Hasyim Ali Imran
(Peneliti bidang studi komunikasi dan media di BPPKI
Jakarta Balitbang SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika)
Abstrak
Berlatarbelakangkan fenomena masih dijumpainya
kesulitan mahasiswa dalam memahami hakikat suatu teori, tulisan ini bermaksud
untuk menjelaskan secara sederhana
mengenai pemanfaatan teori. Untuk maksud tersebut, dalam penjelasannya tulisan
ini berangkat dari penggunaan konsep-konsep teoritik dalam teori Genderlect Styles dari Deborah Tannen.
Konsep-konsep dimaksud yaitu : 1)
percakapan publik versus percakapan pribadi; 2) menyampaikan cerita; 3)
mendengarkan; 4) mengajukan pertanyaan; dan 5) konflik. Dari hasil pembahasan
diketahui bahwa konsep-konsep teoritik dari Tannen itu memang bekerja dalam
realitas kehidupan sehari-hari.
Kata-kata kunci
: Genderlect
Styles ; fenomena komunikasi.
Abstract
Based on phenomenon of student’s difficulty in understanding the essence
of a theory, this article will explain simply about theory using. Accordingly,
in the elaboration, this article dealts with the use of theoretical concepts in
Genderlect Styles theory introduced by Deborah
Tannen. Those concepts are : 1) public
dialogue versus individual dialogue; 2) Telling story; 3) hearing; 4) raising
question; and 5) conflict. This article elaboration shows that Tannen’s theoretical concepts function in real
life.
Key words : Genderlect
Styles; Communication phenomenon.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam tradisi ilmiah, teori menempati
posisi sangat penting dalam upaya akademisi menemukan kebenaran ilmiah. Dalam
posisinya, ia berfungsi sebagai petunjuk bagi para akademisi dalam ”menerangi”
diri dari kegelapan mengenai sesuatu fenomena yang secara ontologis memang
menjadi bagian dari obyek forma ilmunya.
Teori sendiri, dalam ilmu sosial
dintaranya didefinisikan sebagai “as a system of interconnected abstractions
or ideas that condenses and organizes knowledge about the social world.”[1].
Sedang James Anderson, sebagaimana dikutip Littlejohn, teori yaitu sebuah
rangkaian mengenai petunjuk-petunjuk dalam mengetahui dunia dan bertindak
sesuai dengan petunjuk-petunjuk dimaksud. Relatif mirip dengan yang barusan,
Stanley Deetz[2]
mengatakan, a theory is a way of seeing and thinking about the world.
Sementara Littlejohn sendiri mendefinisikannya lebih sempurna, yakni : any
organized set of concepts, explanations, and principles of some aspect of human
experience[3].
Dengan definisi Littlejohn, itu dapat
diartikan bahwa dalam kapasitasnya sebagai petunjuk, maka di antara sesama
teori ternyata berindikasi tidak memiliki kadar kekuatan petunjuk yang
sama. Karena dalam kenyataannya, kriteria kekuatan petunjuk sebagaimana dikatakan Liilejohn tadi, tidak semua teori
mampu memenuhinya. Suatu keterpenuhan yang kemudian dijadikan Littlejohn
sebagai kriteria dalam menilai baik buruknya sebuah teori. Teori yang baik
sendiri, menurutnya harus dapat memenuhi empat komponen, yakni asumsi
filosofis, konsep, eksplanasi dan prinsip atau panduan untuk bertindak.
Permasalahan dan
Tujuan
Dalam literatur komunikasi, dari
jumlahnya yang beratusan, masih banyak dijumpai teori-teori yang belum memenuhi keempat komponen tadi.
Bahkan, diantaranya terdapat teori yang baru hanya memenuhi satu komponen,
yakni komponen konsep. Konsep yaitu generalisasi dari sekelompok fenomena
tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang
sama[4].
Teori yang hanya memiliki sebatas konsep, dikenal juga dengan istilah taxonomy.
Dengan kata lain, taxonomy yaitu teori yang baru memiliki
komponen konsep saja, salah satu elemen dasar dari teori. Belum ada unsur explanations
tentang bagaimana konsep-konsep yang dikandungnya itu saling berhubungan.
Apalagi menyangkut elemen-elemen lainnya, seperti elemen asumsi filosofis dan
prinsip atau panduan untuk bertindak[5].
Beberapa teori yang tergolong pada kategori taxonomi ini, diantaranya adalah Interpersonal
Deception Theory by David Buller & Judee Burgon; Queer Theory by
Judith Butler; Relational Dialectic by Leslie Baxter dan Barbara
Montgomery; dan Genderlect Styles dari Deborah Tannen[6].
Meskipun suatu teori yang tergolong taxonomy
belum dapat diharapkan peran maksimalnya dalam menjelaskan suatu fenomena
keilmuan, misalnya seperti fenomena komunikasi, namun dengan konsep yang
diajukannya, ia tetap saja dapat memainkan peran yang berarti bagi para
akademisi yang hendak memahami sebuah fenomena. Ini karena, sesuai dengan peran
konsep teoritik dalam proses penemuan kebenaran ilmiah, konsep-konsep dalam
taxonomi tadi sangat membantu peneliti ketika dia berupaya mengkonseptualisir
suatu fenomena komunikasi. Sebagai contoh, fenomena itu misalnya terkait dengan
gaya bicara antara yang diperankan perempuan dan gaya yang diperankan oleh
pria.
Dalam banyak kasus, dapat dijumpai kalau
gaya yang diperankan oleh pria cenderung berbeda dengan gaya yang diperankan
oleh perempuan. Perempuan misalnya, tampak cenderung lebih suka membicarakan
hal-hal spesifik, misalnya seperti soal pacar atau suaminya. Karenanya, kita
menjadi tak perlu heran kalau di suatu tempat umum, kita menemukan kaum
perempuan asyik-asyik membicarakan suami mereka. ”Wah, gue liat,
suami, lho, makin keren aja, ya, Wi..!”. Beda dengan kaum
pria, maka dalam hampir setiap event, topik-topik umum yang bersifat publik,
sudah tidak asing dalam pengalaman kita. ”Bagaimana semalam, Liverpool menang
atau kalah, Jack ?”; ”Eh.., udah diumumkan belum, tuh, reshuffle
kabinet ? Koq, nggak jadi-jadi, sih ?” Kalimat-kalimat
bermuatan publik yang demikian tentu tidak asing kita jumpai dalam lingkungan
kita, di kantor, ataupun di lingkungan RT.
Fenomena mengenai gaya bicara sebagai
mana dipaparkan sebelumnya, bagi kalangan awam, bisa jadi itu hanya dianggap
hal biasa. Namun, dari segi ilmiah, itu sebenarnya telah lama menjadi fokus
perhatian Tannen. Fenomena itu kemudian ia teliti dan akhirnya melahirkan
sejumlah konsep teoritik yang terkandung dalam sebuah teori yang ia namakan Genderlect
Styles, sebagai mana telah disebut sebelumnya.
Tulisan ini sendiri, dimaksudkan untuk
membahas teori yang diajukan oleh Tannen tadi. Tujuannya yaitu untuk memaparkan
konsep-konsep yang diangkat Tannen dalam teorinya. Di samping itu, juga
dimaksudkan untuk menunjukkan beberapa contoh tentang bagaimana konsep-konsep
teoritik Tannen itu bekerja dalam realitas kemasyarakatan. Dengan upaya ini
dimaksudkan, agar para akademisi pemula, terutama para mahasiswa, dapat
terbantu dalam upayanya mencerna makna sebuah teori.
PEMBAHASAN
Teori dari Deborah Tannen mencoba
menjelaskan fenomena komunikasi antar sesama manusia dari segi konteks budaya dalam arti menurut
variabel jenis kelamin, yaitu antara laki-laki dan perempuan. Disebutkan, bahwa
budaya perempuan tidak sama dengan budaya laki-laki. Perbedaan budaya ini
menyebabkan cara berbicara (dialek) perempuan menjadi tidak sama dengan cara
berbicara laki-laki. Akan tetapi, dalam teorinya Deborah Tannen tidak
memberikan penjelasannya tentang bagaimana perbedaan budaya itu menyebabkan
munculnya perbedaan dalam hal dialek antara laki-laki dan perempuan. Karena
itu, teori ini dapat dikatakan masih berupa teori yang berada dalam taraf
taxonomi.
Deborah Tannen mencoba melihat perbedaan
dialek antara laki-laki dan perempuan saat berkomunikasi itu, berdasarkan lima
kelompok.gambaran situasi proses komunikasi, yang dikonseptualisirnya menjadi :
1) percakapan publik versus peprcakapan pribadi; 2) menyampaikan cerita; 3)
mendengarkan; 4) mengajukan pertanyaan; dan 5) konflik.
1. Percakapan Publik versus Percakapan Pribadi
Dalam
berkomunikasi, laki-laki memanfaatkan kemampuannya dalam berbicara itu sebagai
senjata yang digunakannya untuk menunjukkan siapa dirinya (status). Hal yang
demikian dilakukan agar harga dirinya di mata orang lain tetap terjaga. Untuk
keperluaan ini maka dalam berbicara pria cenderung menekankan gaya informative
dalam format reportase yang berkaitan dengan topik-topik umum.
Berdasarkan
pengamatan, asumsi Tannen mengenai cara bicara pria ini kerap terlihat dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, misalnya antara saya dengan Edwin, teman
seangkatan di PPS UPDM (B). Ketika suatu saat saya melihat-lihat buku di ruang
baca kampus, Edwin yang baru datang dan mengambil posisi untuk menggunakan
computer berkata kepada saya, “Wah, Pak, Yogya kena Tsunami, tuh …”. “Ah,
masak, sih, Win, kapan !?” Saya berkata dengan nada meragukan. “Benar, Pak,
tadi padi saya dengar berita, kakak saya juga ada yang nelepon …”, jawab Edwin.
“Gempanya memang berapa skala richter, Win ?
Tsunaminya belum pasti, kan ?” Tanya saya pada Edwin. “ Iya, sih, belum
pasti ……, mudah-mudahan aja nggak …” jawab Edwin.
Begitulah
kalau pria berbicara, biasanya topik itu bersifat umum menyangkut di luar
dirinya. Namun berbeda dengan perempuan, topik yang dibicarakan biasanya
bersifat pribadi dan cenderung digunakan dalam rangka membangun hubungan dengan
lawan bicaranya. Sebagai contoh, misalnya percakapan yang pernah saya dengar
antara Tika dengan Oca di suatu saat. “Eh, Tika…., tumben, kog, masih di
sini (kampus), nunggu dijemput, ya ? Sapa Oca pada Tika sambil duduk di samping
Tika. “ Iya, nih, barusan nelepon katanya (suami) udah di Sudirman…”
jawab Tika datar. “Cakep banget, lu, Tik, emang mau ke mana, sih ?
Tanya Oca sambil terus memandangi wajah Tika. “ Rencananya, sih, mau ke
Puncak ………“ jawab Tika sambil bertanya kenapa Oca juga masih di kampus.
2. Menyampaikan
Cerita
Bagi
kalangan laki-laki, guyonan dianggap sebagai cara yang maskulin dalam
menunjukkan status mereka. Karena itulah menurut Tannen kaum pria ini lebih
banyak bercerita dengan menggunakan lelucon dibanding dengan kaum perempuan.
Suatu saat di ruang kantor kepala sebuah institusi (sebutlah kantor X), saya
terlibat dalam sebuah pembicaraan dengan Pak Kepala kantor.
Ketika
itu, saat selesai menandatangani tanda terima honor, Pak Kepala kantor yang
memperhatikan saya dengan serius melihat namanya yang diurutan pertama dengan
jumlah rupiah yang jauh berbeda, segera menarik tanda terima itu dari tangan
saya dengan sopan sembari berkata, “ Beda, donggggg ……, saya, kan,
kepala …… “ ucapnya dengan nada guyon. Perkataan Pak Kepala kantor ini memang
disampaikan dengan nada bercanda, namun di balik itu tetap tersirat bahwa Pak
Kepala kantor mau menunjukkan statusnya bahwa dirinya lebih tinggi dari pada
diri saya di kantor itu.
Kalau
pria dalam bercerita cenderung berusaha menonjolkan siapa dirinya, maka berbeda
halnya dengan wanita yang dalam bercerita cenderung akan menceritakan orang
lain. Suatu saat tanpa kehadiran Oca saya mendengar obrolan di antara sesama
cewek di kelas PPS Semester I Angkatan VIII. “Eh, Dit .., Oca sekarang feminis,
ya, !!? kata Nisa pada Dita. Asti yang mendengar percakapan itu ikut nimbrung,
“Iya, ya, kayaknya ….” Dita yang memotong pembicaraan Asti berkata, “Iya, sejak
ditegur Bu Wati Minggu lalu …:”.
3. Mendengarkan
Dalam
mendengarkan suatu cerita, wanita lebih cenderung melakukannya dengan
bertatapan, menganggukkan kepala dan bereaksi seperti : hmmmmm …..; ooo ….;
atau respon yang menyatakan bahwa “ …. saya mendengarkan.” Atau “saya
bersamamu..”. Contoh : Ketika teman kuliah saya yang bernama Tika bertanya
kepada saya tentang apa manfaat mempelajari ilmu komunikasi di tingkat S2, saya
menjawabnya dengan penjelasan berdasarkan kepentingan akademis dan kepentingan
praktis. Dalam mendengarkan penjelasan saya, sembari terus menatap saya, Tika
lebih dari sekali berkata, “ Ooo, gitu, Pak, ya ……. “. Contoh lain, beberapa
hari lalu teman sekantor bernama Mawar (bukan nama sebenarnya) dirampok di
depan kantor. Setibanya di kantor Mawar bercerita sambil menangis tentang
peristiwa yang baru dialaminya kepada teman sekantor lainnya bernama Rara (nama
samaran). Rara yang mendengar cerita dari Mawar dengan ekspresi sedih campur
kecewa itu, segera memeluk Mawar seraya berkata, “Ya, sudahlah, Mbak, sabar
aja, itu cobaan ……,” ucap Rara dengan nada pelan sembari menuntun Mawar untuk
duduk. Pelukan yang dilakukan Rara merupakan respon darinya sebagai cermin
bahwa iapun ikut merasakan apa yang baru saja dialami oleh Mawar.
Kalau
pada kaum pria, ketika mendengar ia menghindarkan sikap yang tunduk atau sikap
yang merendahkan dirinya sendiri. Gaya yang berterus terang dari seseorang yang
mendengarkan adalah “saya sependapat denganmu”. Kalau di kalangan wanita
menyela pembicaraan adalah biasa karena dimaksudkan sebagai bentuk dukungan,
namun di kalangan pria ini merupakan suatu pantangan yang dianggap merendahkan
dirinya. Kejadian ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, atau termasuk
dalam acara talk show di media tv. Sebagai contoh, misalnya Yusril Iza
Mahendra yang kesal ketika
pembicaraannya tiba-tiba dipotong pembawa acara dalam suatu acara talk show di
suatu stasiun tv. “Tunggu dulu, dong, bagaimana saya bisa menjelaskan dengan
baik kalau pembicaraan saya dipotong-potong terus ..!” kata Yusril dengan nada
kesal menolak interupsi pembawa acara.
4. Mengajukan
pertanyaan
Wanita
mengajukan pertanyaan guna terjalinnya hubungan dengan orang lain. Wanita
sering mengajukan pertanyaan di akhir kalimat pendapatnya. Seperti, “Tadi itu
adalah film yang bagus, menurutmu gimana ?” Hal ini dimaksudkan sebagai upaya
untuk membuka percakapan dengan cara mengajak orang lain untuk berpartisipasi.
Kalangan pria melihat ini sebagai bentuk pernyataan yang tidak konsisten dari
kalangan wanita. Pria tidak akan mengajukan pertanyaan yang bisa merendahkan
dirinya sendiri. Bagi pria pendapat umum penting baginya dan karenanya pria
tidak mau kelihatan rendah di mata orang lain dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang bodoh. Sebagai contoh, kepala kantor saya pernah
bertanya kepada saya tentang bagaimana menyikapi staf saya bernama Dodo (bukan
nama sebenarnya) yang sering absen. Pertanyaannya tegas dan tidak plin-plan,
sbb. “Mengenai Si Dodo, menurutmu bagaimana, Mas Par, kita pertahankan di
kantor ini atau kita kembalikan ke biro kepegawaian ?” Sementara kalau wanita
bertanya, “Pacar Edwin cakep,ya, Pak ?” kata salah seorang mahasiswi kepada
saya ketika melihat Edwin berjalan dengan pacarnya menuju halaman kampus.
5.Konflik
Bagi
pria hidup adalah ibarat sebuah kontes dan karenanya pria merasa lebih nyaman
dengan konflik. Sebaliknya dengan wanita, kaum wanita ini cenderung menghindari
konflik. Contoh : Dalam suatu diskusi kaum pria cenderung mengeluarkan
pernyataan-pernyataan atau pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada pemunculan
perdebatan. Hal yang demikian kerap terlihat, misalnya ketika rapat orang tua
murid dengan pihak sekolah dan Komite Sekolah dalam rangka menetapkan jumlah
uang pembangunan siswa yang baru masuk. Antara bapak siswa yang satu dengan
yang lainnya cenderung saling menonjolkan dirinya ketika diberi kesempatan
untuk berbicara di depan oleh panitia.
Di
antara bapak siswa itu ada yang berkata, misalnya Pak Badu, “Menurut saya,
sebelum panitia menentukan jumlah uang sumbangan, semestinya orang tua murid
sudah diberikan tentang program pembangunan kelas-kelas yang akan dibangun
dalam tahun ajaran ini. Dengan demikian, rationya akan dapat diketahui dengan pasti.
Bukan seperti sekarang ini, jumlah sumbangan yang akan kami bayar malah jauh
lebih banyak dari pada tahun lalu. Padahal, logikanya, kan, semakin ke sini
semakin murah karena semakin sedikit jumlah kelas yang mau dibangun !!”
Kalau
pria lebih menyukai konflik maka prempuan cenderung menghindarinya. Berdasarkan
pengalaman saya mengikuti rapat tersebut, para ibu umumnya lebih memilih
berdiam diri, sebagai bentuk lain untuk menghindari konflik dalam rapat.
Sementara ibu lain yang berani tampil ke depan pertanyaannya cenderung menutup
bagi munculnya konflik dalam rapat itu. Komentar ini antara lain dikemukakan
Ibu Kiki, “ … Yah, kami memang maklum kalau pendidikan itu memang perlu dana.
Tapi, kami juga mohon pengertian dari Bapak-bapak, bahwa kami ini kemampuannya
tidak sama, jadi tolonglah difikirkan, Pak. Itu saja … sekian dan terima
kasih.”.
PENUTUP
Seperti telah disebutkan sebelumnya pada
bagian awal tulisan, bahwa berdasarkan kategori menurut kelengkapan komponen
yang dikandungnya, suatu teori ada yang disebut dengan taxonomi, yaitu teori
yang hanya memenuhi satu komponen saja, yakni komponen konsep. Teori yang
demikian, meski tidak dapat memainkan peran maksimal dalam proses penemuan
kebenaran ilmiah, namun dengan konsep yang dimilikinya, ia masih dapat
memainkan peran pada tahap-tahap awal proses penemuan kebenaran ilmiah. Tahapan
awal dimaksud yaitu konseptualisasi fenomena. Dalam kaitannya dengan Teori
taxonomi Deborah Tannen, maka dengan mengacu pada uraian sebelumnya pada bagian
pembahasan, itu membuktikan bahwa fenomena menyangkut gaya bicara antara wanita
dan pria, semuanya itu sebenarnya telah dikonseptualisasikan oleh Tannen.ke
dalam teori yang ia sebut Genderlect Styles Theory. Dengan demikian,
kalangan akademis, terutama para mahasiswa, sebenarnya telah dibantu oleh
Tannen dalam mencoba mengkonseptualisir fenomena pembicaraan yang dilakukan
oleh pria dan wanita.
Dengan konsep-konsep teoritiknya tadi,
kita, baik dari kaum pria maupun wanita, jadi terbantu untuk bisa bersikap
bijak ketika kita terjebak dalam suatu iklim komunikasi yang pesertanya berbaur
antara peserta komunikasi yang berasal dari kaum wanita maupun pria. Kaum pria
pun hendaknya menjadi maklum, dan tidak perlu marah, ketika sedang
serius-serius berbicara topik politik, tiba-tiba kaum wanita yang berada di
sekitar melakukan peluk cium sembari mengeluarkan percakapan spesifik bernada
rada tinggi. “Aduhhh…. , apa khabarrrr…….., kapan dateng.., eh, mana si
kecil, Nok ? Idiih, makin cakep aja, deh …! Yuk, yuk ,
mari gue kenalin, ama, pacar gue !!!”
Bagi para mahasiswa, konsep-konsep
teoritik Tannen tadi tentu bermanfaat bagi upaya awalnya dalam memahami
fenomena komunikasi yang dilakukan pria dan wanita. Namun, kelemahan teori
Tannen yang masih bersifat Taxonomi itu, tentu dapat menjadi pancingan untuk
menutupi kekurangannya. Dalam kaitan ini, maka upaya yang kiranya perlu
dilakukan pada tahapan awal pengembangan, yakni dengan cara berupaya menemukan
penjelasan-penjelasan (eksplanasi) atas konsep-konsep teoritik yang telah
diajukan Tannen dalam teorinya. Dalam teori Tannen, kita tidak menemukan
jawaban tentang mengapa pria dan wanita memiliki gaya atau dialek bicara yang
seperti itu, misalnya, pembicaraan pria cenderung open to conflict dan
wanita cenderung close to conflict.
DAFTAR PUSTAKA
Deetz, Stanley, dalam, Littlejohn,
Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition,
Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.
Griffin, EM, 2003, A First Look At
Communication Theory, Fifth edition, New York,
Mc
Graw Hill.
Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories
of Human Communication, eighth edition,
Thomson
Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.
Neuman, W. Lawrence, 2000, “The Ethics
And Politic of Social Research”, in chapter 5
on
Social Research Methods-Qualitative and Quantitative Approaches, Allyn
and
Bacon, Boston, USA.
Tannen, Deborah, “Genderlect
Styles”, 2003, dalam, A First Look at Communication
Theory, Fifth Edition,
by EM Griffin, In Chapter 33, p. 463-473, New York, McGraw Hill, 2003.
[1] Neuman, W.
Lawrence, 2000, “The Ethics And Politic of Social Research”, in chapter 5 on Social
Research Methods-Qualitative
and Quantitative
Approaches, Allyn
and Bacon, Boston, USA.
[2]
Deetz, Stanley, dalam, Littlejohn,
Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition,
Thomson
Learning Inc., Wadsworth, Belmont,
USA
[3] Littlejohn,
Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition,
Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont,
USA.
[4]
Singarimbun,
Masri dan Sofyan Effendi, 1984, Metode Penelitian Survei, Jakarta,
LP3ES.
[5]
Imran,
Hasyim Ali, “Beberapa Aspek Penting Dalam Hubungan Antara Teori dan Metode
Riset Komunikasi”, dalam Jurnal Studi Komunikasi dan Media, Vol. 10(1),
Jakarta, Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi Wilayah II Jakarta.
[6]
Lihat,
Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition,
New York, Mc Graw Hill.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar