Jumat, 01 Oktober 2010

Soal latihan Filsafat dan Etika Komunikasi : STISIP Widuri Jakarta

proponed by hasyim ali imran (1/10/2010)

1. Dari segi filsafat ilmu, apa yang mempersamakan dan membedakan ilmu komunikasi dengan ilmu sosial lainnya ??? (nilai maksimum 25)

2. Secara filsafat ilmu, sebutkan apa saja elemen pokok dalam upaya menelaah ilmu pengetahuan ?? Setelah itu jelaskan maksud dari masing-masing elemen dimaksud ! (nilai maksimum 25)

3. Berdasarkan sejarah ilmu pengetahuan, jelaskan mengapa ilmu pengetahuan itu muncul ? (nilai maksimum 25)

4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan konsep-konsep berikut ini :

a. fragmentaris (maksimum nilai 5)

b. non fragmentaris (maksimum nilai 5)

c. fenomena dan noumena (maksimum nilai 5)

d. obyek materia dan obyek forma (maksimum nilai 5)

e. pure scient dan ilmu praktika (maksimum nilai 5)

Total nilai 100.

selamat menguji kemampuan !!!

Selasa, 21 September 2010

Artikel tamu (abstrak)

Wajah Kode Etik Jurnalistik dalam Ruang Publik Masyarakat Konsumsi
Tinjauan Perspektif Teori Masyarakat Konsumsi pada Media Massa Indonesia sebagai Ruang Publik
Eko Nugroho 

Abstract
Start from the phenomenon of journalism ethics ignorance in journalism practice, in the middle of waste information flooding situation in Indonesia at this time, this article try to explain the results of study that questioned the face of the journalism code of ethics in the public sphere of the consumptive community in Indonesia. The study is carried out based on the Theory of the Baudrillard Consumtive Community and the HabermasTheory of Public sphere. The results shows that in the phenomenon of the consumption community, the journalism code of ethics had two faces. The first face is as something that is ignored and alienated from the world of the press and the second face is as a form of simulacra.
Kata-kata kunci : Kode Etik Jurnalistik, Ruang Publik, Masyarakat Konsumsi, Media Massa.

Selengkapnya dapat dilihat dalam Jurnal Studi Komunikasi dan Media Vol 12 No. 2, Penerbit BPPKI Jakarta; Kontak : Hasyim Ali Imran /081382776482

RELATIONAL DIALECTIC (esensial)

RELATIONAL DIALECTIC
Dari Leslie Baxter dan Barbara Montgomery
In Chapter 11, p. 157-170, in A First Look at Communication Theory, Fifth Edition, by EM Griffin, New York, McGraw Hill, 2003.

Teori dari Leslie Baxter dan Barbara Montgomery ini adalah salah satu dari sejumlah teori komunikasi yang berupaya menjelaskan fenomena human communication pada level interpersonal. Fenomena itu khususnya dalam kaitannya dengan soal hubungan romantik dari orang-orang yang terlibat dalam proses komunikasi interpersonal. Orang-orang yang terlibat tersebut, selain yang terjadi pada suatu pasangan suami istri, maka termasuk pula di sini proses komunikasi yang terjadi di antara teman dekat dan antar sesama anggota keluarga.

Menurut Leslie Baxter dan Barbara Montgomery, terjadinya suatu dialektika hubungan di antara sesama peserta komunikasi interpersonal (misalnya antara suami-istri), itu dapat dijelaskan melalui enam konsep yang dibagi ke dalam tiga kelompok hubungan yang bersifat dikotomistis. Tiga kelompok dimaksud yaitu : 1. Connectedness versus Separatedness; 2. Certainty (jujur) vs uncertainty (tidak jujur) ; dan 3. openness (terbuka) vs closedness (tertutup). Jadi, secara dialektis suatu hubungan di antara sesama peserta komunikasi interpersonal, itu dapat diidentifikasi melalui hubungan kontradiktif yang terbagi ke dalam tiga kelompok tadi. Dalam rangka identifikasi tersebut, yakni guna mengetahui apakah hubungan itu tegang atau harmonis, karenanya perlu ditelusuri bagaimana kualitas hubungan suatu pasangan dalam konteks hubungan yang terdiri dari tiga kelompok tadi.

Dalam upaya menciptakan dialektika hubungan yang baik (jalinan hubungan yang baik) di antara sesama peserta komunikasi interpersonal, Baxter dan Montgomery menyarankan perlunya melakukan delapan langkah strategis. Langkah tersebut terdiri dari : 1) denial (berbohong); 2) disorientation (pengalihan perhatian); 3) spiral (mengupayakan hubungan yang harus semakinmembaik); 4) segmentation; 5) balance; 6) integration; 7) recalibration; dan 8) reaffirmation (penegasan).

Secara praktis, teori yang masih dalam tataran taxonomi dan cenderung bersifat practical theory ini, dapat dimanfaatkan dalam upaya mengidentifikasi kualitas hubungan dialektis suatu pasangan. Sementara delapan langkah strategis yang disarankan Leslie Baxter dan Barbara Montgomery tadi, secara praktis dapat digunakan untuk menciptakan harmonisasi di antara orang yang terlibat dalam sebuah hubungan komunikasi interpersonal. ((Disajikan oleh Hasyim Ali Imran- Peneliti Madya Bidang Studi Komunikasi dan Media pada BPPKI Jakarta)

00000000

DETERMINISME TEKNOLOGI
Marshal Mc Luhan
In A First Look at Communication Theory, Fifth Edition,
by EM Griffin, New York, McGraw Hill, 2003.

Latar belakang pendidikan Mc Luhan adalah dibidang sastra Inggris. Akan tetapi dia lebih tertarik terhadap permasalahan media dalam hubungannya dengan kebudayaa. Mc Luhan mengatakan bahwa dia memberitahukan semua orang yang mau mendengarkannya bahwa kita semua tinggal di zaman yang unik dalam sejarah. Media elektronik baru telah mengubah cara kita berfikir, berperasaan dan bertindak. Kita berada di tengah “revolusi, tapi kita belum paham bahwa dunia belum pernah sama”.

Menurut Mc Luhan, perubahan budaya dalam kehidupan manusia itu ditentukan oleh teknologi . Guna maksud pemahaman lebih dalam tentang asumsi ini, McLuhan melakukan studi interpretative terhadap perjalanan sejarah manusia dalam perspektif media/alat. Untuk keperluan ini, maka dia membagi semua sejarah manusia ke dalam empat periode, terdiri dari :

1. Tribal Age, yaitu masa di mana masyarakat masih dalam kelompok-kelompok kesukuan. Dalam masa ini, maka dusun-dusun kesukuan merupakan tempat akustik di mana indera mendengar, merasa, dan mencium jauh melebihi kemampuan melihat. Belahan otak kanan mendominasi belahan kiri, mendengar adalah raja karenanya. Mereka bertindak dan bereaksi emosional pada saat bersamaan. Jadi, dalam berkomunikasi masyarakat lebih mengandalkan telinga.

2. Literacy Age, pada masa ini maka sudah terjadi perubahan, yakni dari pengandalan indera telinga ke pengandalan mata. Abjad fonetik menggantikan penglihatan dan pendengaran untuk memimpin hieranchi indera. Orang yang dapat membaca mengganti telinga dengan mata. Logika menjadi model pada kemajuan linier selangkah demi selangkah. Menurut Luhan penemuan abjad ini mendorong kemunculan tiba-tiba matematika, iptek dan filsafat di Yunani kuno.

3. Print Age, zaman penemuan media cetak.
Kalau abjad fonetik memungkinkan ketergantungan visual, maka percetakan membuatnya dapat tersebar luas. Karena revolusi percetakan menunjukkan produksi missal produk yang sama, maka McLuhan menyebutkannya sebagai perintis revolusi industri.

4. Electronic Age, zaman elektronik yang ditandai dengan penemuan radio dan tv.
Kekuasaan “kata” yang tercetak pada masa ini menurut McLuhan telah berakhir dan digantikan oleh telegraf. Padahal penemuan Samuel Morse ini hanyalah bagian pertama dari alat komunikasi elektonik selanjutnya, hingga internet.

Meskipun McLuhan tidak memasukkan Cyber media sebagai salah satu age-nya, namun sebelum meninggal pada 1980 ia sempat meramalkan bahwa dampak budaya dari perangkat keras komunikasi tidak penting dibandingkan dengan gejolak yang disebabkan oleh perangkat lunak computer yang akan dating. Digambarkannya, kita semua sebagai anggota dusun global tunggal. Media elekstronik membuat kita semua dapat bersentuhan dengan siapa saja dan di mana saja dengan sekejab.

Apa yang diramalkan McLuhan tersebut menyangkut computer, kiranya menunjukkan banyak fakta yang relevan dalam masyarakat saat ini, misalnya melalui kehadiran internet sebagai wujud dari hasil kombinasi kemampuan teknologi informasi dan komunikasi. Karena internet, kita dengan mudah bisa mengakses berbagai informasi dari berbagai sumber dan berbagai lokasi di belahan bumi yang kita butuhkan saat ini dengaan waktu yang relative cepat. Karena itu, maka dari segi social budaya, misalnya masyarakat saat ini menjadi tidak perlu harus beli buku yang ia perlukan, cukup dengan mengakses internet. Bahkan ia bisa berkomunikasi langsung dengan para penulis buku yang diperlukannya, misalnya dengan EM Griffin, kita bisa melakukannya dengan menggunakan internet.

Jadi, determinisme teknologi Marshal McLuhan itu pada hakikatnya menjelaskan bahwa teknologi itu mempengaruhi budaya komunikasi sebagai salah satu bentuk perubahan social. Manfaat praktis teori Mc Luhan ini bagi kita adalah bahwa dalam berkomunikasi melalui media kita harus memperhitungkan efek budaya.

Saya sendiri pernah mengalami efek komunikasi yang menggunakan media tanpa memperhitungkan budaya. Itu terjadi pada era awal 90-an. Pada saat itu, PT Telkom menjual produk barunya ke masyarakatberupa “telegram indah”. Produk ini dimaksudkan untuk menyampaikan pesan-pesan hari bahagia, misalnya “ucapan selamat Idul Fitri”. Melalui produk ini PT Telkom berupaya mengubah image bahwa telegram itu bukan sebatas produk jasa yang hanya menyalurkan pesan-pesan serius seperti berita kemalangan atau berita-berita urgen lainnya. Dengan berbagai motif yang menarik pada telegram indah itu, sayapun mengirim telegram indah pada sejumlah kakak saya yang ada di Medan dan sekitarnya. Lalu, beberapa hari setelah pengiriman saya menelepon untuk mengecek dan saat itu saya pun menerima omelan dari salah seorang kakak perempuan, “Cemananya, Kau, ngirim selamat hari raya, aja, pakek telegram. Kayak berita duka aja … !!” Saya meresponnya dengan penjelasan, namun tetap saja dia tidak terima. Jadi ini bukti bahwa masyarakat di sana waktu belum bisa mengubah makna telegram yang pada saat itu memang masih sangat lazim digunakan untuk berita-berita penting saja. Karena tidak memperhitungkan efek budaya dalam menggunakan medium berteknologi komunikasi, saya mendapat respon negative. (Disajikan oleh Hasyim Ali Imran- Peneliti Madya Bidang Studi Komunikasi dan Media pada BPPKI Jakarta)




Senin, 02 Agustus 2010

artikel tamu

ANALISIS PRAGMATIK TINDAK TUTUR KEPALA NEGARA DALAM LIPUTAN KASUS BANK CENTURY DI SK KOMPAS

Artini
Dosen STIKOM London School of Public Relations Jakarta, Sudirman Park, Jln. K.H. Mas Mansyur Kav. 35 Jakarta Pusat 10220, artini@lspr.edu
(Naskah diterima 10 Mei 2010, disetujui terbit 28 Juni 2010)


ABSTRACT
The purpose of this research is to examine the language awareness of journalist in mass media by using three elements of speech act theory (Austin, 1962 in Littlejohn, 2008)) namely locution act, illocution act and perlocution act to observe the effect of news reporting in print media. Method being used in this research was qualitative-descriptive along with pragmatic analysis approach which consisted of textual and contextual analysis. The research showed that speech act are not successful when their illocution force is not understood by the people. So, the journalist should use the elements of speech act to construct the reality by giving some direct statements of Head of State to influence the people as they reported this issue explicitly and straight-forwardly. Yet this news had contextually by giving perlocution effect. Based on the results, we need to encourage mass media to apply the speech act element in order to implement the real function of language and at the same time to realize the social function of media. Journalistic language formula of 5W and 1H was merely technical since it has to be enriched with a theory of speech act.

Key words: speech act, Cooperative Principles, pragmatic.

Abstrak
Fokus penelitian ini adalah tindak tutur dalam penggunaan bahasa jurnalistik di kalangan wartawan dalam liputan Bank Century di surat kabar Kompas, periode Januari- Februari 2010. Ada tiga elemen dalam tinduk tutur atau tindak berbahasa yang sering diabaikan wartawan yakni lokusi, ilokusi dan perlokusi sehingga efek yang diinginkan media tidak tercapai. Lokusi adalah kata-kata atau kalimat yang dipilih wartawan dalam menyampikan pesan, ilokusi adalah maksud tuturan atau kalimat tersebut dan perlokusi adalah efek tulisan itu. Ketiga elemen ini juga harus diimbangi dengan dialog antara media dengan khalayak yang disebut prinsip kerjasama. Metode yang digunakan adalah analisis isi dengan pendekatan kualitatif dan pragmatik. Teori-teori yang digunakan adalah teori tindak tutur, teori prinsip kerjasama, dan teori pragmatik. Hasil penelitian menunjukkan tindak tutur dalam berita mengenai Bank Century di media tidak berhasil, karena pilihan kalimat yang diambil dari pernyataan-pernyataan Presiden SBY sangat sarat dengan politik. Implementasi penellitian adalah media massa hendaknya memahami tindak tutur dalam penyampaian pesan kepada masyarakat, karena prinsip 5W dan 1 H sudah tidak memadai lagi.

Kata-kata kunci : tindak tutur, prinsip kooperatif, pragmatik..
LITERASI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
MASYARAKAT PEDESAAN
Hasyim Ali Imran
(Peneliti Madya Bidang Studi Komunikasi dan Media pada BPPKI Jakarta,
Balitbang Kementerian Kominfo, Jln. Pegangsaan Timur No. 19 B, Jakarta Pusat)
(Naskah diterima 17 Pebruari 2010, disetujui terbit, 10 Juni 2010)

ABSTRACT
This research is motivated by the indication of low ICT literacy rural communities; which makes it difficult to be part of the information society. The research was designed to study the extent, to which ICT literacy levels in rural communities; and the factors which indicate influence ICT literacy levels in rural society. The experiment was conducted with survey method, in Tua Tunu rural communities (local government and Air Duren (Bangka regency), Bangka Belitung province. Findings indicate: (1) rural respondents generally have low levels of ICT literacy. Some of them have only a small concentration of high ICT literacy, (2) Among of few respondents, who have high levels of ICT literacy; their characteristics composed of members Xers and Millennial rural communities groups. From the analysis, it concluded that rural communities was not entirely belong to the community, that digital gap wide. However, the bulk of them tend difficult to be able to maximize the role of ICT; in the context of participation in rural communities as a community member information. There are indications that factors related characteristic age of group, type of work, level of education, involvement in a computer course; and cosmopolitanism, associated with higher levels of ICT literacy in rural communities. A kind of counseling as the best option for efforts related to ICT literacy materials is applied in the environment of rural communities to improve their ICT literacy levels.

Keywords : Literacy, Information and Communication Technology (ICT), rural communities.
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya indikasi rendahnya literasi TIK masyarakat pedesaan yang menjadikannya sulit untuk bisa menjadi bagian dari masyarakat informasi. Penelitian dirancang untuk mengetahui sejauh mana kadar literasi TIK masyarakat pedesaan dan faktor-faktor yang berindikasi mempengaruhi kadar literasi TIK masyarakat pedesaan. Penelitian dilaksanakan dengan metode survey responden di lingkungan masyarakat pedesaan Tua Tunu (Pemkot Pangkal Pinang dan Air Duren (Kabupaten Bangka) Provinsi Bangka Belitung. Temuan menunjukkan : (1) responden pedesaan umumnya memiliki kadar literasi TIK yang rendah. Sebagian kecil saja diantaranya yang memiliki kadar literasi TIK tinggi; (2) Di antara sebagian kecil responden yang memiliki kadar literasi TIK tinggi, karakteristik mereka terdiri dari anggota masyarakat pedesaan kelompok Xers dan Millenial. Dari hasil analisis, disimpulkan bahwa di lingkungan masyarakat pedesaan ternyata tidak seluruhnya tergolong pada masyarakat yang kesenjangan digitalnya lebar. Namun, bagian terbesar dari mereka cenderung menjadi sulit untuk bisa memaksimalkan peran TIK dalam konteks kepesertaan anggota masyarakat pedesaan sebagai masyarakat informasi. Ada indikasi bahwa faktor-faktor karakteristik menyangkut kelompok umur; jenis pekerjaan; tingkat pendidikan; keterlibatan dalam kursus komputer; dan kosmopolitanisme, berhubungan dengan kadar literasi TIK masyarakat pedesaan. Upaya-upaya sejenis penyuluhan menyangkut materi literasi TIK menjadi pilihan terbaik diterapkan di lingkungan masyarakat pedesaan guna meningkatkan kadar literasi TIK mereka.

Kata-kata kunci : Literasi, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), masyarakat Pedesaan

artikel tamu

METODOLOGI PENELITIAN SOSIAL
KUANTITATIF DAN KUALITATIF

M. Jamiluddin Ritonga

Abstract
This paper tries to describe differences between quantitative and qualitative approaches in social science research. It begins with an explanation about the object of social science, continues with information about quantitative and qualitative approaches, and ends with a conclusion on empirical needs.

Kata-kata kunci : Metodologi Penelitian; kuantitatif; kualitatif.


Pendahuluan
Penelitian atau riset memerlukan tahap-tahap yang diakui dalam keilmuan dan paradigma tertentu. Tahap-tahap yang dilalui peneliti sangat beragam, mulai dari yang sangat ketat hingga yang relatif longgar. Meskipun tahap-tahap yang dilalui beragam, namun tujuannya pada dasarnya sama. Semua penelitian pada hakekatnya bertujuan mendapatkan dan memahami fakta yang dijadikan dasar bagi peneliti untuk menjawab masalah atau persoalan yang diajukan.

Keragaman tahap-tahap yang dilalui peneliti, setidaknya menjadi dasar bagi para ilmuwan dalam mendefinisikan penelitian. Seperti yang dikemukakan Burns (2000), “riset adalah sebuah penyelidikan sistematis untuk mencari jawaban atas sebuah persoalan.” Ini artinya, tahap-tahap yang disusun peneliti dalam menjawab masalah penelitian haruslah sistematis mulai dari landasan teori yang digunakan, prosedur yang dipakai, hingga fakta yang dikumpulkan.

Sementara Maryaeni mengemukakan, “penelitian (research) merupakan usaha memahami fakta secara rasional empiris yang ditempuh melalui prosedur kegiatan tertentu sesuai dengan cara yang ditentukan peneliti.” Pengertian ini menekankan pada upaya peneliti memahami fakta melalui prosedur yang berbeda sesuai dengan metode yang digunakan. Penggunaan metode yang berbeda dengan sendirinya akan membedakan pula prosedur yang digunakan.

Dalam konteks penelitian, tambah Maryaeni , “istilah ‘fakta’ memiliki pengertian tidak sama dengan kenyataan, tetapi lebih mengacu pada sesuatu daripada kenyataan exact, dan sesuatu tersebut terbentuk dari kesadaran seseorang seiring dengan pengalaman dan pemahaman seseorang terhadap sesuatu yang dipikirkannya. Sesuatu yang terbentuk dalam pikiran seseorang tersebut belum tentu secara konkret dapat dilihat dan ditemukan dalam kenyataan yang sebenarnya.

Namun dalam banyak literatur, masih ditemukan penggunaan istilah metodologi penelitian dan metode penelitian yang diartikan sama. Seperti dikemukakan McDaniel dan Gates (2001) , riset kuantitatif dapat menunjukkan secara statistik perbedaan-perbedaan signifikan, sedangkan riset kualitatif tidak menggunakan analisis kuantitatif dan tidak diukur dengan angka. Ini artinya, perbedaan istilah itu hanya dilihat dari penggunaan analisis data.

Pengertian seperti itu tentu mendangkalkan makna metodologi penelitian atau pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Sebab, kedua istilah ini mempunyai makna yang berbeda. Metodologi penelitian lebih menekankan pada filsafat ilmu dengan fokus mencari jawaban pertanyaan mengapa (why) suatu penelitian dilakukan seperti itu. Sementara metode penelitian lebih menekankan pada bagaimana melakukan penelitian yang benar (how to do it).

Objek Ilmu Sosial
Metodologi penelitian kuantitatif dan kualitatif muncul karena para ilmuwan ilmu sosial berbeda dalam memahami objek ilmu sosial. Karena itu, pokok persoalannya adalah apa objek ilmu sosial?

Pertanyaan tersebut memang sulit untuk dijawab. Keterangan dari berbagai literatur menunjukkan silang pendapat. Meskipun demikian, sesama ilmuwan ada kesepakatan bahwa ilmu sosial mengacu pada masyarakat . Itulah sebabnya, menurut Calvert dan Calvert (1992) , sentral pembicaraan dalam ilmu sosial berkisar pada konsep masyarakat (society). Hanya saja sesuai dengan perkembangan ilmu, masing-masing bidang studi membatasi diri pada lingkungan lebih spesifik. Pengkhususan ini erat kaitannya dalam usaha mengembangkan pengetahuan yang sistematis mengenai masyarakat berdasarkan penelitian ilmiah.

Ilmu komunikasi misalnya, sentral pembahasannya ialah usaha manusia dalam menyampaikan isi pernyataannya kepada manusia lain. Melalui usaha tersebut terjadi proses komunikasi antarindividu atau kelompok atau organisasi atau massa. Bidang studi lain, psikologi sosial, membatasi diri pada usaha sistematik mengenai perilaku sosial. Kajian ilmu politik mengenai sistem kekuasaan. Para antropolog memberi penekanan pada sistem budaya. Jadi, sentral pembicaraan tetap pada masyarakat. Hanya saja, setiap bidang studi mengambil sisi tertentu dari aspek masyarakat.

Berkaitan dengan konsep masyarakat, terdapat dua pemahaman yang berbeda. Pertama, masyarakat dipandang ibarat benda. Asumsi ini, menurut Maryaeni (2005), ditinjau dari orientasi filosofisnya didasari pada wawasan positivistik, dalam arti pernyataan tentang sesuatu fakta haruslah bersifat positif karena fakta yang dinyatakan tersebut harus memiliki hubungan timbal-balik dengan kenyataannya secara langsung. Sesuai dengan penggunaan istilah kuantitatif, fakta yang diteliti harus dapat dikuantifikasikan atau dituliskan dalam bentuk angka sehingga dapat dihitung dan dianalisa secara statistik.

Pandangan ini melihat perilaku manusia dibatasi lingkungannya. Untuk memahami pandangan ini, mau tidak mau harus mengacu pada konsep struktur. Di sini, unsur-unsur masyarakat dipandang saling kait-mengkait satu dengan lainnya sehingga tampak sebagai keseluruhan yang terpisah dari individu. Asumsi ini konsisten dengan pandangan bahwa individu dibentuk oleh masyarakat. Dengan demikian, faktor kolektif dijadikan tolok ukur utama. Karena itu, manusia baru dapat mencapai kemampuannya secara utuh, jika ia menjadi anggota masyarakat. Sebagai individu, lingkup kegiatannya sangat terbatas, tetapi sebagai anggota masyarakat kemampuannya untuk mencapai tujuan dapat ditingkatkan tanpa batas. Atas dasar asumsi inilah, kelompok lebih penting daripada individu.

Kedua, masyarakat dipandang ibarat ide. Perilaku manusia ditentukan oleh individu itu sendiri. Masyarakat hanya dijadikan simbol oleh individu untuk berinteraksi dengan individu lain dalam mencapai tujuan pribadi. Sebagai simbol ia ditawarkan pada manusia lain. Bila manusia lain itu tertarik, dalam arti masyarakat dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan pribadinya, maka ia akan menyesuaikan perilakunya dengan masyarakat tersebut. Sebaliknya, bila masyarakat dianggap oleh individu tidak mampu mencapai tujuan pribadinya, maka ia akan menanggalkan perilaku pribadinya.

Jadi, konsep masyarakat bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Konsekuensinya ialah setiap individu tidak harus bermasyarakat. Justru, masyarakat harus berfungsi memajukan kepentingan para anggota secara perorangan. Karena itu, keberadaan masyarakat ditentukan oleh individu. Masyarakat hanyalah sebagai gejala subyektif. Dengan demikian, faktor individu dijadikan tolok ukur utama.

Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif
Perbedaan pandangan tersebut membawa implikasi pada pendekatan menggali ilmu. Pemahaman masyarakat sebagai benda, pendekatan kuantitatif sebagai pilihan utama. Sebaliknya, pemahaman masyarakat sebagai ide, pendekatan kualitatif merupakan alternatif terbaik. Tentu pendekatan yang dimaksud di sini termasuk penggunaan analisis datanya.

Jadi, pendekatan kuantitatif dan kualitatif sebenarnya hanyalah konsekuensi logis dari kedua pandangan tersebut dalam memahami objek ilmu sosial. Pandangan pertama yang menekankan pada konsep struktur, tentulah harus mengaitkan antarunsur-unsur masyarakat dalam formula yang jelas. Dalam penelitian ilmiah, menurut Wimmer dan Dominick (2000), kait-mengait antarunsur-unsur tersebut dirumuskan dalam bentuk hipotesis . Supaya hipotesis dapat diukur, tentulah yang dihubungkan itu dalam level variabel. Ini sejalan dengan pandangan bahwa objek ilmu sosial itu ibarat benda, yang hanya mengakui empiris sensual. Empiris sensual adalah semua gejala yang dapat ditangkap indera manusia atau dalam terminology filsafat ilmu dikenal juga dengan istilah fenomena.

Untuk mencapai level variabel, diperlukan penalaran deduktif. Maksudnya, peneliti mulai berpikir dari umum dan kemudian ke hal yang lebih spesifik (khusus). Itulah sebabnya, dalam penalaran deduktif, peneliti harus menguasai konsep-konsep, proposisi-proposisi, dan teori-teori yang relevan. Kemampuan ini mutlak diperlukan supaya ramalan dan penjelasan tidak meleset.

Variabel yang diturunkan dari penalaran deduksi itu perlu dibuat definisi operasionalnya. Dalam definisi ini harus terlihat indikasi atau petunjuk dari variabel yang akan diukur. Dengan cara ini, konsep mengenai hal-hal yang akan diukur dapat langsung diamati dan mewakili konsep teoritis yang sesuai situasi dan kondisi lingkungan penelitian. Tanpa operasionalisasi variabel, pengumpulan data dan analisis data dengan sendirinya tidak dapat dilakukan.

Untuk menetapkan hubungan antarvariabel diperlukan pengujian alat ukur terlebih dahulu. Syarat ini mengharuskan pengembangan teknik pengukuran kuantitatif. Hanya melalui cara ini keberadaan operasionalisasi dan validitas data dapat ditentukan. Konsekuensinya ialah analisis data meminta bantuan statistik dan ilmu matematika. Cara inilah yang digunakan untuk menguji hubungan antarvariabel sebagaimana dirumuskan dalam hipotesis penelitian.

Melalui pengujian hipotesis yang spesifik dalam jumlah besar dilakukan generalisasi menuju pernyataan lebih umum dan terbatas jumlahnya. Penjelasan dan teori-teori abstrak itu diharapkan dapat mengungkapkan ciri-ciri dan dinamika masyarakat sebagai sesuatu yang berstruktur. Inilah yang mendasari pendekatan kuantitatif dalam ilmu sosial, termasuk tentunya ilmu komunikasi.

Pandangan kedua yang menekankan pada ide, tentulah membutuhkan pendekatan lain. Sebab, masyarakat menurut pandangan ini, hanya dapat dipelajari dari sisi pandangan individu lain sebagai titik awal interaksi dengan individu-individu ketiga dalam lingkungannya. Di sini, peneliti haruslah menempatkan diri, pikiran, dalam situasi dan kondisi individu itu serta mengamati dan menghayati interaksinya dengan pihak ketiga itu melalui cara yang sama. Jadi, peneliti terlebih dahulu menemukan arti dari objek penelitiannya sebagaimana masyarakat memahami objek tersebut. Peneliti tidak boleh beranggapan bahwa dunia objek dari masyarakat yang ia teliti sama dengan dunia objeknya. Orang-orang yang bertindak di dalam dunia mereka berdasarkan makna-makna yang berlaku di sana, bukan berdasarkan makna yang dimiliki peneliti.

Dalam memahami sikap dan tindakan seseorang, tentulah tidak memadai membatasi penelitian pada level variabel. Sebab variabel hanyalah bagian dari konsep, sehingga bila penelitian kualitatif hanya membatasi pada variabel maka hasilnya akan tidak menggambarkan makna yang sebenarnya. Agar makna yang dimaksud dalam penelitian kualitatif terungkap, maka menurut Denzin dan Lincoln , penelitian hendaknya dibatasi pada level konsep.

Hal itu sejalan dengan pandangan bahwa objek ilmu sosial ibarat ide, yang diasumsikan masyarakat itu sesuatu yang abstrak. Dalam penelitian ilmiah, sesuatu yang abstrak itu dapat diukur pada level konsep. Karena itu, rumusan masalah penelitian dalam kualitatif membatasi pada konsep.

Hal itu membawa konsekuensi pada empiris yang diakui dalam pendekatan kualitatif. Untuk menangkap makna sebagaimana yang dimaknai objek yang diteliti, tentulah tidak cukup hanya mengandalkan empiris sensual. Menurut Muhadjir masih diperlukan empiris lain, yang dalam pendekatan kualitatif disebut empiris etik, logik, dan transendental.

Untuk itu, ada dua tahap yang mesti dilakukan, yaitu penjajakan (eksplorasi) dan pemeriksaan (inspeksi). Penjajakan ini mempunyai dua tujuan. Pertama, agar peneliti lebih dekat dengan gejala yang diteliti dan lingkungan sosial yang masih asing baginya. Kedua, memberi kesempatan pada peneliti untuk mempertajam dan menyaring konsep-konsep dan kategori-kategori dari dunia empiris yang ditelitinya. Sedangkan pemeriksaan bertujuan: (1) mengembangkan kategori-kategori analisa yang jelas, dan (2) menemukan hubungan-hubungan di antara kategori-kategori tersebut .

Melalui tahap tersebut, pengetahuan akan masyarakat dikembangkan mulai dari konsep-konsep spesifik dan konkrit. Pengamatan terlibat dan pembicaraan gaya kisah merupakan teknik pengumpulan data yang paling relevan. Lewat proses refleksi berulang-ulang yang panjang diungkapkan konsep-konsep yang lebih abstrak dan menerangkan kenyataan yang di-observasi. Konsep yang lebih abstrak ini disebut teori, tentu menurut pandangan kedua tersebut atas objek ilmu sosial.

Dengan demikian, bagian utama dari setiap teori adalah kategori-kategori dan sifat-sifat yang dapat dimengerti disatu pihak, dan hipotesis-hipotesis di pihak lain. Melalui kategori, suatu konsep dapat digunakan untuk menegaskan persamaan dan perbedaan dari apa yang dibandingkan. Sedangkan hipotesis hanya dijadikan usulan yang berasal dari hubungan kategori yang disarankan dunia empiris, bukan atas hasil deduksi dari teori.

Itulah sebabnya, pengumpulan data maupun analisisnya tidak dapat menerapkan asas-asas ilmu statistik dan ilmu matematika. Jadi, pendekatan ini adalah interpretasi introspektif berdasarkan metode Verstehen.

Pendekatan tersebut berasal dari pemikiran sejarahan Giambattista Vico pada pertengahan abad 18 Masehi. Vico menulis bahwa hanya manusia yang dapat memahami manusia lain, dan mereka melakukan hal tersebut melalui suatu kemampuan khusus yang disebut pemahaman intuitif (intuitive understanding). Dalam ilmu sosiologi dan ilmu sosial lainnya, konsep Verstehen, atau pengalaman intuitif, dan penggunaan empati telah disebut-sebut sebagai penemuan besar di bidang ilmu itu.

Secara sederhana McDaniel dan Gates membandingkan riset kuantitatif dan kualitatif sebagai berikut:

Perbandingan Dimensi Riset Kualitatif Riset Kuantitatif
Jenis pertanyaan Pemeriksaan Pemeriksaan terbatas
Ukuran sampel Kecil Besar
Informasi dari tiap responden Banyak Bervariasi
Administrasi Memerlukan pewawancara
dengan keahlian khusus Memerlukan
pewawancara
dengan sedikit keahlian

khusus
Jenis analisis Subjektif, interpretif Statistik, penjumlahan
Perangkat keras Alat perekam, alat proyektor,
video, gambar-gambar, penuntun
deduksi Kuesioner, komputer, hasil
cetakan dari komputer Kemampuan untuk Rendah Tinggi
menggandakan

Pelatihan untuk periset Psikologi, sosiologi, psikologi sosial,
perilaku konsumen, pemasaran,
riset pemasaran Statisitk, model keputusan,
sistem pendukung
keputusan, program
komputer, pemasaran,
riset pemasaran
Jenis penelitian Eksploratif Deskriptif atau kausal

Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam ilmu sosial pendekatan kuantitatif dan kualitatif relevan digunakan sesuai dengan sudut pandang objek ilmu sosial.

Pendekatan kuantitatif memang memungkinkan ramalan lebih tepat dan penyelidikan lebih mendalam serta lebih luas dalam implikasi-implikasi hipotesis. Akan tetapi, yang membuat sebuah teori menjadi ilmiah adalah strukturnya yang logis dan kaitannya dengan fakta empiris tanpa memandang apakah dirumuskan dengan bahasa matematika atau tidak.

Atas dasar pemikiran itu, maka ilmu sosial mempunyai tidak hanya satu pendekatan dalam menjelaskan realitas. Dalam konteks ini, Thomas Kuhn dan George Ritzer menyebut ilmu sosial sebagai “ilmu dengan paradigma ganda”. Artinya, dalam menemukan kebenaran, ilmu sosial memungkinkan penggunaan beberapa paradigma teori ataupun metodologi guna menjelaskan atau mengungkapkan realitas yang dihadapinya. Thomas Kuhn sendiri membantah bahwa ilmu pengetahuan bersifat akumulatif-evolusioner. Kuhn berpendapat, paradigma terbaru dalam ilmu pengetahuan tidaklah mengungguli atau malah meniadakan paradigma sebelumnya, melainkan menempatkan diri secara sejajar sebagai alternatif terhadap paradigma lain yang dapat digunakan secara situasional.

Pendapat tersebut setidaknya mengingatkan ilmuwan Indonesia agar tidak melihat paradigma teori dan metodologi penelitian seperti layaknya trend mode. Paradigma teori dan metodologi penelitian yang terbaru dengan sendirinya akan dinilai lebih unggul (baik) dan seolah-olah dapat menjelaskan semua gejala sosial yang ada di muka bumi ini.

Dengan pola pikir seperti itulah sebagian ilmuwan Indonesia, khususnya ilmuwan komunikasi, yang memposisikan metodologi kualitatif lebih baik daripada metodologi kuantitatif. Metode survey pun akhirnya dinilai tidak ilmiah dan sudah kadaluarsa, sementara metode wacana karena muncul belakangan dinilai the best dan karenanya mahasiswa “dipaksa” untuk menyusun tesis atau disertasi dengan bantuan metodologi kualitatif.

Pola pikir seperti ini tentu menyesatkan, karena tidak ada satu paradigma ilmu atau metodologi penelitian yang dapat menjelaskan semua gejala sosial. Paradigma ilmu dan metodologi penelitian yang ada saat ini hanya mampu menjelaskan sebagian dari gejala sosial yang kompleks. Dengan demikian, munculnya paradigma ilmu dan metodologi penelitian terbaru hanyalah mengisi kekosongan untuk mengungkap sebagian gejala sosial yang belum dapat dijelaskan oleh paradigma ilmu dan metodologi penelitian yang muncul sebelumnya.

Karena itu, kiranya kedua pendekatan tersebut sepatutnya digunakan sesuai dengan kebutuhan empiris. Bagaimana pun, kedua pendekatan itu memiliki keunggulan dan kelemahan. Supaya pendekatan itu tepat guna, seyogyanyalah digunakan sesuai dengan porsinya. Dengan begitu ilmuwan sosial Indonesia tidak terbelah menjadi kubu kuantitatif dan kubu kualitatif. Semoga.

Daftar Pustaka
Burns, R. , (2000), Introduction to Research Methods. London: Sage.
Calvert, Susan and Peter Calvert, (1992), Sociology Today. London: Harvester Wheatsheaf.
Denzin, N. and Y. Lincoln (eds.), (1994), Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, CA: Sage.
Flick, J., (1998), An Introduction to Qualitative Research. London: Sage.
Johnson, Doyle Paul, (1986), Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid 2. Terjemahan Robert M. Z. Lawang. Jakarta: PT Gramedia.
Kuhn, Thomas S. (1962), The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: University of Chicago Press.
MacKenzie, Norman (ed.), (1966), A Guide to Social Sciences. New York: Mentor Book.
Maryaeni, (2005), Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
McDaniel, Carl dan Roger Gates (2001), Riset Pemasaran Kontemporer. Buku 1. Penerjemah Sumiyarto dan Rambat Lupiyoadi. Jakarta: Salemba Empat.
Peursen, C. A. Van.(1985), Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu. Penterjemah J. Drost. Jakarta: Gramedia.
Prakoso, Junarto Imam. “Dominasi Positivisme dalam Penelitian Komunikasi”. Dalam Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis, Volume III/No. 2 (Mei – Agustus 2004, hal. Vii – ix).
Triandis, Harry C. dan John W. Berry (ed.), (1980), Handbook of Cross-Cultural Psychology (Methodology). Volume 2. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Ritonga, M. Jamiluddin, (2004), Riset Kehumasan. Jakarta: Grasindo.
Stempel III, Guido H., David H. Weaver, and G. Cleveland Wilhoit (eds.), (2003), Mass Communication Research and Theory. Boston: Pearson Education, Inc.
Wimmer, R. D. and J. R. Dominick. Mass Media Research: An Introduction. Belmont, California: Wadswort, 2000.

Minggu, 01 Agustus 2010

artikel - ideologi dan media=Diterbitkan di Jurnal Masyarakat Informasi No. 2 2008, Pusbang Profesi Kominfo, Balibang SDM

IDEOLOGI DAN WACANA MEDIA
Hasyim Ali Imran

Pendahuluan

Ideologi merupakan salah satu jargon yang sudah tidak asing lagi di kalangan akademisi komunikasi yang tertarik mempelajari fenomena komunikasi bermedia melalui paradigma kritis. Jargon lainnya yang juga termasuk dianggap lazim, diantaranya yaitu power dan hegemony.

Paradigma kritis sendiri, yakni sebagai satu dari sejumlah paradigma yang ada dalam paradigma ilmu sosial (baca : ilmu komunikasi), jika ditelusuri dari segi historikal kemunculannya, maka pada hakekatnya merupakan reaksi dari rangkaian reaksi yang ada dalam paradigma ilmu sosial ketika paradigma dimaksud diorientasikan pada upaya menemukan kebenaran dari beragam fenomena sosial yang ada .

Paradigma kritis diketahui muncul sebagai reaksi kritis terhadap epistemologisnya paradigma konstruktivis dalam menemukan kebenaran ilmu. Dalam pandangan paradigma kritis, termasuk terhadap fenomena komunikasi bermedia, maka rumusan kebenaran itu tidak cukup hanya diacu menurut perspektif obyek kebenaran yang nota bene dinilai memiliki free will belaka sehubungan obyek kebenaran itupun tidak eksis dalam ruang yang vakum, melainkan terikat dengan lingkungannya. Lingkungan dimaksud, misalnya menyangkut karakteristik, latar belakang historis, dan tentunya termasuk di sini menyangkut ideologi. Dengan demikian, dalam paradigma kritis, faktor lingkungan dimaksud diyakini sangat mempengaruhi obyek kebenaran dalam bereaksi terhadap sesuatu obyek, misalnya menyangkut benda atau situasi yang dalam jargon kritikal lazim disebut dengan teks. Karena itu, menurut paradigma kritis, maka kebenaran dapat diperoleh hanya jika dilakukan proses unmasking terhadap faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi obyek kebenaran dalam bereaksi terhadap sesuatu obyek tadi guna diperolehnya jawaban “Why”. Sejalan dengan ini, maka dalam kaitan menemukan kebenaran menyangkut fenomena teksasi media mengenai sebuah wacanapun misalnya, juga harus dilakukan proses unmasking karena media dalam pewacanaannya memang dicurigai terikat dengan ideologi tertentu.

Terkait dengan posisi penting ideologi sebagai sebuah jargon dalam paradigma kritikal tadi, tulisan ini akan mencoba menelaah lebih jauh menyangkut ideologi dimaksud. Telaahnya akan dibatasi pada upaya mengetahui konsep ideologi itu sendiri. Termasuk pula di sini akan dibahas khusus menyangkut keterkaitan ideologi dengan media. Hasil bahasan yang demikian diharapkan dapat berguna sebagai pengantar awal bagi akademisi yang mulai tertarik terhadap paradigma kritikal khususnya dalam kaitan upaya memahami fenomena wacana media.

Pembahasan

1. Ideologi
Secara leksikal ideologi diantaranya diartikan sebagai suatu tubuh gagasan yang mencerminkan aspirasi dan kebutuhan sosial dari seorang individu, kelompok, kelas atau budaya. Atau, sebagai satu set doktrin atau kepercayaan yang membentuk basis dari sebuah pandangan politik, ekonomik atau sistem lainnya. Dalam kamus lain juga disebutkan bahwa ideologi merupakan suatu doktrin, filosofi, tubuh kepercayaan atau prinsip yang dimiliki oleh seorang individu atau kelompok. Dari dua definisi leksikal ini memberikan pengertian bahwa pada hakikatnya ideology itu merupakan sebuah konsepsi seseorang atau suatu kelompok mengenai kehidupan social yang mengandung prinsip dan aspirasi.

Dengan hakikat yang seperti itu, dalam pandangan beberapa akademisi ideologi juga tampak memiliki arti yang tidak jauh berbeda dengan pengertian ideologi dalam artian leksikal. Hanya saja, pengertian akademisi dimaksud tampak sudah dengan tegas memperlihatkan fungsi dari ideologi itu. Fungsi dimasud tercermin dari kata-kata :mengontrol” dan ”mengatur”. Terkait dengan ini, Raymond Williams misalnya, mendefinisikan ideologi itu sebagai sebuah bentuk yang relatif formal dan mengartikulasikan sistem makna, nilai-nilai dan kepercayaan, ataupun semacamnya yang diabstraksikan sebagai sebuah “pandangan dunia” atau “pandanganan kelas” (Williams, 1977, p 109). Samuel Becker (1984; p 69), ideologi merupakan “cara kita mempersepsi dunia kita dan diri kita; ideologi mengontrol apa yang kita lihat sebagai sesuatu yang “alami”. “Sebuah ideologi merupakan suatu bentuk setting, diintegrasikan dalam bingkai referensi, di mana di dalamnya melewati masing-masing dari kita untuk melihat dunia dan yang mengatur tindakan kita semua” (Beckers, 1984, p 69). .

Istilah ideologi sendiri pertama kali dilontarkan oleh Antoine Destutt de Tracy (1754 - 1836), pada saat bergejolaknya Revolusi Prancis . De Tracy mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang pemikiran manusia, yang mampu menunjukkan arah yang benar menuju masa depan. Namun, seperti dikatakan Novel Ali pemikiran ini mengalami distorsi makna. Napoleon Bonaparte (1769-1821) yang sebelum berkuasa sangat menghormati De Tracy, memanipulasi pengertiannya mengenai ideologi setelah menjadi kaisar dengan cara memojokkan De Tracy. Ideologi yang sebelumnya ditafsirkan De Tracy sebagai sebuah konsep yang konkritpun berubah menjadi konsep yang abstrak.

Di era kekuasaan Napoleon, ideologi dipandang sebagai konsep yang abstrak, sehingga membuka peluang untuk tidak lagi bisa menjadi definisi yang tunggal pada pergantian generasi. Artinya, setiap generasi menganut definisi yang tidak tunggal tentang ideologi. Pemikiran umat manusia tentang ideologi, yang sebelumnya mengandung nilai-nilai luhur untuk menyongsong hari esok, dimanipulasi hasrat yang tidak lagi luhur. Akibatnya, ideologi diposisikan dan difungsikan sebagai sebuah doktrin yang memberikan rangsangan bagi berkembangnya inspirasi perorangan atau kelompok manusia mengarah gerakan massa. Mulai yang bersifat santun, lembut dan persuasif sampai dalam bentuk perebutan kekuasaan dengan menggunakan kekerasan yang melanggar konstitusi negara.

Sejalan dengan itu, berbagai pahampun bermunculan mewarnai sejumlah penafsiran ideologi setelah De Tracy. Di antaranya demokrasi, liberalisme, nasionalisme, marxisme, komunisme, fasisme, sosialisme, dan anarkhisme. Belakangan, seperti disebutkan dalam situs Atheism.com, ideology inipun cenderung dibuat dengan mengacu pada kebiasaan-kebiasan psikologis, kepercayaan, anggapan-anggapan, harapan-harapan dan lain sebagainya. Karena itu bermunculanlah beragam ideologi lainnya seperti kapitalisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, kristen, fasisme, monarkisme, nazisme, libertarianisme, sosialisme, dan demokrat sosial, elitism, extremism, federalism,imperialism, leftism , meritocracy , progressivism, radicalism , reactionism, republicanism , rightism , dan Utopianism.

Sebagai sebuah konsepsi bagi setiap individu atau kelompok dalam kehidupan sosialnya, maka itu dapat diartikan bahwa ideologi itu dengan sendirinya cenderung menjadi basis bagi individu maupun kelompok dalam berperilaku sosialnya. Atau, meminjam istilah Seliger, ideologi berperan sebagai pembimbing tindakan. Perilaku sosial itu sendiri, seperti dikatakan Gramsci (1971:326) sebagaimana dikutip Fairclougn , baik terkait dengan bidang kehidupan seni, hukum, aktifitas ekonomi maupun dalam manifestasi kehidupan individu dan kolektif. Dengan demikian, ideologi itu memang erat dengan tindakan dan ideologi ditentukan dalam konteks efek-efek sosial mereka ketimbang nilai-nilai kebenaran mereka . Ini berarti bahwa aplikasi suatu ideologi cenderung inheren dengan perilaku orang per orang dalam kehidupan rutin berdasarkan pertimbangan efek yang diinginkannnya ketimbang berdasarkan kebenaran ideologi itu sendiri. Kehidupan rutin itu sendiri bisa dalam konteks kehidupan di lingkungan rumah tangga, tempat tinggal maupun lingkungan pekerjaan seperti dalam organisasi media.

2. Ideologi dan Media

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, eksistensi suatu teks itu dapat muncul di beragam tempat dan salah satunya di media (baca: suratkabar). Media suratkabar sendiri, sebagai sebuah institusi bisnis, juga sekaligus menjadi sebuah organisasi yang di dalamnya terdapat sebuah struktur dan jenjang yang kemudian menjadi pembeda peran dan fungsi bagi setiap orang yang terdapat dalam struktur organisasi. Di sisi lain, hal itu sekaligus juga menjadi pembentuk bagi munculnya sejumlah komunitas dalam suatu keseluruhan organisasi media. Terkait dengan kategori umum media yang dibagi menurut bidang isi yang dikelolanya, yaitu isi bidang redaksi dan isi bidang perusahaan, maka sejumlah komunitas tadi pada dasarnya menjadi terdiri dari dua bagian besar pula, yaitu sejumlah komunitas yang tergabung dalam struktur organisasi perusahaan dan yang tergabung dalam struktur organisasi bidang redaksi.

Dalam kaitan pernyataan sebelumnya bahwa aplikasi suatu ideologi itu cenderung inheren dengan perilaku orang per orang dalam kehidupan rutinnya, maka setiap anggota komunitas pada sejumlah komunitas yang ada dalam suatu struktur organisasi media, misalnya seperti struktur organisasi redaksi suratkabar, karenanya menjadi berpeluang untuk mempraktikkan ideologinya masing-masing. Terkait dengan teks media, maka praktik ideologi itu diaplikasikan lewat proses teksasi media itu sendiri melalui masing-masing peran individu dalam struktur organisasi redaksi media. Sementara mengenai pentingnya media bagi ajang praktik terhadap ideologi, maka menurut Althusser (1971, dalam Alzastraouw, 2000), sebagaimana dikutip Sobur ( 2001:30), itu karena media dianggap strategis dalam bekerja secara ideologis guna terbangunnya kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa. Kelompok berkuasa ini, wujudnya bisa berupa negara, pemilik media ataupun sejenisnya. Jadi, media di sini menjadi alat bagi penguasa untuk mengaplikasikan ideologinya melalui teks media demi terwujudnya kepatuhan khalayak, khususnya menyangkut substansi yang diwacanakan dalam teks. Dengan demikian, antara ideologi dan media sesungguhnya memiliki hubungan yang erat dalam kaitan proses produksi pesan. Keeratan itu, seperti dikatakan Hall yakni berupa melekatnya ideologi dominan dalam proses produksi isi media.

Dengan keeratan hubungan antara ideologi dan media yang seperti itu, dalam kaitan tingkatan pengaruh terhadap isi media yang dimodelkan oleh Shoemaker dan Reese , diketahui memang bahwa ideologi menjadi faktor paling dominan jika dibandingkan dengan empat faktor lainnya. Faktor lainnya dimaksud yaitu faktor pada level individu, level rutinitas media, level organisasi dan level ekstramedia. Dalam hubungan ini dikatakan bahwa ideologi menjadi faktor pengaruh yang paling menyeluruh dari semua pengaruh yang ada dalam proses mediasi. Ideologi di sini diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai individu untuk melihat realita dan bagaimana mereka menghadapinya.

Jika faktor-faktor lain yang sifatnya lebih konkrit, misalnya seperti dari faktor level individual yang diantaranya berbentuk karakteristik pekerja, maka level ideologi itu dengan demikian sifatnya abstrak. Meskipun demikian, para akademisi di USA misalnya, maka dalam upayanya mengkonkritkan keabstarakan ideologi, itu dilakukan dengan cara mengenal potensi-potensi dasar yang memunculkan ideologi itu sendiri. Dalam kaitan ini maka yang menjadi potensi dasar bagi munculnya suatu ideologi di USA secara fundamental yaitu berupa kepercayaan akan nilai-nilai sistem ekonomi kapitalis, kepemilikan pribadi, keuntungan pengusaha, dan pasar bebas . Dengan demikian, keabstrakan suatu ideologi sebenarnya memiliki peluang untuk dapat diidentifikasi menjadi konkrit, dan itu bisa dilakukan melalui upaya pengenalan terhadap potensi-potensi dasar yang memunculkan ideologi itu sendiri.

Sebagai faktor paling dominan dalam proses mediasi, maka dalam perspektif Timur (kritikal) karenanya ideologi media tadi menjadi penting untuk diketahui. Dalam pandangan Fairclough, sebagaimana sudah disinggung-singgung sebelumnya, maka kepentingan itu terutama untuk membuka kedok atau membongkar asumsi-asumsi ideological yang tersembunyi dalam kata-kata dari teks tertulis maupun percakapan lisan guna melawan dan menolaknya sebagai sesuatu yang tidak kita ketahui. Dalam hubungan ini maka asumsi-asumsi ideological yang tersembunyi itu secara teoritis diasumsikan Altschull sebagai idelogi yang merefleksikan ideologi pihak yang membiayai mereka. ”........... media reflect the ideology of those finance them, or ”pay the piper.” Demikian Altschull sebagaimana dikutip Shoemaker dan Reese, (1996:231) .

Terkait dengan soal pembiayaan tadi maka Altschull (1984, p.254) mengkategorikannya menjadi empat yaitu: Pertama, di dalam pola yang formal, media dikendalikan oleh Negara, (seperti halnya di banyak negara-negara komunis). Kedua, di dalam pola komersial, media merefleksikan ideologi para pengiklan dan pemilik media. Ketiga, di bawah pola kepentingan atau interest, isi media merefleksikan ideologi kelompok finansial yang membiayai media, misalnya seperti partai politik atau kelompok keagamaan. Keempat di dalam pola yang informal, isi media merefleksikan tujuan para individu kontributor yang ingin mempromosikan pandangan-pandangan mereka . Dengan demikian, ideologi media pada dasarnya berbasis pada soal pembiayaan operasionalisasi media yang berdasarkan sumbernya diidentifikasi bervariasi pada empat pola yang terdiri dari pola formal (merefleksikan negara), komersial (merefleksikan pengiklan dan pemilik media), kepentingan (interest) (merefleksikan kepentingan partai politik atau kelompok keagamaan), dan informal (merefleksikan kontributor).

ooo
Penutup
Sebagaimana telah dibatasi sebelumnya pada awal, tulisan ini membatasi telaahnya pada upaya mengetahui konsep ideologi itu sendiri dan menyangkut bagaimana keterkaitan ideologi itu dengan media. Dari hasil pembahasan terhadap kedua topik dimaksud dapat dikemukakan beberapa hal sbb. : Terkait dengan topik pertama, maka : (1) pada hakikatnya ideology itu merupakan sebuah konsepsi seseorang atau suatu kelompok mengenai kehidupan social yang mengandung prinsip dan aspirasi; (2) Istilah ideologi pertama kali dilontarkan oleh Antoine Destutt de Tracy pada saat bergejolaknya Revolusi Prancis. De Tracy mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang pemikiran manusia, yang mampu menunjukkan arah yang benar menuju masa depan; (3) Sejalan dengan terdistorsinya makna ideologi dalam pandangan De Tracy, maka bermunculan beragam jenis ideologi yang terdiri dari Di antaranya demokrasi, liberalisme, nasionalisme, marxisme, komunisme, fasisme, sosialisme, dan anarkhisme, kapitalisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, kristen, fasisme, monarkisme, nazisme, libertarianisme, sosialisme, dan demokrat sosial, elitism, extremism, federalism,imperialism, leftism , meritocracy , progressivism, radicalism , reactionism, republicanism , rightism , dan Utopianism; (4) aplikasi suatu ideologi cenderung inheren dengan perilaku orang per orang dalam kehidupan rutin berdasarkan pertimbangan efek yang diinginkannnya ketimbang berdasarkan kebenaran ideologi itu sendiri. Kehidupan rutin itu sendiri bisa dalam konteks kehidupan di lingkungan rumah tangga, tempat tinggal maupun lingkungan pekerjaan seperti dalam organisasi media. Terkait dengan topik kedua, maka : (1) setiap anggota komunitas pada sejumlah komunitas yang ada dalam suatu struktur organisasi media, misalnya seperti struktur organisasi redaksi suratkabar, berpeluang untuk mempraktikkan ideologinya masing-masing; (2) Terkait dengan teks media, praktik ideologi itu bisa diaplikasikan lewat proses teksasi media itu sendiri melalui masing-masing peran individu dalam struktur organisasi redaksi media; (3) pentingnya media bagi ajang praktik terhadap ideologi, itu karena media dianggap strategis dalam bekerja secara ideologis guna terbangunnya kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa; (3) antara ideologi dan media sesungguhnya memiliki hubungan yang erat dalam kaitan proses produksi pesan. Keeratan itu berupa melekatnya ideologi dominan dalam proses produksi isi media. Ideologi menjadi faktor paling dominan jika dibandingkan dengan empat faktor lainnya yaitu faktor pada level individu, level rutinitas media, level organisasi dan level ekstramedia; (4) ideologi itu bersifat abstrak dan upaya mengkonkritkan keabstarakan ideologi, diantaranya dapat dilakukan dengan cara mengenal potensi-potensi dasar yang memunculkan ideologi itu sendiri; (5) Sebagai faktor paling dominan dalam proses mediasi, maka dalam perspektif Timur (kritikal) karenanya ideologi media menjadi penting untuk diketahui. Kepentingan itu terutama untuk membuka kedok atau membongkar asumsi-asumsi ideological yang tersembunyi dalam kata-kata dari teks tertulis maupun percakapan lisan guna melawan dan menolaknya sebagai sesuatu yang tidak kita ketahui; dan (6) ideologi media pada dasarnya berbasis pada soal pembiayaan operasionalisasi media yang berdasarkan sumbernya diidentifikasi bervariasi pada empat pola yang terdiri dari pola formal (merefleksikan negara), komersial (merefleksikan pengiklan dan pemilik media), kepentingan (interest) (merefleksikan kepentingan partai politik atau kelompok keagamaan), dan informal (merefleksikan kontributor).
ooo

Daftar Pustaka
Buku :
Fairclougn, Norman, 1995, Critical Discourse Analysis : The Critical Study of Language, London and New York, Longman, p.76.
Gurevith, Michael, Tony Bennett, James Curran and Woollacott, Culture, Society and The Media. Methuen London and New York, 1982, 263.
McGregor, Sue L.T., dalam, “Critical Discourse Analysis- A Primer”, dalam http://www.kon.org/ archives/forum/15-1/mcgregorcda.html.
Seliger, dalam John B. Thompson, Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, 2003, Diterjemahkan, Haqqul Yaqin, Yogyakarta, IRCiSoD, hlm. 132.

Shoemaker, Pamela J., Reese dan Reese, Stephen D., 1996, Mediating The Message, Theories of Influences on Mass Media Content,NY, Longman Publishers USA, p. 223.
Website :
http://www.thefreedictionary.com/ideology
http://www.allwords.com/word-ideology.html
http://atheism.about.com/library/glossary/general/bldef_ideology.htm
http://www.freelists.org/archives/ppi/03-2006/msg00142.html
http://atheism.about.com/library/glossary/general/bldef_ideology.htm
http://www.thefreedictionary.com/ideology; http://id.wikipedia.org/wiki/Ideologi;

Jumat, 30 Juli 2010

artikel tamu

IKLAN POLITIK

DALAM KAMPANYE CAPRES DI MEDIA VIRTUAL

Oleh : S. Arifianto*

Abstraksi

Tulisan ini berusaha untuk memahami makna iklan politik kampanye capres di media virtual. Dari kesimpulan analisis terdapat dua sudut pandang yang berbeda dalam memaknai iklan politik tersebut. Pertama keperkasaan hegemoni kekuasaan, yang direpresentasikan iklan politik dalam kampanye capres di media virtual merupakan upaya untuk “tujuan pencintraan” para kandidat presiden, mempertahankan popularitas kekuasaan.Kedua dari sisi masyarakat sebagai calon pemilih dirasakan adanya hegemoni politik kekuasaan untuk menjadikan masyarakat sebagai obyek kekuasaan. Seperti terlihat dalam disply iklan di berbagai media virtual tampak betapa lemahnya posisi masyarakat calon pemilih yang dijadikan obyek kekuasaan kandidat presiden dalam pilpres 2009..Tetapi paling tidak dari iklan tersebut masyarakat,bisa mendapat kan informasi politik,berupa pengetahuan awal tentang karakristik,jejak rekam para kandidat presiden secara interaktif melalui media virtual.

Kata kunci : Ikaln politik,media virtual,pengetahuan masyarakat

Pendahuluan

Mengamati iklan kampanye pemilu capres pada putaran pertama tahun 2009 banyak perubahan yang terjadi. Perubahan itu seiring dengan kemajuan teknologi informasi global dewasa ini. Perkembangan teknologi informasi global telah memaksa para kandidat capres dan tim suksesnya berfikir ulang mengatur strategi mana yang paling efektif. Pada tataran tersebut konsep iklan akan di lihat pada siapa yang akan di bidik menjadi sasarannya. Setelah sasaran yang akan di bidik sudah jelas, tahap berikutnya adalah pemilihan media. Ketika kita berbicara tentang pemilihan media sebagai ajang promosi atau iklan yang ada di benak pemasang iklan adalah jangkauan media yang bersangkutan. Tetapi juga bisa di lihat dari sisi karakteristik materi apa, dan kepada siapa sebuah iklan akan di sasar. Ketika yang kita bicarakan adalah iklan kampanye pemilu capres di media virtual, maka sasaran akhir dari iklan itu jelas para calon pemilih di masyarakat global.Dalam konteks pemilu capres di Indonesia 2009 ini adalah masyarakat yang tinggal di dalam negeri maupun di luar negeri. Konsumen iklan pemilu capres di media virtual tentu sungguh menarik. Karena konsumen dihadapkan untuk memilih pedang bermata dua. Artinya di satu sisi konsumen memperoleh informasi yang cukup imajinatif dari sebuah visi dan misi Capres yang di iklankan. Tetapi pada sisi yang lain masyarakat bisa terperosok ke arah pemaksaan, jika tidak mampu memahaminya dengan cermat visi dan misi tersebut. Dibalik itu,”informasi”juga telah bergeser menjadi kebutuhan pokok, khususnya bagi mereka yang menjadi komunitas dunia maya.

Siapa yang menguasai informasi ia akan menguasai dunia, khususnya dibidang politik dan ekonomi1 Dengan memahami makna iklan politik yang menyajikan program capres secara jelas dan transparan, konsumen bisa mendapatkan informasi serta dapat menentukan sikap untuk memilih dan memilah semua informasi yang terkait dengan visi dan misi capres. Secara histories masyarakat di Indonesia telah terbentuk sejak masuknya kebudayaan modern dimasa pemerintahan Kolonial. Budaya itu dipernalkan pada masyarakat pribumi sejak melalui konsep pendidikan modern di abad IXX. “Kondisi itu telah mengubah struktur sosial masyarakat (priyayi dan birokrat) dengan gaya hidup masyarakat belanda.

Secara bertahap mereka akhirnya telah terbiasa mengkonsumsi barang kebutuhan sehari seperti masyarakat Belanda, dan semakin meluas menjadi komunitas baru yang memiliki selera seperti masyarakat modern Eropa”2 Sifat konsumerisme itu sendiri muncul post colonial. Sifat konsumerisme itu tidak hanya terbatas di sektor ekonomi, tetapi juga merambah sektor sosial, budaya dan politik. Perilaku sosial masyarakat yang berkorelasi dengan emosional politik secara tidak sadar berpengaruh terhadap solidaritas pilihan individu pada capres yang mereka yakini. Terbangunnya komunitas masyarakat virtual terhadap capres tertentu pada dasarnya untuk menciptakan keterbukaan baru yang lebih pluralistik3 Dalam konteks ini komunitas masyarakat virtual pendukung capres merupakan partisipan yang memiliki ikatan emosional terhadap para capres pilihannya. Guna mempelajari perilaku dan ikatan emosional, gaya berpolitik komunitas masyarakat virtual tersebut bisa diadopsi dari teori intertemporal choice, yang memformulasikan kecenderungan komsumsi politik pendukung capres sekarang dengan konsumsi politik pendukung capres masa yang akan datang.4 Pada posisi ini masyarakat selalu ditempatkan pada konsumen (politik) sasaran pemasaran visi dan misi capres tertentu pada dunia virtual tersebut.

Dalam teori itu Danton (1992:12) menjelaskan bahwa konsumsi politik tidak sekedar untuk memenuhi tuntutan gaya hidup modern, tetapi dibalik itu lebih dititik beratkan untuk menaikkan gengsi sosial bagi komunitas masyarakat di lingkungannya. Fenomena seperti itu bukan suatu hal yang aneh pada saat kita dihadapkan pada kebebasan informasi di abad modern sekarang ini,Demikian juga munculnya pertumbuhan kreatif dunia periklanan ditengah kompetisi pasar menjadikan para creator iklan politik untuk berpikir ulang. Menjamurnya iklan politik pada saat musim kampanye pilpres 2009 di media virtual tersebut setidaknya bermakna memberikan alternatif informasi kepada calon pemilih yang tidak harus di batasi oleh ruang,.waktu dan geografis. Bahkan ia ingin membentuk image di benak calon pemilih capres tertentu. Pembentukan image ini sangat penting dan merupakan langkah strategis bagi tim sukses capres untuk memperluas jaringan calon pemilih sebanyak mungkin. Pembentukan citra (image) itu bermakna ketika calon pemilih telah berada di bilik suara. Mereka akan dengan mudah dapat mengambil keputusan untuk memilih capres, seperti yang telah melekat di benak mereka sebelumnya. Sebenarnya keputusan konstituen untuk menentukan pilihannya bukan semata-mata ditentukan oleh faktor sosial politik dan ekonomi. Tetapi juga adanya tekanan pengaruh kuatnya tekanan demokratisasi budaya politik yang bisa memberikan kelonggaran untuk menentukan pilihannya bagi setiap individu. Walaupun masyarakat memiliki organisasi politik beragam, ketika dibilik suara tidak ada organisasi politik manapun yang sanggup mengontrol dan mengarahkannya. Pilihan mereka adalah berdasarkan hati nurani yang terbentuk dari berbagai informasi dan pengetahuan dari hasil seleksi pengejawantahan para capres ketika kampanye di berbagai ruang dan media. Namun demikian dalam pandangan kognitif para calon pemilih itu ditempatkan sebagai pemecah masalah (problem solving) dimana masyarakat calon pemilih sering digambarkan sebagai individu yang bersifat pasif, tetapi dilain pihak ia aktif mencari informasi para kandidat capres yang akan di pilihnya. Membaca iklan di media virtual adalah untuk mendapatkan informasi, agar komunitas masyarakat virtual mempunyai pengetahuan alternatifl tentang visi,misi serta program-program capres. Dalam konteks inilah para creator iklan politik menempatkan negosiasi antara kepentingan kekuasaan dengan obyek yang akan dibidik dalam sebuah komunitas masyarakat tertentu.Tulisan ini merupakan gagasan penulis untuk mendiskusikan berbagai varian makna iklan kampanye pilpres 2009, di media virtual (media On-line).

Memahami Teks “Iklan Kampanye Pilpres di Media Virtual”

Untuk memahami makna iklan kampanye pilpres di media virtual sebagai data analisis ini tidak mudah. Karena di masing-masing jenis teks iklan mempunyai makna yang berbeda.Bisa jadi makna yang di maksudkan oleh kreator iklan,berbeda dengan penabsiran orang lain.Tetapi menurut hemat saya makna tidak serta merta berada dalam teks iklan itu sendirian. Pembacaan makna bukan seperti membuka kaleng yang kemudian dengan sendirinya akan memunculkan makna pesan yang terkandung di dalamnya. Makna dihasilkan dari interaksi antara teks dan khalayak.5 Ketika teks iklan kampanye pilpres diluncurkan di media virtual, sebenarnya telah terjadi kontak negosiasi antara calon pemilih di masyarakat virtual dengan produk yang di iklankan (visi,misi dan program capres) meski informasi tersebut belum cukup menyakinkannya.

Jadi pembacaan teks iklan kampanye pilpres seperti itu secara bersamaan akan menhasilkan makna terpilih (freffered meaning). Dalam kolaborasi ini di satu sisi pembaca iklan kampanye pilpres ditempatkan sebagai individu dalam sistem nilai yang sangat dominan. Tetapi pada sisi yang lain ia juga ditempatkan pada masyarakat konsumennya. Itulah cara bekerja sebuah ideology periklanan dimanapun ia berada. Dalam bekerjanya ideologi akan memberikan bentuk koherensi pada sikapnya, dalam konteks tersebut Maxs selalu menghubungkan ideologi dengan relasi sosial.6 Sedangkan fakta sosial yang menentukan ideologi adalah kelas dalam bentuk pembagian kerja. Karenanya dalam konsep tersebut kelas yang berkuasa menjaga dominasi terhadap kelas kerja, dan kelaslah yang berkuasa untuk mengontrol ideologi komunitas masyarakat virtual yang di sasar iklan tersebut.

Dalam konteks pembacaan “iklan kampanye pilpres di media virtual” ini kelas kekuasaan di representasikan dalam pesan komunikasi politik. Pesan komunikasi politik yang mengandung hegemoni kekuasaan itu di kemas melalui teks iklan yang berisi visi, misi, program dan ajakan untuk memilihnya. Pesan komunikasi politik para capres itu semua di tujukan kepada calon pemilih di komunitas masyarakat virtual. Di sini calon pemilih ditempatkan sebagai obyek untuk mendukung kolaborasi kekuasaan (capres dan segenap parpol koalisinya) dalam menjual programnya dengan memunculkan mood tertentu sebagai daya pikatnya. Mood yang dimunculkan dalam iklan kampanye pilpres tersebut berupa jargon-jargon politik. Misalnya:(ekonomi kerakyatan, menggratis kan pendidikan kaum duapa,subsidi para petani,pengentasan kemiskinan,pemberian kredit usaha kecil, pertumbuhan ekonomi dan lainnya).

Pada tataran ini para calon pemilih pasangan capres di hadapkan pada pembentukan citra melalui iklan. Mereka akan di giring untuk mengambil keputusan politik sesuai dengan platform masing-masing capres.Bagi mereka yang sejak awal sudah berafiliasi dengan parpol pengusung capres tertentu mungkin tidak ada masalah.Mereka tinggal memperdalam perkembangan informasi politik yang terjadi. Tetapi bagi mereka yang tidak bertautan dengan parpol pengusung capres masalahnya akan lain.Khususnya kelompok masyarakat yang masih mengambang yang jumlahnya 27 % (LP3ES, Jawa Pos,9/6/2009).Kelompok inilah yang oleh banyak pihak pilihannya ada ketergantungan dengan kualitas kampanye capres 2009 termasuk di media massa dan media virtual.Artinya mereka akan betul-betul melakukan seleksi secara alami dengan mempelajari apakah visi,misi dan program capres mempunyai korelasi yang cukup jelas dengan ideology yang mereka yakini. Apakah program yang di tawarkan dalam iklan memang bisa di implementasikan, untuk kemajuan bangsa dan masyarakat komunitasnya.Kemungkinan-kemungkinan seperti itu akan menjadi daya pikat bagi masa yang masih mengambang tersebut. Mereka yang tergabung dalam komunitas masyarakat global akan mencari informasi yang lebih mendalam tentang profil para capres melalui media virtual. Informasi seperti itu menjadi penting ketika mereka akan mengambil keputusan politik dalam pemilihan presiden yang di gelar tanggal 8 Juli 2009. Di bilik itulah semua pengetahuan dan aspirasi politik mereka implementasikan. Itu merupakan bagian dari hasil pencitraan melalui iklan dan perilaku lain yang bisa di tangkap oleh para calon pemilih di komunitas media virtual.

Tampilan iklan kampanye pemilu capres di semua media, tentu telah melalui sensor yang sangat ketat. Materi iklan yang ditampilkan harus mempunyai kekuatan untuk menyentuh di bawah alam sadar bagi calon pemilih. Pekerjaan itu tidak mudah, hanya para kreator iklan yang mengetahui tentang hal tersebut.Setiap iklan yang di tampilkan di media virtual pasti mempunyai target tertentu bagi pengiklan. Target itu adalah naiknya apresiasi masyarakat terhadap para kandidat capres.Dari sana tampak mana iklan yang sekedar bermakna propaganda, dan mana iklan yang mampu berkomunikasi dengan konstituennya. Elemen yang paling dominan dimunculkan dalam iklan kampanye pemilu capres 2009 ini adalah “jargon politik”. Karena jargon politik dianggap bisa membentuk citra (image) yang mudah di ingat oleh calon pemilih. Jargon politik bisa di gunakan sebagai martil untuk menggugah kesadaran politik masyarakat yang sudah mulai menurun. Sementara elemen teks iklan hanya sebagai bentuk penegasan dari sasaran pasar yang akan dibidik oleh capres tertentu. Misalnya dalam narasi iklan pasangan Mega-Prabowo mencitrakan capres “pro rakyat”. Pasangan Sby-Boediono menggunakan jargon politik,”lanjutkan”.Sedangkan pasangan Jk-Wiranto menggu nakan jargon,”lebih cepat lebih baik”.Semua jargon politik yang di populerkan iklan tersebut tujuannya hanyalah untuk membentuk citra politik di mata calon pemilihnya. Dengan jargon politik seperti itu masyarakat akan mudah mengingat calon pilihannya kelak di hari H pemilihan capres. Jargon politik itu juga bermakna menunjukkan motif kekuasaan seorang capres kepada masyarakat konstituennya. Wacana seperti itu dapat dibaca dari makna yang terkandung dalam visualisasi design iklan kampanye capres tersebut baik dalam bentuk gambar maupun narasi teks bahasa yang digunakannya. Dalam kajian pemahaman terhadap design iklan disamping faktor dasar yang menjadi arena kehidupan manusia7, juga memiliki keterkaitan dengan tumbuhnya budaya konsumen dan gaya hidup masyarakat. konsumsi secara artificial dimotivasi oleh iklan, yang akhirnya menumbuhkan budaya konsumerisme di masyarakat modern seperti sekarang ini.

Herbert Marcuse (1968) mengembangkan argumen tersebut untuk menunjukkan bahwa ideologi politik telah mendorong kebutuhan palsu, dan kebutuhan ini bekerja sebagai bentuk control sosial.8 Jadi pengiklan mendorong kebutuhan palsu pada calon pemilih untuk mengkonsumsi citra tertentu. Perilaku seperti itu erat kaitannya dengan budaya politik di berbagai kehidupan. Fenomena seperti ini juga menunjukkan berbagai varian penindasan hak berpolitik dalam bungkus partisipasi komunitas masyarakat virtual yang mengejar pertumbuhan meskipun muncul kesadaran semu sehingga penindasan kekuasaan itu memuaskan.9 Dengan demikian sebenarnya budaya politik yang didorong oleh maraknya kompetisi jargon politik dalam dunia periklanan itu tidak lebih dari sebuah kepalsuan realitas budaya politik di masyarakat. Namun demikian budaya politik semu seperti itu telah menjadi trens kehidupan politik bagi masyarakat modern abad ini. Tanpa sadar masyarakat terus berkompetisi untuk mendukung capres tertentu sebagai akibat dari motivasi kekuasaan melalui bujuk rayu promosi periklanan, atau pendekatan lainnya. Sejak berlangsungnya kampanye pemilu legislatif,Januari sampai menjelang pilihan presiden 2009 konstelasi iklan politik cenderung meningkat tajam di madia massa termasuk media virtual.Indikatornya total belanja iklan di media cetak dan televisi selama semester satu 2008 tumbuh sekitar 24 %.Data tersebut di kemukakan oleh Maika Randani (2008) Senior Manager Business Nielsen Media Research Indonesia. Survey yang mengambil sampel 93 Surat Kabar, dan 149 Majalah dan Tabloit, serta 19 stasiun televisi di Indonesia itu di lakukan pada semester pertama 2008 (Kompas, 12/8/2008).Melonjaknya iklan politik itu tidak sekedar memperkenalkan keberadaan parpol, tetapi juga sosok-sosok individu politikus tertentu.

Ketidak Berdayaan Masyarakat Calon Pemilih

Salah satu di antara perubahan sosial bidang teknologi informasi yang menyertai kemajuan ekonomi masyarakat Indonesia dalam satu dasa warsa terakhir ini adalah berkembangnya berbagai gaya hidup berkomunikasi dengan perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Sebagai fungsi diferensiasi sosial yang tercipta dari relasi konsumsi, hal tersebut tidak lagi sekedar berkaitan dengan nilai guna dalam upaya memenuhi fungsi kebutuhan komunikasi dan informasi, “tetapi sudah menjurus pada unsur simbolik untuk menandai kelas, status dan simbol sosial tertentu”.10 Di sini konsumsi politik bukan lagi ditempatkan sebagai alat komunikasi politik, tetapi merupakan identitas diri dari budaya politik seseorang di tengah-tengah masyarakat. Jadi yang dikonsumsi oleh para calon pemilih dalam iklan bukan lagi obyek, tetapi makna-makna sosial politik yang berada di balik iklan di media virtual itu.

Kecenderungan penggunaan iklan kampanye politik di media virtual dianggap bukan lagi sebagai pemenuhan sarana komunikasi politik belaka. Tetapi oleh para pemikir ilmu sosial dan budaya Eropa, disebut sebagai “budaya konsumerisme,politik”. Meski mungkin istilah yang sama digunakan ditempat lain mengandung makna yang berbeda. Jika merujuk pada perkembangan masyarakat kebudayaan postmodern tentu tidak dapat dipisahkan dari perkembangan konsumerisme politik dalam diskursus kapitalisme. Dalam hal ini terdapat relasi antara konsumsi politik dengan perangkat teknologi informasi dan komunikasi dengan praktik estetika postmodern. Artinya perkembangan komunitas masyarakat virtual pengguna perangkat teknologi informasi dan komunikasi seperti itu telah mempengaruhi cara pandang calon pemilih dengan estetika, bahasa teknologi pada komunitas masyarakat tertentu. Pengaruh itu muncul akibat dominasi hegemoni kekuasaan politik melalui capres di semua lini kehidupan. Misalnya jika awalnya aliran Marxis dan sosiologis berangkat dari konsep ideologi membatasi pemakaian ide yang diasosiasikan dengan, dan memelihara kekuatan, kelas dominant. Berbeda dengan argument Giddens11 bahwa ideologi harus dipahami dalam hal bagaimana struktur pemaknaan dimobilisasi untuk mengesahkan kepentingan kelompok hegemonis kekuasaan politik.

Artinya ideologi politik itu mengacu pada bagaimana makna digunakan untuk menjustifikasi kekuasaan yang mencakup banyak kelas. Althusser melihat ideologi sebagai sesuatu yang menjustifikasi tindakan semua kelompok masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Foucault (1980) bahwa kita semua termasuk dalam relasi kekuasaan. Maka dari itu sebenarnya iklan kampanye capres 2009 tidak sekedar ditujukan kepada calon pemilih di masyarakat, tetapi juga kepada siapa saja yang membaca teks iklan di media virtual itu. Siapa saja artinya bukan didominasi kelas, tetapi khalayak secara universal baik calon pemilih, atau yang bukan sebagai calon pemilih capres 2009 ini. Kekuasaan ekonomi politik para capres adalah untuk menanamkan imajinasi (imaginary inculcate) di benak masyarakat agar suatu ketika nanti orang mengambil keputusan politik untuk memilih capres yang pertama kali yang ada di benak mereka adalah capres pilihannya yang “diterakan iklan politik di media” bukan capres lain. Inilah makna hegemoni politik kekuasaan dalam konteks iklan capres di media virtual dewasa ini.

Iklan Politik & Peradapan Modern

Tentu tidak ada yang salah jika para kandidat presiden beramai-ramai mencitrakan dirinya memasang iklan di media, termasuk media internet. Citra diri identik dengan identitas diri,untuk diperkenalkan kepada masyarakat luas calon konstituennya dalam pemilu,baik legislatif, maupun presiden. Dengan beriklan public bisa mengenalnya sehingga mereka bisa menjadi popular. Derajad popularitas seseorang ditentukan oleh satu jawaban,”ya saya tahu tokoh politik itu”. Jawaban itulah yang dikehendaki lembaga survey, atau riset ketika masyarakat ditanyai tentang tokoh politikus tertentu. Ketika banyak masyarakat yang tahu sosok capres melalui iklan baik di media massa maupun media virtual dapat diasumsikan bahwa tokoh yang bersangkutan “popular” karena banyak masyarakat yang mengenalnya. Namun bagi sosok capres popular saja tentu belum cukup, seorang capres perlu elektabilitas. Jadi popularitas tentu tidak identik dengan elektabilitas. Artinya sosok capres memasang iklan saja tidak cukup, ia perlu dukungan dan respon masyarakat sebagai bentuk legitimasi. Respon yang datang dari masyarakat Indonesia yang majemuk itu jelas beragam. Respon yang terpotret dari visualisasi media menunjukkan pertanyaan yang sangat kritis sampai dengan yang bersifat sangat pribadi.

Di tengah perekonomian yang belum sembuh dari badai krisis global, dan dilihat dari latar belakang profil masing-masing capres, maka public bertanya berapa besar dan dari mana sumber pendanaan iklan masing-masing capres itu? Dalam tataran normative sebagian pertanyaan itu sudah dijawab oleh masing-masing capres di hadapan KPU. Tetapi dalam logika ekonomi, masih banyak kejanggalan dari jawaban mereka yang bersifat normative tersebut. Kita semua paham bahwa domokrasi itu mahal, namun demokrasi itu sendiri memerlukan transparansi. Kondisi psikologi public dan sosio cultural masyarakat masih belum menemukan jawaban yang sesungguhnya dari para kandidat presiden selama ini. Artinya public baru menerima “janji-janji politik saat membaca iklan politik di media massa dan media virtual.

Bahkan janji politik yang dikemas dalam komunikasi periklanan itu lebih bersifat hiperbolik dan kurang realistis.Iklan politik di media virtual maupun media lain bukanlah seperti “dewa penyelamat” yang bisa mengatasi semua persoalan bagi setiap capres kontestan pemilu. Popularitas,elektabilitas dan pencitraan sosok kandidat presiden dibangun dari kecintaannya kepada bangsa dan negaranya. Dilihat dari perspektif ilmu komunikasi pencitraan di media, meski diperlukan hanyalah bersifat temporer.Iklan politik di media hanyalah sekedar”artificial”atau kulit permukaannya saja. Ibaratnya iklan politik di media barulah sebatas pengenalan “lebel”nya saja. Karena masih bersifat artificial maka visi,misi dan program capres yang ditawarkan dalam iklan tentu belum tentu bersifat otentik. Pencitraan sosok kandidat presiden yang kita baca dalam iklan politik di media virtual dan media lainnya belum tentu melahirkan pemimpin yang sejatinya. Tetapi jika sosok capres pemasang iklan di media dikatakan bukan calon pemimpin yang otentik dan visioner juga tidak benar. Otentik tidaknya seorang kandidat presiden tidak bisa diukur dari beriklan di media atau tidak. Pencitraan iklan politik di media adalah salah satu “cara”, sedangkan otentisitas pemimpin adalah proses kepemimpinan. Seorang pemimpin yang dianggap otentik terlihat dari proses panjang (track record) yang telah mereka jalani. Masyarakat sekarang telah semakin cerdas dan kritis untuk membedakan mana capres yang otentik dan tidak otentik melalui pengamatan atas dasar rekam jejaknya dimasa lalu. Misalnya dalam peristiwa tertentu mereka berperan sebagai apa dan melakukan apa ketika itu.

Publik seharusnya sadar dalam melihat otentisitas capres secara utuh, bukan ketika mereka dicitrakan oleh sebuah iklan politik di media, saat kampanye pemilu presiden seperti sekarang ini. Masalahnya masyarakat sebagai calon pemilih capres cenderung lemah untuk memilih calon pemimpin yang otentik dan visioner tersebut. Masyarakat kita mudah pelupa, begitu disuguhi iklan dengan janji politik “pro rakyat, akan menurunkan harga sembako, akan memberikan subsidi pada petani,nelayan, akan memberikan kridit usaha kecil,memperhatikan nasib guru” dan lainnya, sudah goyah. Kelemahan lainnya masyarakat pemilih masih menggunakan logika primordialisme, sehingga mengenyampingkan konsep otentisitas.

Pada hal konsep primordial seperti ini akibatnya bisa sangat fatal, dan membahayakan kisi- kisi demokratisasi dimasa mendatang. Konsep primordial yang sering dianut masyarakat di daerah tertentu hanya dilandasi oleh fanatisme terhadap sosok tertentu. Fanatisme seperti itu bisa terbentuk karena adanya ikatan atau hubungan tertentu (suku,ras,adat,agama,organisasi, aliran,etnik, ideology,dan sejenisnya). Misalnya dalam pemeo (jawa) “pejah gesang ndherek penjenengan” (hidup dan mati ikut anda). Calon pemilih kelompok ini tidak akan terpengaruh berbagai slogan kampanye, dan teks iklan di media massa. Sebenarnya calon pemilih kelompok ini mempunyai kecerdasan dan cukup kritis tetapi tidak mempunyai kesanggupan untuk berpindah memilih capres yang lebih baik, dan visioner dari rekam jejak yang dimilikinya. Iklan politik di media tidak akan berpengaruh terhadap mereka. Idealnya untuk melakukan pendidikan politik yang demokratis semua pihak harus mau berubah. Perubahan politik adalah sangat dinamis,dan seharusnya diikuti konstituennya dalam kadar tertentu. Dengan berlangsungnya iklim politik yang berkualitas masyarakat akan menerima dampak positifnya. Dalam konteks ini bukan hanya sebatas hubungan kausalitas antara politisi dan calon pemilihnya, tetapi media ikut bertangguang jawab. Media berperan dan bertanggung jawab dalam proses pendidikan politik kepada masyarakat. Iklan politik dengan narasi dan teks yang bervariatif boleh ditayangkan di media mana saja. Tetapi media mempunyai tugas untuk mencerdaskan masyarakat, dalam mengawal pendidikan politik melalui institusinya.

Interpretasi Makna iklan Politik di Media virtual

Lima tahun terakhir pasca pemilu legislatif dan pemilu presiden 2004,perubahan politik yang terjadi di Indonesia telah membawa pengaruh yang signifikan pada praktik ber-ekspresi dan kebebasan memperoleh informasi politik.Menjamurnya industry media yang menawarkan keragaman informasi politik tentang (kampanye pilpres) menjadi penanda indicator tersebut.Keragaman informasi politik di saat berlangsungnya kampanye pilpres 2009, di media massa dan internet sangat menuntungkan public.Masyarakat sebagai calon pemilih ketiga kandidat pesiden bisa mendapatkan banyak informasi, dari yang bersifat tendensius,netral dan positif secara transparan. Dalam konteks ini media dapat di sebut sebagai”conciousnnes industries” di karenakan media di anggap membantu membangun cara berpikir, melihat, mendengar dan berbicara realitas social politik yang di hadapi public.

Teks dalam media massa dan virtual membentuk keragaman makna social,dalam upaya memaknai iklan politik di media virtual tersebut.Meski sebenarnya institusi media sendiri tidak bisa lepas dari pengaruh internal maupun eksternal.Pengaruh internal media dating dari hegemoni kekuasaan pemodal.Ia baik secara langsung maupun tidak langsung mengotrol ideology media yang bersangkutan.Dengan demikian sejujurnya teks media atau iklan politik pada media merupakan hasil konstruksi ideology media dimana iklan itu di muat atau di tayangkan. Pengaruh eksternal bisa datang dari luar media itu sendiri,misalnya tekanan organisasi social, atau di mungkinkan hasil konspirasi dengan kekuasaan. Meski tidak secara transparan konspirasi semacam ini bisa dengan mudah di rasakan. Menurut pandangan Grossberg et al (1998:7) media tidak dapat di pahami secara terpisah dari hubungan-hubungan aktif dimana mereka selalu terlibat. Artinya kita tidak dapat memahami media terlepas dari konteks, hubungan ekonomi, politik,sosial dan budaya.Kita tidak bisa memahami media lebih dahulu, kemudian baru kemudian memikirkan pengaruh media pada ekonomi, politik dan social budaya.Jadi pada waktu yang bersamaan orang tidak mungkin bisa memahami makna iklan politik di media, yang kemudian juga berharap memahami peran masing-masing media dalam merepresentasikan makna iklan politik yang bersangkutan. Maka makna representasi teks iklan politik (kampanye pilpres) cenderung berhubungan terbalik dengan konteks nya.Pada teks iklan politik kampanye pilpres 2009 di media virtual ini justru menjadi bahasan yang menarik.

Daya tarik itu di harapkan pertarungan kampanye politik ketiga pasangan kandidat presiden dalam pilpres 2009 bisa menjadi pendidikan politik bagi masyarakat.Sebagai kancah pendidikan politik, maka model kampanye, dan iklan politik di media harus di sajikan secara professional.Meski iklan kampanye politik bertujuan untuk pencintraan para pasangan kandidat presiden terhadap masyarakat, tetapi harus mengindahkan kode etik dan tata karma periklanan.Teks iklan kampanye politik di media virtual sudah selayaknya jauh dari makna fitnah, hasutan,tuduhan dan sejenis nya yang di tujukan pada lawan politiknya.Karena pada prinsipnya teks iklan kampanye politik untuk memberikan pemahaman kepada khalayak atas peran politik yang dimainkan para kandidat pasangan residen.

Peran itu tidak harus bertentangan dengan kultur politik yang telah mengakar di masyarakat local, sehingga iklan politik yang di sajikan di media mudah di tangkap maknanya. Iklan politik yang mudah di pahami, adalah “ iklan politik yang berawal dari teks ke kultur yang lebih luas, atau dari teks ke audiens (Cunningham & Turner,1997: 17).Pada kenyataannya iklan politik yang di sajikan di media lebih menonjolkan konsep figure, di banding program, visi dan misinya.Hal ini tidak banyak perkembangannya di banding pada pemilu 2004.Fakta tersebut di katkan dengan hasil penelitian Edy Susilo & Prayudi,(2006 :40), bahwa iklan-iklan politik lebih menonjolkan figure.Kampanye pilpres belum menunjukkan pembeljaran politik yang baik kepada masyarakat. Apa yang tersirat dalam pembacaan makna iklan kampanye politik dalam media virtual selama ini penonjolan “obyek figure capres memang tampak menonjol”. di banding dengan cawapresnya. Porsi Megawati,Susilo Bambang Yudhoyono, dan Yusuf Kalla,lebih di tonjolkan figurnya dalam iklan di berbagai media di banding sosok, Prabowo Subiyanto,Boediono dan Wiranto.Dari pembacaan teks iklan politik dalam kampanye pilpres ini tampak bahwa yang di pertarungkan media adalah para kandidat capres, bukan cawapresnya.Jika dibaca secara cermat, sesungguhnya dibalik teks iklan politik tersebut mengandung makna yang kontropersial.Makna teks iklan capres yang satu tampak mencari keunggulan di balik celah-celah politik lawannya, begitu sebaliknya.Hal itu tentunya di anggap wajar dalam kehidupan demokrasi, asal tetap mengindahkan tata karma periklanan, seperti yang telah di bahas sebelumnya. Berbeda pandapat, mengkritik justru menjadi metaphor komunikasi politik.Karena beriklan juga merupakan bagian dari seni politik, yang di sajikan dalam bentuk tekstual di media.

Penutup

Lepas dari dua persoalan tersebut,ideologi yang mungkin bisa ditanam oleh para capres peserta pemilu presiden 2009, bukanlah sekedar hegemoni kekuasaan dan ideology politiknya, tetapi lebih jauh dari pada itu sebagai pendidikan politik bagi masyarakat virtual. Konsep politik itu bukan datang dengan serta merta, tetapi mereka untuk menjadi penguasa tersebut telah melalui upaya perjuangan yang cukup keras. Penyampaian informasi politik melalui iklan media virtual setidaknya memberikan gambaran dan pengetahuan bagi kita untuk mengenal lebih jauh para kandidat presiden secara utuh. Maka apapun keputusan politik yang mereka ambil merupakan konsekuensi pilihan yang harus mereka jalankan. Pada dasarnya politik adalah kekuasaan, siapa yang memenangkan kekuasaan mereka yang akan tampil, sementara mereka yang kalah bertarung akan menjadi partnernya di parlemen. Semuanya adalah untuk memperjuangkan rakyat dan kemajuan seluruh Bangsa Indonesia. Perbedaan adalah bagian dari demokrasi yang perlu disikapi secara positif.

Daftar Rujukan

Agus Sudibyo,Ekonomi Politik Dunia Penyiaran,Penerbit,LKIS,Yogyakarta:

2004

A.Daton, Esay,Anderstanding Consumtion, Oxford University Press, New

York : 1992

Agus Sachari, Sosiologi Design, Penerbit, ITB Bandung,: Tahun 2002

Chris Barker,Cultural Studies, Teori dan Praktik, Terjemahan Nurhadi, Penerbit

Kreasi Wacana Yogyakarta, : 2005

Cunningham,Stuart & Graeme Tuner, The Media In Australia : Industries, Texts,

Audiences (2nd edition) Allen & Unwin,St Leonards,: NSW,1997

Grossberg,Lawrance,Ellen Wartella and Charles Whitney,Mediamaking:Mass Media in

A Popular Culture ,Sage Publications Inc ,California : 1998

Heru Nugroho, Pengantar, The Globalization of Nothing,(George Ritzer),

Penerbit, Universitas Admajaya,Yogyakarta,: 2006

John Fiske,Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling

Konprehensip, Penerbit Jalasutra Yogyakarta: 2006

John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Pengantar Konprehensip

Teori dan Metoda, Penerbit Jalasutra Yogyakarta,: 2007

Peter Lloyd Jones, Esay, Taste Today,the Role of Appreciation in

Consumerisme and Design, Pergamon Press, Oxsford :1991

Prayudi & Edy Susilo,Analisis Tekstual Pemberitaan Kampanye Capres Cawapres

Dalam Pemilu 2004 Pada Media Online Kompas Cyber

Media,Paradigma,Jurnal Masalah-Masalah Kebijakan Volume 10 Nomor 1,

Maret 2006, Penerbit,Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,UPN

Yogyakarta,: 2006

Sartono Kartodihardjo, Perkembangan Peradapan Priyayi, Penerbit, Gadjah

Mada University Press : 1987

Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat,Tamasya Melampaui Batas Batas

Kebudayaan, Penerbit,Jalasutra, Yogyakarta,: 2006



* Pemerhati media, Peneliti Puslitbang Aptel SKDI, Badan Litbang SDM Depkominfo RI di Jakarta

1 Lihat tulisan Deddy N.Hidayat, dalam Agus Sudibyo,Ekonomi Politik Dunia Penyiaran, Penerbit LKIS Yogyakarta, 2004 halaman, 8.

2 Lihat Sartono Kartodihardjo, Perkembangan Peradapan Priyayi, Gadjah Mada University Press,1987 hal.4-10.

3 Tulisan, Peter Lloyd Jones,1991, Taste Today, the rule of Appreciation in Consumerisme and Design, Pergamon Press, Oxsford hal. 193.

4 Lihat A.Daton, 1992, Anderstanding Consumtion, Oxsford University Press,New York, page-12.

5 Lihat John Fiske, Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengentar Paling Konprehensip, Penerbit Jalasutra Yogyakarta, 2006 - 227

6 Ibid halaman , 229

7 Lihat Agus Sachari, Sosiologi Design, Penerbit ITB, Bandung 2002 hal.30

8 Pendapat Herbert Marcuse, Ibit halaman 145

9 Lihat tulisan,Heru Nugraha,Mengkonsumsi Kehampaan Di Era Global, Dalam The Globalization Of

Nothing,,George Ritzer,Penerbit, Universitas Admajaya Yogyakarta, 2006, halalman ,xxiv

10 Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Di Lipat, Tamasya Melampaui Batas Batas Kebudayaan, Penerbit, Jalasutra

Yogyakarta, 2006 hal, 179

11 Giddens (1979) dalam Chris Barker,Cultural Studies, Teori dan Pratik, Terjemahan Nurhadi, Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta,2005,hal.65-66