Rabu, 10 Februari 2010

interpersonal deception theory and ....

Interpersonal Deception Theory
hasyim ali imran

Semua orang pernah berbohong tetapi tujuannya berbeda-beda. Ada yang berbohong (menipu) demi kebaikan dan ada yang melakukaknnya untuk niat jelek. Fenomena muatan isi pesan komunikasi yang dilakukan baik oleh komunikator maupun komunikan ini, telah dipelajari secara khusus oleh David Buller & Judee Burgon dan hasilnya mereka tuangkan ke dalam teori yang mereka sebut Interpersonal Deception Theory.
Mereka mendefinisikan konsep pembohongan sebagai suatu pesan yang dengan sadar disampaikan oleh pengirim untuk menimbulkan kepercayaan atas kesimpulan palsu bagi si penerima. Dijelaskan, ada tiga strategi atau cara dalam upaya pengirim untuk berbohong pada penerima. Pertama falsification (pemalsuan); kedua concealment (menyamarkan atau menyembunyikan kebenaran); dan ketiga Equivocation (mengaburkan).
Pesan pengirim yang mengandung kebohongan, dijelaskan biasanya mempunyai ciri : (1) pesan yang disampaikan tidak mengandung kepastian atau tidak jelas; (2) dalam penyampaian pesannya pengirim tidak segera menjawab, pernyataan yang sudah disampaikannya ditarik kembali; (3) pesan yang disampaikan itu tidak relevan dengan topik (disassociation); (4) dalam berperilaku saat berkomunikasi, pengirim berupaya untuk menjaga hubungan dan imej.

Dalam realitas kehidupan sehari-hari, korespondensi penjelasan konsep-konsep teoritik itu kerap kita jumpai. Terkait konsep falsification misalnya, ketika saya berada di kereta api dalam perjalanan menuju kantor, saya mendengar pembicaraan seorang penumpang yang berkomunikasi menggunakan hand phone. Saat itu posisi perjalanan sudah berada di Cipinang (Jaktim). “Oke, baik, Pak..., saya sekarang sudah di Jalan Sudirman (Jakpus), ... ya, ya, Oke, terima kasih, Pak ,” kata penumpang itu mengakhiri pembicaraannya. Jadi, si penumpang kereta api tersebut telah berbohong dengan cara menginformasikan keadaan yang palsu (di Jalan Sudirman), bukan sebenarnya (di Cipinang). Menyangkut konsep Equivocation, maka dalam sidang kasus indisipliner pegawai, Kepala kantor (sebutlah kantor B) bertanya kepada pegawai, “Saudara Badu, coba jelaskan, kenapa kamu tidak masuk selama 40 hari ?” Badu menjawab, “Begini, Pak, saya ini sudah lama menjadi pegawai di sini. Namun, sejauh itu saya belum pernah mendapatkan perlakuan simpati dari pihak kantor. Waktu ibu saya meninggal, gak, ada satupun yang datang.” Kepala kantor mengintrupsi, “Saudara Badu, tolong langsung jawab pertanyaan saya tadi, ...”. Jawaban Badu itu merupakan pernyataan yang berupaya mengaburkan permasalahan. Terkait dengan konsep Concealment, kita pun kerap menemukannya ketika kita ataupun pihak lain sedang berkomunikasi. Ini terjadi saat dalam keberlangsungan proses komunikasi ada partisipan yang berupaya menutup-nutupi bagian penting dari topik yang dibicarakan.

Keberhasilan teori ini tampaknya baru sebatas pengkonseptualisasian fenomena pembohongan dalam proses komunikasi. Karenanya, berdasarkan kriteria kebaikan teori menurut Littlejohn, teori ini hanya baru memenuhi satu dari empat komponen, yaitu komponen konsep. Komponen lainnya, yaitu komponen asumsi filosofis, eksplanasi, dan prinsip, terlihat belum dipenuhi oleh teori ini.

sumber bacaan :
Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill., Chapter 7,p. 95-112.

@@@

Social Judgement Theory
hasyim ali imran

Teori yang bekerja dalam tradisi positivistik ini merupakan salah satu teori psikologis yang tergabung dalam prikologi kognitif behavioral. Teori yang dirumuskan Muzafer Sherif ini menjelaskan tentang fenomena sikap manusia terhadap sesuatu obyek. Konsep-konsep yang dikemukakan Sherif dalam menjelaskan fenomena sikap terdiri dari: ego involvement: dalam bersikap terhadap obyek, individu dipengaruhi oleh keterlibatan ego ilvolvement dalam dirinya, yaitu relevansi individu dengan sesuatu masalah. Relevansi ini misalnya karena faktor-faktor internal seperti nilai-nilai agama, ideologi, atau nilai-nilai tertentu lainnya seperti karena persahabatan, teman sekampung, dan lain sebagainya.

Dalam jiwa manusia terdapat wilayah sikap. Dalam struktur wilayah sikap manusia terdapat tiga bentuk sikap yang terdiri dari : latitude of acceptance (sikap menolak) ; latitude of non commitment (netral) ; latitude of rejection (sikap menolak). Dalam kenyataan sehari-hari, fenomena variasi sikap demikian banyak dijumpai. Misalnya sikap terhadap terbit kembalinya majalah Playboy beberapa waktu lalu di Bali. Pihak FPI menolak keras dan geram melihat terbit kembalinya majalah itu. Atau pada fenomena RUUAPP, gerakan kaum perempuan di bawah koordinasi Ratna Sarumpaet menolak keras diundangkannya RUU tersebut. Sementara Pihak FBR atau kelompok Islam lainnya, mendukung diundangkannya RUU ini dengan segera.

Konsep lain yang berhubungan dengan teori ini adalah kontras dan assimilasi. Kontras atau tentangan dan assimilasi berkaitan dengan ego seseorang dalam bersikap. Pada dasarnya jika suatu pesan relatif dekat dengan posisi seseorang, pesan itu akan diasimilasi, sementara pesan-pesan yang lebih jauh akan ditentang. Contoh assimilasi, misalnya saya tidak suka bepergian keluar rumah bila hari libur, namun karena menghormati teman sekampung yang baru sekali ke Jakarta, yang nota bene kepingin jalan-jalan melihat kota Jakarta, saya terpaksa mengassimilasikan atau meleburkan sikap menolak saya untuk kemudian menemaninya jalan-jalan.

Dalam kehidupan nyata khususnya dalam berkomunikasi, teori dari Sherif ini secara praktis bermanfaat bagi kita dalam merancang suatu pesan dengan bijak. Sebagai contoh, jika kita mengetahui kolega kita mempunyai sikap tertentu mengenai sesuatu hal tertentu (bisa berupa benda atau kata-kata tertentu), maka sebaiknya kita menghindarkan hal tertentu tersebut demi terjaganya harmonisasi dalam berkomunikasi di antara sesama.



sumber bacaan : Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill., Chapter 13,p. 186-195.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar