Kamis, 01 April 2010

Functional Perspective on Group Decision Making

BEKERJANYA TEORI DALAM REALITAS SOSIAL
hasyim ali imran
Latar Belakang dan Permasalahan
Salah satu isu penting dan terus beraktualisasi dalam dunia akademik, adalah isu yang berkaitan dengan elemen epistemologis dalam tataran filsafat ilmu. Elemen mana, secara esensial berkaitan dengan persoalan bagaimana cara menemukan kebenaran ilmiah dari obyek ontologis suatu ilmu.
Ada beberapa topik penting yang menjadi fokus dalam telaah elemen epistemologis tadi, diantaranya menyangkut komponen-komponen paradigma penelitian (misal : positivis, konstruktivis, kritikal), metode penelitian (misal : fenomenologi, studi kasus, semiotika, framing, CDA, survey, dll), pendekatan penelitian (kuantitatif vs kualitatif); dan teori.
Pada proses bekerjanya suatu ilmu dalam menemukan kebenaran dari obyek formanya, yang notabene lazimnya dimulai dari upaya melakukan perumusan masalah, semua komponen tadi sejatinya bukanlah sebagai sesuatu yang partial, melainkan bekerja secara terpadu. Artinya, ketika suatu fenomena yang menjadi obyek amatan hendak dirumuskan menjadi sebuah masalah penelitian, maka ketika itu telah terjadi upaya melakukan proses konseptualisasi gejala. Upaya ini sendiri dalam prosesnya hanya dapat terjadi kalau digunakannya teori sehubungan konsep itu adanya hanya dalam teori.
Dalam kaitan itu, seiring keterpaduan tadi, maka dalam penggunaan suatu teori--paradigma, metode penelitian dan pendekatan yang dikandungnya sangat perlu diperhatikan dalam relevansinya dengan kandungan aspek aksiologis penelitian yang menjadi orientasi peneliti. Ibnu Hamad menyebut proses kerja ilmiah yang demikian dengan istilah ”tepuk tigo”. Maksudnya, sekali membuat masalah penelitian, maka dengan kesadaran ilmiah yang tinggi langsung tercakup tiga komponen penting dalam proses riset, yakni : (I) Perumusan Masalah ; (II) Konsep/Teori ; (III) Paradigma penelitian, metode penelitian dan pendekatan penelitian.
Dari ’keterpaduan ilimiah’ barusan, komponen teori tampak sangat berperan vital bagi terlaksananya suatu aktifitas riset yang ideal secara ilmiah itu. Karenanya, itu berarti pula bahwa pemahaman akan sebuah teori secara substansial menjadi sangat penting. Misalnya dari segi model bekerjanya teori (transmisi atau ritual); genre-nya, atau perspektifnya (Barat atau Timur).
Dalam realitas akademis (baca = komunikologi), apa yang menjadi ideal tadi dalam aplikasinya ternyata masih cukup banyak dapat ditemui yang tidak implementatif. Berdasarkan fenomenanya, itu berindikasi karena teori dipahami secara tidak komprehensif. Teori dipahami secara parsial, misalnya tanpa mengaitkan sebuah teori dengan perspektif yang dianutnya. Akibatnya, antara lain teori berperspektif Timur diacu dalam menjelaskan suatu fenomena komunikasi yang menggunakan paradigma positivis. Terutama ini terjadi pada kalangan pemula, misal pada pembuatan skripsi-skripsi pada program studi ilmu komunikasi.
Fenomena akademis yang tidak ideal itu, tentunya menjadi ironi bagi proses pengembangan ilmu komunikasi. Mungkin banyak faktor yang menyebabkan munculnya fenomena akademis tersebut, misalnya mungkin terkait dengan proses pengajaran filsafat ilmu komunikasi. Namun begitu, salah satu diantaranya yang juga tidak kalah pentingnya, mungkin karena berkaitan dengan soal pemahaman dasar tentang bagaimana sebuah teori itu bekerja dalam realitas sosial. Guna maksud tersebut, kiranya pemaparan tentang bukti-bukti bekerjanya sebuah teori komunikasi menjadi penting untuk dilakukan. Tentu saja, hal yang nota bene menjadi upaya konvergentif antara dunia teori (ide) dengan dunia empirik tersebut, bisa diharapkan berperan menjadi sebagai salah satu alat dini dalam upaya memahami teori yang sejatinya memang kompleks itu.
Sebagai salah satu ilmu sosial yang obyek formanya difokuskan pada fenomena human communication, ilmu komunikasi telah memiliki banyak teori. Berdasarkan catatan akademisi komunikasi, teori itu jumlahnya telah mencapai ratusan. Terkait dengan ini, untuk kepentingan maksud tulisan ini, maka sebagai kasus ditetapkan ”Functional Perspective on Group Decision Making” sebagai obyek telaah.
Functional Perspective on Group Decision Making
Dari apa yang dikemukakan oleh kedua penulis perspektif tersebut mengenai fenomena komunikasi individu dalam suatu kelompok yang terlibat dalam suatu proses pengambilan keputusan (lihat, Griffin, 2003), kiranya belum merupakan sebuah teori namun masih sebatas perspektif. Meskipun demikian, sehubungan telah dimunculkannya sejumlah konsep, sesuai dengan ciri-ciri teori yang notabene satu diantaranya mengandung unsur konsep, maka perspektif tersebut sudah dapat pula disebut sebagai teori komunikasi. Akan tetapi, terkait dengan belum terlihatnya upaya penghubungan konsep-konsep (eksplanasi) yang dikemukakan dalam perspektif tersebut oleh kedua pencetusnya, yaitu Randy Hirokawa & Dennis Gouran, maka sebagai teori komunikasi, perspektif tersebut masih tergolong sebagai teori taksonomi.
Menurut perspektif tersebut, maka setiap komunikasi yang dilakukan anggota kelompok dalam suatu proses komunikasi guna terbentuknya keputusan kelompok, itu mempunyai fungsi-fungsi. Fungsi-fungsi tersebut dikemukakan melalui konsep-konsep yang terdiri dari : 1) fungsi promotive; 2) fungsi disruptive; 3) fungsi counteractive. Dengan fungsi ini, maka ini berarti pula bahwa setiap orang yang berkomunikasi dalam kelompok, pada dasarnya individu dalam kelompok itu tengah berupaya memainkan peran yang bervariasi pada tiga fungsi sebelumnya.
Individu yang memerankan fungsi promotive, ini berarti individu tersebut merupakan individu yang mendukung topik-topik yang diangkat dalam diskusi kelompok. Sementara individu yang memerankan fungsi disruptive, adalah individu yang mengganggu proses pengambilan keputusan dalam kelompok. Sedang Individu yang memerankan fungsi counteractive yaitu individu yang berupaya mengendalikan jalannya proses pengambilan keputusan dengan jalan selalu berupaya menyadarkan anggota kelompok lainnya akan isu yang menjadi topik utama dalam proses diskusi pengambilan keputusan.

Bekerjanya Konsep-Konsep Dalam Realitas
Beberapa waktu lalu diadakan diskusi tentang pembuatan kuesioner penelitian penggunaan media internet di kalangan masyarakat Propinsi Jambi, Babel, Bengkulu dan Jakarta. Hadir dalam diskusi ini dua sarjana (S1) teknik elektro arus lemah yang mahir di bidang internet yang diposisikan sebagai konsultan.
Rapat dibuka oleh kepala BPPI dengan menyampaikan maksud dan tujuan dari diadakannya pertemuan. Singkatnya, kepala menyampaikan bahwa pertemuan bertujuan agar pihak BPPI yang awam di bidang internet terbantu oleh kehadiran konsultan dalam menyusun kuesioner penelitian yang baik menyangkut penggunaan internet, yang respondennya dirancang sebagai terdiri dari aparat pemerintah dan masyarakat biasa. Disampaikan juga, bahwa penelitian ini merupakan pertama kali dilakukan BPPI dan karenanya diorientasikan sebagai penelitian awal.
Saat diberi kesempatan berbicara, konsultan menyampaikan bahwa dalam meneliti penggunaan internet, tidak cukup hanya sekedar menelusuri bagaimana masyarakat mengakses internet, akan tetapi perlu ditelusuri lebih jauh, yakni mencapai pada tahap manajemen informasi. Dalam kaitan penjelasannya, maka muncullah konsep-konsep portal pelayanan publik; organisasi pengelola; infrastruktur dan aplikasi dasar. Konsep-konsep yang demikian dijelaskan dalam konteks variabel mayor yang bernama Planning organized. Lanjutan proses manajemen berikut, yaitu organizing. Dalam komponen manajemen ini dijelaskan berkaitan dengan soal pengimplementasian apa yang telah direncanakan. Kemudian dilanjutkan pada kaitannya dengan komponen manajemen berikut, yaitu aktuating. Aktuating dijelaskan dalam kaitannya dengan pengelolaan isi pesan internet yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Setelah selesai presentasi, waktu dikembalikan kepada Kepala BPPI. Kepala BPPI melemparkan kepada floor untuk bertanya. Salah seorang pesertapun ambil waktu untuk berbicara. “ ..... tadi saya mendengar istilah portal. Namun saya masih kurang jelas. Tapi kalau saya tak salah tangkap, portal itu semacam tampilan pertama di layar yang memberikan banyak pilihan, atau bagaimana ....?” Pembicara lainnya mengatakan, “....jadi kalau e-govt itu dari segi manajemen tadi masuk dalam komponen mana ?” Kemudian disusul oleh pembicara lain, “ ... infra struktur dan aplikasi dasar itu kira-kira berupa apa saja, Pak ?” Jenis-jenis pertanyaan yang dicontohkan barusan kiranya mencerminkan perilaku komunikasi anggota kelompok diskusi yang memerankan fungsi promotive, karena pertanyaan-pertanyaan mereka sifatnya mendukung saja apa saja yang telah disampaikan konsultan tadi dalam presentasinya.
Setelah pertanyaan tadi dijawab, penanya lain berkesempatan untuk menyampaikan pemikirannya kepada presenter. “Pak, kalau HP itu masuk internet juga nggak, sebab banyak HP sekarang yang ada fitur WAP-nya, gimana tuh, Pak?”. Pertanyaan ini dapat diklasifikasikan sebagai pemeranan fungsi disruptif dari seorang peserta dalam proses komunikasi kelompok karena topiknya sudah melenceng dari topik utama yang sebelumnya sudah disepakati, bahwa internet yang dimaksud dalam diskusi adalah yang dikomputer, tidak termasuk yang terfasilitasi lewat HP.
Terakhir, pertanyaan datang dari seoranng peneliti. “Menyimak semua materi presentasi serta penjelasan-penjelasan dari konsultan barusan, saya melihat kita ini sudah terlalu jauh ke luar dari konteks pertemuan ini. Saya memang awam dibidang internet, namun bagi saya, dalam melihat fenomena internet sebagai salah satu bentuk media komunikasi, maka dalam upaya memahaminya kita harus tetap mendudukkannya dalam konteks fenomena proses komunikasi cyber yang positivistik. Karena itu, maka kita tetap harus menempatkannya dalam proses komunikasi yang komponennya terdiri dari komunikator-pesan-media dan komunikan. Jadi kalau kita kembalikan kepada tujuan semula, seperti disampaikan oleh Kepala BPPI dalam pembukaannya tadi, maka mempelajari internet di sini kita tidak perlu sampai sejauh seperti yang dikemukakan presenter sebelumnya. Mana ada orang awam yang tahu apa itu aplikasi dasar, portal, yah kalau pun ada terbataslah.... Poin utama kita,kan, hanya berupaya mengetahui bagaimana masyarakat menggunakan internet. Itu saja, sesuai dengan ciri penelitian awal. Jadi posisi konsultan di sini kita harapkan adalah, bagaimana membuat kuesioner yang menelusuri gambaran masyarakat dalam menggunakan internet. Kami awam internet, jadi tolong bantu kami memahami jargon-jargon mastel supaya tidak keliru menyusun kuesioner. Sekian dan terima kasih.”
Komentar yang dikemukakan oleh peneliti tadi dapat digolongkan sebagai individu dalam kelompok yang berupaya memerankan fungsi counteractive. Individu tersebut berupaya menyadarkan semua peserta diskusi agar tidak ke luar dari topik utama diskusi. Pasca komentar tersebut, akhirnya konsultan sadar dan menanyakan kembali maksud dan tujuan penelitian yang sebenarnya kepada Kepala BPPI. Setelah disadari, diskusi kembali normal dan menghasilkan butir-putir masukan yang relavan dengan penelitian yang dimaksudkan pihak BPPI.
Implikasi
Konsep-konsep yang ada dalam perspektif ini secara praktis bermanfaat dalam melihat peran-peran individu dalam kelompok. Pengetahuan tentang ini dapat membantu dalam berupaya memposisikan diri kita memainkan peran fungsi counteractive guna tidak terjebaknya kelompok dalam posisi debat kusir yang tidak efektif dan tidak efisien.


Sumber bacaan : Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill

1 komentar:

  1. mantap ulasan teorinya, tapi kalau bisa ada paham atau kritik terhadap teori juga d masukan, sekiranya setiap teori pasti ada kelemahan dan kelemahan itu dilkukan pengembangan teori...

    mksi

    BalasHapus