Jumat, 30 Juli 2010

artikel tamu

IKLAN POLITIK

DALAM KAMPANYE CAPRES DI MEDIA VIRTUAL

Oleh : S. Arifianto*

Abstraksi

Tulisan ini berusaha untuk memahami makna iklan politik kampanye capres di media virtual. Dari kesimpulan analisis terdapat dua sudut pandang yang berbeda dalam memaknai iklan politik tersebut. Pertama keperkasaan hegemoni kekuasaan, yang direpresentasikan iklan politik dalam kampanye capres di media virtual merupakan upaya untuk “tujuan pencintraan” para kandidat presiden, mempertahankan popularitas kekuasaan.Kedua dari sisi masyarakat sebagai calon pemilih dirasakan adanya hegemoni politik kekuasaan untuk menjadikan masyarakat sebagai obyek kekuasaan. Seperti terlihat dalam disply iklan di berbagai media virtual tampak betapa lemahnya posisi masyarakat calon pemilih yang dijadikan obyek kekuasaan kandidat presiden dalam pilpres 2009..Tetapi paling tidak dari iklan tersebut masyarakat,bisa mendapat kan informasi politik,berupa pengetahuan awal tentang karakristik,jejak rekam para kandidat presiden secara interaktif melalui media virtual.

Kata kunci : Ikaln politik,media virtual,pengetahuan masyarakat

Pendahuluan

Mengamati iklan kampanye pemilu capres pada putaran pertama tahun 2009 banyak perubahan yang terjadi. Perubahan itu seiring dengan kemajuan teknologi informasi global dewasa ini. Perkembangan teknologi informasi global telah memaksa para kandidat capres dan tim suksesnya berfikir ulang mengatur strategi mana yang paling efektif. Pada tataran tersebut konsep iklan akan di lihat pada siapa yang akan di bidik menjadi sasarannya. Setelah sasaran yang akan di bidik sudah jelas, tahap berikutnya adalah pemilihan media. Ketika kita berbicara tentang pemilihan media sebagai ajang promosi atau iklan yang ada di benak pemasang iklan adalah jangkauan media yang bersangkutan. Tetapi juga bisa di lihat dari sisi karakteristik materi apa, dan kepada siapa sebuah iklan akan di sasar. Ketika yang kita bicarakan adalah iklan kampanye pemilu capres di media virtual, maka sasaran akhir dari iklan itu jelas para calon pemilih di masyarakat global.Dalam konteks pemilu capres di Indonesia 2009 ini adalah masyarakat yang tinggal di dalam negeri maupun di luar negeri. Konsumen iklan pemilu capres di media virtual tentu sungguh menarik. Karena konsumen dihadapkan untuk memilih pedang bermata dua. Artinya di satu sisi konsumen memperoleh informasi yang cukup imajinatif dari sebuah visi dan misi Capres yang di iklankan. Tetapi pada sisi yang lain masyarakat bisa terperosok ke arah pemaksaan, jika tidak mampu memahaminya dengan cermat visi dan misi tersebut. Dibalik itu,”informasi”juga telah bergeser menjadi kebutuhan pokok, khususnya bagi mereka yang menjadi komunitas dunia maya.

Siapa yang menguasai informasi ia akan menguasai dunia, khususnya dibidang politik dan ekonomi1 Dengan memahami makna iklan politik yang menyajikan program capres secara jelas dan transparan, konsumen bisa mendapatkan informasi serta dapat menentukan sikap untuk memilih dan memilah semua informasi yang terkait dengan visi dan misi capres. Secara histories masyarakat di Indonesia telah terbentuk sejak masuknya kebudayaan modern dimasa pemerintahan Kolonial. Budaya itu dipernalkan pada masyarakat pribumi sejak melalui konsep pendidikan modern di abad IXX. “Kondisi itu telah mengubah struktur sosial masyarakat (priyayi dan birokrat) dengan gaya hidup masyarakat belanda.

Secara bertahap mereka akhirnya telah terbiasa mengkonsumsi barang kebutuhan sehari seperti masyarakat Belanda, dan semakin meluas menjadi komunitas baru yang memiliki selera seperti masyarakat modern Eropa”2 Sifat konsumerisme itu sendiri muncul post colonial. Sifat konsumerisme itu tidak hanya terbatas di sektor ekonomi, tetapi juga merambah sektor sosial, budaya dan politik. Perilaku sosial masyarakat yang berkorelasi dengan emosional politik secara tidak sadar berpengaruh terhadap solidaritas pilihan individu pada capres yang mereka yakini. Terbangunnya komunitas masyarakat virtual terhadap capres tertentu pada dasarnya untuk menciptakan keterbukaan baru yang lebih pluralistik3 Dalam konteks ini komunitas masyarakat virtual pendukung capres merupakan partisipan yang memiliki ikatan emosional terhadap para capres pilihannya. Guna mempelajari perilaku dan ikatan emosional, gaya berpolitik komunitas masyarakat virtual tersebut bisa diadopsi dari teori intertemporal choice, yang memformulasikan kecenderungan komsumsi politik pendukung capres sekarang dengan konsumsi politik pendukung capres masa yang akan datang.4 Pada posisi ini masyarakat selalu ditempatkan pada konsumen (politik) sasaran pemasaran visi dan misi capres tertentu pada dunia virtual tersebut.

Dalam teori itu Danton (1992:12) menjelaskan bahwa konsumsi politik tidak sekedar untuk memenuhi tuntutan gaya hidup modern, tetapi dibalik itu lebih dititik beratkan untuk menaikkan gengsi sosial bagi komunitas masyarakat di lingkungannya. Fenomena seperti itu bukan suatu hal yang aneh pada saat kita dihadapkan pada kebebasan informasi di abad modern sekarang ini,Demikian juga munculnya pertumbuhan kreatif dunia periklanan ditengah kompetisi pasar menjadikan para creator iklan politik untuk berpikir ulang. Menjamurnya iklan politik pada saat musim kampanye pilpres 2009 di media virtual tersebut setidaknya bermakna memberikan alternatif informasi kepada calon pemilih yang tidak harus di batasi oleh ruang,.waktu dan geografis. Bahkan ia ingin membentuk image di benak calon pemilih capres tertentu. Pembentukan image ini sangat penting dan merupakan langkah strategis bagi tim sukses capres untuk memperluas jaringan calon pemilih sebanyak mungkin. Pembentukan citra (image) itu bermakna ketika calon pemilih telah berada di bilik suara. Mereka akan dengan mudah dapat mengambil keputusan untuk memilih capres, seperti yang telah melekat di benak mereka sebelumnya. Sebenarnya keputusan konstituen untuk menentukan pilihannya bukan semata-mata ditentukan oleh faktor sosial politik dan ekonomi. Tetapi juga adanya tekanan pengaruh kuatnya tekanan demokratisasi budaya politik yang bisa memberikan kelonggaran untuk menentukan pilihannya bagi setiap individu. Walaupun masyarakat memiliki organisasi politik beragam, ketika dibilik suara tidak ada organisasi politik manapun yang sanggup mengontrol dan mengarahkannya. Pilihan mereka adalah berdasarkan hati nurani yang terbentuk dari berbagai informasi dan pengetahuan dari hasil seleksi pengejawantahan para capres ketika kampanye di berbagai ruang dan media. Namun demikian dalam pandangan kognitif para calon pemilih itu ditempatkan sebagai pemecah masalah (problem solving) dimana masyarakat calon pemilih sering digambarkan sebagai individu yang bersifat pasif, tetapi dilain pihak ia aktif mencari informasi para kandidat capres yang akan di pilihnya. Membaca iklan di media virtual adalah untuk mendapatkan informasi, agar komunitas masyarakat virtual mempunyai pengetahuan alternatifl tentang visi,misi serta program-program capres. Dalam konteks inilah para creator iklan politik menempatkan negosiasi antara kepentingan kekuasaan dengan obyek yang akan dibidik dalam sebuah komunitas masyarakat tertentu.Tulisan ini merupakan gagasan penulis untuk mendiskusikan berbagai varian makna iklan kampanye pilpres 2009, di media virtual (media On-line).

Memahami Teks “Iklan Kampanye Pilpres di Media Virtual”

Untuk memahami makna iklan kampanye pilpres di media virtual sebagai data analisis ini tidak mudah. Karena di masing-masing jenis teks iklan mempunyai makna yang berbeda.Bisa jadi makna yang di maksudkan oleh kreator iklan,berbeda dengan penabsiran orang lain.Tetapi menurut hemat saya makna tidak serta merta berada dalam teks iklan itu sendirian. Pembacaan makna bukan seperti membuka kaleng yang kemudian dengan sendirinya akan memunculkan makna pesan yang terkandung di dalamnya. Makna dihasilkan dari interaksi antara teks dan khalayak.5 Ketika teks iklan kampanye pilpres diluncurkan di media virtual, sebenarnya telah terjadi kontak negosiasi antara calon pemilih di masyarakat virtual dengan produk yang di iklankan (visi,misi dan program capres) meski informasi tersebut belum cukup menyakinkannya.

Jadi pembacaan teks iklan kampanye pilpres seperti itu secara bersamaan akan menhasilkan makna terpilih (freffered meaning). Dalam kolaborasi ini di satu sisi pembaca iklan kampanye pilpres ditempatkan sebagai individu dalam sistem nilai yang sangat dominan. Tetapi pada sisi yang lain ia juga ditempatkan pada masyarakat konsumennya. Itulah cara bekerja sebuah ideology periklanan dimanapun ia berada. Dalam bekerjanya ideologi akan memberikan bentuk koherensi pada sikapnya, dalam konteks tersebut Maxs selalu menghubungkan ideologi dengan relasi sosial.6 Sedangkan fakta sosial yang menentukan ideologi adalah kelas dalam bentuk pembagian kerja. Karenanya dalam konsep tersebut kelas yang berkuasa menjaga dominasi terhadap kelas kerja, dan kelaslah yang berkuasa untuk mengontrol ideologi komunitas masyarakat virtual yang di sasar iklan tersebut.

Dalam konteks pembacaan “iklan kampanye pilpres di media virtual” ini kelas kekuasaan di representasikan dalam pesan komunikasi politik. Pesan komunikasi politik yang mengandung hegemoni kekuasaan itu di kemas melalui teks iklan yang berisi visi, misi, program dan ajakan untuk memilihnya. Pesan komunikasi politik para capres itu semua di tujukan kepada calon pemilih di komunitas masyarakat virtual. Di sini calon pemilih ditempatkan sebagai obyek untuk mendukung kolaborasi kekuasaan (capres dan segenap parpol koalisinya) dalam menjual programnya dengan memunculkan mood tertentu sebagai daya pikatnya. Mood yang dimunculkan dalam iklan kampanye pilpres tersebut berupa jargon-jargon politik. Misalnya:(ekonomi kerakyatan, menggratis kan pendidikan kaum duapa,subsidi para petani,pengentasan kemiskinan,pemberian kredit usaha kecil, pertumbuhan ekonomi dan lainnya).

Pada tataran ini para calon pemilih pasangan capres di hadapkan pada pembentukan citra melalui iklan. Mereka akan di giring untuk mengambil keputusan politik sesuai dengan platform masing-masing capres.Bagi mereka yang sejak awal sudah berafiliasi dengan parpol pengusung capres tertentu mungkin tidak ada masalah.Mereka tinggal memperdalam perkembangan informasi politik yang terjadi. Tetapi bagi mereka yang tidak bertautan dengan parpol pengusung capres masalahnya akan lain.Khususnya kelompok masyarakat yang masih mengambang yang jumlahnya 27 % (LP3ES, Jawa Pos,9/6/2009).Kelompok inilah yang oleh banyak pihak pilihannya ada ketergantungan dengan kualitas kampanye capres 2009 termasuk di media massa dan media virtual.Artinya mereka akan betul-betul melakukan seleksi secara alami dengan mempelajari apakah visi,misi dan program capres mempunyai korelasi yang cukup jelas dengan ideology yang mereka yakini. Apakah program yang di tawarkan dalam iklan memang bisa di implementasikan, untuk kemajuan bangsa dan masyarakat komunitasnya.Kemungkinan-kemungkinan seperti itu akan menjadi daya pikat bagi masa yang masih mengambang tersebut. Mereka yang tergabung dalam komunitas masyarakat global akan mencari informasi yang lebih mendalam tentang profil para capres melalui media virtual. Informasi seperti itu menjadi penting ketika mereka akan mengambil keputusan politik dalam pemilihan presiden yang di gelar tanggal 8 Juli 2009. Di bilik itulah semua pengetahuan dan aspirasi politik mereka implementasikan. Itu merupakan bagian dari hasil pencitraan melalui iklan dan perilaku lain yang bisa di tangkap oleh para calon pemilih di komunitas media virtual.

Tampilan iklan kampanye pemilu capres di semua media, tentu telah melalui sensor yang sangat ketat. Materi iklan yang ditampilkan harus mempunyai kekuatan untuk menyentuh di bawah alam sadar bagi calon pemilih. Pekerjaan itu tidak mudah, hanya para kreator iklan yang mengetahui tentang hal tersebut.Setiap iklan yang di tampilkan di media virtual pasti mempunyai target tertentu bagi pengiklan. Target itu adalah naiknya apresiasi masyarakat terhadap para kandidat capres.Dari sana tampak mana iklan yang sekedar bermakna propaganda, dan mana iklan yang mampu berkomunikasi dengan konstituennya. Elemen yang paling dominan dimunculkan dalam iklan kampanye pemilu capres 2009 ini adalah “jargon politik”. Karena jargon politik dianggap bisa membentuk citra (image) yang mudah di ingat oleh calon pemilih. Jargon politik bisa di gunakan sebagai martil untuk menggugah kesadaran politik masyarakat yang sudah mulai menurun. Sementara elemen teks iklan hanya sebagai bentuk penegasan dari sasaran pasar yang akan dibidik oleh capres tertentu. Misalnya dalam narasi iklan pasangan Mega-Prabowo mencitrakan capres “pro rakyat”. Pasangan Sby-Boediono menggunakan jargon politik,”lanjutkan”.Sedangkan pasangan Jk-Wiranto menggu nakan jargon,”lebih cepat lebih baik”.Semua jargon politik yang di populerkan iklan tersebut tujuannya hanyalah untuk membentuk citra politik di mata calon pemilihnya. Dengan jargon politik seperti itu masyarakat akan mudah mengingat calon pilihannya kelak di hari H pemilihan capres. Jargon politik itu juga bermakna menunjukkan motif kekuasaan seorang capres kepada masyarakat konstituennya. Wacana seperti itu dapat dibaca dari makna yang terkandung dalam visualisasi design iklan kampanye capres tersebut baik dalam bentuk gambar maupun narasi teks bahasa yang digunakannya. Dalam kajian pemahaman terhadap design iklan disamping faktor dasar yang menjadi arena kehidupan manusia7, juga memiliki keterkaitan dengan tumbuhnya budaya konsumen dan gaya hidup masyarakat. konsumsi secara artificial dimotivasi oleh iklan, yang akhirnya menumbuhkan budaya konsumerisme di masyarakat modern seperti sekarang ini.

Herbert Marcuse (1968) mengembangkan argumen tersebut untuk menunjukkan bahwa ideologi politik telah mendorong kebutuhan palsu, dan kebutuhan ini bekerja sebagai bentuk control sosial.8 Jadi pengiklan mendorong kebutuhan palsu pada calon pemilih untuk mengkonsumsi citra tertentu. Perilaku seperti itu erat kaitannya dengan budaya politik di berbagai kehidupan. Fenomena seperti ini juga menunjukkan berbagai varian penindasan hak berpolitik dalam bungkus partisipasi komunitas masyarakat virtual yang mengejar pertumbuhan meskipun muncul kesadaran semu sehingga penindasan kekuasaan itu memuaskan.9 Dengan demikian sebenarnya budaya politik yang didorong oleh maraknya kompetisi jargon politik dalam dunia periklanan itu tidak lebih dari sebuah kepalsuan realitas budaya politik di masyarakat. Namun demikian budaya politik semu seperti itu telah menjadi trens kehidupan politik bagi masyarakat modern abad ini. Tanpa sadar masyarakat terus berkompetisi untuk mendukung capres tertentu sebagai akibat dari motivasi kekuasaan melalui bujuk rayu promosi periklanan, atau pendekatan lainnya. Sejak berlangsungnya kampanye pemilu legislatif,Januari sampai menjelang pilihan presiden 2009 konstelasi iklan politik cenderung meningkat tajam di madia massa termasuk media virtual.Indikatornya total belanja iklan di media cetak dan televisi selama semester satu 2008 tumbuh sekitar 24 %.Data tersebut di kemukakan oleh Maika Randani (2008) Senior Manager Business Nielsen Media Research Indonesia. Survey yang mengambil sampel 93 Surat Kabar, dan 149 Majalah dan Tabloit, serta 19 stasiun televisi di Indonesia itu di lakukan pada semester pertama 2008 (Kompas, 12/8/2008).Melonjaknya iklan politik itu tidak sekedar memperkenalkan keberadaan parpol, tetapi juga sosok-sosok individu politikus tertentu.

Ketidak Berdayaan Masyarakat Calon Pemilih

Salah satu di antara perubahan sosial bidang teknologi informasi yang menyertai kemajuan ekonomi masyarakat Indonesia dalam satu dasa warsa terakhir ini adalah berkembangnya berbagai gaya hidup berkomunikasi dengan perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Sebagai fungsi diferensiasi sosial yang tercipta dari relasi konsumsi, hal tersebut tidak lagi sekedar berkaitan dengan nilai guna dalam upaya memenuhi fungsi kebutuhan komunikasi dan informasi, “tetapi sudah menjurus pada unsur simbolik untuk menandai kelas, status dan simbol sosial tertentu”.10 Di sini konsumsi politik bukan lagi ditempatkan sebagai alat komunikasi politik, tetapi merupakan identitas diri dari budaya politik seseorang di tengah-tengah masyarakat. Jadi yang dikonsumsi oleh para calon pemilih dalam iklan bukan lagi obyek, tetapi makna-makna sosial politik yang berada di balik iklan di media virtual itu.

Kecenderungan penggunaan iklan kampanye politik di media virtual dianggap bukan lagi sebagai pemenuhan sarana komunikasi politik belaka. Tetapi oleh para pemikir ilmu sosial dan budaya Eropa, disebut sebagai “budaya konsumerisme,politik”. Meski mungkin istilah yang sama digunakan ditempat lain mengandung makna yang berbeda. Jika merujuk pada perkembangan masyarakat kebudayaan postmodern tentu tidak dapat dipisahkan dari perkembangan konsumerisme politik dalam diskursus kapitalisme. Dalam hal ini terdapat relasi antara konsumsi politik dengan perangkat teknologi informasi dan komunikasi dengan praktik estetika postmodern. Artinya perkembangan komunitas masyarakat virtual pengguna perangkat teknologi informasi dan komunikasi seperti itu telah mempengaruhi cara pandang calon pemilih dengan estetika, bahasa teknologi pada komunitas masyarakat tertentu. Pengaruh itu muncul akibat dominasi hegemoni kekuasaan politik melalui capres di semua lini kehidupan. Misalnya jika awalnya aliran Marxis dan sosiologis berangkat dari konsep ideologi membatasi pemakaian ide yang diasosiasikan dengan, dan memelihara kekuatan, kelas dominant. Berbeda dengan argument Giddens11 bahwa ideologi harus dipahami dalam hal bagaimana struktur pemaknaan dimobilisasi untuk mengesahkan kepentingan kelompok hegemonis kekuasaan politik.

Artinya ideologi politik itu mengacu pada bagaimana makna digunakan untuk menjustifikasi kekuasaan yang mencakup banyak kelas. Althusser melihat ideologi sebagai sesuatu yang menjustifikasi tindakan semua kelompok masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Foucault (1980) bahwa kita semua termasuk dalam relasi kekuasaan. Maka dari itu sebenarnya iklan kampanye capres 2009 tidak sekedar ditujukan kepada calon pemilih di masyarakat, tetapi juga kepada siapa saja yang membaca teks iklan di media virtual itu. Siapa saja artinya bukan didominasi kelas, tetapi khalayak secara universal baik calon pemilih, atau yang bukan sebagai calon pemilih capres 2009 ini. Kekuasaan ekonomi politik para capres adalah untuk menanamkan imajinasi (imaginary inculcate) di benak masyarakat agar suatu ketika nanti orang mengambil keputusan politik untuk memilih capres yang pertama kali yang ada di benak mereka adalah capres pilihannya yang “diterakan iklan politik di media” bukan capres lain. Inilah makna hegemoni politik kekuasaan dalam konteks iklan capres di media virtual dewasa ini.

Iklan Politik & Peradapan Modern

Tentu tidak ada yang salah jika para kandidat presiden beramai-ramai mencitrakan dirinya memasang iklan di media, termasuk media internet. Citra diri identik dengan identitas diri,untuk diperkenalkan kepada masyarakat luas calon konstituennya dalam pemilu,baik legislatif, maupun presiden. Dengan beriklan public bisa mengenalnya sehingga mereka bisa menjadi popular. Derajad popularitas seseorang ditentukan oleh satu jawaban,”ya saya tahu tokoh politik itu”. Jawaban itulah yang dikehendaki lembaga survey, atau riset ketika masyarakat ditanyai tentang tokoh politikus tertentu. Ketika banyak masyarakat yang tahu sosok capres melalui iklan baik di media massa maupun media virtual dapat diasumsikan bahwa tokoh yang bersangkutan “popular” karena banyak masyarakat yang mengenalnya. Namun bagi sosok capres popular saja tentu belum cukup, seorang capres perlu elektabilitas. Jadi popularitas tentu tidak identik dengan elektabilitas. Artinya sosok capres memasang iklan saja tidak cukup, ia perlu dukungan dan respon masyarakat sebagai bentuk legitimasi. Respon yang datang dari masyarakat Indonesia yang majemuk itu jelas beragam. Respon yang terpotret dari visualisasi media menunjukkan pertanyaan yang sangat kritis sampai dengan yang bersifat sangat pribadi.

Di tengah perekonomian yang belum sembuh dari badai krisis global, dan dilihat dari latar belakang profil masing-masing capres, maka public bertanya berapa besar dan dari mana sumber pendanaan iklan masing-masing capres itu? Dalam tataran normative sebagian pertanyaan itu sudah dijawab oleh masing-masing capres di hadapan KPU. Tetapi dalam logika ekonomi, masih banyak kejanggalan dari jawaban mereka yang bersifat normative tersebut. Kita semua paham bahwa domokrasi itu mahal, namun demokrasi itu sendiri memerlukan transparansi. Kondisi psikologi public dan sosio cultural masyarakat masih belum menemukan jawaban yang sesungguhnya dari para kandidat presiden selama ini. Artinya public baru menerima “janji-janji politik saat membaca iklan politik di media massa dan media virtual.

Bahkan janji politik yang dikemas dalam komunikasi periklanan itu lebih bersifat hiperbolik dan kurang realistis.Iklan politik di media virtual maupun media lain bukanlah seperti “dewa penyelamat” yang bisa mengatasi semua persoalan bagi setiap capres kontestan pemilu. Popularitas,elektabilitas dan pencitraan sosok kandidat presiden dibangun dari kecintaannya kepada bangsa dan negaranya. Dilihat dari perspektif ilmu komunikasi pencitraan di media, meski diperlukan hanyalah bersifat temporer.Iklan politik di media hanyalah sekedar”artificial”atau kulit permukaannya saja. Ibaratnya iklan politik di media barulah sebatas pengenalan “lebel”nya saja. Karena masih bersifat artificial maka visi,misi dan program capres yang ditawarkan dalam iklan tentu belum tentu bersifat otentik. Pencitraan sosok kandidat presiden yang kita baca dalam iklan politik di media virtual dan media lainnya belum tentu melahirkan pemimpin yang sejatinya. Tetapi jika sosok capres pemasang iklan di media dikatakan bukan calon pemimpin yang otentik dan visioner juga tidak benar. Otentik tidaknya seorang kandidat presiden tidak bisa diukur dari beriklan di media atau tidak. Pencitraan iklan politik di media adalah salah satu “cara”, sedangkan otentisitas pemimpin adalah proses kepemimpinan. Seorang pemimpin yang dianggap otentik terlihat dari proses panjang (track record) yang telah mereka jalani. Masyarakat sekarang telah semakin cerdas dan kritis untuk membedakan mana capres yang otentik dan tidak otentik melalui pengamatan atas dasar rekam jejaknya dimasa lalu. Misalnya dalam peristiwa tertentu mereka berperan sebagai apa dan melakukan apa ketika itu.

Publik seharusnya sadar dalam melihat otentisitas capres secara utuh, bukan ketika mereka dicitrakan oleh sebuah iklan politik di media, saat kampanye pemilu presiden seperti sekarang ini. Masalahnya masyarakat sebagai calon pemilih capres cenderung lemah untuk memilih calon pemimpin yang otentik dan visioner tersebut. Masyarakat kita mudah pelupa, begitu disuguhi iklan dengan janji politik “pro rakyat, akan menurunkan harga sembako, akan memberikan subsidi pada petani,nelayan, akan memberikan kridit usaha kecil,memperhatikan nasib guru” dan lainnya, sudah goyah. Kelemahan lainnya masyarakat pemilih masih menggunakan logika primordialisme, sehingga mengenyampingkan konsep otentisitas.

Pada hal konsep primordial seperti ini akibatnya bisa sangat fatal, dan membahayakan kisi- kisi demokratisasi dimasa mendatang. Konsep primordial yang sering dianut masyarakat di daerah tertentu hanya dilandasi oleh fanatisme terhadap sosok tertentu. Fanatisme seperti itu bisa terbentuk karena adanya ikatan atau hubungan tertentu (suku,ras,adat,agama,organisasi, aliran,etnik, ideology,dan sejenisnya). Misalnya dalam pemeo (jawa) “pejah gesang ndherek penjenengan” (hidup dan mati ikut anda). Calon pemilih kelompok ini tidak akan terpengaruh berbagai slogan kampanye, dan teks iklan di media massa. Sebenarnya calon pemilih kelompok ini mempunyai kecerdasan dan cukup kritis tetapi tidak mempunyai kesanggupan untuk berpindah memilih capres yang lebih baik, dan visioner dari rekam jejak yang dimilikinya. Iklan politik di media tidak akan berpengaruh terhadap mereka. Idealnya untuk melakukan pendidikan politik yang demokratis semua pihak harus mau berubah. Perubahan politik adalah sangat dinamis,dan seharusnya diikuti konstituennya dalam kadar tertentu. Dengan berlangsungnya iklim politik yang berkualitas masyarakat akan menerima dampak positifnya. Dalam konteks ini bukan hanya sebatas hubungan kausalitas antara politisi dan calon pemilihnya, tetapi media ikut bertangguang jawab. Media berperan dan bertanggung jawab dalam proses pendidikan politik kepada masyarakat. Iklan politik dengan narasi dan teks yang bervariatif boleh ditayangkan di media mana saja. Tetapi media mempunyai tugas untuk mencerdaskan masyarakat, dalam mengawal pendidikan politik melalui institusinya.

Interpretasi Makna iklan Politik di Media virtual

Lima tahun terakhir pasca pemilu legislatif dan pemilu presiden 2004,perubahan politik yang terjadi di Indonesia telah membawa pengaruh yang signifikan pada praktik ber-ekspresi dan kebebasan memperoleh informasi politik.Menjamurnya industry media yang menawarkan keragaman informasi politik tentang (kampanye pilpres) menjadi penanda indicator tersebut.Keragaman informasi politik di saat berlangsungnya kampanye pilpres 2009, di media massa dan internet sangat menuntungkan public.Masyarakat sebagai calon pemilih ketiga kandidat pesiden bisa mendapatkan banyak informasi, dari yang bersifat tendensius,netral dan positif secara transparan. Dalam konteks ini media dapat di sebut sebagai”conciousnnes industries” di karenakan media di anggap membantu membangun cara berpikir, melihat, mendengar dan berbicara realitas social politik yang di hadapi public.

Teks dalam media massa dan virtual membentuk keragaman makna social,dalam upaya memaknai iklan politik di media virtual tersebut.Meski sebenarnya institusi media sendiri tidak bisa lepas dari pengaruh internal maupun eksternal.Pengaruh internal media dating dari hegemoni kekuasaan pemodal.Ia baik secara langsung maupun tidak langsung mengotrol ideology media yang bersangkutan.Dengan demikian sejujurnya teks media atau iklan politik pada media merupakan hasil konstruksi ideology media dimana iklan itu di muat atau di tayangkan. Pengaruh eksternal bisa datang dari luar media itu sendiri,misalnya tekanan organisasi social, atau di mungkinkan hasil konspirasi dengan kekuasaan. Meski tidak secara transparan konspirasi semacam ini bisa dengan mudah di rasakan. Menurut pandangan Grossberg et al (1998:7) media tidak dapat di pahami secara terpisah dari hubungan-hubungan aktif dimana mereka selalu terlibat. Artinya kita tidak dapat memahami media terlepas dari konteks, hubungan ekonomi, politik,sosial dan budaya.Kita tidak bisa memahami media lebih dahulu, kemudian baru kemudian memikirkan pengaruh media pada ekonomi, politik dan social budaya.Jadi pada waktu yang bersamaan orang tidak mungkin bisa memahami makna iklan politik di media, yang kemudian juga berharap memahami peran masing-masing media dalam merepresentasikan makna iklan politik yang bersangkutan. Maka makna representasi teks iklan politik (kampanye pilpres) cenderung berhubungan terbalik dengan konteks nya.Pada teks iklan politik kampanye pilpres 2009 di media virtual ini justru menjadi bahasan yang menarik.

Daya tarik itu di harapkan pertarungan kampanye politik ketiga pasangan kandidat presiden dalam pilpres 2009 bisa menjadi pendidikan politik bagi masyarakat.Sebagai kancah pendidikan politik, maka model kampanye, dan iklan politik di media harus di sajikan secara professional.Meski iklan kampanye politik bertujuan untuk pencintraan para pasangan kandidat presiden terhadap masyarakat, tetapi harus mengindahkan kode etik dan tata karma periklanan.Teks iklan kampanye politik di media virtual sudah selayaknya jauh dari makna fitnah, hasutan,tuduhan dan sejenis nya yang di tujukan pada lawan politiknya.Karena pada prinsipnya teks iklan kampanye politik untuk memberikan pemahaman kepada khalayak atas peran politik yang dimainkan para kandidat pasangan residen.

Peran itu tidak harus bertentangan dengan kultur politik yang telah mengakar di masyarakat local, sehingga iklan politik yang di sajikan di media mudah di tangkap maknanya. Iklan politik yang mudah di pahami, adalah “ iklan politik yang berawal dari teks ke kultur yang lebih luas, atau dari teks ke audiens (Cunningham & Turner,1997: 17).Pada kenyataannya iklan politik yang di sajikan di media lebih menonjolkan konsep figure, di banding program, visi dan misinya.Hal ini tidak banyak perkembangannya di banding pada pemilu 2004.Fakta tersebut di katkan dengan hasil penelitian Edy Susilo & Prayudi,(2006 :40), bahwa iklan-iklan politik lebih menonjolkan figure.Kampanye pilpres belum menunjukkan pembeljaran politik yang baik kepada masyarakat. Apa yang tersirat dalam pembacaan makna iklan kampanye politik dalam media virtual selama ini penonjolan “obyek figure capres memang tampak menonjol”. di banding dengan cawapresnya. Porsi Megawati,Susilo Bambang Yudhoyono, dan Yusuf Kalla,lebih di tonjolkan figurnya dalam iklan di berbagai media di banding sosok, Prabowo Subiyanto,Boediono dan Wiranto.Dari pembacaan teks iklan politik dalam kampanye pilpres ini tampak bahwa yang di pertarungkan media adalah para kandidat capres, bukan cawapresnya.Jika dibaca secara cermat, sesungguhnya dibalik teks iklan politik tersebut mengandung makna yang kontropersial.Makna teks iklan capres yang satu tampak mencari keunggulan di balik celah-celah politik lawannya, begitu sebaliknya.Hal itu tentunya di anggap wajar dalam kehidupan demokrasi, asal tetap mengindahkan tata karma periklanan, seperti yang telah di bahas sebelumnya. Berbeda pandapat, mengkritik justru menjadi metaphor komunikasi politik.Karena beriklan juga merupakan bagian dari seni politik, yang di sajikan dalam bentuk tekstual di media.

Penutup

Lepas dari dua persoalan tersebut,ideologi yang mungkin bisa ditanam oleh para capres peserta pemilu presiden 2009, bukanlah sekedar hegemoni kekuasaan dan ideology politiknya, tetapi lebih jauh dari pada itu sebagai pendidikan politik bagi masyarakat virtual. Konsep politik itu bukan datang dengan serta merta, tetapi mereka untuk menjadi penguasa tersebut telah melalui upaya perjuangan yang cukup keras. Penyampaian informasi politik melalui iklan media virtual setidaknya memberikan gambaran dan pengetahuan bagi kita untuk mengenal lebih jauh para kandidat presiden secara utuh. Maka apapun keputusan politik yang mereka ambil merupakan konsekuensi pilihan yang harus mereka jalankan. Pada dasarnya politik adalah kekuasaan, siapa yang memenangkan kekuasaan mereka yang akan tampil, sementara mereka yang kalah bertarung akan menjadi partnernya di parlemen. Semuanya adalah untuk memperjuangkan rakyat dan kemajuan seluruh Bangsa Indonesia. Perbedaan adalah bagian dari demokrasi yang perlu disikapi secara positif.

Daftar Rujukan

Agus Sudibyo,Ekonomi Politik Dunia Penyiaran,Penerbit,LKIS,Yogyakarta:

2004

A.Daton, Esay,Anderstanding Consumtion, Oxford University Press, New

York : 1992

Agus Sachari, Sosiologi Design, Penerbit, ITB Bandung,: Tahun 2002

Chris Barker,Cultural Studies, Teori dan Praktik, Terjemahan Nurhadi, Penerbit

Kreasi Wacana Yogyakarta, : 2005

Cunningham,Stuart & Graeme Tuner, The Media In Australia : Industries, Texts,

Audiences (2nd edition) Allen & Unwin,St Leonards,: NSW,1997

Grossberg,Lawrance,Ellen Wartella and Charles Whitney,Mediamaking:Mass Media in

A Popular Culture ,Sage Publications Inc ,California : 1998

Heru Nugroho, Pengantar, The Globalization of Nothing,(George Ritzer),

Penerbit, Universitas Admajaya,Yogyakarta,: 2006

John Fiske,Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling

Konprehensip, Penerbit Jalasutra Yogyakarta: 2006

John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Pengantar Konprehensip

Teori dan Metoda, Penerbit Jalasutra Yogyakarta,: 2007

Peter Lloyd Jones, Esay, Taste Today,the Role of Appreciation in

Consumerisme and Design, Pergamon Press, Oxsford :1991

Prayudi & Edy Susilo,Analisis Tekstual Pemberitaan Kampanye Capres Cawapres

Dalam Pemilu 2004 Pada Media Online Kompas Cyber

Media,Paradigma,Jurnal Masalah-Masalah Kebijakan Volume 10 Nomor 1,

Maret 2006, Penerbit,Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,UPN

Yogyakarta,: 2006

Sartono Kartodihardjo, Perkembangan Peradapan Priyayi, Penerbit, Gadjah

Mada University Press : 1987

Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat,Tamasya Melampaui Batas Batas

Kebudayaan, Penerbit,Jalasutra, Yogyakarta,: 2006



* Pemerhati media, Peneliti Puslitbang Aptel SKDI, Badan Litbang SDM Depkominfo RI di Jakarta

1 Lihat tulisan Deddy N.Hidayat, dalam Agus Sudibyo,Ekonomi Politik Dunia Penyiaran, Penerbit LKIS Yogyakarta, 2004 halaman, 8.

2 Lihat Sartono Kartodihardjo, Perkembangan Peradapan Priyayi, Gadjah Mada University Press,1987 hal.4-10.

3 Tulisan, Peter Lloyd Jones,1991, Taste Today, the rule of Appreciation in Consumerisme and Design, Pergamon Press, Oxsford hal. 193.

4 Lihat A.Daton, 1992, Anderstanding Consumtion, Oxsford University Press,New York, page-12.

5 Lihat John Fiske, Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengentar Paling Konprehensip, Penerbit Jalasutra Yogyakarta, 2006 - 227

6 Ibid halaman , 229

7 Lihat Agus Sachari, Sosiologi Design, Penerbit ITB, Bandung 2002 hal.30

8 Pendapat Herbert Marcuse, Ibit halaman 145

9 Lihat tulisan,Heru Nugraha,Mengkonsumsi Kehampaan Di Era Global, Dalam The Globalization Of

Nothing,,George Ritzer,Penerbit, Universitas Admajaya Yogyakarta, 2006, halalman ,xxiv

10 Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Di Lipat, Tamasya Melampaui Batas Batas Kebudayaan, Penerbit, Jalasutra

Yogyakarta, 2006 hal, 179

11 Giddens (1979) dalam Chris Barker,Cultural Studies, Teori dan Pratik, Terjemahan Nurhadi, Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta,2005,hal.65-66

Tidak ada komentar:

Posting Komentar