Kamis, 01 April 2010

Muted Group Theory
By Cheris Kramarae
Perempuan dinilai sebagai kelompok yang terbungkam pertama kali dikemukakan oleh antropolog sosial dari Universitas Oxford Edwin Ardener. Menurut Ardener bersama rekan sejawatnya Shirley Ardener, keterbungkaman ini disebabkan oleh karena kurangnya kekuatan yang menimpa di semua kelompok yang menempati posisi terbawah dari tiang lambang suku. Orang-orang dengan pengaruh yang kecil memiliki kesulitan dalam menyampaikan suara dari persepsi mereka yang kaum perempuan. Menurut Ardener “struktur kebungkaman mereka ada “di sana” tetapi tidak dapat ‘disadari’ dalam bahasa struktur yang lebih dominan”. Sebagai hasilnya mereka mengabaikan, mengeluh dan membuatnya menjadi tidak terlihat.
Shirley Ardener memperhatikan bahwa teori kebungkaman tidak selalu berarti bahwa kelompok yang terbungkam selalu diam. Masalahnya adalah apakah orang dapat mengatakan apa yang mereka ingin katakan kapan dan di mana mereka ingin katakan, atau haruskah mereka “mengubah pikiran mereka untuk dapat membuat mereka mengerti dalam ruang publik ?”
Cheris Kramarae yakin bahwa posisi kekuatan dominasi laki-laki dalam sebuah kelompok masyarakat merupakan jaminan bahwa ekspresi mode publik tidak akan tersedia secara langsung untuk perempuan. Pengembangan Cheris Kramarae dari konsep awal Ardener menawarkan pengetahuan tentang mengapa perempuan terbungkam dan apa yang bisa dilakukan kepada pihak yang kalah, kunci laki-laki dalam mode komunikasi publik.
Kramarae berpendapat bahwa perbedaan antara publik-pribadi yang umum dalam bahasa adalah cara yang tepat untuk memperbesar perbedaan gender dan membedakan lingkaran pengaruh seksual dalam sebuah aktifitas. Dalam logika asumsi dual lingkaran pengaruh, kata-kata perempuan biasanya dihubungkan dengan tinggal di rumah, sebuah dunia yang kecil dalam sebuah komunikasi antar manusia. Dunia pribadi ini tidak penting dibandingkan dengan dunia besar pada debat publik yang signifikan, tempat di mana kata-kata kaum laki-laki didengar.
Menurut Kramarae, bahasa adalah buatan kaum laki-laki. Bahasa pada sebuah kebudayaan tertentu tidak digunakan secara merata oleh para pengguna/pembicaranya, tidak semua pengguna bahasanya memiliki kontribusi yang sama dalam pembentukan bahasa tersebut. Perempuan tidak sebebas atau semampu laki-laki dalam menyampaikan apa yang diharapkannya, kapan dan di mana harapan mereka, karena kata-kata dan tata cara penggunaannya dibuat oleh kelompok yang dominan, yakni kaum laki-laki.
Contoh Bekerjanya Teori :
Di Indonesia, fenomena yang menunjukkan bahwa kaum perempuan sebagai kelompok terbungkam dalam komunikasi (terutama dalam pembuatan bahasa) masih kerap dijumpai di lingkungan institusi resmi, misalnya BUMN. Pada PT Taspen misalnya, peran wanita dianggap masih sebatas pada peran domestik yang nota bene tidak setara dengan kaum pria. Ini misalnya terlihat dari segi penggajian, maka dalam struktur gaji seorang karyawan pria berbeda dengan karyawan wanita. Karyawan kalangan pria diposisikan sebagai penanggung kaum wanita (istri) dari segi penggajian, sementara karyawan wanita tidak, sehingga karyawan wanita bersuami dianggap sebagai bujangan abadi yang tidak akan pernah menanggung suaminya dari segi gaji. Contoh lain, misalnya dari program-program nasional. Pada kegiatan PIN misalnya, melalui kampanye sosial kaum perempuan dicitrakan sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam menyukseskan program PIN di tingkat pelaksanaannya di masyarakat. Program PKK termasuk pula diantaranya yang menjadi simbol-simbol peran domestik perempuan yang kerap ditonjolkan. Namun dalam proses pembentukan UUAPP, sudah mulai terlihat adanya upaya sekelompok kaum perempuan untuk ikut aktif dalam proses ‘pembahasaan’ dalam RUUAPP, misalnya seperti yang dilakukan oleh Ratna sarumpaet atau ‘Oneng’.


Sumber bacaan :
Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill

Tidak ada komentar:

Posting Komentar