Senin, 02 Agustus 2010

artikel tamu

METODOLOGI PENELITIAN SOSIAL
KUANTITATIF DAN KUALITATIF

M. Jamiluddin Ritonga

Abstract
This paper tries to describe differences between quantitative and qualitative approaches in social science research. It begins with an explanation about the object of social science, continues with information about quantitative and qualitative approaches, and ends with a conclusion on empirical needs.

Kata-kata kunci : Metodologi Penelitian; kuantitatif; kualitatif.


Pendahuluan
Penelitian atau riset memerlukan tahap-tahap yang diakui dalam keilmuan dan paradigma tertentu. Tahap-tahap yang dilalui peneliti sangat beragam, mulai dari yang sangat ketat hingga yang relatif longgar. Meskipun tahap-tahap yang dilalui beragam, namun tujuannya pada dasarnya sama. Semua penelitian pada hakekatnya bertujuan mendapatkan dan memahami fakta yang dijadikan dasar bagi peneliti untuk menjawab masalah atau persoalan yang diajukan.

Keragaman tahap-tahap yang dilalui peneliti, setidaknya menjadi dasar bagi para ilmuwan dalam mendefinisikan penelitian. Seperti yang dikemukakan Burns (2000), “riset adalah sebuah penyelidikan sistematis untuk mencari jawaban atas sebuah persoalan.” Ini artinya, tahap-tahap yang disusun peneliti dalam menjawab masalah penelitian haruslah sistematis mulai dari landasan teori yang digunakan, prosedur yang dipakai, hingga fakta yang dikumpulkan.

Sementara Maryaeni mengemukakan, “penelitian (research) merupakan usaha memahami fakta secara rasional empiris yang ditempuh melalui prosedur kegiatan tertentu sesuai dengan cara yang ditentukan peneliti.” Pengertian ini menekankan pada upaya peneliti memahami fakta melalui prosedur yang berbeda sesuai dengan metode yang digunakan. Penggunaan metode yang berbeda dengan sendirinya akan membedakan pula prosedur yang digunakan.

Dalam konteks penelitian, tambah Maryaeni , “istilah ‘fakta’ memiliki pengertian tidak sama dengan kenyataan, tetapi lebih mengacu pada sesuatu daripada kenyataan exact, dan sesuatu tersebut terbentuk dari kesadaran seseorang seiring dengan pengalaman dan pemahaman seseorang terhadap sesuatu yang dipikirkannya. Sesuatu yang terbentuk dalam pikiran seseorang tersebut belum tentu secara konkret dapat dilihat dan ditemukan dalam kenyataan yang sebenarnya.

Namun dalam banyak literatur, masih ditemukan penggunaan istilah metodologi penelitian dan metode penelitian yang diartikan sama. Seperti dikemukakan McDaniel dan Gates (2001) , riset kuantitatif dapat menunjukkan secara statistik perbedaan-perbedaan signifikan, sedangkan riset kualitatif tidak menggunakan analisis kuantitatif dan tidak diukur dengan angka. Ini artinya, perbedaan istilah itu hanya dilihat dari penggunaan analisis data.

Pengertian seperti itu tentu mendangkalkan makna metodologi penelitian atau pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Sebab, kedua istilah ini mempunyai makna yang berbeda. Metodologi penelitian lebih menekankan pada filsafat ilmu dengan fokus mencari jawaban pertanyaan mengapa (why) suatu penelitian dilakukan seperti itu. Sementara metode penelitian lebih menekankan pada bagaimana melakukan penelitian yang benar (how to do it).

Objek Ilmu Sosial
Metodologi penelitian kuantitatif dan kualitatif muncul karena para ilmuwan ilmu sosial berbeda dalam memahami objek ilmu sosial. Karena itu, pokok persoalannya adalah apa objek ilmu sosial?

Pertanyaan tersebut memang sulit untuk dijawab. Keterangan dari berbagai literatur menunjukkan silang pendapat. Meskipun demikian, sesama ilmuwan ada kesepakatan bahwa ilmu sosial mengacu pada masyarakat . Itulah sebabnya, menurut Calvert dan Calvert (1992) , sentral pembicaraan dalam ilmu sosial berkisar pada konsep masyarakat (society). Hanya saja sesuai dengan perkembangan ilmu, masing-masing bidang studi membatasi diri pada lingkungan lebih spesifik. Pengkhususan ini erat kaitannya dalam usaha mengembangkan pengetahuan yang sistematis mengenai masyarakat berdasarkan penelitian ilmiah.

Ilmu komunikasi misalnya, sentral pembahasannya ialah usaha manusia dalam menyampaikan isi pernyataannya kepada manusia lain. Melalui usaha tersebut terjadi proses komunikasi antarindividu atau kelompok atau organisasi atau massa. Bidang studi lain, psikologi sosial, membatasi diri pada usaha sistematik mengenai perilaku sosial. Kajian ilmu politik mengenai sistem kekuasaan. Para antropolog memberi penekanan pada sistem budaya. Jadi, sentral pembicaraan tetap pada masyarakat. Hanya saja, setiap bidang studi mengambil sisi tertentu dari aspek masyarakat.

Berkaitan dengan konsep masyarakat, terdapat dua pemahaman yang berbeda. Pertama, masyarakat dipandang ibarat benda. Asumsi ini, menurut Maryaeni (2005), ditinjau dari orientasi filosofisnya didasari pada wawasan positivistik, dalam arti pernyataan tentang sesuatu fakta haruslah bersifat positif karena fakta yang dinyatakan tersebut harus memiliki hubungan timbal-balik dengan kenyataannya secara langsung. Sesuai dengan penggunaan istilah kuantitatif, fakta yang diteliti harus dapat dikuantifikasikan atau dituliskan dalam bentuk angka sehingga dapat dihitung dan dianalisa secara statistik.

Pandangan ini melihat perilaku manusia dibatasi lingkungannya. Untuk memahami pandangan ini, mau tidak mau harus mengacu pada konsep struktur. Di sini, unsur-unsur masyarakat dipandang saling kait-mengkait satu dengan lainnya sehingga tampak sebagai keseluruhan yang terpisah dari individu. Asumsi ini konsisten dengan pandangan bahwa individu dibentuk oleh masyarakat. Dengan demikian, faktor kolektif dijadikan tolok ukur utama. Karena itu, manusia baru dapat mencapai kemampuannya secara utuh, jika ia menjadi anggota masyarakat. Sebagai individu, lingkup kegiatannya sangat terbatas, tetapi sebagai anggota masyarakat kemampuannya untuk mencapai tujuan dapat ditingkatkan tanpa batas. Atas dasar asumsi inilah, kelompok lebih penting daripada individu.

Kedua, masyarakat dipandang ibarat ide. Perilaku manusia ditentukan oleh individu itu sendiri. Masyarakat hanya dijadikan simbol oleh individu untuk berinteraksi dengan individu lain dalam mencapai tujuan pribadi. Sebagai simbol ia ditawarkan pada manusia lain. Bila manusia lain itu tertarik, dalam arti masyarakat dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan pribadinya, maka ia akan menyesuaikan perilakunya dengan masyarakat tersebut. Sebaliknya, bila masyarakat dianggap oleh individu tidak mampu mencapai tujuan pribadinya, maka ia akan menanggalkan perilaku pribadinya.

Jadi, konsep masyarakat bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Konsekuensinya ialah setiap individu tidak harus bermasyarakat. Justru, masyarakat harus berfungsi memajukan kepentingan para anggota secara perorangan. Karena itu, keberadaan masyarakat ditentukan oleh individu. Masyarakat hanyalah sebagai gejala subyektif. Dengan demikian, faktor individu dijadikan tolok ukur utama.

Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif
Perbedaan pandangan tersebut membawa implikasi pada pendekatan menggali ilmu. Pemahaman masyarakat sebagai benda, pendekatan kuantitatif sebagai pilihan utama. Sebaliknya, pemahaman masyarakat sebagai ide, pendekatan kualitatif merupakan alternatif terbaik. Tentu pendekatan yang dimaksud di sini termasuk penggunaan analisis datanya.

Jadi, pendekatan kuantitatif dan kualitatif sebenarnya hanyalah konsekuensi logis dari kedua pandangan tersebut dalam memahami objek ilmu sosial. Pandangan pertama yang menekankan pada konsep struktur, tentulah harus mengaitkan antarunsur-unsur masyarakat dalam formula yang jelas. Dalam penelitian ilmiah, menurut Wimmer dan Dominick (2000), kait-mengait antarunsur-unsur tersebut dirumuskan dalam bentuk hipotesis . Supaya hipotesis dapat diukur, tentulah yang dihubungkan itu dalam level variabel. Ini sejalan dengan pandangan bahwa objek ilmu sosial itu ibarat benda, yang hanya mengakui empiris sensual. Empiris sensual adalah semua gejala yang dapat ditangkap indera manusia atau dalam terminology filsafat ilmu dikenal juga dengan istilah fenomena.

Untuk mencapai level variabel, diperlukan penalaran deduktif. Maksudnya, peneliti mulai berpikir dari umum dan kemudian ke hal yang lebih spesifik (khusus). Itulah sebabnya, dalam penalaran deduktif, peneliti harus menguasai konsep-konsep, proposisi-proposisi, dan teori-teori yang relevan. Kemampuan ini mutlak diperlukan supaya ramalan dan penjelasan tidak meleset.

Variabel yang diturunkan dari penalaran deduksi itu perlu dibuat definisi operasionalnya. Dalam definisi ini harus terlihat indikasi atau petunjuk dari variabel yang akan diukur. Dengan cara ini, konsep mengenai hal-hal yang akan diukur dapat langsung diamati dan mewakili konsep teoritis yang sesuai situasi dan kondisi lingkungan penelitian. Tanpa operasionalisasi variabel, pengumpulan data dan analisis data dengan sendirinya tidak dapat dilakukan.

Untuk menetapkan hubungan antarvariabel diperlukan pengujian alat ukur terlebih dahulu. Syarat ini mengharuskan pengembangan teknik pengukuran kuantitatif. Hanya melalui cara ini keberadaan operasionalisasi dan validitas data dapat ditentukan. Konsekuensinya ialah analisis data meminta bantuan statistik dan ilmu matematika. Cara inilah yang digunakan untuk menguji hubungan antarvariabel sebagaimana dirumuskan dalam hipotesis penelitian.

Melalui pengujian hipotesis yang spesifik dalam jumlah besar dilakukan generalisasi menuju pernyataan lebih umum dan terbatas jumlahnya. Penjelasan dan teori-teori abstrak itu diharapkan dapat mengungkapkan ciri-ciri dan dinamika masyarakat sebagai sesuatu yang berstruktur. Inilah yang mendasari pendekatan kuantitatif dalam ilmu sosial, termasuk tentunya ilmu komunikasi.

Pandangan kedua yang menekankan pada ide, tentulah membutuhkan pendekatan lain. Sebab, masyarakat menurut pandangan ini, hanya dapat dipelajari dari sisi pandangan individu lain sebagai titik awal interaksi dengan individu-individu ketiga dalam lingkungannya. Di sini, peneliti haruslah menempatkan diri, pikiran, dalam situasi dan kondisi individu itu serta mengamati dan menghayati interaksinya dengan pihak ketiga itu melalui cara yang sama. Jadi, peneliti terlebih dahulu menemukan arti dari objek penelitiannya sebagaimana masyarakat memahami objek tersebut. Peneliti tidak boleh beranggapan bahwa dunia objek dari masyarakat yang ia teliti sama dengan dunia objeknya. Orang-orang yang bertindak di dalam dunia mereka berdasarkan makna-makna yang berlaku di sana, bukan berdasarkan makna yang dimiliki peneliti.

Dalam memahami sikap dan tindakan seseorang, tentulah tidak memadai membatasi penelitian pada level variabel. Sebab variabel hanyalah bagian dari konsep, sehingga bila penelitian kualitatif hanya membatasi pada variabel maka hasilnya akan tidak menggambarkan makna yang sebenarnya. Agar makna yang dimaksud dalam penelitian kualitatif terungkap, maka menurut Denzin dan Lincoln , penelitian hendaknya dibatasi pada level konsep.

Hal itu sejalan dengan pandangan bahwa objek ilmu sosial ibarat ide, yang diasumsikan masyarakat itu sesuatu yang abstrak. Dalam penelitian ilmiah, sesuatu yang abstrak itu dapat diukur pada level konsep. Karena itu, rumusan masalah penelitian dalam kualitatif membatasi pada konsep.

Hal itu membawa konsekuensi pada empiris yang diakui dalam pendekatan kualitatif. Untuk menangkap makna sebagaimana yang dimaknai objek yang diteliti, tentulah tidak cukup hanya mengandalkan empiris sensual. Menurut Muhadjir masih diperlukan empiris lain, yang dalam pendekatan kualitatif disebut empiris etik, logik, dan transendental.

Untuk itu, ada dua tahap yang mesti dilakukan, yaitu penjajakan (eksplorasi) dan pemeriksaan (inspeksi). Penjajakan ini mempunyai dua tujuan. Pertama, agar peneliti lebih dekat dengan gejala yang diteliti dan lingkungan sosial yang masih asing baginya. Kedua, memberi kesempatan pada peneliti untuk mempertajam dan menyaring konsep-konsep dan kategori-kategori dari dunia empiris yang ditelitinya. Sedangkan pemeriksaan bertujuan: (1) mengembangkan kategori-kategori analisa yang jelas, dan (2) menemukan hubungan-hubungan di antara kategori-kategori tersebut .

Melalui tahap tersebut, pengetahuan akan masyarakat dikembangkan mulai dari konsep-konsep spesifik dan konkrit. Pengamatan terlibat dan pembicaraan gaya kisah merupakan teknik pengumpulan data yang paling relevan. Lewat proses refleksi berulang-ulang yang panjang diungkapkan konsep-konsep yang lebih abstrak dan menerangkan kenyataan yang di-observasi. Konsep yang lebih abstrak ini disebut teori, tentu menurut pandangan kedua tersebut atas objek ilmu sosial.

Dengan demikian, bagian utama dari setiap teori adalah kategori-kategori dan sifat-sifat yang dapat dimengerti disatu pihak, dan hipotesis-hipotesis di pihak lain. Melalui kategori, suatu konsep dapat digunakan untuk menegaskan persamaan dan perbedaan dari apa yang dibandingkan. Sedangkan hipotesis hanya dijadikan usulan yang berasal dari hubungan kategori yang disarankan dunia empiris, bukan atas hasil deduksi dari teori.

Itulah sebabnya, pengumpulan data maupun analisisnya tidak dapat menerapkan asas-asas ilmu statistik dan ilmu matematika. Jadi, pendekatan ini adalah interpretasi introspektif berdasarkan metode Verstehen.

Pendekatan tersebut berasal dari pemikiran sejarahan Giambattista Vico pada pertengahan abad 18 Masehi. Vico menulis bahwa hanya manusia yang dapat memahami manusia lain, dan mereka melakukan hal tersebut melalui suatu kemampuan khusus yang disebut pemahaman intuitif (intuitive understanding). Dalam ilmu sosiologi dan ilmu sosial lainnya, konsep Verstehen, atau pengalaman intuitif, dan penggunaan empati telah disebut-sebut sebagai penemuan besar di bidang ilmu itu.

Secara sederhana McDaniel dan Gates membandingkan riset kuantitatif dan kualitatif sebagai berikut:

Perbandingan Dimensi Riset Kualitatif Riset Kuantitatif
Jenis pertanyaan Pemeriksaan Pemeriksaan terbatas
Ukuran sampel Kecil Besar
Informasi dari tiap responden Banyak Bervariasi
Administrasi Memerlukan pewawancara
dengan keahlian khusus Memerlukan
pewawancara
dengan sedikit keahlian

khusus
Jenis analisis Subjektif, interpretif Statistik, penjumlahan
Perangkat keras Alat perekam, alat proyektor,
video, gambar-gambar, penuntun
deduksi Kuesioner, komputer, hasil
cetakan dari komputer Kemampuan untuk Rendah Tinggi
menggandakan

Pelatihan untuk periset Psikologi, sosiologi, psikologi sosial,
perilaku konsumen, pemasaran,
riset pemasaran Statisitk, model keputusan,
sistem pendukung
keputusan, program
komputer, pemasaran,
riset pemasaran
Jenis penelitian Eksploratif Deskriptif atau kausal

Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam ilmu sosial pendekatan kuantitatif dan kualitatif relevan digunakan sesuai dengan sudut pandang objek ilmu sosial.

Pendekatan kuantitatif memang memungkinkan ramalan lebih tepat dan penyelidikan lebih mendalam serta lebih luas dalam implikasi-implikasi hipotesis. Akan tetapi, yang membuat sebuah teori menjadi ilmiah adalah strukturnya yang logis dan kaitannya dengan fakta empiris tanpa memandang apakah dirumuskan dengan bahasa matematika atau tidak.

Atas dasar pemikiran itu, maka ilmu sosial mempunyai tidak hanya satu pendekatan dalam menjelaskan realitas. Dalam konteks ini, Thomas Kuhn dan George Ritzer menyebut ilmu sosial sebagai “ilmu dengan paradigma ganda”. Artinya, dalam menemukan kebenaran, ilmu sosial memungkinkan penggunaan beberapa paradigma teori ataupun metodologi guna menjelaskan atau mengungkapkan realitas yang dihadapinya. Thomas Kuhn sendiri membantah bahwa ilmu pengetahuan bersifat akumulatif-evolusioner. Kuhn berpendapat, paradigma terbaru dalam ilmu pengetahuan tidaklah mengungguli atau malah meniadakan paradigma sebelumnya, melainkan menempatkan diri secara sejajar sebagai alternatif terhadap paradigma lain yang dapat digunakan secara situasional.

Pendapat tersebut setidaknya mengingatkan ilmuwan Indonesia agar tidak melihat paradigma teori dan metodologi penelitian seperti layaknya trend mode. Paradigma teori dan metodologi penelitian yang terbaru dengan sendirinya akan dinilai lebih unggul (baik) dan seolah-olah dapat menjelaskan semua gejala sosial yang ada di muka bumi ini.

Dengan pola pikir seperti itulah sebagian ilmuwan Indonesia, khususnya ilmuwan komunikasi, yang memposisikan metodologi kualitatif lebih baik daripada metodologi kuantitatif. Metode survey pun akhirnya dinilai tidak ilmiah dan sudah kadaluarsa, sementara metode wacana karena muncul belakangan dinilai the best dan karenanya mahasiswa “dipaksa” untuk menyusun tesis atau disertasi dengan bantuan metodologi kualitatif.

Pola pikir seperti ini tentu menyesatkan, karena tidak ada satu paradigma ilmu atau metodologi penelitian yang dapat menjelaskan semua gejala sosial. Paradigma ilmu dan metodologi penelitian yang ada saat ini hanya mampu menjelaskan sebagian dari gejala sosial yang kompleks. Dengan demikian, munculnya paradigma ilmu dan metodologi penelitian terbaru hanyalah mengisi kekosongan untuk mengungkap sebagian gejala sosial yang belum dapat dijelaskan oleh paradigma ilmu dan metodologi penelitian yang muncul sebelumnya.

Karena itu, kiranya kedua pendekatan tersebut sepatutnya digunakan sesuai dengan kebutuhan empiris. Bagaimana pun, kedua pendekatan itu memiliki keunggulan dan kelemahan. Supaya pendekatan itu tepat guna, seyogyanyalah digunakan sesuai dengan porsinya. Dengan begitu ilmuwan sosial Indonesia tidak terbelah menjadi kubu kuantitatif dan kubu kualitatif. Semoga.

Daftar Pustaka
Burns, R. , (2000), Introduction to Research Methods. London: Sage.
Calvert, Susan and Peter Calvert, (1992), Sociology Today. London: Harvester Wheatsheaf.
Denzin, N. and Y. Lincoln (eds.), (1994), Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, CA: Sage.
Flick, J., (1998), An Introduction to Qualitative Research. London: Sage.
Johnson, Doyle Paul, (1986), Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid 2. Terjemahan Robert M. Z. Lawang. Jakarta: PT Gramedia.
Kuhn, Thomas S. (1962), The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: University of Chicago Press.
MacKenzie, Norman (ed.), (1966), A Guide to Social Sciences. New York: Mentor Book.
Maryaeni, (2005), Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
McDaniel, Carl dan Roger Gates (2001), Riset Pemasaran Kontemporer. Buku 1. Penerjemah Sumiyarto dan Rambat Lupiyoadi. Jakarta: Salemba Empat.
Peursen, C. A. Van.(1985), Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu. Penterjemah J. Drost. Jakarta: Gramedia.
Prakoso, Junarto Imam. “Dominasi Positivisme dalam Penelitian Komunikasi”. Dalam Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis, Volume III/No. 2 (Mei – Agustus 2004, hal. Vii – ix).
Triandis, Harry C. dan John W. Berry (ed.), (1980), Handbook of Cross-Cultural Psychology (Methodology). Volume 2. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Ritonga, M. Jamiluddin, (2004), Riset Kehumasan. Jakarta: Grasindo.
Stempel III, Guido H., David H. Weaver, and G. Cleveland Wilhoit (eds.), (2003), Mass Communication Research and Theory. Boston: Pearson Education, Inc.
Wimmer, R. D. and J. R. Dominick. Mass Media Research: An Introduction. Belmont, California: Wadswort, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar