Selasa, 02 Februari 2010

ideologi dan media

IDEOLOGI DAN WACANA MEDIA
Hasyim Ali Imran*

Pendahuluan

Ideologi merupakan salah satu jargon yang sudah tidak asing lagi di kalangan akademisi komunikasi yang tertarik mempelajari fenomena komunikasi bermedia melalui paradigma kritis. Jargon lainnya yang juga termasuk dianggap lazim, diantaranya yaitu power dan hegemony.

Paradigma kritis sendiri, yakni sebagai satu dari sejumlah paradigma yang ada dalam paradigma ilmu sosial (baca : ilmu komunikasi), jika ditelusuri dari segi historikal kemunculannya, maka pada hakekatnya merupakan reaksi dari rangkaian reaksi yang ada dalam paradigma ilmu sosial ketika paradigma dimaksud diorientasikan pada upaya menemukan kebenaran dari beragam fenomena sosial yang ada[1].

Paradigma kritis diketahui muncul sebagai reaksi kritis terhadap epistemologisnya paradigma konstruktivis dalam menemukan kebenaran ilmu. Dalam pandangan paradigma kritis, termasuk terhadap fenomena komunikasi bermedia, maka rumusan kebenaran itu tidak cukup hanya diacu menurut perspektif obyek kebenaran yang nota bene dinilai memiliki free will belaka sehubungan obyek kebenaran itupun tidak eksis dalam ruang yang vakum, melainkan terikat dengan lingkungannya. Lingkungan dimaksud, misalnya menyangkut karakteristik, latar belakang historis, dan tentunya termasuk di sini menyangkut ideologi. Dengan demikian, dalam paradigma kritis, faktor lingkungan dimaksud diyakini sangat mempengaruhi obyek kebenaran dalam bereaksi terhadap sesuatu obyek, misalnya menyangkut benda atau situasi yang dalam jargon kritikal lazim disebut dengan teks. Karena itu, menurut paradigma kritis, maka kebenaran dapat diperoleh hanya jika dilakukan proses unmasking terhadap faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi obyek kebenaran[2] dalam bereaksi terhadap sesuatu obyek tadi guna diperolehnya jawaban “Why”. Sejalan dengan ini, maka dalam kaitan menemukan kebenaran menyangkut fenomena teksasi media mengenai sebuah wacanapun misalnya, juga harus dilakukan proses unmasking karena media dalam pewacanaannya memang dicurigai terikat dengan ideologi tertentu.

Terkait dengan posisi penting ideologi sebagai sebuah jargon dalam paradigma kritikal tadi, tulisan ini akan mencoba menelaah lebih jauh menyangkut ideologi dimaksud. Telaahnya akan dibatasi pada upaya mengetahui konsep ideologi itu sendiri. Termasuk pula di sini akan dibahas khusus menyangkut keterkaitan ideologi dengan media. Hasil bahasan yang demikian diharapkan dapat berguna sebagai pengantar awal bagi akademisi yang mulai tertarik terhadap paradigma kritikal khususnya dalam kaitan upaya memahami fenomena wacana media.

Pembahasan

1. Ideologi
Secara leksikal ideologi diantaranya diartikan sebagai suatu tubuh gagasan yang mencerminkan aspirasi dan kebutuhan sosial dari seorang individu, kelompok, kelas atau budaya. Atau, sebagai satu set doktrin atau kepercayaan yang membentuk basis dari sebuah pandangan politik, ekonomik atau sistem lainnya.[3] Dalam kamus lain juga disebutkan bahwa ideologi merupakan suatu doktrin, filosofi, tubuh kepercayaan atau prinsip yang dimiliki oleh seorang individu atau kelompok.[4] Dari dua definisi leksikal ini memberikan pengertian bahwa pada hakikatnya ideology itu merupakan sebuah konsepsi seseorang atau suatu kelompok mengenai kehidupan social yang mengandung prinsip dan aspirasi.

Dengan hakikat yang seperti itu, dalam pandangan beberapa akademisi ideologi juga tampak memiliki arti yang tidak jauh berbeda dengan pengertian ideologi dalam artian leksikal. Hanya saja, pengertian akademisi dimaksud tampak sudah dengan tegas memperlihatkan fungsi dari ideologi itu. Fungsi dimasud tercermin dari kata-kata :mengontrol” dan ”mengatur”. Terkait dengan ini, Raymond Williams misalnya, mendefinisikan ideologi itu sebagai sebuah bentuk yang relatif formal dan mengartikulasikan sistem makna, nilai-nilai dan kepercayaan, ataupun semacamnya yang diabstraksikan sebagai sebuah “pandangan dunia” atau “pandanganan kelas” (Williams, 1977, p 109). Samuel Becker (1984; p 69), ideologi merupakan “cara kita mempersepsi dunia kita dan diri kita; ideologi mengontrol apa yang kita lihat sebagai sesuatu yang “alami”. “Sebuah ideologi merupakan suatu bentuk setting, diintegrasikan dalam bingkai referensi, di mana di dalamnya melewati masing-masing dari kita untuk melihat dunia dan yang mengatur tindakan kita semua” (Beckers, 1984, p 69). [5].

Istilah ideologi sendiri pertama kali dilontarkan oleh Antoine Destutt de Tracy (1754 - 1836), pada saat bergejolaknya Revolusi Prancis[6]. De Tracy mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang pemikiran manusia, yang mampu menunjukkan arah yang benar menuju masa depan. Namun, seperti dikatakan Novel Ali pemikiran ini mengalami distorsi makna. Napoleon Bonaparte (1769-1821) yang sebelum berkuasa sangat menghormati De Tracy, memanipulasi pengertiannya mengenai ideologi setelah menjadi kaisar dengan cara memojokkan De Tracy. Ideologi yang sebelumnya ditafsirkan De Tracy sebagai sebuah konsep yang konkritpun berubah menjadi konsep yang abstrak.[7]

Di era kekuasaan Napoleon, ideologi dipandang sebagai konsep yang abstrak, sehingga membuka peluang untuk tidak lagi bisa menjadi definisi yang tunggal pada pergantian generasi. Artinya, setiap generasi menganut definisi yang tidak tunggal tentang ideologi. Pemikiran umat manusia tentang ideologi, yang sebelumnya mengandung nilai-nilai luhur untuk menyongsong hari esok, dimanipulasi hasrat yang tidak lagi luhur. Akibatnya, ideologi diposisikan dan difungsikan sebagai sebuah doktrin yang memberikan rangsangan bagi berkembangnya inspirasi perorangan atau kelompok manusia mengarah gerakan massa. Mulai yang bersifat santun, lembut dan persuasif sampai dalam bentuk perebutan kekuasaan dengan menggunakan kekerasan yang melanggar konstitusi negara.

Sejalan dengan itu, berbagai pahampun bermunculan mewarnai sejumlah penafsiran ideologi setelah De Tracy. Di antaranya demokrasi, liberalisme, nasionalisme, marxisme, komunisme, fasisme, sosialisme, dan anarkhisme. Belakangan, seperti disebutkan dalam situs Atheism.com, ideology inipun cenderung dibuat dengan mengacu pada kebiasaan-kebiasan psikologis, kepercayaan, anggapan-anggapan, harapan-harapan dan lain sebagainya.[8] Karena itu bermunculanlah beragam ideologi lainnya seperti kapitalisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, kristen, fasisme, monarkisme, nazisme, libertarianisme, sosialisme, dan demokrat sosial, elitism, extremism, federalism,imperialism, leftism , meritocracy , progressivism, radicalism , reactionism, republicanism , rightism , dan Utopianism.[9]

Sebagai sebuah konsepsi bagi setiap individu atau kelompok dalam kehidupan sosialnya, maka itu dapat diartikan bahwa ideologi itu dengan sendirinya cenderung menjadi basis bagi individu maupun kelompok dalam berperilaku sosialnya. Atau, meminjam istilah Seliger, ideologi berperan sebagai pembimbing tindakan.[10] Perilaku sosial itu sendiri, seperti dikatakan Gramsci (1971:326) sebagaimana dikutip Fairclougn[11], baik terkait dengan bidang kehidupan seni, hukum, aktifitas ekonomi maupun dalam manifestasi kehidupan individu dan kolektif. Dengan demikian, ideologi itu memang erat dengan tindakan dan ideologi ditentukan dalam konteks efek-efek sosial mereka ketimbang nilai-nilai kebenaran mereka[12]. Ini berarti bahwa aplikasi suatu ideologi cenderung inheren dengan perilaku orang per orang dalam kehidupan rutin berdasarkan pertimbangan efek yang diinginkannnya ketimbang berdasarkan kebenaran ideologi itu sendiri. Kehidupan rutin itu sendiri bisa dalam konteks kehidupan di lingkungan rumah tangga, tempat tinggal maupun lingkungan pekerjaan seperti dalam organisasi media.

2. Ideologi dan Media

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, eksistensi suatu teks itu dapat muncul di beragam tempat dan salah satunya di media (baca: suratkabar). Media suratkabar sendiri, sebagai sebuah institusi bisnis, juga sekaligus menjadi sebuah organisasi yang di dalamnya terdapat sebuah struktur dan jenjang yang kemudian menjadi pembeda peran dan fungsi bagi setiap orang yang terdapat dalam struktur organisasi. Di sisi lain, hal itu sekaligus juga menjadi pembentuk bagi munculnya sejumlah komunitas dalam suatu keseluruhan organisasi media. Terkait dengan kategori umum media yang dibagi menurut bidang isi yang dikelolanya, yaitu isi bidang redaksi dan isi bidang perusahaan, maka sejumlah komunitas tadi pada dasarnya menjadi terdiri dari dua bagian besar pula, yaitu sejumlah komunitas yang tergabung dalam struktur organisasi perusahaan dan yang tergabung dalam struktur organisasi bidang redaksi.

Dalam kaitan pernyataan sebelumnya bahwa aplikasi suatu ideologi itu cenderung inheren dengan perilaku orang per orang dalam kehidupan rutinnya, maka setiap anggota komunitas pada sejumlah komunitas yang ada dalam suatu struktur organisasi media, misalnya seperti struktur organisasi redaksi suratkabar, karenanya menjadi berpeluang untuk mempraktikkan ideologinya masing-masing. Terkait dengan teks media, maka praktik ideologi itu diaplikasikan lewat proses teksasi media itu sendiri melalui masing-masing peran individu dalam struktur organisasi redaksi media. Sementara mengenai pentingnya media bagi ajang praktik terhadap ideologi, maka menurut Althusser (1971, dalam Alzastraouw, 2000), sebagaimana dikutip Sobur ( 2001:30), itu karena media dianggap strategis dalam bekerja secara ideologis guna terbangunnya kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa. Kelompok berkuasa ini, wujudnya bisa berupa negara, pemilik media ataupun sejenisnya. Jadi, media di sini menjadi alat bagi penguasa untuk mengaplikasikan ideologinya melalui teks media demi terwujudnya kepatuhan khalayak, khususnya menyangkut substansi yang diwacanakan dalam teks. Dengan demikian, antara ideologi dan media sesungguhnya memiliki hubungan yang erat dalam kaitan proses produksi pesan. Keeratan itu, seperti dikatakan Hall[13] yakni berupa melekatnya ideologi dominan dalam proses produksi isi media.

Dengan keeratan hubungan antara ideologi dan media yang seperti itu, dalam kaitan tingkatan pengaruh terhadap isi media yang dimodelkan oleh Shoemaker dan Reese[14], diketahui memang bahwa ideologi menjadi faktor paling dominan jika dibandingkan dengan empat faktor lainnya. Faktor lainnya dimaksud yaitu faktor pada level individu, level rutinitas media, level organisasi dan level ekstramedia.[15] Dalam hubungan ini dikatakan bahwa ideologi menjadi faktor pengaruh yang paling menyeluruh dari semua pengaruh yang ada dalam proses mediasi. Ideologi di sini diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai individu untuk melihat realita dan bagaimana mereka menghadapinya[16]

Jika faktor-faktor lain yang sifatnya lebih konkrit, misalnya seperti dari faktor level individual yang diantaranya berbentuk karakteristik pekerja, maka level ideologi itu dengan demikian sifatnya abstrak. Meskipun demikian, para akademisi di USA misalnya, maka dalam upayanya mengkonkritkan keabstarakan ideologi, itu dilakukan dengan cara mengenal potensi-potensi dasar yang memunculkan ideologi itu sendiri. Dalam kaitan ini maka yang menjadi potensi dasar bagi munculnya suatu ideologi di USA secara fundamental yaitu berupa kepercayaan akan nilai-nilai sistem ekonomi kapitalis, kepemilikan pribadi, keuntungan pengusaha, dan pasar bebas[17]. Dengan demikian, keabstrakan suatu ideologi sebenarnya memiliki peluang untuk dapat diidentifikasi menjadi konkrit, dan itu bisa dilakukan melalui upaya pengenalan terhadap potensi-potensi dasar yang memunculkan ideologi itu sendiri.

Sebagai faktor paling dominan dalam proses mediasi, maka dalam perspektif Timur (kritikal) karenanya ideologi media tadi menjadi penting untuk diketahui. Dalam pandangan Fairclough, sebagaimana sudah disinggung-singgung sebelumnya, maka kepentingan itu terutama untuk membuka kedok atau membongkar asumsi-asumsi ideological yang tersembunyi dalam kata-kata dari teks tertulis maupun percakapan lisan guna melawan dan menolaknya sebagai sesuatu yang tidak kita ketahui. Dalam hubungan ini maka asumsi-asumsi ideological yang tersembunyi itu secara teoritis diasumsikan Altschull sebagai idelogi yang merefleksikan ideologi pihak yang membiayai mereka. ”........... media reflect the ideology of those finance them, or ”pay the piper.” Demikian Altschull sebagaimana dikutip Shoemaker dan Reese, (1996:231)[18].

Terkait dengan soal pembiayaan tadi maka Altschull (1984, p.254) mengkategorikannya menjadi empat yaitu: Pertama, di dalam pola yang formal, media dikendalikan oleh Negara, (seperti halnya di banyak negara-negara komunis). Kedua, di dalam pola komersial, media merefleksikan ideologi para pengiklan dan pemilik media. Ketiga, di bawah pola kepentingan atau interest, isi media merefleksikan ideologi kelompok finansial yang membiayai media, misalnya seperti partai politik atau kelompok keagamaan. Keempat di dalam pola yang informal, isi media merefleksikan tujuan para individu kontributor yang ingin mempromosikan pandangan-pandangan mereka[19]. Dengan demikian, ideologi media pada dasarnya berbasis pada soal pembiayaan operasionalisasi media yang berdasarkan sumbernya diidentifikasi bervariasi pada empat pola yang terdiri dari pola formal (merefleksikan negara), komersial (merefleksikan pengiklan dan pemilik media), kepentingan (interest) (merefleksikan kepentingan partai politik atau kelompok keagamaan), dan informal (merefleksikan kontributor).

ooo
Penutup
Sebagaimana telah dibatasi sebelumnya pada awal, tulisan ini membatasi telaahnya pada upaya mengetahui konsep ideologi itu sendiri dan menyangkut bagaimana keterkaitan ideologi itu dengan media. Dari hasil pembahasan terhadap kedua topik dimaksud dapat dikemukakan beberapa hal sbb. :
Terkait dengan topik pertama, maka : (1) pada hakikatnya ideology itu merupakan sebuah konsepsi seseorang atau suatu kelompok mengenai kehidupan social yang mengandung prinsip dan aspirasi; (2) Istilah ideologi pertama kali dilontarkan oleh Antoine Destutt de Tracy pada saat bergejolaknya Revolusi Prancis. De Tracy mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang pemikiran manusia, yang mampu menunjukkan arah yang benar menuju masa depan; (3) Sejalan dengan terdistorsinya makna ideologi dalam pandangan De Tracy, maka bermunculan beragam jenis ideologi yang terdiri dari Di antaranya demokrasi, liberalisme, nasionalisme, marxisme, komunisme, fasisme, sosialisme, dan anarkhisme, kapitalisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, kristen, fasisme, monarkisme, nazisme, libertarianisme, sosialisme, dan demokrat sosial, elitism, extremism, federalism,imperialism, leftism , meritocracy , progressivism, radicalism , reactionism, republicanism , rightism , dan Utopianism; (4) aplikasi suatu ideologi cenderung inheren dengan perilaku orang per orang dalam kehidupan rutin berdasarkan pertimbangan efek yang diinginkannnya ketimbang berdasarkan kebenaran ideologi itu sendiri. Kehidupan rutin itu sendiri bisa dalam konteks kehidupan di lingkungan rumah tangga, tempat tinggal maupun lingkungan pekerjaan seperti dalam organisasi media.
Terkait dengan topik kedua, maka : (1) setiap anggota komunitas pada sejumlah komunitas yang ada dalam suatu struktur organisasi media, misalnya seperti struktur organisasi redaksi suratkabar, berpeluang untuk mempraktikkan ideologinya masing-masing; (2) Terkait dengan teks media, praktik ideologi itu bisa diaplikasikan lewat proses teksasi media itu sendiri melalui masing-masing peran individu dalam struktur organisasi redaksi media; (3) pentingnya media bagi ajang praktik terhadap ideologi, itu karena media dianggap strategis dalam bekerja secara ideologis guna terbangunnya kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa; (4) antara ideologi dan media sesungguhnya memiliki hubungan yang erat dalam kaitan proses produksi pesan. Keeratan itu berupa melekatnya ideologi dominan dalam proses produksi isi media. Ideologi menjadi faktor paling dominan jika dibandingkan dengan empat faktor lainnya yaitu faktor pada level individu, level rutinitas media, level organisasi dan level ekstramedia; (5) ideologi itu bersifat abstrak dan upaya mengkonkritkan keabstarakan ideologi, diantaranya dapat dilakukan dengan cara mengenal potensi-potensi dasar yang memunculkan ideologi itu sendiri; (6) Sebagai faktor paling dominan dalam proses mediasi, maka dalam perspektif Timur (kritikal) karenanya ideologi media menjadi penting untuk diketahui. Kepentingan itu terutama untuk membuka kedok atau membongkar asumsi-asumsi ideological yang tersembunyi dalam kata-kata dari teks tertulis maupun percakapan lisan guna melawan dan menolaknya sebagai sesuatu yang tidak kita ketahui; dan 7) ideologi media pada dasarnya berbasis pada soal pembiayaan operasionalisasi media yang berdasarkan sumbernya diidentifikasi bervariasi pada empat pola yang terdiri dari pola formal (merefleksikan negara), komersial (merefleksikan pengiklan dan pemilik media), kepentingan (interest) (merefleksikan kepentingan partai politik atau kelompok keagamaan), dan informal (merefleksikan kontributor).
ooo

Daftar Pustaka
Buku
:
Fairclougn, Norman, 1995, Critical Discourse Analysis : The Critical Study of Language, London and New York, Longman, p.76.

Gurevith, Michael, Tony Bennett, James Curran and Woollacott, Culture, Society and The Media. Methuen London and New York, 1982, 263.

McGregor, Sue L.T., dalam, “Critical Discourse Analysis- A Primer”, dalam http://www.kon.org/ archives/forum/15-1/mcgregorcda.html.

Seliger, dalam John B. Thompson, Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, 2003, Diterjemahkan, Haqqul Yaqin, Yogyakarta, IRCiSoD, hlm. 132.

Shoemaker, Pamela J., Reese dan Reese, Stephen D., 1996, Mediating The Message, Theories of Influences on Mass Media Content,NY, Longman Publishers USA, p. 223.

Website :
http://www.thefreedictionary.com/ideology
http://www.allwords.com/word-ideology.html
http://atheism.about.com/library/glossary/general/bldef_ideology.htm
http://www.freelists.org/archives/ppi/03-2006/msg00142.html
http://atheism.about.com/library/glossary/general/bldef_ideology.htm
http://www.thefreedictionary.com/ideology; http://id.wikipedia.org/wiki/Ideologi;
catatan kaki :
* Peneliti Madya Bidang Studi Komunikasi dan Media di BPPKI Jakarta d/h BPPI Wilayah II Jakarta.
[1] Paradigma tertua dalam ilmu yaitu positivistic dan karenanya paradigma ini lazim juga disebut sebagai paradigma klasik. Paradigma ini direaksi oleh paradigma post positivistic. Kemudian muncul paradigma yang setara yaitu konstruktivistic di lingkungan sosiologi dan interpretif di lingkungan antropologi. Lalu direaksi kembali oleh akademisi Timur yang bersumber pada pemikiran mazhab Frankfurt yang dipengaruhi Marxisme dengan memunculkan paradigma kritikal.
[2] Terkait dengan fenomena media, maka obyek kebenaran dimaksud diantaranya terdiri dari para elit seperti editor, pemuka pendapat, pemerintah, dan pengadilan. Menurut Henry dan Tator (2002), para elit ini memainkan peran penting dalam proses pembentukan dan pen-setting-an isu dalam discourse (apa yang dibicarakan dan bagaimana dibicarakan dalam teksasi wacana). (Dalam McGregor, Sue L.T., dalam, “Critical Discourse Analysis- A Primer”, dalam http://www.kon.org/ archives/forum/15-1/mcgregorcda.html ).
[3] http://www.thefreedictionary.com/ideology
[4] http://www.allwords.com/word-ideology.html
[5] Shoemaker, Pamela J., Reese dan Reese, Stephen D., 1996, Mediating The Message, Theories of Influences on Mass Media Content,NY, Longman Publishers USA, p. 222.
[6] http://atheism.about.com/library/glossary/general/bldef_ideology.htm
[7] http://www.freelists.org/archives/ppi/03-2006/msg00142.html
[8] http://atheism.about.com/library/glossary/general/bldef_ideology.htm
[9] http://www.thefreedictionary.com/ideology; http://id.wikipedia.org/wiki/Ideologi;
[10] Seliger, dalam John B. Thompson, Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, 2003, Diterjemahkan, Haqqul Yaqin, Yogyakarta, IRCiSoD, hlm. 132.
[11] Fairclougn, Norman, 1995, Critical Discourse Analysis : The Critical Study of Language, London and New York, Longman, p.76.
[12] Lihat, Gramsci, sebagaimana dikutip Fairclougn dalam Critical Discourse Analysis : The Critical Study of Language, London and New York, Longman, p.76.

[13] Gurevith, Michael, Tony Bennett, James Curran and Woollacott, Culture, Society and The Media. Methuen London and New York, 1982, 263.
[14] Shoemaker, Pamela J., Reese dan Reese, Stephen D., 1996, Mediating The Message, Theories of Influences on Mass Media Content,NY, Longman Publishers USA, p. 223.
[15] Faktor pada level individu berarti faktor individu pembuat keputusan dan individu-individu pekerja media yang mempengaruhi produksi isi media. Faktor rutinitas media (media routines), yaitu isi media dipengaruhi oleh kegiatan seleksi-seleksi yang dilakukan oleh wartawan sebagai gatekeeper (penjaga gawang), deadline atau batas waktu, keterbatasan space untuk menyajikan berita, struktur piramida terbalik dalam penulisan berita dan kepercayaan reporter terhadap sumber resmi berita. Faktor organisasi, seperti peranan yang diemban pekerja media, struktur dan bentuk dari organisasi serta pemilik media yang mempunyai kekuasaan dalam menentukan kebijakan organisasi media, akan mempengaruhi terhadap produk isi media. Dalam kaitan faktor pengaruh ekstramedia atau pengaruh dari luar organisasi media, Shoemaker dan Reese mengkategorikan lima bentuk ekstramedia yang mempengaruhi isi media. Pertama adalah sumber informasi, yaitu mereka yang di observasi atau di wawancarai jurnalis. Kedua adalah sumber-sumber pendapatan seperti pemasang iklan dan khalayak. Ketiga, institusi sosial seperti kalangan bisnis. Keempat pengawasan pemerintah berupa peraturan-peraturan pers. Kelima adalah pasar.
[16] Terkait dengan ini, Raymond Williams mendefinisikan ideologi sebagai sebuah bentuk relatif formal dan mengartikulasikan sistem makna, nilai-nilai dan kepercayaan, ataupun semacamnya yang diabstraksikan sebagai sebuah “pandangan dunia” atau “pandanganan kelas” (Williams, 1977, p 109). Menurut Samuel becker (1984; p 69), ideologi merupakan “cara kita mempersepsi dunia kita dan diri kita; ideologi mengontrol apa yang kita lihat sebagai sesuatu yang “natural” atau “obvious. “Sebuah ideologi merupakan suatu bentuk setting, diintegrasikan dalam bingkai referensi, di mana di dalamnya melewati masing-masing dari kami untuk melihat dunia dan yang mengatur tindakan kami semua” Beckers, 1984, p 69) (lihat, Reese dan Shoemaker, 1996: 222).
[17] Shoemaker, Pamela J dan Reese, Stephen D., 1996, Mediating The Message, Theories of Influences on Mass Media Content,NY, Longman Publishers USA, p. 222.
[18] Shoemaker, Pamela J dan Reese, Stephen D., 1996, Mediating The Message, Theories of Influences on Mass Media Content,NY, Longman Publishers USA, p. 231.
[19] Shoemaker, Pamela J dan Reese, Stephen D., 1996, Mediating The Message, Theories of Influences on Mass Media Content,NY, Longman Publishers USA, p. 231.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar