Senin, 01 Februari 2010

QUEER THEORY
Hasyim Ali Imran[1]

Latar Belakang dan Permasalahan
Isu kaum perempuan sebagai kelompok yang tersubordinir oleh kaum lelaki, secara relatif sebenarnya sudah sejak lama dikenal sebagai isu yang populer, baik di kalangan masyarakat luas maupun di kalangan masyarakat intelektual. Meskipun demikian, khusus di kalangan masyarakat intelektual, fenomena marginalisasi kaum perempuan tadi tidak banyak yang tertarik untuk mengkonseptualisasikannya menjadi sebuah teori. Di antara sedikit kaum intelektual yang mencoba mengekpresikan atensi intelektualnya terhadap fenomena marginalisasi kaum perempuan, maka tersebutlah seperti Betty Friedan, Gloria Steinem, Mary Dally, Julia Kristeva, Monique Wittig, Nancy Chodorow dan Judith Butler.

Dalam upaya mempelajari fenomena perempuan tadi, para intelektual masing-masing memiliki sudut pandangnya sendiri. Di antaranya ada yang menelaahnya secara radikal, cultural atau liberal. Namun, berdasarkan kategorisasi yang dibuat Warren Hedges (dalam http://www.sou.edu/English/IDTC/Issues/Gender/ Resources/ femtax1.htm), maka ekspresi pemikiran para feminis itu tersebar di antara sepuluh tradisi intelektual. Kesepuluh tradisi intelektual Feminis dimaksud yaitu : Liberal Feminism; Cultural Feminism; Separatism; “French” Feminism; Psychoanalytic Feminism; Materialist Feminism; Anti-pornography Movement; Pro-Porn Artist & Theorists; Queer Theory; dan Radical Feminism. Varian isme yang demikian, tentunya menjadi petunjuk bagi siapa saja yang tertarik mengetahui isu atau wacana tentang perempuan. Bahwa, setiap isu atau wacana tentang perempuan, misalnya yang mengemuka melalui media massa, itu sebenarnya cenderung mengakar pada tradisi intelektualnya. Karenanya, mengenal tradisi intelektual feminis tampaknya menjadi perlu dilakukan. Keperluan dimaksud paling tidak akan dapat membantu dalam memahami motif-motif para pencetus isu atau pembentuk wacana feminisme itu di ranah publik. Namun demikian, upaya pengenalan ini sendiri tidak akan dilakukan terhadap semua tradisi intelektual , melainkan secara terbatas akan difokuskan pada “Queer Theory”.

Queer Theory
Sebagai salah satu dari sepuluh tradisi intelektual feminis yang ada, maka pemunculan Queer Theory sebenarnya beranjak dari fenomena keterpinggiran status kaum homoseks di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang secara tradisional memaknai gender secara dikotomistis, pria – wanita (lihat, http://www.colorado.edu/English/courses/ENGL2012Klages/queertheory.html). Menurut Gayatri (2006), fokus studi mereka ini diarahkan pada upaya-upaya mempelajari cara-cara bagaimana seksualitas yang terpinggirkan memberontak, menyindir, dan menggangu jender dominan dan relasi-relasi kekuasaan. Dilemma yang mereka usung yaitu : Bagaimana dapat mempertahankan sikap politik oposisi yang kohesif apabila tidak mengenal adanya identitas bersama ? Para pemikirnya terdiri dari Gayle Rubin, Michael Moon, Eve Sedgwick dan Judith Butler.

Terkait khusus dengan Judith Butler, maka sebagai salah seorang intelektual fenimis, dia tidak hanya berpengaruh pada teori performa dari identitas-tetapi juga pada area yang dikenal sebagai queer theory. Diskusi-diskusinya mengenai identitas homoseksual dalam masalah gender merupakan hal yang mendorong munculnya queer theory atau teori homoseksual. Teori homoseksual merupakan tantangan bagi identifikasi gender. Teori ini secara liberal menentang gender (maskulin/feminin) dan seks (laki-laki/perempuan).

Menurut Butler yang lesbian dan salah seorang penganut feminisme itu, gender adalah kategori yang selalu bergeser : gender seharusnya tidak ditafsirkan sebagai identitas yang stabil, namun harus dilihat sebagai suatu identitas yang lemah terhadap waktu, berada dalam suatu ruang yang menyesuaikan dengan berulangnya sikap/tingkah laku. Teori homoseksual harus berhadapan dengan pasangan dalam seluruh bentuk : pria/wanita, maskulin/feminin, gay/lesbian – menawarkan pandangan bahwa identitas selalu lebih luas dibandingkan dengan kategori dikotomi (pria dan wanita) yang sudah baku.

Individu yang mengadopsi teori homoseksual menolak gagasan heteroseksualitas dan homoseksualitas. Kategorisasi dalam dasar kegiatan seksual tidak lagi memungkinkan. Apabila gender, atribut, sikap adalah performatif, maka tidak ada identitas yang sudah pernah ada (pre existing identity) di mana suatu sikap dan atribut dapat diukur. Sehingga tidak akan ada benar atau salah; lurus atau sikap menyimpang dari suatu gender. Oleh karena itu, maka fokus dari teori homoseksualitas adalah kerelaan identitas.

Bagi penganut teori homoseksual, hal yang paling menarik adalah bukan saat di mana seseorang menyesuaikan diri dengan kategori identitas yang telah ada, akan tetapi lebih kepada momentum-momentum tidak menyesuaikannya. Michael Jackson telah diidentifikasi sebagai seseorang dengan identitas homoseksual, dan dia tentunya lebih dapat terlihat identitasnya sebagai homoseksual dibandingkan dengan banyak orang yang sama tetapi tidak dapat terlihat. Artinya, menurut teori ini, sebenarnya banyak orang-orang sejenis Jackson di dunia ini, namun mereka tidak diketahui karena tidak memiliki popularitas sebagaimana halnya Jackson.

Pada intinya teori ini berkaitan dengan soal proses yang difokuskan pada pergerakan yang melintasi ide, ekspresi, hubungan, ruang dan keinginan yang menginovasi perbedaan cara hidup di dunia. Penganut teori ini melihat besarnya implikasi sosial untuk mengadopsi model homoseksual sebagai rangka berfikir dalam studi mengenai gender, seksualitas dan identitas politik.

Teori homoseksualitas dikenal sejalan dengan penelitian mengenai gay dan lesbian, bahwa gender telah dimengerti oleh sebagian masyarakat untuk menjadi dasar guna mengatur masyarakat, dan terdapat asumsi bahwa gender dan seksualitas selain termasuk sebagai kategori baku, juga akan masuk dalam sanksi masyarakat. Karena itu, banyak penganut teori homoseksual dan para aktivisnya melihat bahwa label homoseks ini merupakan tantangan terhadap kategori identitas tradisional dan norma sosial.

Teori homoseksual juga memiliki agenda politik yang kuat untuk perubahan sosial. Seiring dengan gerakan aktivis, ‘homoseks’ telah menjadi label yang bisa menjaring setiap individu yang diidentifikasi sebagai lesbian, gay, bisexual, transexual dan heteroseksual dalam aksi politik mengenai isu yang sebelumnya dipikir hanya untuk satu golongan saja. Contohnya ACT UP, sebuah organisasi politik homoseks, yang beraktivitas dalam bidang AIDS dan hak aborsi. Label homoseks kemudian dapat melebihi identitas politik dan menggerakkan aksi dengan suatu cara dibandingkan dengan label lain yang belum tentu bisa melakukannya.

Sesuatu teori dapat diklasifikasikan menurut lebih dari satu tolok ukur. Misalnya, ada yang menurut tolok ukur dalam cara memahami fenomena (epistemologi) yang dijadikan obyek kajian (ontologi). Dari sini maka lahir dua klasifikasi teori, yaitu scientific (obyektive) dan interpretif. Ada yang diklasifikasikan menurut model bekerjanya teori, yaitu teori dalam kelompok model transmisi dan dalam model ritual. Selain itu ada pula yang dibagi menurut phase-nya, ini terdiri dari phase tradisional – modernism – post modernism.

Dalam kaitan phase dimaksud, maka dikaitkan dengan pendapat Butler yang mengatakan “gender adalah kategori yang selalu bergeser : gender seharusnya tidak ditafsirkan sebagai identitas yang stabil, namun harus dilihat sebagai suatu identitas yang lemah terhadap waktu, berada dalam suatu ruang yang menyesuaikan dengan berulangnya sikap/tingkah laku”, maka dapatlah dikatakan kalau teori homoseksual ini termasuk dalam kategori teori yang berada dalam post modernisme phase.

Perjuangan Identitas
Sejalan dengan gagasan yang diperjuangkan oleh penganut teori homoseksual mengenai konsep gender, yakni bukan konsep statis (stabil) melainkan relatif, maka di beberapa negara perjuangan ini tampaknya telah menunjukkan sejumlah keberhasilan. Anggapan ini paling tidak didukung oleh fenomena yang terjadi di negara-negara maju. Di Amerika Serikat misalnya, maka identitas secara resmi (legalitas formal) sudah diakui di sana sebagai terdiri dari tiga jenis, yakni : (1) Straight , identitas yang bersifat tegas : Pria – Wanita; (2) Gay dan (3) Lesbi.

Di Belanda, bahkan perkawinan sesama jenis sudah legal dilakukan. Namun di Indonesia, upaya ini pernah dilakukan seorang pria Indonesia yang mau nikah resmi dengan pria asing di Yogyakarta beberapa waktu lalu. Akan tetapi, upaya pasangan tersebut belum berhasil mendapatkan pengakuan, karena di Indonesia persoalan konsep gender masih dipahami secara normatif, yakni identitas yang terbagi berdasarkan dua jenis kelamin, Pria-Wanita. Dengan kata lain, identitas di Indonesia sampai saat ini masih tetap pada satu jenis, yaitu Straight (Pria atau wanita), sebagaimana terlihat di setiap KTP masyarakat Indonesia. Menyadari legalitas hukum ini, maka sejumlah pasangan berjenis kelamin sama Indonesia yang hendak menikah, mereka dengan sengaja menghindari Negara Indonesia sebagai lokasi pernikahan. Dalam kaitan ini, tampaknya Negara Belanda kerap menjadi pilihan, karena negara inilah yang dapat memfasilitasi pernikahan mereka. Di antara pasangan dimaksud tadi, maka artis Avi Naif merupakan salah satu diantaranya. Namun, rencana Avi Naif itu tidak pernah terealisir karena dia keburu meninggal dunia.

Fenomena pernikahan homoseksual di Indonesia sebelumnya, kiranya dapat menjadi indikasi kalau perjuangan kaum homoseksual masih mendapat reaksi negatif, masih sulit diterima. Jadi, perjuangan kaum homoseksual hingga kini belum berhasil menembus tataran legalitas formal. Namun demikian, secara de facto banyak indikasi yang menyiratkan bahwa apa yang menjadi perjuangan kaum homo tadi telah dapat diterima oleh sejumlah pihak tertentu dan dengan alasan-alasan eksklusif. Sebagai contoh, pada era 70-an MUI mengesahkan dengan alasan tertentu atas perpindahan kelamin (transexual) Iwan Rubianto dari pria menjadi wanita yang kemudian mengubah namanya menjadi Vivian. Demikian halnya dengan Dorce, secara sipil telah diakui proses transexualitasnya. Bahkan, karena dianggap bernilai jual tinggi oleh kalangan industri media elektronik, ia justru mendapat apresiasi yang tinggi dari kalangan media televisi di tanah air.

Kepustakaan
Gayatri, Gati, “Mengenal Tradisi Intelektual Feminis”, handout, Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Profesor Doktor Moestopo (Beragama), Jakarta, disampaikan dalam Perkuliahan Mata Kuliah Teori dan Perspektif Komunikasi, 15 April 2006.
Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill, chapter 11.
http://www.sou.edu/English/IDTC/Issues/Gender/ Resources/ femtax1.htm)
http://www.colorado.edu/English/courses/ENGL2012Klages/queertheory.html

[1] Peneliti madya studi komunikasi dan media BPPKI Depkominfo, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar