Senin, 03 Mei 2010

FILSAFAT DAN LEPASNYA ILMU DARI FILSAFAT

FILSAFAT DAN LEPASNYA ILMU DARI FILSAFAT

Hasyim Ali Imran 

PENDAHULUAN

Manusia adalah salah satu wujud dari tiga makhluk hidup yang disebut sebagai anima intelektualita yang cirinya sangat berbeda dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya, yaitu anima sensitiva dan anima vegetatif.
Perbedaan khas itu ditandai oleh manusia yang memiliki kodrat selain mampunyai seperangkat peralatan jasmaniah seperti panca indera dan anggota tubuh, juga dilengkapi oleh Tuhan dengan seperangkat peralatan rokhaniah, di mana selain memiliki naluri yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan binatang, juga memiliki peralatan rokhaniah yang tidak dimiliki oleh binatang atau tumbuhan, yakni apa yang disebut dengan akal dan budi.
Akal dan budi ini berfungsi sebagai alat bagi manusia untuk dapat melakukan proses trias dinamika dalam dunia kecilnya (micro cosmos) atas segala in put yang dihasilkan oleh hasil kerja peralatan jasmaniah berupa sentuhan dengan dunia luar atau macro kosmos. Karenanya, maka dengan akal manusia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang baik dan mana yang buruk terhadap obyek (macro cosmos).
Dengan kodrat di atas, manuasia dalam hidupnya senantiasa diiringi dengan motif-motif. Salah satu motif itu yakni motivasi untuk selalu ingin tahu tentang obyek, atau untuk mengerti tentang obyek, yang dikatakan Aristoteles sebagai sudah menjadi kodrat manusia. Dari sini, maka lahirlah berbagai jenis pengetahuan manusia. Pengetahuan tersebut terdiri dari: pengetahuan biasa (common sense); pengetahuan ilmu (science); pengetahuan filsafat dan pengetahuan religi.
Dengan ragam jenis pengetahuan manusia di atas kiranya memperlihatkan bahwa keragaman jenis pengetahuan itu timbul karana dalam memperolehnya manusia bisa melakukannya dengan lebih dari satu cara. Cara yang dilakukan melalui pendekatan biasa-biasa saja terhadap sesuatu obyek, misalnya berdasarkan kebiasaan sehari-hari, maka manusia akan memperoleh pengetahuan berupa pengetahuan biasa mengenai obyek tadi. Cara yang dilakukan melalui pendekatan keagamaan mengenai sesuatu obyek, maka manusia akan memperoleh pengetahuan berupa pengetahuan keagamaan mengenai obyek yang dipelajarinya.
Begitu pula pada pengetahuan filsafat dan pengetahuan ilmu (ilmu pengetahuan), keduanya menjadi jenis pengetahuan karena manusia yang mempelajari sesuatu obyek melakukannya dengan menggunakan pendekatan filsafat dan pendekatan ilmu.
Khusus terkait dengan dua jenis pengetahuan yang disebut terakhir tadi, berdasarkan sejarahnya diketahui bahwa dua jenis pengetahuan itu pada mulanya sesungguhnya merupakan satu pengetahuan yang disebut dengan filsafat. Namun, seiring dengan proses berfikir kritis manusia itu terus tumbuh dan berkembang dalam menyikapi segala yang ada dan yang mungkin ada, maka menyebabkannya menjadi berseberangan (kontradiksi) dengan kebenaran-kebenaran dalam filsafat sebagai satu-satunya ilmu. Perseberangan mana, sebagaimana diketahui, itu akhirnya berujung pada lahirnya ilmu dari ilmu, lahirnya ilmu baru bernama ilmu pengetahuan (sciense) dari ilmu induk (materscientarum) yang bernama filsafat.
Bagaimanakah gambaran mengenai perseberangan (kontradiksi) yang akhirnya mengerucut pada terlepasnya ilmu dari filsafat itu ? Jawaban dari pertanyaan tersebut akan coba dijawab dalam makalah sederhana ini. Dalam upaya dimaksud, penulis menyadari bahwa pengkajian terhadap filsafat Junani kuno itu memang bukan berawal di Eropa (terkecuali filsafat logika) mrelainkan di Timur, yakni oleh Bangsa Arab yang banyak menterjemahkannya dari bahasa Siria ke bahasa Arab pada abad VIII dan IX. Namun, seiring pengkajian filsafat Junani kuno itu relatif jauh lebih intensif terjadi di Eropa ketimbang di Timur, maka fenomena pengkajian filsafat yang terjadi di Eropa ditetapkan sebagai patokan dasar dalam upaya menjawab pertanyaan dalam makalah ini. Jawabannya sendiri diharapkan bisa berguna sebagai pelengkap isi wawasan keilmuan dalam kaitan filsafat.
PEMBAHASAN

Filsafat dan Pengetahuan Filsafat
Kata filsafat adalah kata jadian yang berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Yunani. Dua kata itu terdiri dari Philien (cinta) dan sophia (kebijaksanaan), gabungan mana kemudian diartikan sebagai cinta kebijaksanaan.
Penggunaan kata filsafat yang berarti cinta akan kebijaksanaan itu sendiri, menurut sejarahnya digunakan pertama kali oleh Socrates dan Pythagoras, hal mana ditandai oleh pernyataan keduanya tentang diri mereka yang philiosophus, yakni orang yang mencintai kebijaksaan. Bukan orang yang bijaksana, sebagaimana diakui oleh kaum “sophist” atau kalangan terpelajar saat itu. Jadi, pemunculan konsep filsafat oleh Socrates dan Pythagoras itu, kiranya merupakan sikap protes keduanya terhadap kaum “sophist”.
Sekarang, apakah sasaran yang dikejar dengan mencintai kebijaksanaan sebagimana dimaksudkan Socrates dan Pythagoras itu? Sasaran yang dikejar dengan cara mencintai kebijaksanaan itu tak lain adalah know (tahu/mengerti) dan knowledge (pengetahuan). Pengetahuan yang mana, yakni suatu pengetahuan yang proses perolehannya dilatarbelakangi oleh keingintahuan atau keinginan untuk mengerti dominan. Keinginan yang demikian, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, oleh Socrates disebutkan sudah menjadi kodrat manusia.
Sebagai kodrat, dengan diawali suatu keheranan maka keinginan untuk mengerti dominan tadi sejak masa kanak-kanak sudah tampak. Sang anak manusia melihat, mendengar, meraba-raba dan dengan akalnya ia mengerjakan fakta-fakta, menggolong-golongkan, menghubung-hubungkan dan menarik kesimpulan. Namun ia tidak puas dengan hanya menetapkan fakta itu. Karenanya fikirannya menyusun, mengatur, menghubungkan, mempersatukan bermacam-macam pengalaman dan mencoba mencari keterangannya. Dengan kata lain manusia tidak hanya mengerti bahwa “ini adalah demikian”, tetapi ia juga ingin mengerti “mengapa ini memang demikian adanya?”.
Lantas bagaimanakah caranya agar manusia dalam rangka mengejar pengetahuan itu tadi, yakni pengetahuan yang antara lain berupa “mengapa ini memang demikian adanya?”, bisa dilakukannya dengan cara mencintai kebijaksanaan ? Caranya, yaitu dengan menggunakan ciri-ciri berfikir filsafat demi tercapainya kebijaksanaan saat berfikir tentang obyek. Ciri-ciri itu terdiri dari: radikal, sistematis dan universal (Salam, 1995). Suriasumantri (1984:20-21) menyebut ciri-ciri ini dengan istilah menyeluruh, mendasar dan spekulatif.
Berfikir radikal berarti berfikir sampai keakar-akarnya, tidak tanggung-tanggung sampai kepada konsekuensinya yang terakhir. Berfikir sistematis yaitu berfikir logis yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran, dengan urutan yang bertanggung jawab dan saling hubungan yang teratur. Sementara berfikir universal yaitu berfikir secara non fragmentaris, tidak berfikir khusus, tidak terbatas pada bagian-bagian tertentu dari ada umum namun mencakup secara keseluruhan atas sesuatu obyek yang ditelaah. Dengan berfikir universal ini manusia diharapkan bisa menyerap secara keseluruhan apa yang ada pada alam semesta ini.
Kini, dengan bertolak dari pengertian filsafat di atas untuk sementara dapatlah diambil pengertian tentang apa itu pengetahuan filsafat sebagai salah satu dari beberapa jenis pengetahuan yang ada, yakni suatu wujud pengetahuan yang proses pemerolehannya dilakukan dengan cara berfikir radikal, sistematik dan universal.
Apakah yang dijadikan obyek dalam upaya menemukan pengetahuan filsafat itu ? Yang dijadikan obyeknya yaitu tentang ada, segala yang ada dan yang mungkin ada (lihat, Poedjawijatna, 1983). Dengan pengertian mengenai obyek filsafat tersebut, kini dapatlah disusun kembali tentang apa itu pengetahuan filsafat. Pengetahuan filsafat adalah pengetahuan tentang keterangan mendalam dari segala yang ada dan yang mungkin ada dengan mana proses pemerolehannya dilakukan dengan cara berfikir radikal, sismatik dan universal.
Pada mulanya wujud ada yang hendak dijadikan pengetahuan filsafat itu, yakni saat di mana pengetahuan yang disebut ilmu masih berada dalam kandungan ibunya yang bernama filsafat (materscientiarum), yaitu berupa segala yang ada dalam hidup dan kehidupan manusia. Ragam rupa dari segala yang ada ini, diidentifikasi antara lain menyangkut masalah yang terdiri dari: individu (manusia Pribadi); sosial (manusia dengan sesama); budaya; tehnik; ekonomi; kedokteran; hukum; dunia dan juga Tuhan (salam, 1995: 136).
Guna memudahkan filsafat dalam upaya menemukan pengetahuannya mengenai ragam rupa dari segala yang ada itu tadi, maka dilakukanlah spesifikasi kajian dengan cara membuat cabang-cabang kajian filsafat.
Plato membedakan filsafat terdiri dari tiga bagian, yakni: (1) Dialektika (tentang idea-idea atau pengertian-pengertian umum), (2) Fisika (Tentang dunia Materiil), dan (3) Etika (Tentang kebaikan).
Aristoteles yang murid Plato kemudian membaginya lebih rinci menjadi: (1) Logika (Tentang bentuk susunan pikiran); (2) Filosofia teoritika: a. Fisika (tentang dunia Materiil) (ilmu alam dan sebagainya), b. Matematika (tentang barang menurut kuantitasnya), c. Metafisika (tentang “ada”), (3) Filosofia Praktika (tentang hidup kesusilaan-berbuat):a. Etika (tentang kesusilaan dalam hidup perorangan), b. Ekonomia (tentang kesusilaan dalam hidup kekeluargaan), c. Politika (tentang kesusilaan dalam hidup kenegaraan, (4) Filosofia Poetika/aktiva-pencipta (filsafat tentang kesenian) (Salam,1995).

Upaya Pencarian dan Penemuan Pengetahuan Filsafat Yang Melahirkan Pengetahuan Ilmu (Kebenaran Pengetahuan Ilmu versus Kebenaran Pengetahuan Filsafat)
Terkait khusus dengan obyek kajian filsafat Aristoteles tadi, maka untuk kasus Eropa, secara terbatas kajian itu (logika) masuk ke daratan Eropa melalui terjemahan Boethius (524-480 BC). Boethius berjasa besar dengan menerjemahkan beberapa karya Aristoteles tentang logika ke dalam bahasa Latin. (Bertens, 2001:25).
Pengetahuan terbatas mengenai obyek kajian filsafat Aristoles itu berlangsung hingga kira-kira pertengahan abad ke 12. Lalu, sekitar pertengahan abad ini pula situasi mulai berubah. Ajaran-ajaran Aristoteles yang sesungguhnya, mulai masuk ke dunia Barat. Prosesnya melalui dua cara, dengan jalan tak langsung dan dengan jalan langsung. (Bertens: 2001 : 30).
Secara tak langsung dimaksudkan, bahwa ajaran Aristoteles itu diterjemahkan pada sekitar abad ke-12 dari bahasa Arab ke bahasa Latin. Penerjemahan ini sendiri dilakukan karena bangsa Arab telah lebih dulu melakukan penerjemahannya pada abad ke-8 dan ke-9 dari bahasa Siria ke bahasa Arab (Lihat, Bertens, 2001 : 22). Sementara dengan cara langsung dimaksudkan, bahwa karya-karya Aristoteles itu secara langsung diterjemahkan dari bahasa Yunani ke bahasa Latin yang terjadi sepanjang abad ke-13. Hal mana dimungkinkan karena karya-karya Aristoteles itu ada yang masuk Eropa melalui Sisilia (Lihat, Bertens, 2001 : 32).
Perubahan yang terjadi setelah masuknya ajaran Aristoteles secara langsung, ditandai oleh mulai terjadinya perubahan dalam paradigma berfilsafat di Eropa. Dari paradigma yang semula bertumpu pada pandangan dunia kristiani, menjadi diwarnai oleh paradigma baru yang bersumber dari Aristoteles yang nota bene bukan berasal dari lingkungan kristen. Di antara pemikir yang menggunakan paradigma baru waktu itu, yakni dalam abad ke-13, adalah Siger dari Brabant (1240-1281), Albertus Agung (1205-1280), dan Thomas Aquinas (1225-1274).
Dengan perubahan paradigma tadi, di satu sisi memperlihatkan fenomena yang kurang mendapat dukungan dari kalangan agamawan. Namun di sisi lain, perubahan paradigma itu (baca: paradigma Aristoteles) justru semakin mendapat banyak dukungan dari kalangan pemikir yang kala itu disebut sebagai kalangan Aristotelian.
Beberapa bukti yang memperlihatkan fenomena tidak mendukung kehadiran paradigma filsafat Aristoteles, tersebutlah antara lain: adanya pelarangan beberapa kali dari pihak Gereja untuk membahas karya-karya filsafat Aristoteles dalam perkuliahan sastra di Universitas Paris. Menurut Bertens (2001: 34) pelarangan ini bertolak dari adanya dua pendapat utama dalam ajaran Aristoteles itu yang tidak bisa dicocokkan dengan ajaran Gereja yang resmi, yakni pendapat yang menyatakan bahwa 1) dunia berada dari kekal dan 2) hanya ada satu jiwa bagi seluruh bangsa manusia.
Bentuk resistensi lainnya dari pihak Gereja adalah berupa penghukuman sejumlah pendapat yang dianut oleh fakultas sastra di Universitas Paris (terutama Sigers dari Brabant) oleh uskup Paris Etienne Tempier pada tahun 1277. Dalam waktu serupa juga terjadi di Inggris, uskup dari Canterbury Robertus Kilwarby menghukum beberapa pendapat Thomas Aquinas yang Aristorelian.
Sementara itu, bukti-bukti yang mendukung tentang kehadiran paradigma baru waktu itu, diantaranya adalah bahwa pelarangan pihak Gereja yang justru semakin memicu perkembangan pengaruh ajaran Aristoteles dari waktu ke waktu. Namun dalam perkembangan tersebut, secara substantif tampak mengarah pada upaya bagaimana memperdamaikan alam fikiran filsafat Aristoteles, terutama menyangkut dua hal yang menjadi dasar pelarangan Gereja tadi, dengan alam pikiran ajaran kristiani.
Dalam perkembangan sebagaimana dimaksudkan di atas, tercatatlah diantaranya seperti yang dilakukan oleh Thomas Aquinas, filsuf yang banyak diikuti para pemikir kristiani yang kemudian disebut mazhab Thomistis, yakni melalui pengakuannya tentang jiwa yang sesudah kematian hidup terus sebagai bentuk, tetap terarah kepada badan itu, sebagai relevan dengan ajaran kristiani mengenai kebangkitan badan. Namun sintesa (tesa) Thomas Aquinas tentang manusia ini kemudian dilawan dengan antitesa yang dimunculkan Johannes Duns Scotis (1266-1308) yang Bonaventura oriented, filsuf mana kemudian memunculkan mazhab Scotistis.
Meskipun kedua filsuf di atas melahirkan dua sintesa berbeda tentang hakikat manusia, namun di antara keduanya dipersamakan oleh adanya pengakuan tentang kemampuan rasio insani dalam membuktikan adanya Tuhan. Karenanya, melalui sintesa kedua filsuf dimaksud, maka pendapat utama dalam ajaran Aristoteles berupa dunia berada dari kekal dan hanya ada satu jiwa bagi seluruh bangsa manusia, yang sebelumnya tidak bisa dicocokkan dengan ajaran gereja yang resmi itu, menjadi bisa dicocokkan oleh para teolog kristiani.
Dalam abad 14 kecenderungan akan sintesa tidak diteruskan, sebaliknya yang terjadi adalah suatu kecenderungan akan perselisihan dan perpecahan. Dalam abad ini terdapat banyak diskusi antara mazhab-mazhab yang mengikuti ajaran salah seorang “magister” dari abad 13. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa zaman ini memperlihatkan suatu sikap kritis yang lebih besar.
Sikap kritis itu menampakkan diri terlebih dengan penyimpangan yang semakin jelas dari pendapat-pendapat Aristoteles dalam bidang ilmu pengetahuan alam. Inilah suatu pertanda yang menunjukkan bahwa abad 14 menuju ke zaman modern (Bertens, 2001 : 40), yakni zaman yang kelak mengakui eksistensi ilmu pengetahuan sebagai suatu pengetahuan yang berbeda dengan pengetahuan filsafat.
Pertanda sebagaimana dimaksud itu, pada tahap awal paling tidak dapat disimbolkan melalui kemunculan aliran nominalisme-nya Gulielmus dari Ockam (1285-1349) yang kemudian dicap sebagai “via moderna” yang menentang “via antiqua” yang diidentikkan dengan pemikir Skolastik umumnya. Perbedaan prinsipil di antara kedua via tersebut terutama menyangkut teologi, soal hubungan manusia dengan keberadaan Tuhan.
Menurut Gulielmus, rasio manusia saja tidak mampu untuk membuktikan adanya Tuhan dan siapa Tuhan itu, melainkan perlu adanya iman. Ini tentu berbeda dengan pemahaman Skolastik, seperti terungkap dari pendapat aliran Thomistik dan Scotis sebelumnya, bahwa rasio manusia itu mampu adanya.
Satu hal penting dari kehadiran nominalisme (berasal dari kata dasar nomen = nama-tanda-simbol) bagi apa yang kelak disebut sebagai ilmu pengetahuan, yakni upayanya yang tegas saat itu untuk membedakan pengetahuan ada umum (Soal Tuhan sebagai sebab yang tidak disebabkan) dari pengetahuan tentang ada khusus (soal ragawi atau empiris) (lihat, Poedjawijatna, 1983).
Pengetahuan tentang ada khusus ini, dapat diperoleh melalui pengenalan inderawi terhadap obyek empiris dengan dibantu sebelumnya oleh proses pengenalan intelektual abstrak yang memiliki konsep-konsep. Konsep tersebut berupa tanda atau simbol-simbol atas suatu obyek fisik. Dengan demikian nominalisme mengarahkan kepada studi-studi empirisme., yang nota bene kelak berujung pada keluarnya studi tersebut dari obyek kajian filsafat.
Kehadiran nominalisme banyak mendapat sambutan positip dari kalangan pemikir di seluruh Eropah saat itu. Sukses nominalisme yang “via moderna” tersebut, menurut dugaan Bertens karena pada saat itu banyak orang yang sudah merasa jemu dengan perselisihan-perselisihan yang tidak berguna dalam kalangan Skolastik, yang perdebatannya berputar-putar sekitar universale.
Sambutan positip itu tadi tampil dalam bentuk-bentuk pencarian pengetahuan bersumber dari alam yang bersifat jasmaniah. Pencarian tersebut dilakukan melalui pendekatan-pendekatan eksperimen. Jadi, sudah selangkah lebih maju dibanding masa sebelumnya, yakni pada tingkat deskriptif dengan cara mengolong-golongkan obyek melalui observasi.
Beberapa perintis yang membuka jalan baru bagi perkembangan pengetahuan modern dengan pendekaran eksperimen yang kemudian disebut pendekatan ilmiah diantaranya adalah Nicolaus Copernicus (1473-1543) melalui heliosentrisnya yang berlawanan dengan geosentris yang umumnya telah diterima dengan baik di Eropa selama abad pertengahan.
Galileo Galilei (1564-1643) melalui teleskop buatannya pada 1609, banyak menemukan fakta yang mendukung pandangan heliosentris Nicolas Copernicus yang sebelumnya banyak ditentang karena belum memuaskan kaum Aristotelian. Di antara fakta itu misalnya soal temuan mengenai permukaan bulan yang ternyata sama dengan permukaan bumi, temuan mana menurut teori Aristotelian sebelumnya dikatakan berbeda, dimana benda-benda angkasa dianggap sempurna dan langgeng dan bumi beserta benda-bendanya selalu berubah dan bisa rusak.
Fakta lain yang ditemukan Galileo Galilei yang mendukung hipotesis-hipotesis Nicolas Copernicus adalah, mengenai besarnya Mars dan Venus yang berubah-ubah dalam cara yang pernah diramalkan Copernicus; ditemukannya bulan lain selain bulan bumi, yakni bulan-bulan planet Jupiter. Namun, sejauh Galileo dengan keberhasilannya itu, ia tetap tidak mampu menjawab pertanyaan yang juga tak mampu dijawab Copernicus sebelumnya, yakni mengenai pertanyaan tentang benda-benda lepas di permukaan bumi yang tidak terlempar ke luar dari bumi yang berputar ini.
Rekan sezaman Galileo, Johannes Kepler (1571-1630), dengan penemuannya tentang masing-masing planet ternyata memiliki orbit ellips yang berpusat pada matahari, bukan berbentuk lingkaran yang berpusat pada bumi sebagaimana dipahami sebelumnya, kiranya menjadi jalan bagi terjawabnya pertanyaan tadi dikemudian hari.
Adalah Isaac Newton (1642-1727) yang antara lain belajar dari kelemahan karya Galileo dan Kepler, melalui Principia yang dipublikasikan pada 1687, mampu menjawab pertanyaan tadi itu dengan hukum kelambanan lurus dan gravitasinya. (baca, Chalmers 1983 : 78).
Temuan-temuan yang diperoleh melalui serangkaian eksperimen tadi, pada zamannya dianggap spektakuler, dan ini menyebabkan lahirnya pandangan baru waktu itu, bahwa pengalaman adalah sebagai sumber pengetahuan. Filsuf Francis Bacon (1561-1623) dan banyak rekan-rekan sezamannya, karenanya mengikhtiarkan sikap ilmiah dan mengemukakan ketika itu, bahwa apabila kita hendak memahami alam, seharusnya kita berkonsultasi dengan alam dan bukan dengan tulisan-tulisan Aristoteles (baca: Chalmers, 1983 : 1).
Filsuf Francis Bacon, bangsawan Inggris yang dinilai sebagai peletak dasar filosofis bagi perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan (Bertens, 2001 : 44) dan sebagai kekuatan progresif abad ke-17, akhirnya telah menyadarkan para filsuf alam di zaman pertengahan yang berpegang pada karya-karya kuno terutama Aristoteles dan Kitab Injil sebagai sumber-sumber pengetahuan yang salah (Chalmers, 1983 : 1). Dengan kesadaran itu pula, pandangan dunia Aristotelian yang menguasai seluruh abad pertengahan, akhirnya ditinggalkan secara definitif (Bertens, 2002 : 44).
Sejak saat itu, maka yang terjadi adalah perkembangan demi perkembangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan, dan mengalami perkembangan pesatnya dalam abad 18, abad yang disebut sebagai masa Aufklarung (pencerahan). Namun, di antara masa-masa tersebut, kiranya ada sejumlah nama filsuf yang sulit untuk tidak dikemukakan di sini dalam hubungannya dengan pembahasan ilmu yang secara normatif cirinya belum terbantahkan dan masih diterapkan ilmuwan hingga sekarang. Ciri ilmu dimaksud yaitu salah satu dari beberapa ciri proses berfikir ilmiah, yakni proses berfikir deduktif dan induktif.
Kembali ke soal filsuf tadi, maka tersebutlah Rene Descartes (1596-1650), John Locke (1632-1704) dan Immanuel Kant (1724-1804). Rene Descartes dengan rasionalismenya mementingkan unsur-unsur apriori dalam pengenalan. Berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman. Sementara John Locke dengan empirismenya lebih menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman. Menurut Kant, baik rasionalisme maupun empirisme, dua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan paduan atau sintesa antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori. (Bertens, 2001 : 60).
Kritik Kant di atas kiranya merupakan upaya bagaimana mempertemukan dua kutub pemikiran yang kontradiktif tentang bagaimana seharusnya manusia dalam proses pengenalan. Dengan pendapat Kant yang menyebutkan bahwa proses pengenalan manusia itu sebagai suatu sintesa, maka teranglah bagi kita kini, bahwa proses berfikir deduktif dan induktif yang hingga kini tetap masih menjadi salah satu ciri pokok dalam proses berfikir ilmiah dalam menemukan pengetahuan ilmu, terutama dalam pendekatan ilmu menurut positivistik, asalnya bersumber dari jasa Kant.
Dalam kaitan pendapat Kant tadi, maka dalam pendekatan positivitik sintesa itu berupa pertemuan antara data empirik-induktif (aposteriori-nya empirisme) yang terkumpul berdasarkan instumen yang dikembangkan dari definisi operasional variabel dalam hipotesis dengan hipotesis itu sendiri yang dirumuskan secara deduktif melalui prinsip kebenaran koherensif (apriori-nya rasionalisme).
Bentuk pertemuan yang disebut paduan atau sintesa itu sendiri bergantung pada bagaimana kualitas korespondensi data empirik dengan hipotesis. Jika data empirik berkorespondensi positip dengan hipotesis, maka berarti hipotesis dapat diterima dan karenanya terbentuklah sintesa berupa generalisasi empirik yang mendukung teori-teori yang diacu dalam proses deduktif. Sebaliknya, jika data empirik berkorespondensi negatif dengan hipotesis, maka berarti hipotesis ditolak dan karenanya terbentuklah sintesa berupa generalisasi empirik yang menolak teori-teori yang diacu dalam proses deduktif.

Obyek Filsafat Pasca Ditinggalkan Ilmu Pengetahuan.
Uraian sebelumnya menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan yang kita kenal sekarang ini, sebelumnya tampak begitu bersusah payah untuk bisa berhasil ke luar dari kooptasi dominasi induknya yang bernama filsafat itu, guna menjadi ilmu pengetahuan khusus. Terhadap keberhasilan ini, lantas bagaimanakah filsafat menyikapi dirinya sebagai matersicientiarum pasca anaknya yang bernama ilmu itu berhasil meninggalkan dirinya?
Berdasarkan indikasinya, secara umum tampak ada dua sikap ilmu filsafat dalam merespon perubahan penting tadi. Pertama menyangkut eksistensi sifat obyek material ilmu filsafat, yakni tetap konsisten pada prinsip non fragmentaris. Dalam sikapnya yang demikian, ilmu filsafat tetap bekerja pada misinya semula, yakni mengusahakan pemecahan segala masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu-ilmu pengetahuan khusus (Lihat, Salam, 1995: 137). Kedua, para filsuf mencoba melakukan reorientasi terhadap obyek-obyek kajiannya guna tetap relevan dengan situasi perubahan yang terjadi, yakni ke luarnya ilmu pengetahuan sebagai ilmu pengetahuan khusus dari ilmu filsafat.
Dalam konteks kedua, beberapa filsuf ternama yang mencoba mengemukakan reorentasinya tadi, antara lain adalah Alcuinus, Langeveld, Castell, dan De Vos. Salam (1995:139) yang mengacu pada pendapat-pendapat filsuf ternama barusan, mengemukakan pendapatnya tentang bagaimana obyek kajian ilmu filsafat pasca ditinggalkan ilmu-ilmu khusus tadi. Pembagian obyek itu, sbb:
A. Filsafat Teoritis: Filsafat Real
1. Metafisika:
a. metafisika fundamental: Kritika
b. metafisika sistematis: Ontologi Theodycea
2. Filsafat Tentang:
a. alam : Kosmologi
b. manusia: Antropologia
B. Filsafat Rasional = Logika:
1. Logika Umum/formal:Logika
2. Logika khusus/material: Filsafat tentang ilmu-ilmu pengetahuan
C. Filsafat Praktis (Filsafat tentang kebudayaan)
1. Filsafat praktis (tentang keseluruhan kegiatan manusia):
a. Filsafat Etika:
1. etika umum (dengan filsafat hukum): Etika
2. etika khusus: - etika individual; - etika sosial
b. Filsafat Tentang Agama
2. Fisafat Kebudayaan (tentang perbuatan-perbuatan lahiriah manusia):
a. Bagian umum: Filsafat Kebudayaan
b. Bagian khusus: Filsafat tentang: bahasa; kesenian; ekonomi;
sejarah; hukum;alam; pendidikan; manusia.

Pembagian di atas memperlihatkan tiga bagian besar obyek kajian filsafat pasca terpisahnya ilmu pengetahuan dari filsafat. Khusus terkait dengan eksistensi ilmu pengetahuan, terlihat bahwa keberadaannya menjadi begitu berbeda jika dibandingkan dengan obyek filsafat sebagaimana dibagi oleh Aristoteles sebelumnya.
Dalam pembagian Aristoteles, filsafat ilmu pengetahuan itu menjadi salah satu bagian dari filsafat teoritika. Sementara pada pasca keluarnya ilmu dari filsafat, maka filsafat ilmu pengetahuan (logika khusus/material) merupakan salah satu sub dari dua sub bagian yang ada dalam salah satu dari tiga bagian obyek kajian filsafat yang disebut dengan Filsafat Rasional/Logika. Jadi, sudah terpisah dari filsafat teoritika.
Posisi filsafat ilmu dalam pembagian bidang obyek kajian filsafat itu, kiranya memperlihatkan kalau filsafat ilmu itu merupakan salah satu bagian kecil saja dari begitu banyaknya obyek-obyek yang harus dikaji ilmu filsafat dalam upayanya menemukakan kebenaran obyeknya. Dari sini jelas pula bahwa dalam berupaya membangun kuantitas dan kualitas literatur filsafat ilmu pengetahuan, termasuk filsafat cabang-cabang ilmu pengetahuan, baik ilmu sosial dan ilmu alam, sebenarnya itu sudah menjadi tugas akademisi ilmu filsafat untuk mewujudkannya. Bukan dari kalangan ilmuwan khusus, seperti sosiolog, komunikolog, psikolog, dan lain-lain.

PENUTUP
Gambaran ideal itu seiring dengan apa yang dikatakan Poedjawijatna (1983:68), ”.....kami tidak mau menyatakan, bahwa ahli ilmu tidak boleh berfilsafat, melainkan hendaklah ilmu sadar, bahwa ia sudah ke luar dari bidangnya sendiri. Begitu pula janganlah filsafat turun ke bidang pengalaman sehingga terjadi seperti dalam jaman lampau, ada pendapat filsafat bahwa bintang itu harus terdiri dari bahan lain dari bahan di dunia pengamatan ini, .....”.
Fenomena yang muncul terkait dengan literatur tadi, mengindikasikan adanya kekurangasesuaian dengan gambaran ideal Poedjawijatna itu. Cukup banyak literatur filsafat ilmu dan terutama filsafat ilmu khusus (misal ilmu komunikasi, dan lain-lain), bukan ditulis oleh para sarjana filsafat, melainkan ditulis oleh para ilmuwan khusus. Untuk sekedar contoh, maka tersebutlah antara lain Jujun Suparjan Suriasumantri dengan Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer-nya, Onong Uchjana Effendi dengan Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasinya, A.M. Hoeta Soehoet yang melalui buku Teori Komunikasi I-nya mencoba mengemukakan pemikiran filsafatnya tentang ilmu komunikasi, dan termasuk tentunya Phil. Astrid Soesanto dengan Filsafat Ilmu Komunikasinya itu.
Apa yang dilakukan para ilmuwan khusus itu, meski kurang ideal, namun dalam realitanya mereka sukar dipersalahkan. Dapat dikatakan bahwa para ilmuwan itu sebenarnya berperilaku dalam konteks tanggung jawab moral akademis mereka saja dalam upayanya mengisi keminiman literatur filsafat ilmu-ilmu khusus yang seyogyanya diisi oleh para ilmuwan filsafat. Jadi, dengan demikian upaya yang dilakukan para ilmuwan khusus dalam mengisi kekurangan literatur tentang filsafat ilmu-ilmu khusus itu, karena begitu pentingnya ilmu pengetahuan diketahui secara filosofi oleh para akademisinya, maka upaya tadi seyogyanya dipandang sebagai sebagai partisipasi positif kalangan ilmuwan khusus saja dalam ranah filsafat dan bukan sebagai upaya campur tangan kalangan ilmuwan khusus terhadap bidang kajian ilmu filsafat.

REFERENSI
Bertens, K., 2001, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta, Kanisius.
Chalmers, A.F., Apa itu yang dinamakan ilmu? Terjemahan Redaksi Hasta Mitra,
Jakarta, Hasta Mitra.
Effendi, Onong Uchajana, 1993, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung,
Citra Aditya Bakti.
Peursen, C.A. Van, 1985, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat
Ilmu, terjemahan J. Drost, Jakarta, Gramedia, P.T.
Poedjawijatna, I.R., 1983, Tahu dan Pengetahuan Pengantar Ke Ilmu dan Filsafat,
Jakarta, Bina Aksara.
Salam, Burhanuddin Salam, 1995, Pengantar Filsafat, Jakarta Bina Aksara.
Suriasumantri, Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta,
Sinar Harapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar