatu fenomena. Karenanya, hipotesis yang dirumuskan dengan proses berfikir ilmiah deduktif, dinilai jadi sangat berperan dalam kedua genre ketika berupaya menemukan kebenarannya.

Berbeda dengan dua genre teori komunikasi sebagaimana dibahas barusan, maka pada tiga genre lainnya, yaitu interactionist symbolic theories; interpretive theories dan critical theories, masalah value dinilai syah dalam proses ilmiah. Ini berhubungan dengan pemahaman bahwa manusia itu sebagai makhluk yang memiliki kehendak bebas. Seiring dengan itu, komunikasipun dirumuskan bukan sebagai sebuah proses yang linier, melainkan sirkuler, dengan mana manusia-manusia yang terlibat di dalamnya tidak dibedakan dalam hal status seperti halnya dalam genre teori yang berperspektif positivis dengan isitilah komunikator dan komunikan. Dalam tiga genre ini, individu yang terlibat disebut dengan partisipan komunikasi, atau ada yang dengan istilah komunikan sebagai ekuivalen dengan partisipan Dengan demikian, maka komunikasipun antara lain didefinisikan sebagai sebuah proses pertukaran makna dan konseptualisasi fenomenanya dilakukan menurut subyek penelitian dengan prinsip ongoing process.

Dari uraian tentang refleksi epistemologi dalam forma penteorisasian fenomena komunikasi tadi, kiranya mengindikasikan bahwa relatif rumitnya dalam upaya memahami eksistensi suatu teori komunikasi dengan baik. Suatu pemahaman yang secara pra kondisional tentunya sangat diperlukan oleh para akademisi komunikasi, terutama bagi para pemula, guna tidak terjadinya kekeliruan dalam mengaplikasikan suatu teori ketika mengkonseptualisasikan sebuah fenomena komunikasi. Namun, kerumitan ini tampaknya antara lain bisa dikurangi dengan cara mengelompokkan teori-teori komunikasi yang ada menurut setiap genre yang ada. Akan tetapi, sejauh pengamatan menunjukkan bahwa upaya yang demikian belum ditemui. Yang ada bukan menurut genre, melainkan diantaranya menurut level, gugusan, dan menurut alpabetisnya. Upaya yang demikian antara lain telah dilakukan oleh University of Twente Nedherland .
Micro level theory deals with small slices of time, space, or numbers of people. Konsep-konsep yang dikandung biasanya tidak begitu abstrak. Theories micro level, diantaranya terdiri dari : Argumentation Theory; Cognitive Dissonance theory; Elaboration Likelihood Model; Model of Text Comprehension; Semiotics; Speech Act; Uncertainty Reduction Theory. Meso Level theory, level ini secara relatif jarang dijumpai. Level teori tersebut mencoba menghubungkan level makro dan mikro, atau berupaya untuk mengoperasikan teori pada suatu tingkatan intermediate. Teori-teori sosial yang sering mencapai taraf meso ini adalah teori-teori mengenai organisasi, gerakan-gerakan sosial, atau mengenai komunitas-komunitas. Theories meso level ini diantaranya : Adaptive Structuration Theory; Attraction-Selection-Attrition Framework; Contingency Theories; Media Richness Theory. Sedang Macro level theory lebih perhatian terhadap soal “the operation of larger aggregates”,misalnya seperti lembaga-lembaga sosial, sistem budaya secara keseluruhan, dan masyarakat secara keseluruhan. Konsep-konsep yang digunakannya lebih abstrak. Theories macro level diantaranya : Agenda Setting Theory; Cultivation Theory; Diffusion of Innovations Theory; Hypodermic Needle Theory; Medium Theory; Priming; Spiral of Silence; Two Step Flow Theory.

Sementara terkait dengan kategori menurut gugusan (cluster), ini dikelompokkan menjadi menurut :1) Interpersonal Communication and Relations
2) Organizational Communication
3) Mass Media
4) Communication and Information Technology
5) Communication Processes
6) Health Communication
7) Language Theories and Linguistics
8) Media, Culture and Society
9) Public Relations, Advertising, Marketing and Consumer Behavior
Secara rinci mengenai penggugusan tersebut, misalnya pada gugusan Interpersonal Communication and Relations theory, diantaranya terdiri dari : Attribution Theory; ACT* Theory; Argumenation Theory; Contagion Theories; Classical Rhetoric; Cognitive Dissonance theory; Elaboration Likelihood Model; Expectancy Value Model; Interpretative and Interaction Theories; Language Expectancy Theory; Network Theory and Analysis; Sensemaking; Social Identity Theory; Symbolic Interactionism; Social Cognitive Theory; Speech Act ; Theory of Planned Behavior/ Reasoned Action; Uncertainty Reduction Theory. Pada Organizational Communication, terdiri dari : Adaptive Structuration Theory, Attraction-Selection-Attrition Framework; Competing Values Framework; Contingency Theories; Enactment Theory; Framing in organizations; Groupthink; Media Richness Theory; Network Theory and Analysis in Organizations; Sensemaking; Structurational Theory; System Theory; Uncertainty Reduction Theory. Sementara pada kelompok Mass Media Theory, antara lain terdiri dari : Agenda Setting Theory; Priming; Framing; Cultivation Theory; Dependency Theory; Hypodermic Needle Theory; Knowledge Gap; Media Richness Theory; Medium Theory; Spiral of Silence; Two Step Flow Theory; Uses and Gratifications Approach .

Penutup
Sebagaimana telah dibatasi sebelumnya pada bagian awal makalah ini, bahwa fokus telaah makalah dibatasi pada risalah teori komunikasi dalam kaitan kepentingan pemahaman fenomena komunikasi yang kompleks yang dikonseptualisir ke dalam teori komunikasi. Setelah itu dilakukan peninjauan terhadap upaya teorisasi fenomena menurut komponen epistemologis sebagai salah satu dari tiga bagian dalam elemen asumsi filosofis, yang nota bene juga menjadi salah satu dari empat komponen dasar dalam suatu teori komunikasi. Dengan pembatasan dimaksud, makalah tersebut membagi pembahasannya menjadi sbb. : A. Fenomena komunikasi dan upaya teorisasinya; B. Sub Komponen Epistemologi Dalam Komponen Asumsi Filosofis : 1. Sejarah Epistemologi dan 2. Refleksi epistemologi dalam forma penteorisasian fenomena komunikasi.

Dari hasil pembahasan terhadap permasalahan Fenomena komunikasi dan upaya teorisasinya, diketahui bahwa upaya dimaksud secara historis telah dimulai sejak filsuf Yunani Aristotle mempelajari seni atau cara-cara berbicara di depan umum. Hasil telaahnya kemudian dikenal luas dengan konsep retorika. Telaah komunikasi kemudian menjadi bagian dari obyek studi sosiologi, yakni sosiologi pers. Perhatian terhadap komunikasipun semakin melebar dan terutama dalam kaitannya untuk mengetahui kesuksesan propaganda politik melalui media massa pada saat pecahnya perang dunia. Dari sini, telaah fenomena komunikasi mulai dituangkan ke dalam bentuk model. Model komunikasi itu perannya baru terbatas hanya sebagai salah satu sumber yang dapat membantu dalam proses perumusan suatu teori komunikasi, sebuah elemen ilmiah yang notabene perannya sangat signifikan dalam proses kerja ilmiah. Karena keterbatasan tersebut, dalam kaitan upaya pemahaman fenomena komunikasi, para akademisi akhirnya berupaya meningkatkan model ke tingkat lebih memadai secara ilmiah, dan karenanya lahirlah apa yang disebut dengan taxonomies. Sebagai sebuah teori, dalam kaitan upaya ilmu komunikasi mengembangkan dirinya sendiri (pure science), maka teori berkadar taxonomie belum memadai dalam membantu ditemuinya pengetahuan yang seumum-umumnya mengenai fenomena human communication. Untuk keperluan tersebut diantaranya diperlukan teori yang di dalamnya terpenuhi empat komponen dasar teori, yakni meliputi komponen : asumsi filosofis, konsep, penjelasan dan prinsip atau panduan untuk bertindak.

Selain itu, diperlukan upaya pengembangan kemampuan teori sebagai petunjuk ini secara kontinyu. Berdasarkan kemampuannya dalam memerankan fungsi sebagai petunjuk dimaksud, maka teori tadi diketahui tingkatannya ada tiga. Terdiri dari : Micro level theory- Macro level tyheory – dan Meso Level Theory. Kemudian, dalam upaya ilmuwan komunikasi untuk meningkatkan teorinya menjadi lebih bermutu, maka ada dua jenis teori yang memungkinkan bagi terwujudnya pencapaian upaya itu. Kedua teori dimaksud adalah nomothetic theory dan practical theory. Teori itu mengandung sebuah rangkaian mengenai petunjuk-petunjuk (indikator) dalam mengetahui dunia dan bertindak sesuai dengan petunjuk-petunjuk dimaksud. Dalam kaitan upaya menjadikan teori sebagai petunjuk dalam menelaah suatu fenomena komunikasi, maka perlu diketahui eksistensi hakikinya terlebih dahulu agar fungsinya sebagai kompas benar-benar dapat terberdayakan. Upaya memahami eksistensi hakiki dimaksud, dalam terminologi filsafat ilmu, itu diantaranya dapat dilakukan melalui telaah ilmu pada aspek epistemologi.

Berdasarkan pembahasan pada Sub Komponen Epistemologi Dalam Komponen Asumsi Filosofis, maka menurut telaah Sejarah Epistemologi diketahui bahwa melalui argumentasinya masing-masing, kalangan ilmuwan tidak memiliki cara yang sama dalam upayanya menemukan kebenaran pada obyek ilmu dan karena itu berkonsekuensi pada penteorisasian fenomena komunikasi. Sementara dari hasil pembahasan menurut Refleksi epistemologi dalam forma penteorisasian fenomena komunikasi, diketahui bahwa relatif rumitnya memahami eksistensi suatu teori komunikasi dengan baik. Namun, kerumitan ini tampaknya antara lain bisa dikurangi dengan cara mengelompokkan teori-teori komunikasi yang ada menurut setiap genre yang ada. Akan tetapi, sejauh pengamatan upaya yang demikian masih sulit ditemui. Pengelompokan teori komunikasi yang telah dilakukan akademisi cenderung masih sebatas menurut level, gugusan, dan menurut alpabetisnya.***

DAFTAR PUSTAKA
Cangara, Hafied, 1998, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Chandler, Daniel “The word genre comes from the French (and originally Latin) word for 'kind' or 'class'. The term is widely used in rhetoric, literary theory, media theory, and more recently linguistics, to refer to a distinctive type of 'text'*. How we define a genre depends on our purpose. (http://www.aber.ac.uk/media/Documents/intgenre/ intgenre1.html).
F., Heylighen,”Epistemology, introduction”, dalam, Heylighen, F. ,” Epistemology, introduction”, dalam, http://pespmc1.vub.ac.be/ EPISTEMI. html, diakses, 22 Maret 2007.
Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill, chapter 11.
Karl Deutsch, dalam : http//en.wikibooks.org., diakses tanggal 13 September 2006.
Littlejohn, Stephen W., 1983, Theories of Human Communication, Columbus –Ohio, Charles E. Merrill Publishing Company, p. 381-382.
Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.
Neuman, W. Lawrence, 2000, “The Ethics And Politic of Social Research”, in chapter 5 on Social Research Methods-Qualitative and Quantitative Approaches, Allyn and Bacon, Boston, USA., p. 40, 49-50.
Poedjawijatna, I.R., 1983, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta, Bina Aksara, hal. 94.
Robert N. St. Clair; Walter E. Rodríguez; dan Carma Nelson, “PLATO AND THE WORLDS OF IDEAL AND MATERIAL FORMS” dalam HABITUS AND COMMUNICATION THEORY, dalam http://louisville.edu/~rnstcl01/R- Bourdieu.html, diakses 22 Maret 2007.
Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, 1984, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES.
Suriasumantri, Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar Harapan.
University of Twente, Netherlands , (http://www.tcw.utwente.nl/theorieenoverzicht /index.html).
Wiryanto, 2004, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Grasindo, PT.
Wright, Charles R., 1986, Sosiologi Komunikasi Massa, Editor, Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Remadja Karya, CV.

Situs Web :

http://www.utm.edu/research/iep/k/kantmeta.htm, diakses, 6 Juni 2007.
Taken from http//en.wikibooks.org, on Sept 13, 2006.
http://en.wikipedia.org/wiki/Communication_theory#History_of_communication_theory
http://en.wikipedia.org/wiki/Harold_Lasswell.
http://dictionary.reference.com/browse/pragmatic%20theory
http://en.wikipedia.org/wiki/Copenhagen_interpretation. http://gsi.berkeley.edu/resources/learning/social.html.
http://www.enolagaia. com/Tutorial1.html#MV.
http://aleph.se/Trans/Cultural/Memetics/.
http://pespmc1.vub.ac.be/MEMLEX.html.

==

Senin, 03 Mei 2010

FILSAFAT DAN LEPASNYA ILMU DARI FILSAFAT

FILSAFAT DAN LEPASNYA ILMU DARI FILSAFAT

Hasyim Ali Imran 

PENDAHULUAN

Manusia adalah salah satu wujud dari tiga makhluk hidup yang disebut sebagai anima intelektualita yang cirinya sangat berbeda dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya, yaitu anima sensitiva dan anima vegetatif.
Perbedaan khas itu ditandai oleh manusia yang memiliki kodrat selain mampunyai seperangkat peralatan jasmaniah seperti panca indera dan anggota tubuh, juga dilengkapi oleh Tuhan dengan seperangkat peralatan rokhaniah, di mana selain memiliki naluri yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan binatang, juga memiliki peralatan rokhaniah yang tidak dimiliki oleh binatang atau tumbuhan, yakni apa yang disebut dengan akal dan budi.
Akal dan budi ini berfungsi sebagai alat bagi manusia untuk dapat melakukan proses trias dinamika dalam dunia kecilnya (micro cosmos) atas segala in put yang dihasilkan oleh hasil kerja peralatan jasmaniah berupa sentuhan dengan dunia luar atau macro kosmos. Karenanya, maka dengan akal manusia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang baik dan mana yang buruk terhadap obyek (macro cosmos).
Dengan kodrat di atas, manuasia dalam hidupnya senantiasa diiringi dengan motif-motif. Salah satu motif itu yakni motivasi untuk selalu ingin tahu tentang obyek, atau untuk mengerti tentang obyek, yang dikatakan Aristoteles sebagai sudah menjadi kodrat manusia. Dari sini, maka lahirlah berbagai jenis pengetahuan manusia. Pengetahuan tersebut terdiri dari: pengetahuan biasa (common sense); pengetahuan ilmu (science); pengetahuan filsafat dan pengetahuan religi.
Dengan ragam jenis pengetahuan manusia di atas kiranya memperlihatkan bahwa keragaman jenis pengetahuan itu timbul karana dalam memperolehnya manusia bisa melakukannya dengan lebih dari satu cara. Cara yang dilakukan melalui pendekatan biasa-biasa saja terhadap sesuatu obyek, misalnya berdasarkan kebiasaan sehari-hari, maka manusia akan memperoleh pengetahuan berupa pengetahuan biasa mengenai obyek tadi. Cara yang dilakukan melalui pendekatan keagamaan mengenai sesuatu obyek, maka manusia akan memperoleh pengetahuan berupa pengetahuan keagamaan mengenai obyek yang dipelajarinya.
Begitu pula pada pengetahuan filsafat dan pengetahuan ilmu (ilmu pengetahuan), keduanya menjadi jenis pengetahuan karena manusia yang mempelajari sesuatu obyek melakukannya dengan menggunakan pendekatan filsafat dan pendekatan ilmu.
Khusus terkait dengan dua jenis pengetahuan yang disebut terakhir tadi, berdasarkan sejarahnya diketahui bahwa dua jenis pengetahuan itu pada mulanya sesungguhnya merupakan satu pengetahuan yang disebut dengan filsafat. Namun, seiring dengan proses berfikir kritis manusia itu terus tumbuh dan berkembang dalam menyikapi segala yang ada dan yang mungkin ada, maka menyebabkannya menjadi berseberangan (kontradiksi) dengan kebenaran-kebenaran dalam filsafat sebagai satu-satunya ilmu. Perseberangan mana, sebagaimana diketahui, itu akhirnya berujung pada lahirnya ilmu dari ilmu, lahirnya ilmu baru bernama ilmu pengetahuan (sciense) dari ilmu induk (materscientarum) yang bernama filsafat.
Bagaimanakah gambaran mengenai perseberangan (kontradiksi) yang akhirnya mengerucut pada terlepasnya ilmu dari filsafat itu ? Jawaban dari pertanyaan tersebut akan coba dijawab dalam makalah sederhana ini. Dalam upaya dimaksud, penulis menyadari bahwa pengkajian terhadap filsafat Junani kuno itu memang bukan berawal di Eropa (terkecuali filsafat logika) mrelainkan di Timur, yakni oleh Bangsa Arab yang banyak menterjemahkannya dari bahasa Siria ke bahasa Arab pada abad VIII dan IX. Namun, seiring pengkajian filsafat Junani kuno itu relatif jauh lebih intensif terjadi di Eropa ketimbang di Timur, maka fenomena pengkajian filsafat yang terjadi di Eropa ditetapkan sebagai patokan dasar dalam upaya menjawab pertanyaan dalam makalah ini. Jawabannya sendiri diharapkan bisa berguna sebagai pelengkap isi wawasan keilmuan dalam kaitan filsafat.
PEMBAHASAN

Filsafat dan Pengetahuan Filsafat
Kata filsafat adalah kata jadian yang berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Yunani. Dua kata itu terdiri dari Philien (cinta) dan sophia (kebijaksanaan), gabungan mana kemudian diartikan sebagai cinta kebijaksanaan.
Penggunaan kata filsafat yang berarti cinta akan kebijaksanaan itu sendiri, menurut sejarahnya digunakan pertama kali oleh Socrates dan Pythagoras, hal mana ditandai oleh pernyataan keduanya tentang diri mereka yang philiosophus, yakni orang yang mencintai kebijaksaan. Bukan orang yang bijaksana, sebagaimana diakui oleh kaum “sophist” atau kalangan terpelajar saat itu. Jadi, pemunculan konsep filsafat oleh Socrates dan Pythagoras itu, kiranya merupakan sikap protes keduanya terhadap kaum “sophist”.
Sekarang, apakah sasaran yang dikejar dengan mencintai kebijaksanaan sebagimana dimaksudkan Socrates dan Pythagoras itu? Sasaran yang dikejar dengan cara mencintai kebijaksanaan itu tak lain adalah know (tahu/mengerti) dan knowledge (pengetahuan). Pengetahuan yang mana, yakni suatu pengetahuan yang proses perolehannya dilatarbelakangi oleh keingintahuan atau keinginan untuk mengerti dominan. Keinginan yang demikian, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, oleh Socrates disebutkan sudah menjadi kodrat manusia.
Sebagai kodrat, dengan diawali suatu keheranan maka keinginan untuk mengerti dominan tadi sejak masa kanak-kanak sudah tampak. Sang anak manusia melihat, mendengar, meraba-raba dan dengan akalnya ia mengerjakan fakta-fakta, menggolong-golongkan, menghubung-hubungkan dan menarik kesimpulan. Namun ia tidak puas dengan hanya menetapkan fakta itu. Karenanya fikirannya menyusun, mengatur, menghubungkan, mempersatukan bermacam-macam pengalaman dan mencoba mencari keterangannya. Dengan kata lain manusia tidak hanya mengerti bahwa “ini adalah demikian”, tetapi ia juga ingin mengerti “mengapa ini memang demikian adanya?”.
Lantas bagaimanakah caranya agar manusia dalam rangka mengejar pengetahuan itu tadi, yakni pengetahuan yang antara lain berupa “mengapa ini memang demikian adanya?”, bisa dilakukannya dengan cara mencintai kebijaksanaan ? Caranya, yaitu dengan menggunakan ciri-ciri berfikir filsafat demi tercapainya kebijaksanaan saat berfikir tentang obyek. Ciri-ciri itu terdiri dari: radikal, sistematis dan universal (Salam, 1995). Suriasumantri (1984:20-21) menyebut ciri-ciri ini dengan istilah menyeluruh, mendasar dan spekulatif.
Berfikir radikal berarti berfikir sampai keakar-akarnya, tidak tanggung-tanggung sampai kepada konsekuensinya yang terakhir. Berfikir sistematis yaitu berfikir logis yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran, dengan urutan yang bertanggung jawab dan saling hubungan yang teratur. Sementara berfikir universal yaitu berfikir secara non fragmentaris, tidak berfikir khusus, tidak terbatas pada bagian-bagian tertentu dari ada umum namun mencakup secara keseluruhan atas sesuatu obyek yang ditelaah. Dengan berfikir universal ini manusia diharapkan bisa menyerap secara keseluruhan apa yang ada pada alam semesta ini.
Kini, dengan bertolak dari pengertian filsafat di atas untuk sementara dapatlah diambil pengertian tentang apa itu pengetahuan filsafat sebagai salah satu dari beberapa jenis pengetahuan yang ada, yakni suatu wujud pengetahuan yang proses pemerolehannya dilakukan dengan cara berfikir radikal, sistematik dan universal.
Apakah yang dijadikan obyek dalam upaya menemukan pengetahuan filsafat itu ? Yang dijadikan obyeknya yaitu tentang ada, segala yang ada dan yang mungkin ada (lihat, Poedjawijatna, 1983). Dengan pengertian mengenai obyek filsafat tersebut, kini dapatlah disusun kembali tentang apa itu pengetahuan filsafat. Pengetahuan filsafat adalah pengetahuan tentang keterangan mendalam dari segala yang ada dan yang mungkin ada dengan mana proses pemerolehannya dilakukan dengan cara berfikir radikal, sismatik dan universal.
Pada mulanya wujud ada yang hendak dijadikan pengetahuan filsafat itu, yakni saat di mana pengetahuan yang disebut ilmu masih berada dalam kandungan ibunya yang bernama filsafat (materscientiarum), yaitu berupa segala yang ada dalam hidup dan kehidupan manusia. Ragam rupa dari segala yang ada ini, diidentifikasi antara lain menyangkut masalah yang terdiri dari: individu (manusia Pribadi); sosial (manusia dengan sesama); budaya; tehnik; ekonomi; kedokteran; hukum; dunia dan juga Tuhan (salam, 1995: 136).
Guna memudahkan filsafat dalam upaya menemukan pengetahuannya mengenai ragam rupa dari segala yang ada itu tadi, maka dilakukanlah spesifikasi kajian dengan cara membuat cabang-cabang kajian filsafat.
Plato membedakan filsafat terdiri dari tiga bagian, yakni: (1) Dialektika (tentang idea-idea atau pengertian-pengertian umum), (2) Fisika (Tentang dunia Materiil), dan (3) Etika (Tentang kebaikan).
Aristoteles yang murid Plato kemudian membaginya lebih rinci menjadi: (1) Logika (Tentang bentuk susunan pikiran); (2) Filosofia teoritika: a. Fisika (tentang dunia Materiil) (ilmu alam dan sebagainya), b. Matematika (tentang barang menurut kuantitasnya), c. Metafisika (tentang “ada”), (3) Filosofia Praktika (tentang hidup kesusilaan-berbuat):a. Etika (tentang kesusilaan dalam hidup perorangan), b. Ekonomia (tentang kesusilaan dalam hidup kekeluargaan), c. Politika (tentang kesusilaan dalam hidup kenegaraan, (4) Filosofia Poetika/aktiva-pencipta (filsafat tentang kesenian) (Salam,1995).

Upaya Pencarian dan Penemuan Pengetahuan Filsafat Yang Melahirkan Pengetahuan Ilmu (Kebenaran Pengetahuan Ilmu versus Kebenaran Pengetahuan Filsafat)
Terkait khusus dengan obyek kajian filsafat Aristoteles tadi, maka untuk kasus Eropa, secara terbatas kajian itu (logika) masuk ke daratan Eropa melalui terjemahan Boethius (524-480 BC). Boethius berjasa besar dengan menerjemahkan beberapa karya Aristoteles tentang logika ke dalam bahasa Latin. (Bertens, 2001:25).
Pengetahuan terbatas mengenai obyek kajian filsafat Aristoles itu berlangsung hingga kira-kira pertengahan abad ke 12. Lalu, sekitar pertengahan abad ini pula situasi mulai berubah. Ajaran-ajaran Aristoteles yang sesungguhnya, mulai masuk ke dunia Barat. Prosesnya melalui dua cara, dengan jalan tak langsung dan dengan jalan langsung. (Bertens: 2001 : 30).
Secara tak langsung dimaksudkan, bahwa ajaran Aristoteles itu diterjemahkan pada sekitar abad ke-12 dari bahasa Arab ke bahasa Latin. Penerjemahan ini sendiri dilakukan karena bangsa Arab telah lebih dulu melakukan penerjemahannya pada abad ke-8 dan ke-9 dari bahasa Siria ke bahasa Arab (Lihat, Bertens, 2001 : 22). Sementara dengan cara langsung dimaksudkan, bahwa karya-karya Aristoteles itu secara langsung diterjemahkan dari bahasa Yunani ke bahasa Latin yang terjadi sepanjang abad ke-13. Hal mana dimungkinkan karena karya-karya Aristoteles itu ada yang masuk Eropa melalui Sisilia (Lihat, Bertens, 2001 : 32).
Perubahan yang terjadi setelah masuknya ajaran Aristoteles secara langsung, ditandai oleh mulai terjadinya perubahan dalam paradigma berfilsafat di Eropa. Dari paradigma yang semula bertumpu pada pandangan dunia kristiani, menjadi diwarnai oleh paradigma baru yang bersumber dari Aristoteles yang nota bene bukan berasal dari lingkungan kristen. Di antara pemikir yang menggunakan paradigma baru waktu itu, yakni dalam abad ke-13, adalah Siger dari Brabant (1240-1281), Albertus Agung (1205-1280), dan Thomas Aquinas (1225-1274).
Dengan perubahan paradigma tadi, di satu sisi memperlihatkan fenomena yang kurang mendapat dukungan dari kalangan agamawan. Namun di sisi lain, perubahan paradigma itu (baca: paradigma Aristoteles) justru semakin mendapat banyak dukungan dari kalangan pemikir yang kala itu disebut sebagai kalangan Aristotelian.
Beberapa bukti yang memperlihatkan fenomena tidak mendukung kehadiran paradigma filsafat Aristoteles, tersebutlah antara lain: adanya pelarangan beberapa kali dari pihak Gereja untuk membahas karya-karya filsafat Aristoteles dalam perkuliahan sastra di Universitas Paris. Menurut Bertens (2001: 34) pelarangan ini bertolak dari adanya dua pendapat utama dalam ajaran Aristoteles itu yang tidak bisa dicocokkan dengan ajaran Gereja yang resmi, yakni pendapat yang menyatakan bahwa 1) dunia berada dari kekal dan 2) hanya ada satu jiwa bagi seluruh bangsa manusia.
Bentuk resistensi lainnya dari pihak Gereja adalah berupa penghukuman sejumlah pendapat yang dianut oleh fakultas sastra di Universitas Paris (terutama Sigers dari Brabant) oleh uskup Paris Etienne Tempier pada tahun 1277. Dalam waktu serupa juga terjadi di Inggris, uskup dari Canterbury Robertus Kilwarby menghukum beberapa pendapat Thomas Aquinas yang Aristorelian.
Sementara itu, bukti-bukti yang mendukung tentang kehadiran paradigma baru waktu itu, diantaranya adalah bahwa pelarangan pihak Gereja yang justru semakin memicu perkembangan pengaruh ajaran Aristoteles dari waktu ke waktu. Namun dalam perkembangan tersebut, secara substantif tampak mengarah pada upaya bagaimana memperdamaikan alam fikiran filsafat Aristoteles, terutama menyangkut dua hal yang menjadi dasar pelarangan Gereja tadi, dengan alam pikiran ajaran kristiani.
Dalam perkembangan sebagaimana dimaksudkan di atas, tercatatlah diantaranya seperti yang dilakukan oleh Thomas Aquinas, filsuf yang banyak diikuti para pemikir kristiani yang kemudian disebut mazhab Thomistis, yakni melalui pengakuannya tentang jiwa yang sesudah kematian hidup terus sebagai bentuk, tetap terarah kepada badan itu, sebagai relevan dengan ajaran kristiani mengenai kebangkitan badan. Namun sintesa (tesa) Thomas Aquinas tentang manusia ini kemudian dilawan dengan antitesa yang dimunculkan Johannes Duns Scotis (1266-1308) yang Bonaventura oriented, filsuf mana kemudian memunculkan mazhab Scotistis.
Meskipun kedua filsuf di atas melahirkan dua sintesa berbeda tentang hakikat manusia, namun di antara keduanya dipersamakan oleh adanya pengakuan tentang kemampuan rasio insani dalam membuktikan adanya Tuhan. Karenanya, melalui sintesa kedua filsuf dimaksud, maka pendapat utama dalam ajaran Aristoteles berupa dunia berada dari kekal dan hanya ada satu jiwa bagi seluruh bangsa manusia, yang sebelumnya tidak bisa dicocokkan dengan ajaran gereja yang resmi itu, menjadi bisa dicocokkan oleh para teolog kristiani.
Dalam abad 14 kecenderungan akan sintesa tidak diteruskan, sebaliknya yang terjadi adalah suatu kecenderungan akan perselisihan dan perpecahan. Dalam abad ini terdapat banyak diskusi antara mazhab-mazhab yang mengikuti ajaran salah seorang “magister” dari abad 13. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa zaman ini memperlihatkan suatu sikap kritis yang lebih besar.
Sikap kritis itu menampakkan diri terlebih dengan penyimpangan yang semakin jelas dari pendapat-pendapat Aristoteles dalam bidang ilmu pengetahuan alam. Inilah suatu pertanda yang menunjukkan bahwa abad 14 menuju ke zaman modern (Bertens, 2001 : 40), yakni zaman yang kelak mengakui eksistensi ilmu pengetahuan sebagai suatu pengetahuan yang berbeda dengan pengetahuan filsafat.
Pertanda sebagaimana dimaksud itu, pada tahap awal paling tidak dapat disimbolkan melalui kemunculan aliran nominalisme-nya Gulielmus dari Ockam (1285-1349) yang kemudian dicap sebagai “via moderna” yang menentang “via antiqua” yang diidentikkan dengan pemikir Skolastik umumnya. Perbedaan prinsipil di antara kedua via tersebut terutama menyangkut teologi, soal hubungan manusia dengan keberadaan Tuhan.
Menurut Gulielmus, rasio manusia saja tidak mampu untuk membuktikan adanya Tuhan dan siapa Tuhan itu, melainkan perlu adanya iman. Ini tentu berbeda dengan pemahaman Skolastik, seperti terungkap dari pendapat aliran Thomistik dan Scotis sebelumnya, bahwa rasio manusia itu mampu adanya.
Satu hal penting dari kehadiran nominalisme (berasal dari kata dasar nomen = nama-tanda-simbol) bagi apa yang kelak disebut sebagai ilmu pengetahuan, yakni upayanya yang tegas saat itu untuk membedakan pengetahuan ada umum (Soal Tuhan sebagai sebab yang tidak disebabkan) dari pengetahuan tentang ada khusus (soal ragawi atau empiris) (lihat, Poedjawijatna, 1983).
Pengetahuan tentang ada khusus ini, dapat diperoleh melalui pengenalan inderawi terhadap obyek empiris dengan dibantu sebelumnya oleh proses pengenalan intelektual abstrak yang memiliki konsep-konsep. Konsep tersebut berupa tanda atau simbol-simbol atas suatu obyek fisik. Dengan demikian nominalisme mengarahkan kepada studi-studi empirisme., yang nota bene kelak berujung pada keluarnya studi tersebut dari obyek kajian filsafat.
Kehadiran nominalisme banyak mendapat sambutan positip dari kalangan pemikir di seluruh Eropah saat itu. Sukses nominalisme yang “via moderna” tersebut, menurut dugaan Bertens karena pada saat itu banyak orang yang sudah merasa jemu dengan perselisihan-perselisihan yang tidak berguna dalam kalangan Skolastik, yang perdebatannya berputar-putar sekitar universale.
Sambutan positip itu tadi tampil dalam bentuk-bentuk pencarian pengetahuan bersumber dari alam yang bersifat jasmaniah. Pencarian tersebut dilakukan melalui pendekatan-pendekatan eksperimen. Jadi, sudah selangkah lebih maju dibanding masa sebelumnya, yakni pada tingkat deskriptif dengan cara mengolong-golongkan obyek melalui observasi.
Beberapa perintis yang membuka jalan baru bagi perkembangan pengetahuan modern dengan pendekaran eksperimen yang kemudian disebut pendekatan ilmiah diantaranya adalah Nicolaus Copernicus (1473-1543) melalui heliosentrisnya yang berlawanan dengan geosentris yang umumnya telah diterima dengan baik di Eropa selama abad pertengahan.
Galileo Galilei (1564-1643) melalui teleskop buatannya pada 1609, banyak menemukan fakta yang mendukung pandangan heliosentris Nicolas Copernicus yang sebelumnya banyak ditentang karena belum memuaskan kaum Aristotelian. Di antara fakta itu misalnya soal temuan mengenai permukaan bulan yang ternyata sama dengan permukaan bumi, temuan mana menurut teori Aristotelian sebelumnya dikatakan berbeda, dimana benda-benda angkasa dianggap sempurna dan langgeng dan bumi beserta benda-bendanya selalu berubah dan bisa rusak.
Fakta lain yang ditemukan Galileo Galilei yang mendukung hipotesis-hipotesis Nicolas Copernicus adalah, mengenai besarnya Mars dan Venus yang berubah-ubah dalam cara yang pernah diramalkan Copernicus; ditemukannya bulan lain selain bulan bumi, yakni bulan-bulan planet Jupiter. Namun, sejauh Galileo dengan keberhasilannya itu, ia tetap tidak mampu menjawab pertanyaan yang juga tak mampu dijawab Copernicus sebelumnya, yakni mengenai pertanyaan tentang benda-benda lepas di permukaan bumi yang tidak terlempar ke luar dari bumi yang berputar ini.
Rekan sezaman Galileo, Johannes Kepler (1571-1630), dengan penemuannya tentang masing-masing planet ternyata memiliki orbit ellips yang berpusat pada matahari, bukan berbentuk lingkaran yang berpusat pada bumi sebagaimana dipahami sebelumnya, kiranya menjadi jalan bagi terjawabnya pertanyaan tadi dikemudian hari.
Adalah Isaac Newton (1642-1727) yang antara lain belajar dari kelemahan karya Galileo dan Kepler, melalui Principia yang dipublikasikan pada 1687, mampu menjawab pertanyaan tadi itu dengan hukum kelambanan lurus dan gravitasinya. (baca, Chalmers 1983 : 78).
Temuan-temuan yang diperoleh melalui serangkaian eksperimen tadi, pada zamannya dianggap spektakuler, dan ini menyebabkan lahirnya pandangan baru waktu itu, bahwa pengalaman adalah sebagai sumber pengetahuan. Filsuf Francis Bacon (1561-1623) dan banyak rekan-rekan sezamannya, karenanya mengikhtiarkan sikap ilmiah dan mengemukakan ketika itu, bahwa apabila kita hendak memahami alam, seharusnya kita berkonsultasi dengan alam dan bukan dengan tulisan-tulisan Aristoteles (baca: Chalmers, 1983 : 1).
Filsuf Francis Bacon, bangsawan Inggris yang dinilai sebagai peletak dasar filosofis bagi perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan (Bertens, 2001 : 44) dan sebagai kekuatan progresif abad ke-17, akhirnya telah menyadarkan para filsuf alam di zaman pertengahan yang berpegang pada karya-karya kuno terutama Aristoteles dan Kitab Injil sebagai sumber-sumber pengetahuan yang salah (Chalmers, 1983 : 1). Dengan kesadaran itu pula, pandangan dunia Aristotelian yang menguasai seluruh abad pertengahan, akhirnya ditinggalkan secara definitif (Bertens, 2002 : 44).
Sejak saat itu, maka yang terjadi adalah perkembangan demi perkembangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan, dan mengalami perkembangan pesatnya dalam abad 18, abad yang disebut sebagai masa Aufklarung (pencerahan). Namun, di antara masa-masa tersebut, kiranya ada sejumlah nama filsuf yang sulit untuk tidak dikemukakan di sini dalam hubungannya dengan pembahasan ilmu yang secara normatif cirinya belum terbantahkan dan masih diterapkan ilmuwan hingga sekarang. Ciri ilmu dimaksud yaitu salah satu dari beberapa ciri proses berfikir ilmiah, yakni proses berfikir deduktif dan induktif.
Kembali ke soal filsuf tadi, maka tersebutlah Rene Descartes (1596-1650), John Locke (1632-1704) dan Immanuel Kant (1724-1804). Rene Descartes dengan rasionalismenya mementingkan unsur-unsur apriori dalam pengenalan. Berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman. Sementara John Locke dengan empirismenya lebih menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman. Menurut Kant, baik rasionalisme maupun empirisme, dua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan paduan atau sintesa antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori. (Bertens, 2001 : 60).
Kritik Kant di atas kiranya merupakan upaya bagaimana mempertemukan dua kutub pemikiran yang kontradiktif tentang bagaimana seharusnya manusia dalam proses pengenalan. Dengan pendapat Kant yang menyebutkan bahwa proses pengenalan manusia itu sebagai suatu sintesa, maka teranglah bagi kita kini, bahwa proses berfikir deduktif dan induktif yang hingga kini tetap masih menjadi salah satu ciri pokok dalam proses berfikir ilmiah dalam menemukan pengetahuan ilmu, terutama dalam pendekatan ilmu menurut positivistik, asalnya bersumber dari jasa Kant.
Dalam kaitan pendapat Kant tadi, maka dalam pendekatan positivitik sintesa itu berupa pertemuan antara data empirik-induktif (aposteriori-nya empirisme) yang terkumpul berdasarkan instumen yang dikembangkan dari definisi operasional variabel dalam hipotesis dengan hipotesis itu sendiri yang dirumuskan secara deduktif melalui prinsip kebenaran koherensif (apriori-nya rasionalisme).
Bentuk pertemuan yang disebut paduan atau sintesa itu sendiri bergantung pada bagaimana kualitas korespondensi data empirik dengan hipotesis. Jika data empirik berkorespondensi positip dengan hipotesis, maka berarti hipotesis dapat diterima dan karenanya terbentuklah sintesa berupa generalisasi empirik yang mendukung teori-teori yang diacu dalam proses deduktif. Sebaliknya, jika data empirik berkorespondensi negatif dengan hipotesis, maka berarti hipotesis ditolak dan karenanya terbentuklah sintesa berupa generalisasi empirik yang menolak teori-teori yang diacu dalam proses deduktif.

Obyek Filsafat Pasca Ditinggalkan Ilmu Pengetahuan.
Uraian sebelumnya menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan yang kita kenal sekarang ini, sebelumnya tampak begitu bersusah payah untuk bisa berhasil ke luar dari kooptasi dominasi induknya yang bernama filsafat itu, guna menjadi ilmu pengetahuan khusus. Terhadap keberhasilan ini, lantas bagaimanakah filsafat menyikapi dirinya sebagai matersicientiarum pasca anaknya yang bernama ilmu itu berhasil meninggalkan dirinya?
Berdasarkan indikasinya, secara umum tampak ada dua sikap ilmu filsafat dalam merespon perubahan penting tadi. Pertama menyangkut eksistensi sifat obyek material ilmu filsafat, yakni tetap konsisten pada prinsip non fragmentaris. Dalam sikapnya yang demikian, ilmu filsafat tetap bekerja pada misinya semula, yakni mengusahakan pemecahan segala masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu-ilmu pengetahuan khusus (Lihat, Salam, 1995: 137). Kedua, para filsuf mencoba melakukan reorientasi terhadap obyek-obyek kajiannya guna tetap relevan dengan situasi perubahan yang terjadi, yakni ke luarnya ilmu pengetahuan sebagai ilmu pengetahuan khusus dari ilmu filsafat.
Dalam konteks kedua, beberapa filsuf ternama yang mencoba mengemukakan reorentasinya tadi, antara lain adalah Alcuinus, Langeveld, Castell, dan De Vos. Salam (1995:139) yang mengacu pada pendapat-pendapat filsuf ternama barusan, mengemukakan pendapatnya tentang bagaimana obyek kajian ilmu filsafat pasca ditinggalkan ilmu-ilmu khusus tadi. Pembagian obyek itu, sbb:
A. Filsafat Teoritis: Filsafat Real
1. Metafisika:
a. metafisika fundamental: Kritika
b. metafisika sistematis: Ontologi Theodycea
2. Filsafat Tentang:
a. alam : Kosmologi
b. manusia: Antropologia
B. Filsafat Rasional = Logika:
1. Logika Umum/formal:Logika
2. Logika khusus/material: Filsafat tentang ilmu-ilmu pengetahuan
C. Filsafat Praktis (Filsafat tentang kebudayaan)
1. Filsafat praktis (tentang keseluruhan kegiatan manusia):
a. Filsafat Etika:
1. etika umum (dengan filsafat hukum): Etika
2. etika khusus: - etika individual; - etika sosial
b. Filsafat Tentang Agama
2. Fisafat Kebudayaan (tentang perbuatan-perbuatan lahiriah manusia):
a. Bagian umum: Filsafat Kebudayaan
b. Bagian khusus: Filsafat tentang: bahasa; kesenian; ekonomi;
sejarah; hukum;alam; pendidikan; manusia.

Pembagian di atas memperlihatkan tiga bagian besar obyek kajian filsafat pasca terpisahnya ilmu pengetahuan dari filsafat. Khusus terkait dengan eksistensi ilmu pengetahuan, terlihat bahwa keberadaannya menjadi begitu berbeda jika dibandingkan dengan obyek filsafat sebagaimana dibagi oleh Aristoteles sebelumnya.
Dalam pembagian Aristoteles, filsafat ilmu pengetahuan itu menjadi salah satu bagian dari filsafat teoritika. Sementara pada pasca keluarnya ilmu dari filsafat, maka filsafat ilmu pengetahuan (logika khusus/material) merupakan salah satu sub dari dua sub bagian yang ada dalam salah satu dari tiga bagian obyek kajian filsafat yang disebut dengan Filsafat Rasional/Logika. Jadi, sudah terpisah dari filsafat teoritika.
Posisi filsafat ilmu dalam pembagian bidang obyek kajian filsafat itu, kiranya memperlihatkan kalau filsafat ilmu itu merupakan salah satu bagian kecil saja dari begitu banyaknya obyek-obyek yang harus dikaji ilmu filsafat dalam upayanya menemukakan kebenaran obyeknya. Dari sini jelas pula bahwa dalam berupaya membangun kuantitas dan kualitas literatur filsafat ilmu pengetahuan, termasuk filsafat cabang-cabang ilmu pengetahuan, baik ilmu sosial dan ilmu alam, sebenarnya itu sudah menjadi tugas akademisi ilmu filsafat untuk mewujudkannya. Bukan dari kalangan ilmuwan khusus, seperti sosiolog, komunikolog, psikolog, dan lain-lain.

PENUTUP
Gambaran ideal itu seiring dengan apa yang dikatakan Poedjawijatna (1983:68), ”.....kami tidak mau menyatakan, bahwa ahli ilmu tidak boleh berfilsafat, melainkan hendaklah ilmu sadar, bahwa ia sudah ke luar dari bidangnya sendiri. Begitu pula janganlah filsafat turun ke bidang pengalaman sehingga terjadi seperti dalam jaman lampau, ada pendapat filsafat bahwa bintang itu harus terdiri dari bahan lain dari bahan di dunia pengamatan ini, .....”.
Fenomena yang muncul terkait dengan literatur tadi, mengindikasikan adanya kekurangasesuaian dengan gambaran ideal Poedjawijatna itu. Cukup banyak literatur filsafat ilmu dan terutama filsafat ilmu khusus (misal ilmu komunikasi, dan lain-lain), bukan ditulis oleh para sarjana filsafat, melainkan ditulis oleh para ilmuwan khusus. Untuk sekedar contoh, maka tersebutlah antara lain Jujun Suparjan Suriasumantri dengan Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer-nya, Onong Uchjana Effendi dengan Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasinya, A.M. Hoeta Soehoet yang melalui buku Teori Komunikasi I-nya mencoba mengemukakan pemikiran filsafatnya tentang ilmu komunikasi, dan termasuk tentunya Phil. Astrid Soesanto dengan Filsafat Ilmu Komunikasinya itu.
Apa yang dilakukan para ilmuwan khusus itu, meski kurang ideal, namun dalam realitanya mereka sukar dipersalahkan. Dapat dikatakan bahwa para ilmuwan itu sebenarnya berperilaku dalam konteks tanggung jawab moral akademis mereka saja dalam upayanya mengisi keminiman literatur filsafat ilmu-ilmu khusus yang seyogyanya diisi oleh para ilmuwan filsafat. Jadi, dengan demikian upaya yang dilakukan para ilmuwan khusus dalam mengisi kekurangan literatur tentang filsafat ilmu-ilmu khusus itu, karena begitu pentingnya ilmu pengetahuan diketahui secara filosofi oleh para akademisinya, maka upaya tadi seyogyanya dipandang sebagai sebagai partisipasi positif kalangan ilmuwan khusus saja dalam ranah filsafat dan bukan sebagai upaya campur tangan kalangan ilmuwan khusus terhadap bidang kajian ilmu filsafat.

REFERENSI
Bertens, K., 2001, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta, Kanisius.
Chalmers, A.F., Apa itu yang dinamakan ilmu? Terjemahan Redaksi Hasta Mitra,
Jakarta, Hasta Mitra.
Effendi, Onong Uchajana, 1993, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung,
Citra Aditya Bakti.
Peursen, C.A. Van, 1985, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat
Ilmu, terjemahan J. Drost, Jakarta, Gramedia, P.T.
Poedjawijatna, I.R., 1983, Tahu dan Pengetahuan Pengantar Ke Ilmu dan Filsafat,
Jakarta, Bina Aksara.
Salam, Burhanuddin Salam, 1995, Pengantar Filsafat, Jakarta Bina Aksara.
Suriasumantri, Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta,
Sinar Harapan.