Selasa, 02 Februari 2010

Bung Krno dan Media Massa

BUNG KARNO DAN MEDIA MASSA
(SEBUAH TINJAUAN)
Oleh : Hasyim Ali Imran

PENDAHULUAN
Berlangsungnya proses komunikasi diantara umat manusia itu, terjadi dalam berbagai setting. Littlejohn membaginya kedalam empat setting, yakni dalam setting interpersonal, small group, organizational dan mass (Littlejohn, 1983: 25)

Salah satu setting yang disebut mass itu tadi, lazim juga disebut sebagai komunikasi massa. Pengertiannya sendiri beraneka ragam. Bittner (1986) misalnya, komunikasi massa diartikannya sebagai pesan-pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang. Sedang De Fleur dan Mc Quail (1985) mengartikannya sebagai suatu proses dimana komunikator-komunikator menggunakan media untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas dan secara terus-menerus, menciptakan makna yang diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan berbeda-beda dengan melalui berbagai cara (Guntoro, 1999:1). Sementara Littlejohn (1983 : 383), komunikasi massa sebagai suatu proses dimana organisasi media memproduksi dan menyampaikan pesan melalui media kepada publik yang luas.

Meski pengertian itu dikemukakan secara beragam, namun disitu ada kesamaan umum, yakni komunikasi massa itu diarahkan untuk menjangkau khalayak luas dengan cara menggunakan alat atau media. Sedang perbedaannya tampak pada soal penekanan terhadap proses komunikasi massa itu. Pada definisi kedua penekanannya pada tujuan penggunaan media dalam komunikasi massa, sementara definisi ketiga penekanannya pada organisasi media sebagai titik sentral yang menentukan bagaimana berlangsungnya proses komunikasi massa.

Proses pemediaan pesan dalam media massa sendiri, apakah itu pada media cetak atau elektronik, oleh Littlejohn disebut juga sebagai proses encoding. Proses ini dimulai dari dalam organisasi media dan berakhir dalam organisasi media pula. Prosesnya berlangsung melalui suatu jaringan pengambilan keputusan dalam organisasi media.

Organisasi media sendiri, biasanya dipimpin seorang pemimpin umum. Dibawahnya, terdapat dua sub organisasi sederajad, organisasi redaksi dan perusahaan. Untuk organisasi redaksi, dipimpin seorang pemimpin redaksi. Pemimpin inilah yang bertanggung jawab terhadap isi bidang redaksional, yakni isi media yang dikelola oleh organisasi redaksi. Secara umum isi bidang redaksi mencakup berita dan non berita (misalnya tajuk, opini, karikatur, artikel). Sementara untuk organisasi perusahaan dipimpin oleh seorang pemimpin perusahaan. Pemimpin ini bertanggung jawab terhadap isi bidang perusahaan, yakni isi media yang dikelola oleh organisasi perusahaan berupa informasi yang sifatnya bukan berita dan non berita. Informasi yang dikelola biasanya tampil dalam format iklan, yakni informasi yang mendatangkan pemasukan dana bagi perusahaan untuk dapat beroperasi.

Melihat paparan diatas, itu menunjukkan bahwa proses komunikasi massa itu pada dasarnya merupakan suatu proses produksi pesan dalam organisasi media, sebagaimana ditekankan Littlejohn sebelumnya. Isi bidang redaksi diproduksi oleh organisasi redaksi dibawah pimpinan pemimpin redaksi dan isi bidang perusahaan, diproduksi oleh organisasi perusahaan yang dipimpin oleh pemimpin perusahaan.

Dengan begitu jelaslah, segala pesan dalam media yang diakses oleh khalayak, tidak muncul begitu saja. Melainkan muncul lewat proses produksi pesan yang berlangsung melalui suatu jaringan pengambilan keputusan dalam organisasi media. Karena itu, pada isi bidang redaksi misalnya, fakta yang disajikan dalam pemberitaan pers dapat dikatakan sebagai cermin sikap atau tingkah laku yang disepakati oleh anggota organisasi pemberitaan pers saat membahas sejumlah fakta yang akan dijadikan pemberitaan (Imran, 1999 : 91).

Sehubungan dengan itu, kualifikasi pengelola media tampaknya akan menentukan pula kualifikasi aneka informasi yang diakses khalayak media. Seiring itu, hubungan tersebut akan menentukan pula bagaimana kualifikasi efek pesan yang akan muncul pada khalayak media. Tampaknya, pada titik inilah mungkin yang menjadi penyebab, mengapa fenomena komunikasi massa itu, atensi pembahasan cenderung tertuju pada isi bidang redaksional ketimbang bidang perusahaan.

Perhatian itu tampak semakin besar, ketika kualifikasi efek tadi didudukkan dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terlebih lagi jika kualifikasi efek komunikasi massa itu dinilai jauh dari upaya membantu mewujudkan tujuan nasional suatu negara bangsa, ketika peranannya begitu diharapkan.

Dalam perspektif demikian itulah, pers karenanya menjadi persoalan serius suatu negara, tidak peduli apapun falsafah yang mendasari penyelenggaraan suatu negara itu. Falsafah mana, pada gilirannya menjadi acuan bagi penyelenggara negara dalam mengukur membantu tidaknya kualifikasi efek komunikasi massa yang diperankan sebuah organisasi media. Namun dalam kenyataannya, persoalan komunikasi massa lewat pers, terlihat justru selalu beranjak dari sini. Terjadi perbedaan penafsiran antara pemerintah sebagai penguasa negara dengan pengelola pers ketika proses komunikasi massa itu berlangsung. Tak jarang, sebagai akumulasi dari perbedaan itu berwujud pada tindakan pemberangusan pers oleh penguasa. Hal ini tentulah merupakan bukti kuat bahwa organisasi media memiliki otonomi penuh ketika ia melakukan proses encoding, sekalipun ia beroperasi “dilingkungan bersebrangan” dengannya. Namun, resiko besar harus siap ditanggung, diberangus.

Tulisan ini tidak bermaksud membahas lebih jauh tentang soal “perbedaan” tadi. Namun, beranjak dari keseluruhan paparan diatas, tulisan ini mencoba membahasnya lebih jauh dalam kaitan dengan Bung Karno ketika menjadi Presiden RI pertama. Pembahasannya berangkat dari sejumlah pertanyaan; 1) Falsafah apakah yang mendasari Bung Karno dalam memandang media massa? 2) bagaimanakah perspektif Bung Karno tentang organisasi media ? 3) Bagaimanakah perspektif media massa Bung Karno itu dalam tataran teoritis ? 4) Bagaimanakah peluang dan tantangan aplikasi perspektif media massa Bung Karno dalam era reformasi ? Dalam upaya menjawab masalah-masalah tersebut, maka pidato-pidato Bung Karno yang terkait dengan media massa, kiranya menjadi acuan yang sangat relevan untuk kepentingan makalah ini. Selain, juga referensi-referensi lain terutama dalam kaitannya dengan upaya melihat perspektif Bung Karno tadi pada tataran teoritis.

FALSAFAH BUNG KARNO MENGENAI MEDIA MASSA
Falsafah dapat diartikan sebagai suatu pendirian atau pandangan hidup individu maupun masyarakat. Dalam arti lain falsafah itu sebagai interpretasi atau evaluasi terhadap apa yang penting atau yang berarti bagi hidup (lihat, Salam, 1985:58). Dari pengertian ini, maka suatu falsafah yang dimiliki seseorang atau masyarakat, kemunculannya tampak tidak lahir begitu saja, melainkan sebelumnya telah melalui sebuah proses mengetahui dan mengerti sesuatu obyek falsafah. Proses ini sendiri dimungkinkan mengingat dalam diri manusia terdapat trias dinamika, yakni mengerti-merasa-menghendaki; pikiran-rasa-kemauan; cipta-rasa-karsa. Semua gejala ini merupakan satu kesatuan yang dipersatukan dalam “aku”.

Sebagai seorang intelektual berwawasan luas, Bung Karno sebagai Presiden RI pertama, dalam kehidupan sehari-harinya tentulah sulit terhindar dari aktivitas berfilsafat. Paling tidak, asumsi ini diperkuat oleh sosok Bung Karno yang rasa ingin tahunya begitu besar terhadap berbagai hal. Sosok ini sendiri paling tidak dapat diketahui dari hampir setiap pidatonya yang kerap mengemukakan isi-isi buku yang telah dibacanya. Dari situlah, lahir berbagai falsafah tentang kehidupan ini. Namun, falsafah Bung Karno yang begitu popular adalah menyangkut soal nasionalisme. Percikan-percikan falsafah Bung Karno tentang berbagai hal, tempaknya pun cenderung mengakar dari soal nasionalisme tadi. Eksistensi tentang tiga kekuatan politik di Indonesia sebelum merdeka yang terdiri dari nasionalis, agama dan komunis, misalnya, ia pandang sebagai tiga kekuatan dahsyat yang dapat digunakan bangsa Indonesia untuk bisa mendapatkan salah satu alat dalam upaya mewujudkan tujuan bangsa, alat mana disebutnya sebagai Indonesia merdeka. Ketika Ia bertemu dengan seorang putra di Jawa Barat yang bernama Marhaein, Ia pun memandang sosok Marhaein yang sederhana itu sebagai tipe pola hidup yang ideal bagi bangsa Indonesia. Bagaimana dengan soal media massa yang menjadi alat bagi keberlangsungan suatu proses komunikasi massa itu?

Ketika menguraikan pandangannya tentang perkembangan kewartawanan di Indonesia berdasarkan periodenya dalam satu pidato, maka pada periode survival Bung Karno tampak begitu kecewa. “… Sebagian dari pada wartawan-wartawan kita tidak benar-benar menjadi pembantu dari pada revolusi ini, tetapi jiwanya dihinggapi oleh penyakit cynisme.” (Bung Karno, 1959:7). Kekecewaan tersebut kiranya jelas menunjukkan bagaimana pandangan Bung Karno terhadap media massa. Secara tersirat, Bung Karno itu menginginkan media massa yang dikelola wartawan itu berfungsi sebagai salah satu alat yang dapat membantu terwujudnya tujuan dari revolusi bangsa Indonesia.

Revolusi Indonesia sendiri, menurut Bung Karno bersifat Pancamuka yang disebutnya juga sebagai revolusi nasional yang tujuannya untuk mendirikan satu negara nasional yang besar. Revolusi mana, bahkan dikatakannya sebagai lebih besar daripada revolusi Uni Soviet atau revolusi Amerika. Mengenai bagaimana mencapai tujuan untuk mendirikan satu negara nasional besar tadi, Bung Karno masing-masing menjabarkannya pada setiap muka dari revolusi yang bersifat Pancamuka tadi.

Revolusi politik, tujuannya untuk mengubah cara pemerintahan yang kolot, yang kuno, feodal, aristokratis, autokratis, diktator dan lain-lain dengan satu cara pemerintahan demokratis yang sejati. Revolusi ekonomi untuk mengubah sama sekali ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Revolusi sosial, untuk mengubah satu masyarakat, susunan masyarakat, susunan masyarakat yang kapitalistis, yang membuat gendut perutnya beberapa orang saja, menjadi satu susunan masyarakat yang adil dan sama rata sama rasa, adil dan makmur. Revolusi kebudayaan, untuk merubah satu susunan kebudayaan kolot, feodal, kolonial menjadi satu kebudayaan Indonesia yang baru. Terakhir, yaitu revolusi untuk membuat satu macam manusia Indonesia baru, yaitu revolusi yang tujuannya untuk membuat manusia Indonesia jiwanya tegap (lihat, Bung Karno, 1962:2).

Khusus mengenai pembangunan manusia Indonesia baru itu, sebagaimana dijelaskan Bung Karno pada bagian berikut pidatonya, yaitu dilakukan dengan cara membuat “manusia baru yang fisik badannya tegap, jiwanya pun tegap, semangatnya tegap, tekad nya tegap, rohnya tegap, tiap-tiap tetes darah didalam badan kita tegap, tegap berdiri diatas kebenaran. Tegap untuk mendirikan satu masyarakat yang adil dan makmur. Tegap untuk mempertahankan dan menyempurnakan kemerdekaan kita ini.” (lihat, Bung Karno, 1992:6).

Pandangan Bung Karno tentang manusia Indonesia baru itu, jelas menyiratkan pembangunan mental bangsa Indonesia merupakan satu bagian penting dalam rangka mencapai tujuan nasional yaitu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Konsep mana kemudian dikenal dengan konsep nation and character building.

Mengenai bagaimana bangunan mental bangsa Indonesia baru itu akan dibentuk dalam kerangka pencapaian tujuan nasional, maka dalam pidato Bung Karno lainnya terlihat, bahwa bangunan mental itu tadi berupa kesadaran jiwa rakyat Indonesia akan revolusi Indonesia yang bersifat memihak. “Revolusi Indonesia adalah satu revolusi yang memihak sebagaimana tiap-tiap revolusi”. (Bung Karno, 1962:1).

Dalam pencapaian tujuan revolusi, menurut Bung Karno diperlukan alat yang jumlahnya sangat banyak kita miliki, baik dalam ukuran besar maupun kecil. Alat besarnya yaitu negara Republik Indonesia, sedang alat kecilnya berupa alat-alat kekuasaan negara atau alat-alat pemerintahan, misalnya angkatan perang atau termasuk lembaga pers seperti kantor berita nasional Antara (lihat, Bung Karno, 1962:1-2). Karena revolusi Indonesia bersifat memihak, maka sebagai alat-alat revolusi, alat-alat tersebutpun menurut Bung Karno harus berpihak kepada bangsa Indonesia sebagai pemegang alat, yakni berpihak dalam rangka bangsa Indonesia mencapai tujuan revolusi Indonesia (lihat, Bung Karno, 1962:2).

Pers, seperti Lembaga Kantor Berita Nasional Antara, termasuk tentunya bentuk-bentuk pers lainnya seperti surat kabar, majalah, radio atau televisi, dalam perspektif Bung Karno tadi kiranya merupakan sebagian contoh kecil saja dari alat revolusi berskala kecil. Sebagai bentuk contoh alat revolusi skala kecil, maka segala bentuk media massa, sekalipun bukan milik pemerintah sebagai mana halnya Lembaga Kantor Berita Nasional Antara yang memang secara tegas dikatakan sebagai alat revolusi, mengacu kepada pandangan Bung Karno tadi, berarti juga menjadi alat revolusi yang berpihak kepada revolusi Indonesia. “didalam revolusi kita saya menghendaki agar supaya berichtgeving. Saya minta berichtgeving kita ini adalah memihak, jelas memihak kepada kita, menentang kepada musuh, menghantam kepada musuh. Hanya dengan jalan demikian revolusi kita bisa berjalan dengan sungguh-sungguh,” kata Bung Karno dalam pidatonya pada acara pelantikan Dewan Pengawas dan Dewan Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional Antara, di Jakarta 18 Desember 1962. (Bung Karno, 1962:2).

Pandangan dan sikap Bung Karno tentang pers itu, tiga tahun kemudian kembali ia tegaskan. “… Saya dengan tegas menyatakan sekarang bahwa dalam suatu revolusi tidak boleh ada kebebasan pers hanya pers yang mendukung revolusi yang diperbolehkan hidup. Pers yang bermusuhan terhadap revolusi, disingkirkan”. (New York Times, 1965, dalam Harahap, 2000;17).

Demikianlah pandangan Bung Karno terhadap pers atau media massa yang berperan dalam keberlangsungan proses komunikasi massa. Pers sebagaimana institusi-institusi lainnya termasuk negara, ia tak lebih sebagai alat. Berbagai alat yang fungsinya didudukkan dalam konteks hakekat dari revolusi nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil makmur. Jadi, berdasarkan konteks tersebutlah semua alat-alat revolusi tadi, termasuk lembaga pers, bergerak beroperasi dalam menjalankan masing-masing fungsinya. Untuk dapat menciptakan kondisi mental bangsa yang demikian dalam menggunakan alat-alat revolusi, tentulah menuntut adanya prasyarat. Prasyarat itu, yakni terwujudnya mental manusia Indonesia baru yang menurut Bung Karno merupakan tujuan dari salah satu muka dari Pancamuka revolusi Indonesia, yakni revolusi manusia Indonesia baru. Lantas, dengan falsafah Bung Karno yang menilai media massa itu sebagai salah satu bentuk alat revolusi, lalu bagaimana Bung Karno menilai kualitas wartawan yang menjadi anggota organisasi media itu dalam menjalankan fungsi media dalam perspektif Bung Karno?

PERSPEKTIF BUNG KARNO TENTANG ORGANISASI MEDIA
Mencoba mengetahui bagaimana perspektif Bung Karno terhadap organisasi media sebagai pengelola media massa, itu artinya mencoba mengetahui pandangan Bung Karno pada tataran ontologis dan epistimologis. Secara epistimologis itu dapat diketahui dari bagaimana falsafah Bung Karno tentang media massa. Mengenai hal ini, dari pembahasan sebelumnya diketahui bahwa Bung Karno memandang pers atau media massa itu hanya sebagai alat revolusi nasional dalam mencapai tujuan revolusi itu sendiri (aksiologis). Seiring epistimologis yang begitu, dalam kerangka aksiologisnya media massa, maka pada tataran ontologis, secara relatif idealnya organisasi media akan merepresentasikan epistimologisnya Bung Karno tadi dalam operasionalisasinya. Dengan kata lain, organisasi media dalam proses media framing, mengacu pada bagaimana perspektif Bung Karno terhadap media dalam proses encoding. Masalahnya sekarang, pada tataran ontologis, bagaimanakah pandangan Bung Karno terhadap organisasi media dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya itu?

Bahasan terhadap pertanyaan itu akan coba dilihat dari dua sisi, pertama, akan diketahui dahulu bagaimana pandangan Bung Karno tentang wartawan yang ideal, yang notabene sebagai anggota dari organisasi media dalam proses encoding. Kedua, barulah coba diketahui pandangan Bung Karno terhadap kualitas organisasi media dalam realitas.

Bung Karno menempatkan wartawan itu dalam posisi yang tinggi, equivalen dengan status seorang pemimpin. “… Wartawan itu termasuk di dalam golongan pimpinan, terutama sekali di dalam tanah air kita yang masih dalam satu revolusi yang belum selesai… Wartawan tergolong didalam karya pemimpin.” Tegas Bung Karno dalam salah satu pidatonya (lihat, Bung Karno, 1959:3).

Dalam kaitan predikat wartawan itu, karenanya Bung Karno mengemukakan dua syarat yang harus dipenuhi bagi setiap orang yang mau menyandang status wartawan. “Pertama, wartawan harus mempunyai pengetahuan umum yang luas. Orang tidak bisa menjadi pemimpin kalau ia tidak mempunyai pengetahuan yang luas. Kedua, wartawan harus mengerti kedudukan dia sebagai satu bagian dari pada rakyatnya yang masih di dalam revolusi yang belum selesai. … Harus merasa dirinya ikut hendak berusaha memajukan rakyatnya, mengerti problem-problem dari pada jamannya.” (Bung Karno, 1959:4)

Kedua syarat itu kiranya merupakan kemampuan intelektual dan mentalitas yang idealnya harus dipenuhi seseorang bila mau menjadi wartawan. Karenanya, tanpa terpenuhinya kedua syarat tersebut maka sulitlah bagi seseorang menjadi wartawan ideal. Bagaimanakah wartawan ideal itu? Dalam kaitan ini Bung Karno mencoba menjelaskannya dengan mengutip ucapan Sun Yat Sen.

“Bicara gampang, berbuat adalah lebih sulit, mengerti adalah paling sulit”, kata Bung Karno mengutip Sun Yat Sen dalam salah satu pidatonya. Ini dimodifikasinya menjadi, “Menulis adalah gampang, berbuat adalah sulit, mengerti adalah paling sulit”. Dari sini Bung Karno menyimpulkan, “… menjadi wartawan itu tidak gampang. … kewartawanan itu minta satu pengertian yang amat tinggi.” (Bung Karno, 1966:3-4). Dengan demikian, secara gamblang wartawan ideal itu menurut Bung Karno berarti wartawan yang bukan asal tulis saja dalam praktek jurnalistiknya. Lalu, bagaimanakah syaratnya menjadi wartawan ideal?

Dalam pidatonya pada 1966 tadi, Bung Karno, tampak memodifikasi syarat yang telah ia kemukakan sebelumnya pada tahun 1959. Berdasarkan uraian pidatonya itu, syarat-syaratnya yaitu: (1) Seorang wartawan harus mengerti betul tentang apa yang ia tulis (2) Dalam rangka syarat pertama itu, seorang wartawan harus mempunyai pengetahuan yang tinggi (3) Wartawan harus mempunyai pengetahuan technis journalistiek (4) wartawan terutama harus memiliki political mentality yang baik dan (5) Karenanya pendidikan wartawan minimal harus tamat SMA (lihat, Bung Karno, 1966).

Persyaratan yang dikemukakan dalam waktu yang berbeda itu, secara substansial mengalami perubahan. Perubahan mana, sifatnya menjadi semacam tambahan yang bersifat penyempurnaan Bung Karno. Substansi perubahannya yaitu, pertama wartawan dituntut pengertian yang tinggi atas tulisannya; kedua, wartawan harus memiliki pengetahuan teknis jurnaslistik dan ketiga wartawan harus lulusan setidaknya SMA. Sedang poin-poin lain tidak berubah secara substantif, namun hanya mengalami perubahan redaksional. Poin yang merupakan syarat keawartawanan dimaksud, yaitu syarat pengetahuan luas/tinggi dan syarat tentang mental politik.

Proses perubahan yang berselang tujuh tahun itu, disisi lain tentu menjadi bukti kalau Bung Karno senantiasa mengembangkan kualitas berpikirnya terhadap berbagai masalah, dalam hal ini tentunya termasuk soal media massa. Hal ini, kiranya semakin memperkuat asumsi pada bagian awal tulisan ini, bahwa aktifitas keseharian Bung Karno itu sulit terhindar dari aktifitas berfilsafat. Dalam kaitan ini maka persyaratan kewartawanan dari dua menjadi lima tadi, kiranya dapat dikatakan sebagai falsafah Bung Karno tentang wartawan Indonesia yang ideal sebagai produk dari aktifitas filsafatnya tentang organisasi media sebagai penentu berlangsungnya proses komunikasi massa di Indonesia.

Kembali kepada soal persyaratan Bung Karno tadi, maka kalau kita amati, semua persyaratan tentang wartawan ideal itu, tampaknya mengutub pada dua hal utama. Pertama, persyaratan-persyaratan itu merepresentasikan persyaratan teknis dan kedua merepresentasikan persyaratan non teknis.

Kedua persyaratan itu terlihat saling melengkapi bagi terwujudnya seorang wartawan ideal, wartawan yang dalam istilah Bung Karno di sebutnya wartawan Indonesia Asli yang kualified. Namun, pada persyaratan teknis yang antara lain berupa peningkatan pengetahuan wartawan itu, tampak Bung Karno mempunyai penekanan pada pengetahuan soal kebangsaan, yakni tentang sejarah gerakan-gerakan di dunia khususnya sejarah pergerakan di Indonesia. Mengenai penekanan ini secara tersurat Bung Karno kemukakan dalam pidatonya pada pembukaan upgrading wartawan PWI di Bogor 12 Februari 1966. “Lho, bagaimana ini wartawan, kok tidak diberi ilmu pengetahuan tentang sejarah dari pada pergerakan-pergerakan di Asia ini, di Eropa, … Karena itu, saya anjurkan, bahkan saya perintahkan untuk memasukkan dalam kurikulum hal sejarah-sejarah gerakan Timur ini.” (Bung Karno, 1966:6-7).

Mengapa Bung Karno begitu menekankan aspek pengetahuan gerakan-gerakan kebangsaan? Hal ini tampaknya tak lepas dari soal persyaratan non teknis tadi. Persyaratan non teknis itu adalah, yakni apa yang dinamakan Bung Karno sebelumnya sebagai mentalitas politik, mentalitas politik wartawan Indonesia.

Mentalitas politik wartawan Indonesia yaitu, mental wartawan yang terbentuk berdasarkan pengetahuannya tentang: sejarah-sejarah pergerakan bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia; pandangan-pandangan mengenai ideologi ; Pancasila; Nasakom; Manipol-Usdek; Trishakti dan Berdikari; Kedudukan wartawan sebagai satu bagian dari pada rakyatnya yang masih didalam proses revolusi yang belum selesai; dan tentang diri wartawan sebagai salah satu pihak dari rakyat Indonesia yang turut berusaha memajukan rakyatnya dalam upaya perwujudan tujuan revolusi.

Dengan mentalitas politik demikian itu, menurut Bung Karno barulah wartawan bisa mengerti tentang cita-cita revolusi nasional yang notabene menjadi modal bagi wartawan untuk bisa mengabdi kepada revolusi Indonesia, yakni mengabdi untuk mewujdkan tujujuan revolusi. “… Itu semuanya memberi isi kepada saudara-saudara punya jiwa dan isi kepada saudara-saudara punya pengetahuan umum agar saudara-saudara bisa mengabdi kepada revolusi Indonesia.” (Bung Karno, 1966:7).

Menyimak pandangan Bung Karno tentang mentalitas politik diatas, kalau diresume, maka intinya bermuara pada harapan munculnya kesadaran seluruh komponen bangsa, termasuk wartawan, bahwa eksistensi semua komponen bangsa itu berada di bawah kepentingan revolusi nasional. Dengan kata lain, terbangunnya mentalitas politik bangsa Indonesia berdasarkan kesadaran akan cita-cita revolusi nasional itu sebagai roh pengendali atau koridor bagi rakyat bangsa Indonesia dalam bersikap dan berperilaku. Pada gilirannya homogenitas mental politik tersebut dengan sendirinya akan menciptakan sinergi di kalangan rakyat Indonesia dalam mewujudkan cita-cita revolusi.

Berkaitan dengan paparan asumtif diatas, maka dalam hubungannya dengan organisasi media, lalu bagaimanakah pandangan Bung Karno? Apakah kualifikasinya sudah ideal menurut Bung Karno?

Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, bahwa persyaratan wartawan ideal itu mengutub pada dua hal utama yakni persyaratan teknis dan non teknis. Untuk menjawab pertanyaan diatas akan dikemukakan lebih dulu tentang non teknis terutama perihal mentalitas politik wartawan. Pengutamaan ini karena masalah mentalitas poitik begitu mendapat perhatian Bung Karno dalam melihat wartawan. Setelah itu, baru dilihat soal persyaratan teknis.

Menyangkut soal mentalitas politik, dari pidatonya Bung Karno mencoba menggambarkan kualitas wartawan itu berdasarkan fase perjalanan bangsa Indonesia pada waktu sebelum dan sesudah kemerdekaan. Fase-fase ini dibaginya menjadi “Periode Gerakan Nasional sebelum 1945, Periode Physical Revolution tahun 1945-1950, Periode survival tahun 1950-1955/56, Periode Investment, yang kita hidup di dalamnya sekarang, nanti akan datang periode pembangunan semesta”. (Bung Karno, 1959 : 7).

Pada periode gerakan nasional sebelum 1945 (sebelum pendudukan Jepang), “…….. Wartawan kita banyak sekali yang benar-benar gemilang, oleh karena mereka itu bersemboyan : Lebih dahulu nasionalis, baru kemudian wartawan. ……. Wartawan-wartawan itu kebanyakan berkata, lebih dulu Nasionalis, lebih dulu cinta tanah air, cinta bangsa, lebih dulu hendak ikut berusaha untuk mengadakan Indonesia merdeka, baru kemudian wartawan.” (Bung Karno 1959 : 7).

Penjelasan Bung Karno itu bisa disimpulkan bahwa pada fase pergerakan nasional Indonesia, wartawan Indonesia cenderung dinilai Bung Karno sebagai wartawan ideal, wartawan gemilang menurut istilah Bung Karno. Ukuran ideal itu sendiri, yakni adanya homogenitas mentalitas politik dilingkungan wartawan, yaitu adanya keseragaman tujuan pada kalangan wartawan dalam menjalankan proses komunikasi massa bermedia, yakni mencapai Indonesia merdeka. Meskipun demikian pada periode pergerakan nasional tersebut, yakni pada masa-masa pendudukan Jepang, kualifikasi ideal wartawan Indonesia tadi, menurut Bung Karno agak mengalami penurunan. Ini ditandai oleh sikap wartawan dalam pemberitaan yang kurang tegas dalam mengekspresikannya. “Di dalam masa pendudukan Jepang, wartawan-wartawan suaranya agak parau. Ya, kurang tegas, karena kalau terlalu tegas berbahaya, tidak tegas, ya bagaimana, suaranya agak parau,” kata Bung Karno dalam salah satu pidatonya (Bung Karno, 1959 : 7).

Ketika dalam revolusi fisik 1945-1950, kualifikasi ideal wartawan Indonesia yang “parau” pada era pendudukan Jepang itu, kembali berubah meningkat menjadi wartawan ideal dengan dasar semangat berbeda dibanding masa pergerakan nasional. Pada masa ini semangatnya yakni semangat mempertahankan kemerdekaan yang hendak kembali dirampas imperialis. Jadi, koridor mental politik jurnalistik wartawan ketika itu, sebagaimana terlihat dari isi pidato Bung Karno, terbentuk berdasarkan semangat yang terkandung dalam semboyan wartawan, yakni “……. Lebih dahulu republikein dan unitaris, baru wartawan.” (Bung Karno, 1959 : 7).

Bagaimana dengan periode survival (1950-1955/56) ? untuk menjelaskan pandangannya, Bung Karno mencoba menggambarkannya melalui soal penyakit yang diidap bangsa Indonesia ketika itu. Penyakit itu, (1) krisis kewibawaan atau gezag (2) krisis politik (3) krisis pandangan (4) krisis angkatan perang dan (5) krisis moreel (lihat, Bung Karno, 1959 : 8).

Khusus penyakit point “3” dan “5”, jika dianalisis tampak diantara keduanya terdapat persamaan. Kata Bung Karno, “krisis pandangan terhadap kepada persoalan. …….artinya sebagian dari pada bangsa kita dihinggapi oleh penyakit cynisme, segala hal di-cynisch-kan. Tidak ada kata construkstief tetapi selalu cynisch, mencela. ……. Krisis moreel ini menghinggapi kepada kita. ….. banyak sekali wartawan kita yang cynisch.” (Bung Karno, 1959 : 8). Dengan demikian, tampak jelas kedua penyakit tersebut pada hakekatnya serupa, dimana dengan adanya krisis moreel mengkondisikan wartawan pada krisis pandangan terhadap persoalan yang melahirkan cynisme.

Penyakit yang diidap wartawan itu tadi, kata Bung Karno penyebabnya karena dalam masa survival tumbuh faham liberalism dikalangan wartawan Indonesia. “…… periode survival daripada kita punya revolusi ini, menyelinap disitu liberalisme di dalam dada kita, juga dilapangan kewartawanan.” (Bung Karno, 1959 : 7).

Sebuah riset analisis isi surat kabar yang dilakukan Lembaga Pers dan Pendapat Umum Jakarta, sebagian besar (69%) pers Indonesia ketika itu beroperasi berdasarkan faham liberal (lihat, LPPU Jakarta, 1955 : 202). Jadi, data ini memang menguatkan pandangan Bung Karno tadi, bahwa kalangan wartawan Indonesia dalam era survival telah diselinapi liberalisme.

Liberalisme sendiri, pada hakikatnya adalah faham yang mengutamakan kepentingan atau kebebasan individu daripada yang lainnya termasuk kepentingan negara sekalipun. Suatu isme yang antara lain diintrodusir oleh John Stuart Mill lewat bukunya On Liberty tahun 1859, dan oleh William Ebenstein dinilai sebagai yang terbaik bagi persoalan kebebasan individu (Ebenstein, 1963 : 128). Dengan faham tersebut wartawan dalam proses media framing pun cenderung arbitrer sesuai seleranya, persepsinya secara subjektif baik demi kepentingan pribadi individu maupun kelompoknya.

Mentalitas politik yang membentuk koridor sikap dan perilaku wartawan yang demikian, bila dibandingkan dengan mentalitas politik perspektif Bung Karno, yang utamanya mengedepankan kepentingan revolusi nasional, tentulah sangat kontradiktif. Kontradiktif, karena mentalitas politik liberal yang nota bene menumbuhkan prinsip polysemy dalam proses encoding dikalangan anggota organisasi media, menyebabkan organisasi media nasional dengan sendirinya menjadi aneka ragam tujuannya dalam menggunakan media massa untuk berkomunikasi massa. Padahal, perspektif Bung Karno sendiri, tujuan penggunaan media massa itu bersifat tunggal, yakni sebagai salah satu alat bantu saja bagi bangsa Indonesia untuk mencapai terwujudnya tujuan Revolusi Indonesia.

Seiring mentalitas politik wartawan tadi telah “terkontaminasi” liberalisme, maka pada periode survival itu dapat dikatakan bahwa kualitas wartawan Indonesia dalam pandangan Bung Karno sebagai jauh dari ideal. “…… Di dalam kalangannya kaum wartawan, kaum jurnalis, di dalam periode survival ini, banyak sekali orang-orang yang tidak lagi seperti di jaman sebelum peperangan dunia II, sebelum jaman Jepang, bersemboyan : Lebih dahulu nasionalis, baru kemudian wartawan, tidak sebagai di dalam Physical Revolution bersemboyan : Lebih dahulu Republikein Unitaris, baru kemudian wartawan.” Kata Bung Karno mengemukakan pandangannya tentang kualitas wartawan periode survival (Bung Karno, 1959 : 7).

Tidak idealnya kualitasa mental politik wartawan, berdasarkan pandangan Bung Karno diatas jelaslah, penyebabnya karena wartawan tidak mendahulukan kepentingan revolusi Indonesia dalam tugas jurnalistiknya. Dengan begitu, jika mengikuti pola semboyan yang dikemukakan Bung Karno, pada era survival ini dapatlah dikemukakan, semboyan wartawan ketika itu adalah : Lebih dahulu wartawan, baru kemudian revolusi Indonesia.

Perihal periode investment, Bung Karno menyebutnya sebagai periode pembangunan. Atau suatu periode di mana “……. Kita sekarang ini (tahun 1959 – penulis) masuk ke dalam phase sosial ekonomis dari pada revolusi kita.” (Bung Karno, 1959 : 9). Dalam masa tersebut sebagaimana ditegaskan Bung Karno, “…….. kita hendak menyusun satu masyarakat adil dan makmur, dengan tegas kita menyatakan bahwa kita hendak menyusun sosialisme a la Indonesia” (Bung Karno, 1959 : 9). Jadi, masyarakat adil dan makmur yang menjadi tujuan revolusi itu, maksudnya hendak diwujudkan dalam konteks tatanan masyarakat Indonesia berdasarkan faham sosialis yang bersifat keindonesiaan.

Mengenai masyarakat sosialisme sendiri, dikatakan Bung Karno “Sebagai satu masyarakat yang tinggi nilainya. Sebagai satu masyarakat yang menarik betul.” (Bung Karno, 1959 : 13). Gambaran tentang menariknya masyarakat sosialisme Indonesia itu sendiri, Bung Karno mencoba melukiskannya dengan cara gambaran surga dalam ajaran Islam. “Tidakkah juga digambarkan di dalam Al-Qur’an sorga dengan cara yang plastis sekali ? Bagaimana rupa sorga yang disitulah kita harus menuju.” (Bung Karno, 1959 : 13). Oleh karena itu, dalam revolusi yang hendak mewujudkan masyarakat adil dan makmur dalam tatanan masyarakat sosialisme a la Indonesia, maka gambaran indahnya tatanan masyarakat sosialisme tadi menurut Bung Karno perlu dilukiskan dan disampaikan dalam rangka mewujudkannya kepada rakyat agar rakyat atau segala eksponen negara tergerak untuk mau bertindak atau berkorban untuk mencapainya. “Maka oleh karena itulah, kita saudara-saudara, yang didalam revolusi kita sekarang ini, kita pun harus bisa demikian itu, agar supaya rakyat bisa digerakkan, bisa berkorban untuk itu.” (Bung Karno, 1959 : 13).

Dalam konteks proses penggerakan itu, maka media massa yang massif itu, tampaknya memiliki posisi relatif ideal dalam upaya penumbuhan mentalitas politik rakyat yang diharapkan Bung Karno. Sehubungan dengan itu, karenanya, seperti dikatakan Bung Karno, bahwa dalam periode investment, seyogyanya pun mental politik wartawan harus terbangun berdasarkan semboyan : Lebih dahulu sosialist Indonesia, kemudian wartawan. Begitu pun dengan komponen-komponen bangsa lainnya, misalnya mahasiswa, semua pemimpin, atau tenaga-tenaga pengajar. “Sebenarnya, seharusnya tiap-tiap orang di dalam phase pembangunan, apalagi pemimpin, apalagi wartawan-wartawan, harus bersemboyan “Lebih dahulu sosialist Indonesia, kemudian wartawan,” kata Bung Karno dalam pidatonya (lihat, Bung Karno, 1959 : 9). Dengan demikian, sikap dan perilaku komponen bangsa, dalam kaitan ini terutama wartawan berarti senantiasa harus bertolak dari nilai-nilai sosialisme Indonesia yang menjadi mentality framing bangsa.

Persoalan yang identik dengan nilai-nilai sosialisme Indonesia, menurut Bung Karno adalah persoalan yang sifatnya mencerminkan kollektifisme atau mencerminkan persoalan masyarakat dan terkait dengan tujuan revolusi nasional. “……. yang betul-betul menjadi news sekarang (era investment – penulis) ini harusnya yang mengenai masyarakat, yang mengenai kolektif kita, yang mengenai tujuan kita bersama.” (Bung Karno, 1959 : 14). Salah satu contohnya, misalnya tentang keberhasilan menemukan jenis padi yang dapat meningkatkan produksi dan rasa lebih enak (lihat, Bung Karno, 1959 : 14). Jenis-jenis berita demikianlah menurut Bung Karno dalam era investment perlu diberitakan kepada rakyat melalui media massa. “……. that is news, ini yang harus kita kabar-kabarkan bukan saja diseluruh pelosok Indonesia, tetapi juga seluruh pelosok dunia.” (Bung Karno, 1959 : 14).

Begitu idealnya persepsi Bung Karno mengenai berita dalam media massa. Namun apakah perspektif ideal tersebut telah nyata dalam kewartawanan menuru Bung Karno ? Dalam kaitan ini Bung Karno mengutip definisi berita yang digunakan di Amerika, yakni “…… if a dog bites a man, that is no news, but if a man bites a dog, that is news.” Komentar Bung Karno terhadap difinisi tersebut, “…….. Ini sebabnya apa saudara-saudara …… ? Oleh karena wartawan disana (di Amerika Serikat – penulis) itu sebenarnya individualistis, yang dianggap sebagai news adalah sesuatu hal yang mengenai individu manusia yang “Oh, he bites a dog.” (Bung Karno, 1959 : 14).
Komentar Bung Karno di atas jelas mencerminkan sikap yang tidak setuju terhadap pemberitaan yang sifatnya individualistis. “….. wartawan kita sebenarnya tidak boleh memberikan perkabaran individueel mengenai individu-individu”, kata Bung Karno dalam suatu pidatonya (Bung Karno, 1959 : 14). Suatu jenis berita yang tentunya mengakar dari faham liberalis yang memang diakui di Amerika. Akan tetapi dikalangan wartawan dalam masa investment, justru berita yang demikian itu menurut Bung Karno banyak dilakukan wartawan Indonesia. “….. sebagaimana wartawan-wartawan kita jaman sekarang, yaitu banyak sekali mingguan-mingguan, waduh, …… ada satu mingguan yang spesial, “sketsa cinta”, disitu dituliskan, Julaiha bin ….. dikemplang, dihantam oleh dia punya suami. Masya Allah……”, kata Bung Karno mencontohkan salah satu berita yang bersifat individualistis (Bung Karno, 1959 : 14).

Melihat pandangan Bung Karno di atas, maka pada era investment dapatlah dikatakan bahwa penilaian Bung Karno terhadap kualitas wartawan masih jauh dari ideal yakni yang bersikap dan berperilaku berdasarkan semboyan : Lebih dulu sosialis baru wartawan. Tetapi, kebanyakan dari mereka cenderung mengutamakan hal-hal individualistis dalam pemberitaan. Dari sini, maka kalau kita ikuti pola semboyan yang dikemukakan Bung Karno, dapatlah diduga bahwa semboyan yang digunakan wartawan Indonesia waktu itu lebih banyak berdasarkan pada semboyan : Lebih dulu wartawan, baru kemudian sosialis. Suatu semboyan yang tentunya bukan menjadi harapan Bung Karno.

Bagaimana dengan periode pembangunan semesta ? Untuk menelaah soal tersebut, kiranya perlu dahulu diketahui tentang pembangunan semesta itu sendiri. Apakah pembangunan semesta itu, menurut Bung Karno ?

Dalam satu pidatonya Bung Karno pernah mengatakan bahwa revolusi kita bukan seperti revolusinya Amerika yang hanya bersifat revolusi politik, revolusi nasional, yang sekedar mengusir kolonialisme Inggris (lihat, Bung Karno, 1962 : 3). “…… o o kita bukan, bukan cuma politik atau nasional saja, tidak ! Revolusi kita adalah revolusi yang luas, bermacam-macam ….. macam-macam revolusi harus kita jalankan serentak, sekaligus bersama-sama….. revolusi kita adalah revolusi simultan” (Bung Karno, 1962 : 3).

Mengacu pada isi pidato itu, kiranya menyiratkan adanya pengertian ke semestaan. Dari situ, kiranya dapat pula diduga bahwa pembangunan semesta menurut Bung Karno itu adalah suatu proses pembangunan yang bersifat menyeluruh dalam waktu yang sama. Asumsi demikian tampaknya diperkuat dari ucapan Bung Karno yang menyebutkan, “ ….. artinya, sekarang ini kita menjalankan ya revolusi sosial, ya revolusi politik, ya revolusi ekonomi, ya revolusi sosial, ya revolusi kulturil kebudayaan, ya revolusi membuat manusia baru, ya revolusi di atas segala hal” (Bung Karno, 1962 : 3).

Dengan pengertian yang demikian itu, maka untuk menjalankannya menurut Bung Karno diperlukan semangat revolusioner dari seluruh eksponen bangsa yang nuansanya bersifat sosialisme a la Indonesia. Pada eksponen atau komponen rakyat, maka sebagaimana telah di singgung sebelumnya, jiwa mereka perlu digerakkan dengan cara memberitakan yang indah-indah dari tujuan atau cita-cita revolusi nasional yang hendak diwujudkan agar mereka mau ikut berkorban atau mengabdi pada kepentingan revolusi.

Dalam upaya menggerakkan tadi, melalui proses komunikasi massannya, maka posisi pers menjadi penting. Melalui proses media framing organisasi medialah antara lain proses penumbuhan mental politik tadi bisa berhasil atau tidak. Karenanya, keberhasilan itu ditentukan oleh sejauh mana organisasi media sebagai salah satu alat revolusi mengadopsi semangat revolusioner yang dipahami Bung Karno dalam pemberitaan, yakni pemberitaan yang memihak revolusi.

Apakah organisasi media sudah melakukan pemberitaan yang memihak dalam era pembangunan semesta ? Saat berpidato dalam pembukaan upgrading wartawan PWI di Bogor 1966, Bung Karno secara tegas mengatakan kualitas wartawan Indonesia itu rendah. “….. Apa wartawan-wartawan Indonesia itu kwalitetnya belum tinggi ? Yah, dengan tegas saya berkata belum, belum !” (Bung Karno, 1966 : 1)

Bung Karno melukiskan kualitas wartawan Indonesia itu ibarat kualitas ikan asin. Ikan asin itu bahkan bentuknya kecil-kecil yang dalam bahasa sunda disebut Bung Karno pepetek. Karenanya, kata Bung Karno, “ ….. Saudara-saudara ini belum, atau diantara saudara-saudara itu ada yang sebetulnya terus terang saja belum pantas menerima julukan wartawan”. Begitu rendahnya kualitas wartawan dan karenanya banyak yang menjadi “…… Seperti orang penjual kecap ….. sekarang ada kecapisme ….. tanpa mengerti isi kata itu”, kata Bung Karno. “….. perkataan-perkataan di surat kabar Indonesia, yang aduhh, tiap orang bisa melihat, wahh, ….. ini sama sekali jauh daripada pengetahuan umum yang diperlukan wartawan.” (Bung Karno, 1966 : 8).

Pengetahuan umum itu, terutama terkait dengan sejarah Eropa Timur yang nota bene diperlukan wartawan untuk memahami sosialisme a la Indonesia dalam rangka untuk dapat mengabdi pada kepentingan revolusi melalui peranan dan fungsi media massa. “….. Bagaimana bisa mengabdi pada revolusi Indonesia kalau tidak mengerti tentang gerakan-gerakan nasional Dunia Timur ini ? Itu semuanya memberi isi kepada saudara-saudara punya jiwa dan isi kepada saudara-saudara punya pengetahuan umum, agar saudara bisa mengabdi kepada revolusi Indonesia” (Bung Karno, 1966 :7).

Namun, dengan kualitas yang rendah itu, justru menurut Bung Karno wartawan malah menganggap dirinya tinggi, sombong dan harus mendapatkan perlakuan istimewa (lihat, Bung Karno, 1966 : 3). Suatu sikap yang tentunya ingin menonjolkan diri sendiri, ingin mementingkan diri sendiri daripada kepentingan lainnya termasuk negara (cermin sikap liberalisme). Sikap mana, kalau kita bandingkan dengan perspektif Bung Karno sebagaimana banyak dipaparkan sebelumnya, tentulah sangat kontradiktif bagi wartawan yang bermental sosialis Indonesia, yang diharapkan dapat menggerakkan rakyat untuk berpartisipasi dalam revolusi nasional. Dengan demikian, kalau kembali pada pola selogan Bung Karno sebelumnya, maka dapat dikatakan semboyan wartawan di jaman pembangunan semesta itu, bertolak dari pandangan Bung Karno tadi, bunyinya yaitu : Lebih dulu liberalisme, baru sosialisme a la Indonesia.

PERSPEKTIF MEDIA MASSA BUNG KARNO DALAM TATARAN TEORITIS
Menyimak perspektif Bung Karno terhadap media massa sebelumnya, secara relatif menunjukkan bahwa perspektifnya itu secara konsisten tetap ia bangun atas dasar pemahamannya tentang nasionalisme. Atas dasar kepentingan untuk mewujudkan tujuan nasional bangsa Indonesia. Sesuai dasar tersebut, Bung Karno pun senantiasa menjadikannya sebagai acuan, baik ketika ia mengemukakan pandangan tentang peran dan fungsi media massa Indonesia, maupun ketika mengukur kadar kualitas anggota organisasi pengelola redaksi media ketika mereka melakukan proses encoding.

Dengan perspektif demikian itu, pers dan termasuk seluruh komponen bangsa lainnya, semuanya berstatus sebagai alat bagi negara bangsa Indonesia. Alat mana, fungsinya sebagai faktor-faktor yang mendukung bagi pencapaian tujuan dari negara bangsa Indonesia sendiri, yakni masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian, komponen-komponen tadi seluruhnya menjadi pengabdi, pengabdi bagi revolusi nasional dalam mencapai cita-citanya.

Sebagai pengabdi, pers dengan demikian isinya senantiasa harus mencerminkan upaya-upaya yang bersifat mendukung pencapaian cita-cita revolusi. Ini berarti, idealnya organisasi pers itu, orang-orang yang ada didalamnya harus terdiri dari mereka yang menyadari posisinya sebagai pengabdi dalam revolusi Indonesia.

Dengan posisi seperti itu, itu berarti pula para pengelola pers Indonesia memiliki landasan operasional yang sama dalam proses encoding organisasi media massa. Landasan mana, dengan sendirinya pula mengkondisikan kalangan pers dalam prinsip monosemy dalam proses encoding media.

Dalam prinsip monosemy, para anggota redaksi media tidak memiliki kebebasan dalam proses seleksi dan interpretasi pesan yang akan dipublikasi (bandingkan, Sembiring, 1999 : 4). Proses seleksi dan interpretasi pesan bersifat tunggal dan berada ditangan penguasa. Dalam ketidakbebasan itu, proses encoding media dibingkai oleh satu misi atas eksistensi pers dalam negara.

Dalam era orde baru, maka bingkai monosemy itu dikenal dengan filosofi pers bebas dan bertanggung jawab. Sebuah bingkai yang dinilai banyak pengamat dalam implementasinya jauh lebih banyak tanggung jawabnya ketimbang kebebasannya. Sebuah filosofi yang dimasa orde baru diselewengkan penguasa menjadi pers yang harus bertanggung jawab tanpa mendapat kebebasan (Sirikit Syah, 2000 : 28). Dalam mana, semua berujung pada upaya pengokohan hegemoni penguasa.

Bagaimana dengan era Bung Karno ? Bingkai monosemy itu tampak berbeda secara signifikan. Kalau dalam era orde baru bingkai monosemy tadi demi pengokohan hegemoni penguasa, maka dalam era Bung Karno secara relatif terlihat bingkai monosemy itu penerapannya demi pengokohan kepentingan negara semata, yakni kepentingan untuk mewujudkan tujuan dari revolusi nasional, masyarakat adil dan makmur. Bingkai monosemy yang demikian sendiri, secara jelas dapat dilihat dari sikap Bung Karno yang begitu respek terhadap pers nasional ketika pers nasional yang berlandaskan semboyan “Lebih dahulu nasionalis, baru kemudian wartawan” dalam operasionalnya pada era pergerakan nasional sebelum tahun 1945 (lihat, Bung Karno, 1959 : 7).

Sebagai lawan dari prinsip monosemy yakni prinsip polisemy. Pada prinsip tersebut, kalangan organisasi media memiliki kebebasan dalam proses seleksi dan interpretasi pesan yang akan dipublikasi pada khalayak. Kebebasan mana, tercipta karena tidak ada bingkai tunggal sebagai landasan operasional yang ditetapkan oleh penguasa atau negara. Karenanya, isi media yang terpublikasikan pada khalayak pun menjadi begitu bervariasi baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Dalam era orde lama, kondisi ini pernah terjadi pada periode survival, saat dimana tumbuhnya faham liberalisme dikalangan wartawan (Bung Karno, 1959 : 7). Begitu pun dalam era pembangunan semesta, kemunculan mana menurut Bung Karno karena begitu banyaknya wartawan-wartawan yang individualistis.

Kini, apa yang pernah terjadi dalam era orde lama, muncul kembali dalam era reformasi ini. Hanya saja, kejadiannya dalam nuansa berbeda. Kalau dalam era orde lama prinsip “polysemy” tadi berlangsung dalam situasi yang berada diluar keinginan negara, maka didorong oleh kekecewaan yang luar biasa dari masyarakat atas penerapan prinsip monosemy yang diterapkan orde baru, prinsip polysemy dalam era reformasi ini berlangsung dalam situasi yang memang diijinkan oleh penyelenggara negara (legislatif, eksekutif). Itu terbukti dengan dikeluarkannya Undang-Undang tentang Pers No. 40/1999.

Melihat ciri-ciri dari kedua prinsip dalam proses encoding di atas, kiranya itu menunjukkan sifat yang dikotomistis. Sifat mana secara relatif merefleksikan pemikiran dari dua kutub aliran pemikiran tentang media massa, yakni Liberal – Pluralis (Chicago School) dan Marxis – Kritikal (Frankfurt School).

Aliran pemikiran Liberal – Pluralis muncul dari kalangan intelektual Chicago School – Amerika Serikat seperti Lasswell, Berelson, Lerner, Schramm dan Berlo. Perspektif mereka dibangun atas dasar faham individualisme. Dalam kaitan media massa yang inheren dengan soal perubahan sosial, karenanya kubu Chicago School memandang atau memahaminya dari sisi individu (baca, Laeyendecker, 1983 : 361).

Berbeda dengan aliran pemikiran Liberal – Pluralis, maka aliran Marxis – Kritikal yang muncul dari kalangan intelektual yang tergabung dalam Frankfurt School Jerman, seperti Theodor W. Adorno, Horkheimer dan W. Benjamin itu (Effendi, 1993 : 405), membangun perspektif perubahan sosial tadi diilhami oleh kritik idealisme Karl Marx, bahwa manusia sebagai pencipta cara hidupnya sendiri secara keseluruhan (kolektif – totaliterian) (Rusadi, 1998 : 5).

Perbedaan idiologi yang mendasari kedua kubu itu, pada gilirannya membedakan kedua kubu secara dikotomistis dalam memandang eksistensi media massa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Menurut Liberal – Pluralis, media itu merupakan intrument an sich untuk penyampaian pesan (content). Sedang Marxis – Kritikal, media merupakan industri budaya. Seiring perbedaan tersebut, konsep massa dari media massa pun mengalami pengertian berbeda diantara keduanya. Aliran Liberal – Pluralis, massa yaitu individu-individu yang menerima pesan dalam waktu yang sama. Sedangkan aliran Marxis – Kritikal, massa yaitu homogenisasi sosial, kelompok masyarakat dalam kaitan kekuasaan elit tertentu, massa dalam kaitan totalitarianisme.

Dengan begitu, kekuatan mediapun menjadi berbeda menurut kedua kubu. Liberal – Pluralis berpendapat, konsep kekuatan disamakan dengan konsep pengaruh (efek), sementara Marxis – Kritikal berpendapat bahwa kekuatan media itu adalah kekuatan ideologis. Karenanya bagi Liberal – Pluralis, kekuatan media dalam mempengaruhi khalayak, terletak pada pesan dalam hubungannya dengan khalayak dengan model satu dimensi. Sedang Marxis – Kritikal, proses munculnya kekuatan media itu melalui proses dalam model dua atau tiga dimensi. Karenanya, kekuatan media terletak pada pemilikan dan pengendalian organisasi media.

Dengan kekuatan media itu, maka efek media pun diartikan Liberal – Pluralis sebagai perubahan yang terjadi pada individu. Sementara Marxis – Kritikal, efek yaitu kemampuan media untuk memperkuat kelas dominan, mengabsahkan sistem yang ada.

Untuk dapat mencapai kekuatan media yang diharapkan tadi, makanya menurut pandangan Liberal – Pluralis, isi pesan yang disajikan media bersifat spesifik, materi apa adanya (raw). Sifat pesan yang demikian sendiri, bisa dilakukan kalau media itu fungsinya diartikan sebagai transmitter pasif, dimana media hanya mereproduksi dan menyampaikan realitas (baca, Rusadi, 1998 : 12). Posisi demikian, dengan sendirinya menjadikan organisasi media dalam proses encoding, senantiasa harus objektif, berusaha menjadi mediator yang bebas nilai (free value).

Sebagai lawan dari perspektif Liberal – Pluralis, maka menurut Marxis – Kritikal, kekuatan media itu bisa dicapai kalau isi pesan yang disajikan media itu disusun dan diinterpretasi dalam kaitan aturan atau kode tertentu. Untuk itu, karenanya fungsi media tidak dinilai sebagai transmitter pasif, melainkan berfungsi sebagai transmitter aktif. Sebagai transmitter aktif, dalam proses encoding organisasi media dengan sendirinya melakukan proses pengarahan atau penekanan tertentu (shaping) pada realitas (lihat, Rusadi, 1998 : 12). Dengan demikian, berarti organisasi media dalam proses encoding itu cenderung subjektif, mereka tidak bebas nilai atau terikat dengan nilai-nilai tertentu.

Nilai-nilai tertentu itu, dalam kaitan tulisan ini dimaksudkan sebagai nilai-nilai yang dianut oleh negara sebagai bentuk organisasi sosial tertinggi dalam menjalankan aktifitas kehidupannya melalui penyelenggaranya yang legitimate. Lebih khusus lagi, nilai-nilai yang dianut penyelenggara negara dalam memandang eksistensi media massa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Untuk kasus Indonesia, sejak jaman orde lama hingga orde reformasi, menurut penulis nilai-nilai yang dianut itu ada tiga. Pada orde lama dibawah pimpinan Presiden Soekarno, maka nilai itu adalah bahwa media massa sebagai salah satu alat revolusi bagi bangsa Indonesia dalam upayanya mencapai tujuan dari revolusi itu sendiri. Pada orde baru di bawah rezim Soeharto, nilai itu berupa norma-norma dan aturan yang ada dalam filosofi pers bebas dan bertanggung jawab. Sementara dalam era reformasi, nilai itu berupa pengakuan negara terhadap prinsip-prinsip kebebasan pers yang nota bene ditetapkan sebagai salah satu dari tiga pilar reformasi.

Dari ketiga nilai yang dianut negara sepanjang sejarah negara bangsa Indonesia, maka kalau diamati tampak bahwa secara substansial pada hakikatnya ketiga nilai tadi dapat dibagi menjadi dua bagian ekstrim. Bagian pertama berupa nilai-nilai yang secara tegas menempatkan posisi media massa sebagai bagian dari aktivitas penyelenggara negara dalam usahanya mengejawantahkan tujuan negara. Masuk dalam bagian ini, yakni nilai-nilai yang digunakan oleh Bung Karno dan Soeharto.

Bung Karno membangun nilai itu berdasarkan pemahamannya atas peran dan fungsi pers sebagai salah satu alat revolusi dalam mencapai tujuan revolusi nasional. Sedang Soeharto, membangun nilai itu lewat pemahamannya tentang peranan dan fungsi pers dalam proses pembangunan yang menjadi tujuan nasional itu berdasarkan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Kemudian bagian kedua. Bagian kedua ini merupakan kebalikan dari bagian pertama. Karenanya nilai-nilai yang dianut negara sifatnya berupa pembebasan media/pers secara legitimate dari aktivitas penyelenggaraan negara dalam usahanya mewujudkan tujuan atau cita-cita negara. Nilai ini sendiri, dianut negara Indonesia sejak munculnya kekuatan reformasi yang menjadi pengendali kehidupan bernegara, yakni dimulai dari Presiden BJ. Habibie, Gus Dur, dan dilanjutkan oleh Presiden Megawati hingga kini.

Berdasarkan uraian itu, tampak bahwa antara nilai pada bagian pertama dan kedua tadi, pada hakikatnya menunjukan posisi pers dalam kaitan keterlibatannya dengan aktivitas penguasa atau penyelenggara negara dalam menjalankan kenegaraan untuk mencapai tujuan negara. Variannya sendiri bersifat dikotomi, yakni dilibatkan atau tidak dilibatkan oleh penguasa negara.
Seiring proposisi di atas, maka dengan anutan nilai pada bagian pertama tadi, itu berarti, baik pada masa pemerintahan Bung Karno maupun Soeharto, pers atau media massa berada dalam pelibatan kedua penguasa tersebut dalam menjalankan kekuasaannya menyelenggarakan aktivitas kenegaraan. Dengan demikian, nilai-nilai yang dianut kedua pemimpin, sehubungan mereka melibatkan pers dalam aktivitas penyelenggaraan kenegaraannya, maka nilai-nilai itu dengan sendirinya menjadi patokan pula bagi pengelola organisasi media dalam proses encodingnya.

Dengan menjadi patokan, maka organisasi media dalam proses encoding itu menjadi relatif sulit untuk bersikap objektif terhadap realitas. Ada patokan norma yang menjadi rambu-rambu bagi mereka dalam proses encoding. Patokan norma itu berfungsi mengarahkan organisasi media dalam menyeleksi dan menginterpretasikan realitas agar sesuai dengan garis kebijakan pembuat norma, yakni penguasa. Jadi, organisasi media menjadi subjektif dalam proses encoding, yakni subjektif yang merupakan representasi dari subjektifitas penyelenggara negara. Penganut kebebasan pers menyebut kondisi ini dengan istilah kooptasi, dimana organisasi media dengan sendirinya terpola dengan prinsip monosemy dalam proses encoding.

Uraian di atas kiranya merefleksikan saratnya indikasi tentang karakteristik pengelolaan media massa dalam perspektif Marxis – Kritikal, dengan ciri utama dimana media terkondisi untuk menerapkan prinsip monosemy dalam proses encoding. Dengan demikian, ini berarti dapat dikatakan kalau proses komunikasi massa bermedia pada era Bung Karno dan Soeharto, secara teoritis itu merupakan refleksi pengadopsian persfektif Marxis – Kritikal tentang media massa.

Berbeda dengan era reformasi, maka dengan menganut nilai pada bagian kedua sebelumnya, penyelenggara negara dalam pemerintahan era tersebut tidak melibatkan pers dalam aktivitas kenegaraannya. Pers dengan demikian, posisinya berada diluar lingkup kekuasaan penyelenggara negara. Karenanya, pers terbebas dari kepentingan politik penguasa. Sejalan dengan itu, penyelenggara negara pun meniadakan norma patokan khusus bagi pengelola pers dalam melakukan proses encoding. Kalaupun ada, seperti Undang-Undang Nomor 40/1999, norma itu sifatnya hanyalah sebatas norma yang esensinya berupa pengakuan dan aturan main (yuridis) atas eksistensi media dalam negara.

Tiadanya norma patokan bagi pers, berarti pula tiadanya rambu-rambu buat pers ketika mereka mengekspos realitas dalam proses encoding. Dengan begitu, secara relatif mereka bisa objektif atas realitas dan tentunya proses encoding mediapun bisa dilakukan atas dasar prinsip polysemy, tanpa perlu adanya rasa takut di breidel oleh penguasa negara.

Ciri yang demikian itu kiranya identik dengan ciri pemikiran aliran Liberal – Pluralis mengenai media massa, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Dengan relevansi tersebut, maka dengan sendirinya dapat dikatakan pula kalau pada penyelenggaraan negara dalam era reformasi sekarang, secara teoritis merupakan refleksi dari pengadopsian perspektif Liberal – Pluralis tentang media massa.

Perspektif teoritis tentang media di atas menunjukkan cirinya yang kontradiktif. Meskipun demikian, seiring dasar ideologi yang melatarbelakanginya, secara teoritis tampak bahwa dalam penerapan perspektif Liberal – Pluralis masih dimungkinkan bagi diadopsinya nilai-nilai sistem pers menurut perspektif Marxis – Kritikal. Sementara dalam sistem pers yang secara teoritis mengadopsi perspektif Marxis – Kritikal, nilai dalam perspektif Liberal – Pluralis tidak memungkinkan untuk diterapkan.

Kini, sistem pers Indonesia mengadopsi perspektif Liberal – Pluralis. Sistem mana, lahir dari tuntutan gerakan reformasi yang merasa lama dikekang rezim orde baru yang mengadopsi perspektif Marxis – Kritikal.

Sejalan aplikasi perspektif Liberal – Pluralis itu, secara bersamaan, sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dalam perspektif tadi, kitapun dapat melihat bahwa nilai-nilai dalam perspektif Marxis – Kritikal dapat diterapkan secara bersamaan. Namun, seiring ia hidup dalam nuansa “kebebasan”, maka nilai-nilai yang dianut itu datangnya bukan dari satu sumber, melainkan dari multi sumber. Setiap sumber (maksudnya organisasi media) masing-masing menggunakan ideologinya sebagai norma patokan dalam melakukan proses encoding. Ideologi mana, menurut Fiske (1982) kegunaannya ada tiga, 1) sebagai sistem kepercayaan dari ciri suatu kelompok atau kelas khusus 2) sebagai sistem kepercayaan yang maya dan 3) proses umum dari suatu makna atau ide. Dengan demikian, meskipun prinsip-prinsip dalam Marxis – Kritikal bisa diterapkan dalam sistem pers yang mengadopsi Liberal – Pluralis, akan tetapi penerapan prinsip itu tidak memungkinkan dibangun atas satu nilai ideologi tertentu, seperti nilai yang dianut negara, melainkan berdasarkan aneka ragam ideologi, dimana nilai ideologi penguasa tadi hanyalah satu saja diantaranya.

Dengan begitu, penerapan prinsip perspektif Marxis – Kritikal dalam sistem yang mengadopsi perspektif Liberal – Pluralis, ideologi yang menjadi patokan nilai bagi organisasi media dalam proses encoding itu, sifatnya bukan lagi dalam artian tunggal dari negara, melainkan berasal dari masing-masing media yang ada sendiri.

APLIKASI PERSPEKTIF MEDIA MASSA BUNG KARNO : PELUANGNYA DALAM ERA REFORMASI
Nilai ideologi media dalam perspektif Bung Karno, dahulu pernah menjadi ideologi tunggal yang nota bene merupakan cermin dari “ideologi negara”. Kini, sesuai dengan sistem pers yang telah mengadopsi perspektif Liberal – Pluralis, maka sifat ketunggalan itu dengan sendirinya menjadi gugur dan menjadi salah satu saja dari begitu banyak ideologi yang hidup secara bersama-sama dalam kehidupan permediamassaan yang dilegitimasi penguasa negara.

Diperhadapkan kondisi demikian itu, maka dengan sendirinya implementasi “ideologi” Bung Karno menjadi relatif sulit untuk mencapai efektifitas sasarannya. Kesulitannya antara lain karena ; 1) implementasi itu hanya dapat dilakukan secara terbatas, yakni dari kalangan Soekarnois, misalnya seperti yang dilakukan surat kabar Swara Nasional 2) Akses informasi dengan implementasi ideologi Bung Karno itu cenderung menjadi sulit seiring dalam waktu bersamaan juga termassifikasi anekaragam informasi yang merupakan produk implementasi dari aneka ideologi lain yang bukan “ideologi” Bung Karno. 3) Kebebasan pers “instant” saat ini yang nota bene yang masih dalam suasana euforia, cenderung menyebabkan pengelola media yang ada atau yang akan ada untuk berkreasi pada ideologi baru yang sifatnya profit oriented ketimbang kembali mengadopsi ideologi yang pernah ada dalam upayanya melakukan proses encoding.

Melihat faktor penghambat diatas, tampaklah upaya menerapkan prinsip encoding media dalam perspektif Bung Karno saat ini, dapat dikatakan ibarat seperti “berjalan sendirian” ditengah euforia kebebasan pers. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada celah sama sekali bagi diterapkannya “ideologi medianya” Bung Karno tadi secara massif.

Menurut penulis, celah itu tetap ada, sumbernya tak lain adalah berasal dari “ideologi” Bung Karno itu sendiri yang diketahui bersama, sarat dengan semangat nasionalisme Indonesia. Semangat mana, bahkan dapat dikatakan begitu relevan untuk diterapkan dalam era reformasi sekarang ini. Suatu era yang banyak diakui berbagai pihak penuh kebebasan dengan memunculkan tuntutan demi tuntutan dari berbagai komponen bangsa terhadap negara yang bereskalasi pada proses penajaman kondisi disintegrasi bangsa. Dengan demikian, representasi “ideologi” Bung Karno itu untuk saat ini kiranya memerlukan penyesuaian dengan nuansa kehidupan politik nasional saat ini yang diperlukan dalam konteks upaya mencegah keterpecahan bangsa.

Meskipun begitu, untuk menerapkannya tetaplah bukan perkara gampang. Persoalannya tetap terbentur pada telah membudayanya prinsip polysemy dilingkungan organisasi media saat ini, prinsip mana dengan sendirinya berproses atas dasar aneka ideologi yang dianut oleh berbagai media yang ada. Suatu keadaan dimana organisasi media sehubungan “kebebasan instant” yang dimilikinya sekarang ini, berdasarkan fenomenanya cenderung menyababkannya mengambil sikap seolah-olah seperti “penguasa” yang lazim disebut hegemoni pers. Istilah “macan ketawa” yang jangan coba-coba digertak pemerintah agar bungkam, sebagai mana dikatakan Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Merdeka, untuk menunjukkan predikat pers saat ini, kiranya merupakan suatu bukti sikap bahwa pers Indonesia saat ini seakan memang sudah menjadi “penguasa” yang tidak mempan dengan pengaruh penyelenggara negara. (lihat, Imran, 2001 : 4).

Di sisi lain, sikap yang lahir dari “kebebasan instant” itu, berdasarkan fenomena yang ada tampaknya juga memunculkan sikap pers yang relatif seolah tanpa idealisme lagi dalam pemberitaan, utamanya menyangkut soal kebangsaan. Ada kesan, misi bersifat idealisme berada di bawah misi business profit oriented. Diantara soal menyangkut kebangsaan tadi, misalnya soal konflik sosial marak terjadi selama era reformasi. Atau, tentang masalah HAM yang mencuat kepermukaan menjadi isu publik.

Dalam soal konflik misalnya, salah satu kesimpulan atas satu studi analisis isi surat kabar tentang pemberitaan konflik sosial menunjukkan, pers yang seyogyanya diharapkan berperan untuk mencegah atau meredakan konflik, tapi malah memperlihatkan sebaliknya, dimana pers dengan setting pemberitaannya justru menempatkan persoalan konflik sosial kembali “berada di bawah karpet” sebagaimana lazim dilakukan rezim orde baru dahulu dengan cara menekan pers (lihat, Imran, 2001 : 60). Suatu setting yang tentunya jauh dari ideal. Di sisi lain, masih terkait soal konflik tersebut, fenomenanya juga menunjukkan kalau dalam soal konflik sosial itu pers memang kurang tertarik untuk mau “terlibat lebih jauh”. Ini ditandai dengan enggannya para pejabat teras organisasi redaksi untuk duduk bersama berupaya menemukan solusi konflik lewat pemberitaan (lihat, Imran, 2002).

Begitu pun dengan soal HAM. Hasil analisis pemberitaan surat kabar tentang HAM menunjukkan, penggunaan nara sumber tak seimbang (non aparat pemerintah 94% - aparat pemerintah 6%) kiranya cenderung mencerminkan kalau pers bukan berusaha menyelesaikan substansi persoalan HAM melainkan hanya sebatas menjadikannya sebagai komoditas yang dinilai bisa menguntungkan. (lihat, Imran, 2001).

Contoh-contoh kasus diatas kiranya merupakan fenomena yang dapat menjadi refleksi mengenai semangat kejiwaan pers saat ini dalam kaitan soal kebangsaan. Suatu keadaan yang tentunya bisa menjadi penutup celah bagi diterapkannya “ideologi medianya” Bung Karno tadi. Jika demikian, apakah cara yang dapat mendobrak penutup celah itu agar “ideologi media” Bung Karno tadi tetap bisa diterapkan dalam kondisi era reformasi sekarang ? Menurut penulis, “penutup celah” itu tadi tampaknya hanya bisa disingkirkan dengan cara kembali kepada kesadaran akan fungsi pers itu sendiri.

Kesadaran mengenai fungsi itu sendiri, dalam era reformasi saat ini, yang secara teoritis diketahui sebagai era yang mengadopsi perspektif medianya Liberal – Pluralis, oleh tak sedikit pengamat dinilai mengalami penurunan atau kurang memadai. Ini ditandai dengan banyaknya pers yang sejatinya berperan sebagai salah satu pilar demokrasi itu, “kebablasan” dalam proses encoding (bandingkan, Siregar, 2000 : 11).

Turunnya kesadaran akan fungsi pers yang mengakibatkan “kebablasan” itu, kiranya dapat diartikan kalau pers menjadi seperti kehilangan arah dalam melaksanakan perannya tadi. Oleh karena itu, supaya tidak kehilangan arah maka pers idealnya perlu kembali mengacu pada fungsinya. Maka, disinilah upaya peningkatan kesadaran akan fungsi pers itu, perlu dilakukan oleh kalangan pengelola media khususnya organisasi redaksi.

Fungsi pers sendiri, yang oleh Littlejohn disebutnya sebagai fungsi media massa, ada empat : 1) surveillance atau pengawasan, 2) correlation atau korelasi, 3) cultural transmission atau tranmisi budaya dan 4) entertainment atau hiburan. (Littlejonh, 1983 : 326). Infante, Rancer dan Womack kemudian melengkapi fungsi tersebut dengan fungsi mobilization atau mobilisasi (dalam, Ritonga, 2000 :1).

Fungsi pengawasan adalah fungsi komunikasi massa berupa penyampaian informasi dan berita. Fungsi korelasi berhubungan dengan bagaimana media massa memilih, menginterpretasikan dan mengkritik peristiwa yang terjadi dilingkungannya. Fungsi transmisi budaya berhubungan dengan kemampuan media menyampaikan norma-norma, aturan-aturan dan nilai-nilai dalam masyarakat. Sementara fungsi mobilisasi berkaitan dengan upaya penggerakan khalayak luas media massa (Ritonga, 2000 : 2) pada sikap dan perilaku tertentu, seperti yang pernah dilakukan pers Prancis belum lama ini untuk menghindari terpilihnya Le Pen yang rasialis dalam pemilu menjadi Perdana Menteri Prancis.

Dalam kaitan upaya meningkatkan kesadaran akan fungsi pers tadi, maka dengan melihat lima fungsi pers diatas, terlihatlah bahwa yang pertama kali perlu dilakukan adalah upaya penyadaran pengelola media akan eksistensinya dalam fungsi korelasi pers.

Eksistensi organisasi media itu, yakni sebagai pelaku yang melaksanakan fungsi korelasi pers melalui orang-orang yang menjadi anggotanya. Orang-orang mana, sebenarnya tidak berbeda dengan orang-orang anggota organisasi redaksi media yang bertugas melakukan proses encoding dalam istilah Littlejohn.

Sebagai orang-orang anggota organisasi redaksi media yang melakukan fungsi korelasi pers, maka dalam upaya penerapan perspektif pers Bung Karno tadi, kesadaran yang diharapkan muncul dari para anggota organisasi redaksi itu, wujudnya adalah berupa apa yang pernah dikemukakan Bung Karno tentang posisi wartawan dalam revolusi Indonesia yang nota bene menjadi salah satu dari syarat-syarat wartawan ideal, yakni : bangunan mentalitas politik yang terbentuk atas dasar pengetahuan bahwa wartawan itu “sebagai satu bagian dari pada rakyatnya yang masih di dalam revolusi yang belum selesai ; harus merasa dirinya ikut hendak berusaha memajukan rakyatnya ; mengerti problem-problem daripada jamannya” (Bung Karno, 1959 : 4).

Dengan semangat yang sama, maka kesadaran yang berupa terwujudnya bangunan mentalitas politik tadi, proses pembentukannya kini tinggal memerlukan penyesuaian dengan semangat iklim era reformasi. Dengan begitu, maka kesadaran yang diharapkan muncul dari kalangan organisasi redaksi sebagai pelaksana fungsi korelasional pers saat ini, adalah berupa terbangunnya mentalitas politik yang terbentuk atas dasar : 1) pengetahuannya bahwa organisasi redaksi itu sebagai satu bagian dari rakyat Indonesia yang kini masih dalam era reformasi yang belum selesai, 2) bahwa organisasi redaksi juga bertanggung jawab dalam upaya memajukan rakyat Indonesia sesuai sasaran cita-cita reformasi, 3) pemahamannya tentang problem-problem pelik dalam era reformasi yang bersifat multidimensional.

Bila bangunan mentalitas politik ideal itu masing-masing memang sudah dimiliki anggota redaksi, maka dengan sendirinya akan relatif lebih mudah fungsi mobilisasi pers muncul secara legowo dari kalangan anggota. Fungsi mobilisasi dapat menjadi semacam pembingkai bagi media saat melakukan fungsi korelasional pers. Fungsi mana, dari ciri-cirinya tadi menunjukkan sifat yang lebih dapat memfasilitasi upaya aplikasi perspektif media massa Bung Karno.

Selanjutnya, jika fungsi mobilisasi sudah terkondisi mem-frame up organisasi media dalam melakukan fungsi korelasional pers, dengan sendirinya semua realitas (termasuk nilai-nilai budaya) dilingkungan media itu akan terformat dalam wujud yang merefleksikan peran pers berdasarkan fungsi mobilisasinya. Format demikian pun dengan sendirinya pula akan tampil serupa ketika organisasi media menerapkan perannya berdasarkan fungsi pengawasan pers yang berupa penyajian informasi dan berita.

Akan tetapi, sehubungan saat ini pers dalam iklim politik era reformasi, era yang memposisikan sipil memiliki supremasi, maka upaya “penyadaran” tadi tentulah bukan datang dari pihak penguasa sebagaimana ditempuh orde baru. Sebab hal itu akan cenderung menimbulkan kecurigaan yang tinggi dari pihak pers. Akan lebih efektif kiranya bila upaya itu dilakukan dengan cara kembali kepada potensi supremasi sipil itu sendiri. Untuk itu, maka prakarsa seyogyanya datang dari partai-partai politik atau pers sendiri sebagai dua wujud simbol supremasi sipil saat ini.

Jika upaya prakarsa itu dilakukan dalam konteks “Aku – Kamu”, bukan dalam konteks “Kita”, tentulah hal tersebut amat berat, terutama bagi kalangan pers, karena senantiasa akan merasa dirinya kembali “dikooptasi” oleh penguasa ketika mereka melakukan proses encoding atau melakukan peran atas fungsi korelasional pers. Karena itu, konteks “Kita” sebagai bangsa Indonesia, tampaknya bisa membantu dua simbol supremasi sipil tadi, utamanya pers, dalam upaya memprakarsai penyadaran organisasi media akan fungsi pers. “Penyadaran” mana, merupakan prasyarat bagi upaya aplikasi massif atas perspektif Bung Karno tentang komunikasi massa pada saat era reformasi kini.

Upaya itu memang terasa berat karena membutuhkan tingkat “kedewasaan” yang tinggi. Meskipun begitu, dua simbol supremasi sipil itu hendaknya menjadi optimis ketika kita sama-sama tahu bahwa dua negara dengan tradisi demokrasi yang matang seperti Amerika dan Prancis berhasil melakukan upaya sejenis. Keberhasilan Amerika ditandai dengan fenomena pers Amerika yang karena nasionalismenya cenderung tanpa sadar menjadi sepihak dalam memberitakan Osama bin Laden dengan jaringan Al-Qaeda-nya sekaitan kasus WTC. Sedang Prancis ditandai dengan persnya yang memobilisasi massa agar rakyat tidak memilih Le Pen yang rasialis demi tegaknya nilai-nilai kebebasan dalam nasionalisme Prancis. Seiring keberhasilan dua negara demokrasi tersebut, kita pun tentunya tak berlebihan jika berharap kalau keberhasilan serupa juga dapat diraih pers nasional. Semoga.

AFTAR PUSTAKA

Bittner, John R., Mass Communication an Introduction,Fourt Edition,
1986 Prentice Hall A Division of Simon & Schuster, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.
Ebenstein, William, Isme-isme, Penerbit Swadaya
1963
Effendi, Onong Uchyana, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung,
1993 Citra Aditya Bhakti, PT.
Fiske, John, Introduction to Communication Studies, New York,
1982 Methuen.
Guntoro, “Komunikasi Massa”, tidak diterbitkan, Pusat Diklat Pegawai
1999 Deppen, Jakarta, Deppen RI.
Harahap, Krisna, “UU Pers dan Prospeknya Menghadapi Perkembangan
2000 Teknologi Informasi”, Pers Indonesia, Jakarta, BIKN,
hal. 15.
Imran, Hasyim Ali, “Penyajian Berita dan Kaidah Jurnalistik”, Jurnal
1999 Penelitian Pers dan Pendapat Umum, Jakarta, Balai
Penelitian Pers dan Pendapat Umum Jakarta, 3 (2)
hal. 91.
_____________, “Menggertak Macan Ketawa, Soal Konflik Sosial dan
2001 pemberitaan Pers”, dalam Rakyat Merdeka, edisi 11
Agustus, hal. 4.
_____________, “Kanalisasi Ekspresi Pers tentang Konflik Sosial, Studi
2001 Analisis Isi Berita Konflik Sosial dalam Perspektif
Komunikologi”, dalam Jurnal Penelitian Pers dan
Pendapat Umum, Jakarta, Balai Penelitian dan
Pendapat Umum Jakarta, Lembaga Informasi Nasional,
5 (1), hal. 60.
_____________, “Penyajian Informasi tentang HAM dalam Surat Kabar,
2001 Sebuah Studi Awal Analisis Isi Surat Kabar, Kasus
pada Harian Rakyat Merdeka”, tidak diterbitkan,
Laporan Penelitian.
_____________, “Pers dan Pengelolaan Konflik”, dalam Jurnal Insani,
2002 volume 4 (1), Jakarta, STISIP WIDURI.
Laeyendecker, L. Tata, Perubahan, Ketimpangan : Suatu Pengantar
1983 Sejarah Sosiologi, Jakarta, Gramedia.
Lembaga Pers dan Pendapat Umum, Almanak Pers Indonesia 1954 –
1955 1955, Jakarta Yayasan Lembaga Pers dan Pendapat
Umum.
Littlejohn, Stephen W, Theories of Human Communication, Columbus,
1983 Ohio 43216, Charles E. Merrill Publishing. Company, A
Bell & Howell Company.

Ritonga, Jamiluddin, “Peran Pers sebagai Pilar Demokrasi”, Jurnal
2000 Penelitian Pers dan Pendapat Umum, Jakarta, Balai
Penelitian Pers dan Pendapat Umum Jakarta, Lembaga
Informasi Nasional, 4 (2) hal. 1.
Rusadi, Udi, “Perspektif Studi Media Massa”, Jurnal Kampus Tercinta
1998 Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta, Yayasan
Kampus Tercinta, hal. 12
Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat, Jakarta, Bumi Aksara, PT.
1995 Cetakan III.
Sekretariat Negara Republik Indonesia, “Pidato Sambutan PJM Presiden
1959 pada Pembukaan Djurusan Publisistik Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia : Ruangan Aula Salemba 4 ; Djakarta, 12 desember 1959”, nst 1457/59.
______________, “Pidato PJM Presiden pada Rapat Raksasa Didepan
1962 Kantor Gubernur Palembang pada Tanggal 10 April 1962”, nst 388/62.
Sekretariat Negara Kabinet Presiden RI, “Pidato PJM Presiden Soekarno
1963 pada Pelantikan Dewan Pengawas dan Dewan Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional “ANTARA”, Djakarta, 18 Desember 1962”, nst 41/63.
______________, “Amanat PJM Presiden Soekarno pada Pembukaan
1966 Upgrading Wartawan PWI di Istana Bogor, 12 Februari 1966”, nst 142/66.
Sembiring, B., “Perspektif Penelitian dan Pengembangan Penerangan
1999 dalam tahun 2000-an”, Makalah Temu Ilmiah IV
Balitbang Penerangan tahun 1999, Jogyakarta, 27-30
Juli.
Syah, Sirikit, “Tantangan dan Harapan Lembaga Pemantau Media”, Pers
2000 Indonesia, Jakarta, BIKN, hal. 28.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar