Selasa, 21 September 2010

Artikel tamu (abstrak)

Wajah Kode Etik Jurnalistik dalam Ruang Publik Masyarakat Konsumsi
Tinjauan Perspektif Teori Masyarakat Konsumsi pada Media Massa Indonesia sebagai Ruang Publik
Eko Nugroho 

Abstract
Start from the phenomenon of journalism ethics ignorance in journalism practice, in the middle of waste information flooding situation in Indonesia at this time, this article try to explain the results of study that questioned the face of the journalism code of ethics in the public sphere of the consumptive community in Indonesia. The study is carried out based on the Theory of the Baudrillard Consumtive Community and the HabermasTheory of Public sphere. The results shows that in the phenomenon of the consumption community, the journalism code of ethics had two faces. The first face is as something that is ignored and alienated from the world of the press and the second face is as a form of simulacra.
Kata-kata kunci : Kode Etik Jurnalistik, Ruang Publik, Masyarakat Konsumsi, Media Massa.

Selengkapnya dapat dilihat dalam Jurnal Studi Komunikasi dan Media Vol 12 No. 2, Penerbit BPPKI Jakarta; Kontak : Hasyim Ali Imran /081382776482

RELATIONAL DIALECTIC (esensial)

RELATIONAL DIALECTIC
Dari Leslie Baxter dan Barbara Montgomery
In Chapter 11, p. 157-170, in A First Look at Communication Theory, Fifth Edition, by EM Griffin, New York, McGraw Hill, 2003.

Teori dari Leslie Baxter dan Barbara Montgomery ini adalah salah satu dari sejumlah teori komunikasi yang berupaya menjelaskan fenomena human communication pada level interpersonal. Fenomena itu khususnya dalam kaitannya dengan soal hubungan romantik dari orang-orang yang terlibat dalam proses komunikasi interpersonal. Orang-orang yang terlibat tersebut, selain yang terjadi pada suatu pasangan suami istri, maka termasuk pula di sini proses komunikasi yang terjadi di antara teman dekat dan antar sesama anggota keluarga.

Menurut Leslie Baxter dan Barbara Montgomery, terjadinya suatu dialektika hubungan di antara sesama peserta komunikasi interpersonal (misalnya antara suami-istri), itu dapat dijelaskan melalui enam konsep yang dibagi ke dalam tiga kelompok hubungan yang bersifat dikotomistis. Tiga kelompok dimaksud yaitu : 1. Connectedness versus Separatedness; 2. Certainty (jujur) vs uncertainty (tidak jujur) ; dan 3. openness (terbuka) vs closedness (tertutup). Jadi, secara dialektis suatu hubungan di antara sesama peserta komunikasi interpersonal, itu dapat diidentifikasi melalui hubungan kontradiktif yang terbagi ke dalam tiga kelompok tadi. Dalam rangka identifikasi tersebut, yakni guna mengetahui apakah hubungan itu tegang atau harmonis, karenanya perlu ditelusuri bagaimana kualitas hubungan suatu pasangan dalam konteks hubungan yang terdiri dari tiga kelompok tadi.

Dalam upaya menciptakan dialektika hubungan yang baik (jalinan hubungan yang baik) di antara sesama peserta komunikasi interpersonal, Baxter dan Montgomery menyarankan perlunya melakukan delapan langkah strategis. Langkah tersebut terdiri dari : 1) denial (berbohong); 2) disorientation (pengalihan perhatian); 3) spiral (mengupayakan hubungan yang harus semakinmembaik); 4) segmentation; 5) balance; 6) integration; 7) recalibration; dan 8) reaffirmation (penegasan).

Secara praktis, teori yang masih dalam tataran taxonomi dan cenderung bersifat practical theory ini, dapat dimanfaatkan dalam upaya mengidentifikasi kualitas hubungan dialektis suatu pasangan. Sementara delapan langkah strategis yang disarankan Leslie Baxter dan Barbara Montgomery tadi, secara praktis dapat digunakan untuk menciptakan harmonisasi di antara orang yang terlibat dalam sebuah hubungan komunikasi interpersonal. ((Disajikan oleh Hasyim Ali Imran- Peneliti Madya Bidang Studi Komunikasi dan Media pada BPPKI Jakarta)

00000000

DETERMINISME TEKNOLOGI
Marshal Mc Luhan
In A First Look at Communication Theory, Fifth Edition,
by EM Griffin, New York, McGraw Hill, 2003.

Latar belakang pendidikan Mc Luhan adalah dibidang sastra Inggris. Akan tetapi dia lebih tertarik terhadap permasalahan media dalam hubungannya dengan kebudayaa. Mc Luhan mengatakan bahwa dia memberitahukan semua orang yang mau mendengarkannya bahwa kita semua tinggal di zaman yang unik dalam sejarah. Media elektronik baru telah mengubah cara kita berfikir, berperasaan dan bertindak. Kita berada di tengah “revolusi, tapi kita belum paham bahwa dunia belum pernah sama”.

Menurut Mc Luhan, perubahan budaya dalam kehidupan manusia itu ditentukan oleh teknologi . Guna maksud pemahaman lebih dalam tentang asumsi ini, McLuhan melakukan studi interpretative terhadap perjalanan sejarah manusia dalam perspektif media/alat. Untuk keperluan ini, maka dia membagi semua sejarah manusia ke dalam empat periode, terdiri dari :

1. Tribal Age, yaitu masa di mana masyarakat masih dalam kelompok-kelompok kesukuan. Dalam masa ini, maka dusun-dusun kesukuan merupakan tempat akustik di mana indera mendengar, merasa, dan mencium jauh melebihi kemampuan melihat. Belahan otak kanan mendominasi belahan kiri, mendengar adalah raja karenanya. Mereka bertindak dan bereaksi emosional pada saat bersamaan. Jadi, dalam berkomunikasi masyarakat lebih mengandalkan telinga.

2. Literacy Age, pada masa ini maka sudah terjadi perubahan, yakni dari pengandalan indera telinga ke pengandalan mata. Abjad fonetik menggantikan penglihatan dan pendengaran untuk memimpin hieranchi indera. Orang yang dapat membaca mengganti telinga dengan mata. Logika menjadi model pada kemajuan linier selangkah demi selangkah. Menurut Luhan penemuan abjad ini mendorong kemunculan tiba-tiba matematika, iptek dan filsafat di Yunani kuno.

3. Print Age, zaman penemuan media cetak.
Kalau abjad fonetik memungkinkan ketergantungan visual, maka percetakan membuatnya dapat tersebar luas. Karena revolusi percetakan menunjukkan produksi missal produk yang sama, maka McLuhan menyebutkannya sebagai perintis revolusi industri.

4. Electronic Age, zaman elektronik yang ditandai dengan penemuan radio dan tv.
Kekuasaan “kata” yang tercetak pada masa ini menurut McLuhan telah berakhir dan digantikan oleh telegraf. Padahal penemuan Samuel Morse ini hanyalah bagian pertama dari alat komunikasi elektonik selanjutnya, hingga internet.

Meskipun McLuhan tidak memasukkan Cyber media sebagai salah satu age-nya, namun sebelum meninggal pada 1980 ia sempat meramalkan bahwa dampak budaya dari perangkat keras komunikasi tidak penting dibandingkan dengan gejolak yang disebabkan oleh perangkat lunak computer yang akan dating. Digambarkannya, kita semua sebagai anggota dusun global tunggal. Media elekstronik membuat kita semua dapat bersentuhan dengan siapa saja dan di mana saja dengan sekejab.

Apa yang diramalkan McLuhan tersebut menyangkut computer, kiranya menunjukkan banyak fakta yang relevan dalam masyarakat saat ini, misalnya melalui kehadiran internet sebagai wujud dari hasil kombinasi kemampuan teknologi informasi dan komunikasi. Karena internet, kita dengan mudah bisa mengakses berbagai informasi dari berbagai sumber dan berbagai lokasi di belahan bumi yang kita butuhkan saat ini dengaan waktu yang relative cepat. Karena itu, maka dari segi social budaya, misalnya masyarakat saat ini menjadi tidak perlu harus beli buku yang ia perlukan, cukup dengan mengakses internet. Bahkan ia bisa berkomunikasi langsung dengan para penulis buku yang diperlukannya, misalnya dengan EM Griffin, kita bisa melakukannya dengan menggunakan internet.

Jadi, determinisme teknologi Marshal McLuhan itu pada hakikatnya menjelaskan bahwa teknologi itu mempengaruhi budaya komunikasi sebagai salah satu bentuk perubahan social. Manfaat praktis teori Mc Luhan ini bagi kita adalah bahwa dalam berkomunikasi melalui media kita harus memperhitungkan efek budaya.

Saya sendiri pernah mengalami efek komunikasi yang menggunakan media tanpa memperhitungkan budaya. Itu terjadi pada era awal 90-an. Pada saat itu, PT Telkom menjual produk barunya ke masyarakatberupa “telegram indah”. Produk ini dimaksudkan untuk menyampaikan pesan-pesan hari bahagia, misalnya “ucapan selamat Idul Fitri”. Melalui produk ini PT Telkom berupaya mengubah image bahwa telegram itu bukan sebatas produk jasa yang hanya menyalurkan pesan-pesan serius seperti berita kemalangan atau berita-berita urgen lainnya. Dengan berbagai motif yang menarik pada telegram indah itu, sayapun mengirim telegram indah pada sejumlah kakak saya yang ada di Medan dan sekitarnya. Lalu, beberapa hari setelah pengiriman saya menelepon untuk mengecek dan saat itu saya pun menerima omelan dari salah seorang kakak perempuan, “Cemananya, Kau, ngirim selamat hari raya, aja, pakek telegram. Kayak berita duka aja … !!” Saya meresponnya dengan penjelasan, namun tetap saja dia tidak terima. Jadi ini bukti bahwa masyarakat di sana waktu belum bisa mengubah makna telegram yang pada saat itu memang masih sangat lazim digunakan untuk berita-berita penting saja. Karena tidak memperhitungkan efek budaya dalam menggunakan medium berteknologi komunikasi, saya mendapat respon negative. (Disajikan oleh Hasyim Ali Imran- Peneliti Madya Bidang Studi Komunikasi dan Media pada BPPKI Jakarta)