Selasa, 04 Februari 2014

GENDERLECT STYLES DAN FENOMENA KOMUNIKASI


Hasyim Ali Imran
(Peneliti bidang studi komunikasi dan media di BPPKI Jakarta Balitbang SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika)

Abstrak
Berlatarbelakangkan fenomena masih dijumpainya kesulitan mahasiswa dalam memahami hakikat suatu teori, tulisan ini bermaksud untuk  menjelaskan secara sederhana mengenai pemanfaatan teori. Untuk maksud tersebut, dalam penjelasannya tulisan ini berangkat dari penggunaan konsep-konsep teoritik dalam teori Genderlect Styles dari Deborah Tannen. Konsep-konsep dimaksud yaitu :  1) percakapan publik versus percakapan pribadi; 2) menyampaikan cerita; 3) mendengarkan; 4) mengajukan pertanyaan; dan 5) konflik. Dari hasil pembahasan diketahui bahwa konsep-konsep teoritik dari Tannen itu memang bekerja dalam realitas kehidupan sehari-hari.
Kata-kata kunci : Genderlect Styles ; fenomena komunikasi.

Abstract
Based on phenomenon of student’s difficulty in understanding the essence of a theory, this article will explain simply about theory using. Accordingly, in the elaboration, this article dealts with the use of theoretical concepts in Genderlect Styles theory introduced by Deborah Tannen. Those concepts are :  1) public dialogue versus individual dialogue; 2) Telling story; 3) hearing; 4) raising question; and 5) conflict. This article elaboration shows that Tannen’s theoretical concepts function in real life.

Key words : Genderlect Styles; Communication phenomenon.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dalam tradisi ilmiah, teori menempati posisi sangat penting dalam upaya akademisi menemukan kebenaran ilmiah. Dalam posisinya, ia berfungsi sebagai petunjuk bagi para akademisi dalam ”menerangi” diri dari kegelapan mengenai sesuatu fenomena yang secara ontologis memang menjadi bagian dari obyek forma ilmunya.
Teori sendiri, dalam ilmu sosial dintaranya didefinisikan sebagai “as a system of interconnected abstractions or ideas that condenses and organizes knowledge about the social world.”[1]. Sedang James Anderson, sebagaimana dikutip Littlejohn, teori yaitu sebuah rangkaian mengenai petunjuk-petunjuk dalam mengetahui dunia dan bertindak sesuai dengan petunjuk-petunjuk dimaksud. Relatif mirip dengan yang barusan, Stanley Deetz[2] mengatakan, a theory is a way of seeing and thinking about the world. Sementara Littlejohn sendiri mendefinisikannya lebih sempurna, yakni : any organized set of concepts, explanations, and principles of some aspect of human experience[3]. 
Dengan definisi Littlejohn, itu dapat diartikan bahwa dalam kapasitasnya sebagai petunjuk, maka di antara sesama teori ternyata berindikasi tidak memiliki kadar kekuatan petunjuk yang sama. Karena dalam kenyataannya, kriteria kekuatan petunjuk sebagaimana  dikatakan Liilejohn tadi, tidak semua teori mampu memenuhinya. Suatu keterpenuhan yang kemudian dijadikan Littlejohn sebagai kriteria dalam menilai baik buruknya sebuah teori. Teori yang baik sendiri, menurutnya harus dapat memenuhi empat komponen, yakni asumsi filosofis, konsep, eksplanasi dan prinsip atau panduan untuk bertindak.
Permasalahan dan Tujuan
Dalam literatur komunikasi, dari jumlahnya yang beratusan, masih banyak dijumpai teori-teori  yang belum memenuhi keempat komponen tadi. Bahkan, diantaranya terdapat teori yang baru hanya memenuhi satu komponen, yakni komponen konsep. Konsep yaitu generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama[4]. Teori yang hanya memiliki sebatas konsep, dikenal juga dengan istilah taxonomy. Dengan kata lain, taxonomy yaitu teori yang baru memiliki komponen konsep saja, salah satu elemen dasar dari teori. Belum ada unsur explanations tentang bagaimana konsep-konsep yang dikandungnya itu saling berhubungan. Apalagi menyangkut elemen-elemen lainnya, seperti elemen asumsi filosofis dan prinsip atau panduan untuk bertindak[5]. Beberapa teori yang tergolong pada kategori taxonomi ini, diantaranya adalah Interpersonal Deception Theory by David Buller & Judee Burgon; Queer Theory by Judith Butler; Relational Dialectic by Leslie Baxter dan Barbara Montgomery; dan Genderlect Styles dari Deborah Tannen[6].
Meskipun suatu teori yang tergolong taxonomy belum dapat diharapkan peran maksimalnya dalam menjelaskan suatu fenomena keilmuan, misalnya seperti fenomena komunikasi, namun dengan konsep yang diajukannya, ia tetap saja dapat memainkan peran yang berarti bagi para akademisi yang hendak memahami sebuah fenomena. Ini karena, sesuai dengan peran konsep teoritik dalam proses penemuan kebenaran ilmiah, konsep-konsep dalam taxonomi tadi sangat membantu peneliti ketika dia berupaya mengkonseptualisir suatu fenomena komunikasi. Sebagai contoh, fenomena itu misalnya terkait dengan gaya bicara antara yang diperankan perempuan dan gaya yang diperankan oleh pria.
Dalam banyak kasus, dapat dijumpai kalau gaya yang diperankan oleh pria cenderung berbeda dengan gaya yang diperankan oleh perempuan. Perempuan misalnya, tampak cenderung lebih suka membicarakan hal-hal spesifik, misalnya seperti soal pacar atau suaminya. Karenanya, kita menjadi tak perlu heran kalau di suatu tempat umum, kita menemukan kaum perempuan asyik-asyik membicarakan suami mereka. ”Wah, gue liat, suami, lho, makin keren aja, ya, Wi..!”. Beda dengan kaum pria, maka dalam hampir setiap event, topik-topik umum yang bersifat publik, sudah tidak asing dalam pengalaman kita. ”Bagaimana semalam, Liverpool menang atau kalah, Jack ?”; ”Eh.., udah diumumkan belum, tuh, reshuffle kabinet ? Koq, nggak jadi-jadi, sih ?” Kalimat-kalimat bermuatan publik yang demikian tentu tidak asing kita jumpai dalam lingkungan kita, di kantor, ataupun di lingkungan RT.
Fenomena mengenai gaya bicara sebagai mana dipaparkan sebelumnya, bagi kalangan awam, bisa jadi itu hanya dianggap hal biasa. Namun, dari segi ilmiah, itu sebenarnya telah lama menjadi fokus perhatian Tannen. Fenomena itu kemudian ia teliti dan akhirnya melahirkan sejumlah konsep teoritik yang terkandung dalam sebuah teori yang ia namakan Genderlect Styles, sebagai mana telah disebut sebelumnya.
Tulisan ini sendiri, dimaksudkan untuk membahas teori yang diajukan oleh Tannen tadi. Tujuannya yaitu untuk memaparkan konsep-konsep yang diangkat Tannen dalam teorinya. Di samping itu, juga dimaksudkan untuk menunjukkan beberapa contoh tentang bagaimana konsep-konsep teoritik Tannen itu bekerja dalam realitas kemasyarakatan. Dengan upaya ini dimaksudkan, agar para akademisi pemula, terutama para mahasiswa, dapat terbantu dalam upayanya mencerna makna sebuah teori.

PEMBAHASAN
Teori dari Deborah Tannen mencoba menjelaskan fenomena komunikasi antar sesama manusia  dari segi konteks budaya dalam arti menurut variabel jenis kelamin, yaitu antara laki-laki dan perempuan. Disebutkan, bahwa budaya perempuan tidak sama dengan budaya laki-laki. Perbedaan budaya ini menyebabkan cara berbicara (dialek) perempuan menjadi tidak sama dengan cara berbicara laki-laki. Akan tetapi, dalam teorinya Deborah Tannen tidak memberikan penjelasannya tentang bagaimana perbedaan budaya itu menyebabkan munculnya perbedaan dalam hal dialek antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, teori ini dapat dikatakan masih berupa teori yang berada dalam taraf taxonomi.
Deborah Tannen mencoba melihat perbedaan dialek antara laki-laki dan perempuan saat berkomunikasi itu, berdasarkan lima kelompok.gambaran situasi proses komunikasi, yang dikonseptualisirnya menjadi : 1) percakapan publik versus peprcakapan pribadi; 2) menyampaikan cerita; 3) mendengarkan; 4) mengajukan pertanyaan; dan 5) konflik.

1.  Percakapan Publik versus Percakapan Pribadi
Dalam berkomunikasi, laki-laki memanfaatkan kemampuannya dalam berbicara itu sebagai senjata yang digunakannya untuk menunjukkan siapa dirinya (status). Hal yang demikian dilakukan agar harga dirinya di mata orang lain tetap terjaga. Untuk keperluaan ini maka dalam berbicara pria cenderung menekankan gaya informative dalam format reportase yang berkaitan dengan topik-topik umum.
Berdasarkan pengamatan, asumsi Tannen mengenai cara bicara pria ini kerap terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, misalnya antara saya dengan Edwin, teman seangkatan di PPS UPDM (B). Ketika suatu saat saya melihat-lihat buku di ruang baca kampus, Edwin yang baru datang dan mengambil posisi untuk menggunakan computer berkata kepada saya, “Wah, Pak, Yogya kena Tsunami, tuh …”. “Ah, masak, sih, Win, kapan !?” Saya berkata dengan nada meragukan. “Benar, Pak, tadi padi saya dengar berita, kakak saya juga ada yang nelepon …”, jawab Edwin. “Gempanya memang berapa skala richter, Win ?  Tsunaminya belum pasti, kan ?” Tanya saya pada Edwin. “ Iya, sih, belum pasti ……, mudah-mudahan aja nggak …” jawab Edwin.
Begitulah kalau pria berbicara, biasanya topik itu bersifat umum menyangkut di luar dirinya. Namun berbeda dengan perempuan, topik yang dibicarakan biasanya bersifat pribadi dan cenderung digunakan dalam rangka membangun hubungan dengan lawan bicaranya. Sebagai contoh, misalnya percakapan yang pernah saya dengar antara Tika dengan Oca di suatu saat. “Eh, Tika…., tumben, kog, masih di sini (kampus), nunggu dijemput, ya ? Sapa Oca pada Tika sambil duduk di samping Tika. “ Iya, nih, barusan nelepon katanya (suami) udah di Sudirman…” jawab Tika datar. “Cakep banget, lu, Tik, emang mau ke mana, sih ? Tanya Oca sambil terus memandangi wajah Tika. “ Rencananya, sih, mau ke Puncak ………“ jawab Tika sambil bertanya kenapa Oca juga masih di kampus.

2. Menyampaikan Cerita
Bagi kalangan laki-laki, guyonan dianggap sebagai cara yang maskulin dalam menunjukkan status mereka. Karena itulah menurut Tannen kaum pria ini lebih banyak bercerita dengan menggunakan lelucon dibanding dengan kaum perempuan. Suatu saat di ruang kantor kepala sebuah institusi (sebutlah kantor X), saya terlibat dalam sebuah pembicaraan dengan Pak Kepala kantor.
Ketika itu, saat selesai menandatangani tanda terima honor, Pak Kepala kantor yang memperhatikan saya dengan serius melihat namanya yang diurutan pertama dengan jumlah rupiah yang jauh berbeda, segera menarik tanda terima itu dari tangan saya dengan sopan sembari berkata, “ Beda, donggggg ……, saya, kan, kepala …… “ ucapnya dengan nada guyon. Perkataan Pak Kepala kantor ini memang disampaikan dengan nada bercanda, namun di balik itu tetap tersirat bahwa Pak Kepala kantor mau menunjukkan statusnya bahwa dirinya lebih tinggi dari pada diri saya di kantor itu.
Kalau pria dalam bercerita cenderung berusaha menonjolkan siapa dirinya, maka berbeda halnya dengan wanita yang dalam bercerita cenderung akan menceritakan orang lain. Suatu saat tanpa kehadiran Oca saya mendengar obrolan di antara sesama cewek di kelas PPS Semester I Angkatan VIII. “Eh, Dit .., Oca sekarang feminis, ya, !!? kata Nisa pada Dita. Asti yang mendengar percakapan itu ikut nimbrung, “Iya, ya, kayaknya ….” Dita yang memotong pembicaraan Asti berkata, “Iya, sejak ditegur Bu Wati Minggu lalu …:”.

3. Mendengarkan
Dalam mendengarkan suatu cerita, wanita lebih cenderung melakukannya dengan bertatapan, menganggukkan kepala dan bereaksi seperti : hmmmmm …..; ooo ….; atau respon yang menyatakan bahwa “ …. saya mendengarkan.” Atau “saya bersamamu..”. Contoh : Ketika teman kuliah saya yang bernama Tika bertanya kepada saya tentang apa manfaat mempelajari ilmu komunikasi di tingkat S2, saya menjawabnya dengan penjelasan berdasarkan kepentingan akademis dan kepentingan praktis. Dalam mendengarkan penjelasan saya, sembari terus menatap saya, Tika lebih dari sekali berkata, “ Ooo, gitu, Pak, ya ……. “. Contoh lain, beberapa hari lalu teman sekantor bernama Mawar (bukan nama sebenarnya) dirampok di depan kantor. Setibanya di kantor Mawar bercerita sambil menangis tentang peristiwa yang baru dialaminya kepada teman sekantor lainnya bernama Rara (nama samaran). Rara yang mendengar cerita dari Mawar dengan ekspresi sedih campur kecewa itu, segera memeluk Mawar seraya berkata, “Ya, sudahlah, Mbak, sabar aja, itu cobaan ……,” ucap Rara dengan nada pelan sembari menuntun Mawar untuk duduk. Pelukan yang dilakukan Rara merupakan respon darinya sebagai cermin bahwa iapun ikut merasakan apa yang baru saja dialami oleh Mawar.
Kalau pada kaum pria, ketika mendengar ia menghindarkan sikap yang tunduk atau sikap yang merendahkan dirinya sendiri. Gaya yang berterus terang dari seseorang yang mendengarkan adalah “saya sependapat denganmu”. Kalau di kalangan wanita menyela pembicaraan adalah biasa karena dimaksudkan sebagai bentuk dukungan, namun di kalangan pria ini merupakan suatu pantangan yang dianggap merendahkan dirinya. Kejadian ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, atau termasuk dalam acara talk show di media tv. Sebagai contoh, misalnya Yusril Iza Mahendra yang kesal  ketika pembicaraannya tiba-tiba dipotong pembawa acara dalam suatu acara talk show di suatu stasiun tv. “Tunggu dulu, dong, bagaimana saya bisa menjelaskan dengan baik kalau pembicaraan saya dipotong-potong terus ..!” kata Yusril dengan nada kesal menolak interupsi pembawa acara.

4. Mengajukan pertanyaan
Wanita mengajukan pertanyaan guna terjalinnya hubungan dengan orang lain. Wanita sering mengajukan pertanyaan di akhir kalimat pendapatnya. Seperti, “Tadi itu adalah film yang bagus, menurutmu gimana ?” Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk membuka percakapan dengan cara mengajak orang lain untuk berpartisipasi. Kalangan pria melihat ini sebagai bentuk pernyataan yang tidak konsisten dari kalangan wanita. Pria tidak akan mengajukan pertanyaan yang bisa merendahkan dirinya sendiri. Bagi pria pendapat umum penting baginya dan karenanya pria tidak mau kelihatan rendah di mata orang lain dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bodoh. Sebagai contoh, kepala kantor saya pernah bertanya kepada saya tentang bagaimana menyikapi staf saya bernama Dodo (bukan nama sebenarnya) yang sering absen. Pertanyaannya tegas dan tidak plin-plan, sbb. “Mengenai Si Dodo, menurutmu bagaimana, Mas Par, kita pertahankan di kantor ini atau kita kembalikan ke biro kepegawaian ?” Sementara kalau wanita bertanya, “Pacar Edwin cakep,ya, Pak ?” kata salah seorang mahasiswi kepada saya ketika melihat Edwin berjalan dengan pacarnya menuju halaman kampus.

5.Konflik
Bagi pria hidup adalah ibarat sebuah kontes dan karenanya pria merasa lebih nyaman dengan konflik. Sebaliknya dengan wanita, kaum wanita ini cenderung menghindari konflik. Contoh : Dalam suatu diskusi kaum pria cenderung mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada pemunculan perdebatan. Hal yang demikian kerap terlihat, misalnya ketika rapat orang tua murid dengan pihak sekolah dan Komite Sekolah dalam rangka menetapkan jumlah uang pembangunan siswa yang baru masuk. Antara bapak siswa yang satu dengan yang lainnya cenderung saling menonjolkan dirinya ketika diberi kesempatan untuk berbicara di depan oleh panitia.
Di antara bapak siswa itu ada yang berkata, misalnya Pak Badu, “Menurut saya, sebelum panitia menentukan jumlah uang sumbangan, semestinya orang tua murid sudah diberikan tentang program pembangunan kelas-kelas yang akan dibangun dalam tahun ajaran ini. Dengan demikian, rationya akan dapat diketahui dengan pasti. Bukan seperti sekarang ini, jumlah sumbangan yang akan kami bayar malah jauh lebih banyak dari pada tahun lalu. Padahal, logikanya, kan, semakin ke sini semakin murah karena semakin sedikit jumlah kelas yang mau dibangun !!”
Kalau pria lebih menyukai konflik maka prempuan cenderung menghindarinya. Berdasarkan pengalaman saya mengikuti rapat tersebut, para ibu umumnya lebih memilih berdiam diri, sebagai bentuk lain untuk menghindari konflik dalam rapat. Sementara ibu lain yang berani tampil ke depan pertanyaannya cenderung menutup bagi munculnya konflik dalam rapat itu. Komentar ini antara lain dikemukakan Ibu Kiki, “ … Yah, kami memang maklum kalau pendidikan itu memang perlu dana. Tapi, kami juga mohon pengertian dari Bapak-bapak, bahwa kami ini kemampuannya tidak sama, jadi tolonglah difikirkan, Pak. Itu saja … sekian dan terima kasih.”.

PENUTUP
Seperti telah disebutkan sebelumnya pada bagian awal tulisan, bahwa berdasarkan kategori menurut kelengkapan komponen yang dikandungnya, suatu teori ada yang disebut dengan taxonomi, yaitu teori yang hanya memenuhi satu komponen saja, yakni komponen konsep. Teori yang demikian, meski tidak dapat memainkan peran maksimal dalam proses penemuan kebenaran ilmiah, namun dengan konsep yang dimilikinya, ia masih dapat memainkan peran pada tahap-tahap awal proses penemuan kebenaran ilmiah. Tahapan awal dimaksud yaitu konseptualisasi fenomena. Dalam kaitannya dengan Teori taxonomi Deborah Tannen, maka dengan mengacu pada uraian sebelumnya pada bagian pembahasan, itu membuktikan bahwa fenomena menyangkut gaya bicara antara wanita dan pria, semuanya itu sebenarnya telah dikonseptualisasikan oleh Tannen.ke dalam teori yang ia sebut Genderlect Styles Theory. Dengan demikian, kalangan akademis, terutama para mahasiswa, sebenarnya telah dibantu oleh Tannen dalam mencoba mengkonseptualisir fenomena pembicaraan yang dilakukan oleh pria dan wanita.
Dengan konsep-konsep teoritiknya tadi, kita, baik dari kaum pria maupun wanita, jadi terbantu untuk bisa bersikap bijak ketika kita terjebak dalam suatu iklim komunikasi yang pesertanya berbaur antara peserta komunikasi yang berasal dari kaum wanita maupun pria. Kaum pria pun hendaknya menjadi maklum, dan tidak perlu marah, ketika sedang serius-serius berbicara topik politik, tiba-tiba kaum wanita yang berada di sekitar melakukan peluk cium sembari mengeluarkan percakapan spesifik bernada rada tinggi. “Aduhhh…. , apa khabarrrr…….., kapan dateng.., eh, mana si kecil, Nok ? Idiih, makin cakep aja, deh …! Yuk, yuk , mari gue kenalin, ama, pacar gue !!!”
Bagi para mahasiswa, konsep-konsep teoritik Tannen tadi tentu bermanfaat bagi upaya awalnya dalam memahami fenomena komunikasi yang dilakukan pria dan wanita. Namun, kelemahan teori Tannen yang masih bersifat Taxonomi itu, tentu dapat menjadi pancingan untuk menutupi kekurangannya. Dalam kaitan ini, maka upaya yang kiranya perlu dilakukan pada tahapan awal pengembangan, yakni dengan cara berupaya menemukan penjelasan-penjelasan (eksplanasi) atas konsep-konsep teoritik yang telah diajukan Tannen dalam teorinya. Dalam teori Tannen, kita tidak menemukan jawaban tentang mengapa pria dan wanita memiliki gaya atau dialek bicara yang seperti itu, misalnya, pembicaraan pria cenderung open to conflict dan wanita cenderung close to conflict.

DAFTAR PUSTAKA
Deetz, Stanley, dalam, Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.
Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York,
Mc Graw Hill.
Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition,
Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.
Neuman, W. Lawrence, 2000, “The Ethics And Politic of Social Research”, in chapter 5
on Social Research Methods-Qualitative and Quantitative Approaches, Allyn
and Bacon, Boston, USA.
Tannen, Deborah, “Genderlect Styles”, 2003, dalam, A First Look at Communication
Theory, Fifth Edition, by EM Griffin, In Chapter 33, p. 463-473, New York, McGraw Hill, 2003.



[1] Neuman, W. Lawrence, 2000, “The Ethics And Politic of Social Research”, in chapter 5 on Social Research Methods-Qualitative
and Quantitative Approaches, Allyn and Bacon, Boston, USA.
[2]  Deetz, Stanley, dalam, Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson
Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA
[3] Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont,
USA.
[4] Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, 1984, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES.
[5] Imran, Hasyim Ali, “Beberapa Aspek Penting Dalam Hubungan Antara Teori dan Metode Riset Komunikasi”, dalam Jurnal Studi Komunikasi dan Media, Vol. 10(1), Jakarta, Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi Wilayah II Jakarta.
[6] Lihat, Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar