Senin, 02 Agustus 2010

artikel tamu

ANALISIS PRAGMATIK TINDAK TUTUR KEPALA NEGARA DALAM LIPUTAN KASUS BANK CENTURY DI SK KOMPAS

Artini
Dosen STIKOM London School of Public Relations Jakarta, Sudirman Park, Jln. K.H. Mas Mansyur Kav. 35 Jakarta Pusat 10220, artini@lspr.edu
(Naskah diterima 10 Mei 2010, disetujui terbit 28 Juni 2010)


ABSTRACT
The purpose of this research is to examine the language awareness of journalist in mass media by using three elements of speech act theory (Austin, 1962 in Littlejohn, 2008)) namely locution act, illocution act and perlocution act to observe the effect of news reporting in print media. Method being used in this research was qualitative-descriptive along with pragmatic analysis approach which consisted of textual and contextual analysis. The research showed that speech act are not successful when their illocution force is not understood by the people. So, the journalist should use the elements of speech act to construct the reality by giving some direct statements of Head of State to influence the people as they reported this issue explicitly and straight-forwardly. Yet this news had contextually by giving perlocution effect. Based on the results, we need to encourage mass media to apply the speech act element in order to implement the real function of language and at the same time to realize the social function of media. Journalistic language formula of 5W and 1H was merely technical since it has to be enriched with a theory of speech act.

Key words: speech act, Cooperative Principles, pragmatic.

Abstrak
Fokus penelitian ini adalah tindak tutur dalam penggunaan bahasa jurnalistik di kalangan wartawan dalam liputan Bank Century di surat kabar Kompas, periode Januari- Februari 2010. Ada tiga elemen dalam tinduk tutur atau tindak berbahasa yang sering diabaikan wartawan yakni lokusi, ilokusi dan perlokusi sehingga efek yang diinginkan media tidak tercapai. Lokusi adalah kata-kata atau kalimat yang dipilih wartawan dalam menyampikan pesan, ilokusi adalah maksud tuturan atau kalimat tersebut dan perlokusi adalah efek tulisan itu. Ketiga elemen ini juga harus diimbangi dengan dialog antara media dengan khalayak yang disebut prinsip kerjasama. Metode yang digunakan adalah analisis isi dengan pendekatan kualitatif dan pragmatik. Teori-teori yang digunakan adalah teori tindak tutur, teori prinsip kerjasama, dan teori pragmatik. Hasil penelitian menunjukkan tindak tutur dalam berita mengenai Bank Century di media tidak berhasil, karena pilihan kalimat yang diambil dari pernyataan-pernyataan Presiden SBY sangat sarat dengan politik. Implementasi penellitian adalah media massa hendaknya memahami tindak tutur dalam penyampaian pesan kepada masyarakat, karena prinsip 5W dan 1 H sudah tidak memadai lagi.

Kata-kata kunci : tindak tutur, prinsip kooperatif, pragmatik..
LITERASI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
MASYARAKAT PEDESAAN
Hasyim Ali Imran
(Peneliti Madya Bidang Studi Komunikasi dan Media pada BPPKI Jakarta,
Balitbang Kementerian Kominfo, Jln. Pegangsaan Timur No. 19 B, Jakarta Pusat)
(Naskah diterima 17 Pebruari 2010, disetujui terbit, 10 Juni 2010)

ABSTRACT
This research is motivated by the indication of low ICT literacy rural communities; which makes it difficult to be part of the information society. The research was designed to study the extent, to which ICT literacy levels in rural communities; and the factors which indicate influence ICT literacy levels in rural society. The experiment was conducted with survey method, in Tua Tunu rural communities (local government and Air Duren (Bangka regency), Bangka Belitung province. Findings indicate: (1) rural respondents generally have low levels of ICT literacy. Some of them have only a small concentration of high ICT literacy, (2) Among of few respondents, who have high levels of ICT literacy; their characteristics composed of members Xers and Millennial rural communities groups. From the analysis, it concluded that rural communities was not entirely belong to the community, that digital gap wide. However, the bulk of them tend difficult to be able to maximize the role of ICT; in the context of participation in rural communities as a community member information. There are indications that factors related characteristic age of group, type of work, level of education, involvement in a computer course; and cosmopolitanism, associated with higher levels of ICT literacy in rural communities. A kind of counseling as the best option for efforts related to ICT literacy materials is applied in the environment of rural communities to improve their ICT literacy levels.

Keywords : Literacy, Information and Communication Technology (ICT), rural communities.
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya indikasi rendahnya literasi TIK masyarakat pedesaan yang menjadikannya sulit untuk bisa menjadi bagian dari masyarakat informasi. Penelitian dirancang untuk mengetahui sejauh mana kadar literasi TIK masyarakat pedesaan dan faktor-faktor yang berindikasi mempengaruhi kadar literasi TIK masyarakat pedesaan. Penelitian dilaksanakan dengan metode survey responden di lingkungan masyarakat pedesaan Tua Tunu (Pemkot Pangkal Pinang dan Air Duren (Kabupaten Bangka) Provinsi Bangka Belitung. Temuan menunjukkan : (1) responden pedesaan umumnya memiliki kadar literasi TIK yang rendah. Sebagian kecil saja diantaranya yang memiliki kadar literasi TIK tinggi; (2) Di antara sebagian kecil responden yang memiliki kadar literasi TIK tinggi, karakteristik mereka terdiri dari anggota masyarakat pedesaan kelompok Xers dan Millenial. Dari hasil analisis, disimpulkan bahwa di lingkungan masyarakat pedesaan ternyata tidak seluruhnya tergolong pada masyarakat yang kesenjangan digitalnya lebar. Namun, bagian terbesar dari mereka cenderung menjadi sulit untuk bisa memaksimalkan peran TIK dalam konteks kepesertaan anggota masyarakat pedesaan sebagai masyarakat informasi. Ada indikasi bahwa faktor-faktor karakteristik menyangkut kelompok umur; jenis pekerjaan; tingkat pendidikan; keterlibatan dalam kursus komputer; dan kosmopolitanisme, berhubungan dengan kadar literasi TIK masyarakat pedesaan. Upaya-upaya sejenis penyuluhan menyangkut materi literasi TIK menjadi pilihan terbaik diterapkan di lingkungan masyarakat pedesaan guna meningkatkan kadar literasi TIK mereka.

Kata-kata kunci : Literasi, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), masyarakat Pedesaan

artikel tamu

METODOLOGI PENELITIAN SOSIAL
KUANTITATIF DAN KUALITATIF

M. Jamiluddin Ritonga

Abstract
This paper tries to describe differences between quantitative and qualitative approaches in social science research. It begins with an explanation about the object of social science, continues with information about quantitative and qualitative approaches, and ends with a conclusion on empirical needs.

Kata-kata kunci : Metodologi Penelitian; kuantitatif; kualitatif.


Pendahuluan
Penelitian atau riset memerlukan tahap-tahap yang diakui dalam keilmuan dan paradigma tertentu. Tahap-tahap yang dilalui peneliti sangat beragam, mulai dari yang sangat ketat hingga yang relatif longgar. Meskipun tahap-tahap yang dilalui beragam, namun tujuannya pada dasarnya sama. Semua penelitian pada hakekatnya bertujuan mendapatkan dan memahami fakta yang dijadikan dasar bagi peneliti untuk menjawab masalah atau persoalan yang diajukan.

Keragaman tahap-tahap yang dilalui peneliti, setidaknya menjadi dasar bagi para ilmuwan dalam mendefinisikan penelitian. Seperti yang dikemukakan Burns (2000), “riset adalah sebuah penyelidikan sistematis untuk mencari jawaban atas sebuah persoalan.” Ini artinya, tahap-tahap yang disusun peneliti dalam menjawab masalah penelitian haruslah sistematis mulai dari landasan teori yang digunakan, prosedur yang dipakai, hingga fakta yang dikumpulkan.

Sementara Maryaeni mengemukakan, “penelitian (research) merupakan usaha memahami fakta secara rasional empiris yang ditempuh melalui prosedur kegiatan tertentu sesuai dengan cara yang ditentukan peneliti.” Pengertian ini menekankan pada upaya peneliti memahami fakta melalui prosedur yang berbeda sesuai dengan metode yang digunakan. Penggunaan metode yang berbeda dengan sendirinya akan membedakan pula prosedur yang digunakan.

Dalam konteks penelitian, tambah Maryaeni , “istilah ‘fakta’ memiliki pengertian tidak sama dengan kenyataan, tetapi lebih mengacu pada sesuatu daripada kenyataan exact, dan sesuatu tersebut terbentuk dari kesadaran seseorang seiring dengan pengalaman dan pemahaman seseorang terhadap sesuatu yang dipikirkannya. Sesuatu yang terbentuk dalam pikiran seseorang tersebut belum tentu secara konkret dapat dilihat dan ditemukan dalam kenyataan yang sebenarnya.

Namun dalam banyak literatur, masih ditemukan penggunaan istilah metodologi penelitian dan metode penelitian yang diartikan sama. Seperti dikemukakan McDaniel dan Gates (2001) , riset kuantitatif dapat menunjukkan secara statistik perbedaan-perbedaan signifikan, sedangkan riset kualitatif tidak menggunakan analisis kuantitatif dan tidak diukur dengan angka. Ini artinya, perbedaan istilah itu hanya dilihat dari penggunaan analisis data.

Pengertian seperti itu tentu mendangkalkan makna metodologi penelitian atau pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Sebab, kedua istilah ini mempunyai makna yang berbeda. Metodologi penelitian lebih menekankan pada filsafat ilmu dengan fokus mencari jawaban pertanyaan mengapa (why) suatu penelitian dilakukan seperti itu. Sementara metode penelitian lebih menekankan pada bagaimana melakukan penelitian yang benar (how to do it).

Objek Ilmu Sosial
Metodologi penelitian kuantitatif dan kualitatif muncul karena para ilmuwan ilmu sosial berbeda dalam memahami objek ilmu sosial. Karena itu, pokok persoalannya adalah apa objek ilmu sosial?

Pertanyaan tersebut memang sulit untuk dijawab. Keterangan dari berbagai literatur menunjukkan silang pendapat. Meskipun demikian, sesama ilmuwan ada kesepakatan bahwa ilmu sosial mengacu pada masyarakat . Itulah sebabnya, menurut Calvert dan Calvert (1992) , sentral pembicaraan dalam ilmu sosial berkisar pada konsep masyarakat (society). Hanya saja sesuai dengan perkembangan ilmu, masing-masing bidang studi membatasi diri pada lingkungan lebih spesifik. Pengkhususan ini erat kaitannya dalam usaha mengembangkan pengetahuan yang sistematis mengenai masyarakat berdasarkan penelitian ilmiah.

Ilmu komunikasi misalnya, sentral pembahasannya ialah usaha manusia dalam menyampaikan isi pernyataannya kepada manusia lain. Melalui usaha tersebut terjadi proses komunikasi antarindividu atau kelompok atau organisasi atau massa. Bidang studi lain, psikologi sosial, membatasi diri pada usaha sistematik mengenai perilaku sosial. Kajian ilmu politik mengenai sistem kekuasaan. Para antropolog memberi penekanan pada sistem budaya. Jadi, sentral pembicaraan tetap pada masyarakat. Hanya saja, setiap bidang studi mengambil sisi tertentu dari aspek masyarakat.

Berkaitan dengan konsep masyarakat, terdapat dua pemahaman yang berbeda. Pertama, masyarakat dipandang ibarat benda. Asumsi ini, menurut Maryaeni (2005), ditinjau dari orientasi filosofisnya didasari pada wawasan positivistik, dalam arti pernyataan tentang sesuatu fakta haruslah bersifat positif karena fakta yang dinyatakan tersebut harus memiliki hubungan timbal-balik dengan kenyataannya secara langsung. Sesuai dengan penggunaan istilah kuantitatif, fakta yang diteliti harus dapat dikuantifikasikan atau dituliskan dalam bentuk angka sehingga dapat dihitung dan dianalisa secara statistik.

Pandangan ini melihat perilaku manusia dibatasi lingkungannya. Untuk memahami pandangan ini, mau tidak mau harus mengacu pada konsep struktur. Di sini, unsur-unsur masyarakat dipandang saling kait-mengkait satu dengan lainnya sehingga tampak sebagai keseluruhan yang terpisah dari individu. Asumsi ini konsisten dengan pandangan bahwa individu dibentuk oleh masyarakat. Dengan demikian, faktor kolektif dijadikan tolok ukur utama. Karena itu, manusia baru dapat mencapai kemampuannya secara utuh, jika ia menjadi anggota masyarakat. Sebagai individu, lingkup kegiatannya sangat terbatas, tetapi sebagai anggota masyarakat kemampuannya untuk mencapai tujuan dapat ditingkatkan tanpa batas. Atas dasar asumsi inilah, kelompok lebih penting daripada individu.

Kedua, masyarakat dipandang ibarat ide. Perilaku manusia ditentukan oleh individu itu sendiri. Masyarakat hanya dijadikan simbol oleh individu untuk berinteraksi dengan individu lain dalam mencapai tujuan pribadi. Sebagai simbol ia ditawarkan pada manusia lain. Bila manusia lain itu tertarik, dalam arti masyarakat dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan pribadinya, maka ia akan menyesuaikan perilakunya dengan masyarakat tersebut. Sebaliknya, bila masyarakat dianggap oleh individu tidak mampu mencapai tujuan pribadinya, maka ia akan menanggalkan perilaku pribadinya.

Jadi, konsep masyarakat bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Konsekuensinya ialah setiap individu tidak harus bermasyarakat. Justru, masyarakat harus berfungsi memajukan kepentingan para anggota secara perorangan. Karena itu, keberadaan masyarakat ditentukan oleh individu. Masyarakat hanyalah sebagai gejala subyektif. Dengan demikian, faktor individu dijadikan tolok ukur utama.

Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif
Perbedaan pandangan tersebut membawa implikasi pada pendekatan menggali ilmu. Pemahaman masyarakat sebagai benda, pendekatan kuantitatif sebagai pilihan utama. Sebaliknya, pemahaman masyarakat sebagai ide, pendekatan kualitatif merupakan alternatif terbaik. Tentu pendekatan yang dimaksud di sini termasuk penggunaan analisis datanya.

Jadi, pendekatan kuantitatif dan kualitatif sebenarnya hanyalah konsekuensi logis dari kedua pandangan tersebut dalam memahami objek ilmu sosial. Pandangan pertama yang menekankan pada konsep struktur, tentulah harus mengaitkan antarunsur-unsur masyarakat dalam formula yang jelas. Dalam penelitian ilmiah, menurut Wimmer dan Dominick (2000), kait-mengait antarunsur-unsur tersebut dirumuskan dalam bentuk hipotesis . Supaya hipotesis dapat diukur, tentulah yang dihubungkan itu dalam level variabel. Ini sejalan dengan pandangan bahwa objek ilmu sosial itu ibarat benda, yang hanya mengakui empiris sensual. Empiris sensual adalah semua gejala yang dapat ditangkap indera manusia atau dalam terminology filsafat ilmu dikenal juga dengan istilah fenomena.

Untuk mencapai level variabel, diperlukan penalaran deduktif. Maksudnya, peneliti mulai berpikir dari umum dan kemudian ke hal yang lebih spesifik (khusus). Itulah sebabnya, dalam penalaran deduktif, peneliti harus menguasai konsep-konsep, proposisi-proposisi, dan teori-teori yang relevan. Kemampuan ini mutlak diperlukan supaya ramalan dan penjelasan tidak meleset.

Variabel yang diturunkan dari penalaran deduksi itu perlu dibuat definisi operasionalnya. Dalam definisi ini harus terlihat indikasi atau petunjuk dari variabel yang akan diukur. Dengan cara ini, konsep mengenai hal-hal yang akan diukur dapat langsung diamati dan mewakili konsep teoritis yang sesuai situasi dan kondisi lingkungan penelitian. Tanpa operasionalisasi variabel, pengumpulan data dan analisis data dengan sendirinya tidak dapat dilakukan.

Untuk menetapkan hubungan antarvariabel diperlukan pengujian alat ukur terlebih dahulu. Syarat ini mengharuskan pengembangan teknik pengukuran kuantitatif. Hanya melalui cara ini keberadaan operasionalisasi dan validitas data dapat ditentukan. Konsekuensinya ialah analisis data meminta bantuan statistik dan ilmu matematika. Cara inilah yang digunakan untuk menguji hubungan antarvariabel sebagaimana dirumuskan dalam hipotesis penelitian.

Melalui pengujian hipotesis yang spesifik dalam jumlah besar dilakukan generalisasi menuju pernyataan lebih umum dan terbatas jumlahnya. Penjelasan dan teori-teori abstrak itu diharapkan dapat mengungkapkan ciri-ciri dan dinamika masyarakat sebagai sesuatu yang berstruktur. Inilah yang mendasari pendekatan kuantitatif dalam ilmu sosial, termasuk tentunya ilmu komunikasi.

Pandangan kedua yang menekankan pada ide, tentulah membutuhkan pendekatan lain. Sebab, masyarakat menurut pandangan ini, hanya dapat dipelajari dari sisi pandangan individu lain sebagai titik awal interaksi dengan individu-individu ketiga dalam lingkungannya. Di sini, peneliti haruslah menempatkan diri, pikiran, dalam situasi dan kondisi individu itu serta mengamati dan menghayati interaksinya dengan pihak ketiga itu melalui cara yang sama. Jadi, peneliti terlebih dahulu menemukan arti dari objek penelitiannya sebagaimana masyarakat memahami objek tersebut. Peneliti tidak boleh beranggapan bahwa dunia objek dari masyarakat yang ia teliti sama dengan dunia objeknya. Orang-orang yang bertindak di dalam dunia mereka berdasarkan makna-makna yang berlaku di sana, bukan berdasarkan makna yang dimiliki peneliti.

Dalam memahami sikap dan tindakan seseorang, tentulah tidak memadai membatasi penelitian pada level variabel. Sebab variabel hanyalah bagian dari konsep, sehingga bila penelitian kualitatif hanya membatasi pada variabel maka hasilnya akan tidak menggambarkan makna yang sebenarnya. Agar makna yang dimaksud dalam penelitian kualitatif terungkap, maka menurut Denzin dan Lincoln , penelitian hendaknya dibatasi pada level konsep.

Hal itu sejalan dengan pandangan bahwa objek ilmu sosial ibarat ide, yang diasumsikan masyarakat itu sesuatu yang abstrak. Dalam penelitian ilmiah, sesuatu yang abstrak itu dapat diukur pada level konsep. Karena itu, rumusan masalah penelitian dalam kualitatif membatasi pada konsep.

Hal itu membawa konsekuensi pada empiris yang diakui dalam pendekatan kualitatif. Untuk menangkap makna sebagaimana yang dimaknai objek yang diteliti, tentulah tidak cukup hanya mengandalkan empiris sensual. Menurut Muhadjir masih diperlukan empiris lain, yang dalam pendekatan kualitatif disebut empiris etik, logik, dan transendental.

Untuk itu, ada dua tahap yang mesti dilakukan, yaitu penjajakan (eksplorasi) dan pemeriksaan (inspeksi). Penjajakan ini mempunyai dua tujuan. Pertama, agar peneliti lebih dekat dengan gejala yang diteliti dan lingkungan sosial yang masih asing baginya. Kedua, memberi kesempatan pada peneliti untuk mempertajam dan menyaring konsep-konsep dan kategori-kategori dari dunia empiris yang ditelitinya. Sedangkan pemeriksaan bertujuan: (1) mengembangkan kategori-kategori analisa yang jelas, dan (2) menemukan hubungan-hubungan di antara kategori-kategori tersebut .

Melalui tahap tersebut, pengetahuan akan masyarakat dikembangkan mulai dari konsep-konsep spesifik dan konkrit. Pengamatan terlibat dan pembicaraan gaya kisah merupakan teknik pengumpulan data yang paling relevan. Lewat proses refleksi berulang-ulang yang panjang diungkapkan konsep-konsep yang lebih abstrak dan menerangkan kenyataan yang di-observasi. Konsep yang lebih abstrak ini disebut teori, tentu menurut pandangan kedua tersebut atas objek ilmu sosial.

Dengan demikian, bagian utama dari setiap teori adalah kategori-kategori dan sifat-sifat yang dapat dimengerti disatu pihak, dan hipotesis-hipotesis di pihak lain. Melalui kategori, suatu konsep dapat digunakan untuk menegaskan persamaan dan perbedaan dari apa yang dibandingkan. Sedangkan hipotesis hanya dijadikan usulan yang berasal dari hubungan kategori yang disarankan dunia empiris, bukan atas hasil deduksi dari teori.

Itulah sebabnya, pengumpulan data maupun analisisnya tidak dapat menerapkan asas-asas ilmu statistik dan ilmu matematika. Jadi, pendekatan ini adalah interpretasi introspektif berdasarkan metode Verstehen.

Pendekatan tersebut berasal dari pemikiran sejarahan Giambattista Vico pada pertengahan abad 18 Masehi. Vico menulis bahwa hanya manusia yang dapat memahami manusia lain, dan mereka melakukan hal tersebut melalui suatu kemampuan khusus yang disebut pemahaman intuitif (intuitive understanding). Dalam ilmu sosiologi dan ilmu sosial lainnya, konsep Verstehen, atau pengalaman intuitif, dan penggunaan empati telah disebut-sebut sebagai penemuan besar di bidang ilmu itu.

Secara sederhana McDaniel dan Gates membandingkan riset kuantitatif dan kualitatif sebagai berikut:

Perbandingan Dimensi Riset Kualitatif Riset Kuantitatif
Jenis pertanyaan Pemeriksaan Pemeriksaan terbatas
Ukuran sampel Kecil Besar
Informasi dari tiap responden Banyak Bervariasi
Administrasi Memerlukan pewawancara
dengan keahlian khusus Memerlukan
pewawancara
dengan sedikit keahlian

khusus
Jenis analisis Subjektif, interpretif Statistik, penjumlahan
Perangkat keras Alat perekam, alat proyektor,
video, gambar-gambar, penuntun
deduksi Kuesioner, komputer, hasil
cetakan dari komputer Kemampuan untuk Rendah Tinggi
menggandakan

Pelatihan untuk periset Psikologi, sosiologi, psikologi sosial,
perilaku konsumen, pemasaran,
riset pemasaran Statisitk, model keputusan,
sistem pendukung
keputusan, program
komputer, pemasaran,
riset pemasaran
Jenis penelitian Eksploratif Deskriptif atau kausal

Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam ilmu sosial pendekatan kuantitatif dan kualitatif relevan digunakan sesuai dengan sudut pandang objek ilmu sosial.

Pendekatan kuantitatif memang memungkinkan ramalan lebih tepat dan penyelidikan lebih mendalam serta lebih luas dalam implikasi-implikasi hipotesis. Akan tetapi, yang membuat sebuah teori menjadi ilmiah adalah strukturnya yang logis dan kaitannya dengan fakta empiris tanpa memandang apakah dirumuskan dengan bahasa matematika atau tidak.

Atas dasar pemikiran itu, maka ilmu sosial mempunyai tidak hanya satu pendekatan dalam menjelaskan realitas. Dalam konteks ini, Thomas Kuhn dan George Ritzer menyebut ilmu sosial sebagai “ilmu dengan paradigma ganda”. Artinya, dalam menemukan kebenaran, ilmu sosial memungkinkan penggunaan beberapa paradigma teori ataupun metodologi guna menjelaskan atau mengungkapkan realitas yang dihadapinya. Thomas Kuhn sendiri membantah bahwa ilmu pengetahuan bersifat akumulatif-evolusioner. Kuhn berpendapat, paradigma terbaru dalam ilmu pengetahuan tidaklah mengungguli atau malah meniadakan paradigma sebelumnya, melainkan menempatkan diri secara sejajar sebagai alternatif terhadap paradigma lain yang dapat digunakan secara situasional.

Pendapat tersebut setidaknya mengingatkan ilmuwan Indonesia agar tidak melihat paradigma teori dan metodologi penelitian seperti layaknya trend mode. Paradigma teori dan metodologi penelitian yang terbaru dengan sendirinya akan dinilai lebih unggul (baik) dan seolah-olah dapat menjelaskan semua gejala sosial yang ada di muka bumi ini.

Dengan pola pikir seperti itulah sebagian ilmuwan Indonesia, khususnya ilmuwan komunikasi, yang memposisikan metodologi kualitatif lebih baik daripada metodologi kuantitatif. Metode survey pun akhirnya dinilai tidak ilmiah dan sudah kadaluarsa, sementara metode wacana karena muncul belakangan dinilai the best dan karenanya mahasiswa “dipaksa” untuk menyusun tesis atau disertasi dengan bantuan metodologi kualitatif.

Pola pikir seperti ini tentu menyesatkan, karena tidak ada satu paradigma ilmu atau metodologi penelitian yang dapat menjelaskan semua gejala sosial. Paradigma ilmu dan metodologi penelitian yang ada saat ini hanya mampu menjelaskan sebagian dari gejala sosial yang kompleks. Dengan demikian, munculnya paradigma ilmu dan metodologi penelitian terbaru hanyalah mengisi kekosongan untuk mengungkap sebagian gejala sosial yang belum dapat dijelaskan oleh paradigma ilmu dan metodologi penelitian yang muncul sebelumnya.

Karena itu, kiranya kedua pendekatan tersebut sepatutnya digunakan sesuai dengan kebutuhan empiris. Bagaimana pun, kedua pendekatan itu memiliki keunggulan dan kelemahan. Supaya pendekatan itu tepat guna, seyogyanyalah digunakan sesuai dengan porsinya. Dengan begitu ilmuwan sosial Indonesia tidak terbelah menjadi kubu kuantitatif dan kubu kualitatif. Semoga.

Daftar Pustaka
Burns, R. , (2000), Introduction to Research Methods. London: Sage.
Calvert, Susan and Peter Calvert, (1992), Sociology Today. London: Harvester Wheatsheaf.
Denzin, N. and Y. Lincoln (eds.), (1994), Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, CA: Sage.
Flick, J., (1998), An Introduction to Qualitative Research. London: Sage.
Johnson, Doyle Paul, (1986), Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid 2. Terjemahan Robert M. Z. Lawang. Jakarta: PT Gramedia.
Kuhn, Thomas S. (1962), The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: University of Chicago Press.
MacKenzie, Norman (ed.), (1966), A Guide to Social Sciences. New York: Mentor Book.
Maryaeni, (2005), Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
McDaniel, Carl dan Roger Gates (2001), Riset Pemasaran Kontemporer. Buku 1. Penerjemah Sumiyarto dan Rambat Lupiyoadi. Jakarta: Salemba Empat.
Peursen, C. A. Van.(1985), Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu. Penterjemah J. Drost. Jakarta: Gramedia.
Prakoso, Junarto Imam. “Dominasi Positivisme dalam Penelitian Komunikasi”. Dalam Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis, Volume III/No. 2 (Mei – Agustus 2004, hal. Vii – ix).
Triandis, Harry C. dan John W. Berry (ed.), (1980), Handbook of Cross-Cultural Psychology (Methodology). Volume 2. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Ritonga, M. Jamiluddin, (2004), Riset Kehumasan. Jakarta: Grasindo.
Stempel III, Guido H., David H. Weaver, and G. Cleveland Wilhoit (eds.), (2003), Mass Communication Research and Theory. Boston: Pearson Education, Inc.
Wimmer, R. D. and J. R. Dominick. Mass Media Research: An Introduction. Belmont, California: Wadswort, 2000.

Minggu, 01 Agustus 2010

artikel - ideologi dan media=Diterbitkan di Jurnal Masyarakat Informasi No. 2 2008, Pusbang Profesi Kominfo, Balibang SDM

IDEOLOGI DAN WACANA MEDIA
Hasyim Ali Imran

Pendahuluan

Ideologi merupakan salah satu jargon yang sudah tidak asing lagi di kalangan akademisi komunikasi yang tertarik mempelajari fenomena komunikasi bermedia melalui paradigma kritis. Jargon lainnya yang juga termasuk dianggap lazim, diantaranya yaitu power dan hegemony.

Paradigma kritis sendiri, yakni sebagai satu dari sejumlah paradigma yang ada dalam paradigma ilmu sosial (baca : ilmu komunikasi), jika ditelusuri dari segi historikal kemunculannya, maka pada hakekatnya merupakan reaksi dari rangkaian reaksi yang ada dalam paradigma ilmu sosial ketika paradigma dimaksud diorientasikan pada upaya menemukan kebenaran dari beragam fenomena sosial yang ada .

Paradigma kritis diketahui muncul sebagai reaksi kritis terhadap epistemologisnya paradigma konstruktivis dalam menemukan kebenaran ilmu. Dalam pandangan paradigma kritis, termasuk terhadap fenomena komunikasi bermedia, maka rumusan kebenaran itu tidak cukup hanya diacu menurut perspektif obyek kebenaran yang nota bene dinilai memiliki free will belaka sehubungan obyek kebenaran itupun tidak eksis dalam ruang yang vakum, melainkan terikat dengan lingkungannya. Lingkungan dimaksud, misalnya menyangkut karakteristik, latar belakang historis, dan tentunya termasuk di sini menyangkut ideologi. Dengan demikian, dalam paradigma kritis, faktor lingkungan dimaksud diyakini sangat mempengaruhi obyek kebenaran dalam bereaksi terhadap sesuatu obyek, misalnya menyangkut benda atau situasi yang dalam jargon kritikal lazim disebut dengan teks. Karena itu, menurut paradigma kritis, maka kebenaran dapat diperoleh hanya jika dilakukan proses unmasking terhadap faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi obyek kebenaran dalam bereaksi terhadap sesuatu obyek tadi guna diperolehnya jawaban “Why”. Sejalan dengan ini, maka dalam kaitan menemukan kebenaran menyangkut fenomena teksasi media mengenai sebuah wacanapun misalnya, juga harus dilakukan proses unmasking karena media dalam pewacanaannya memang dicurigai terikat dengan ideologi tertentu.

Terkait dengan posisi penting ideologi sebagai sebuah jargon dalam paradigma kritikal tadi, tulisan ini akan mencoba menelaah lebih jauh menyangkut ideologi dimaksud. Telaahnya akan dibatasi pada upaya mengetahui konsep ideologi itu sendiri. Termasuk pula di sini akan dibahas khusus menyangkut keterkaitan ideologi dengan media. Hasil bahasan yang demikian diharapkan dapat berguna sebagai pengantar awal bagi akademisi yang mulai tertarik terhadap paradigma kritikal khususnya dalam kaitan upaya memahami fenomena wacana media.

Pembahasan

1. Ideologi
Secara leksikal ideologi diantaranya diartikan sebagai suatu tubuh gagasan yang mencerminkan aspirasi dan kebutuhan sosial dari seorang individu, kelompok, kelas atau budaya. Atau, sebagai satu set doktrin atau kepercayaan yang membentuk basis dari sebuah pandangan politik, ekonomik atau sistem lainnya. Dalam kamus lain juga disebutkan bahwa ideologi merupakan suatu doktrin, filosofi, tubuh kepercayaan atau prinsip yang dimiliki oleh seorang individu atau kelompok. Dari dua definisi leksikal ini memberikan pengertian bahwa pada hakikatnya ideology itu merupakan sebuah konsepsi seseorang atau suatu kelompok mengenai kehidupan social yang mengandung prinsip dan aspirasi.

Dengan hakikat yang seperti itu, dalam pandangan beberapa akademisi ideologi juga tampak memiliki arti yang tidak jauh berbeda dengan pengertian ideologi dalam artian leksikal. Hanya saja, pengertian akademisi dimaksud tampak sudah dengan tegas memperlihatkan fungsi dari ideologi itu. Fungsi dimasud tercermin dari kata-kata :mengontrol” dan ”mengatur”. Terkait dengan ini, Raymond Williams misalnya, mendefinisikan ideologi itu sebagai sebuah bentuk yang relatif formal dan mengartikulasikan sistem makna, nilai-nilai dan kepercayaan, ataupun semacamnya yang diabstraksikan sebagai sebuah “pandangan dunia” atau “pandanganan kelas” (Williams, 1977, p 109). Samuel Becker (1984; p 69), ideologi merupakan “cara kita mempersepsi dunia kita dan diri kita; ideologi mengontrol apa yang kita lihat sebagai sesuatu yang “alami”. “Sebuah ideologi merupakan suatu bentuk setting, diintegrasikan dalam bingkai referensi, di mana di dalamnya melewati masing-masing dari kita untuk melihat dunia dan yang mengatur tindakan kita semua” (Beckers, 1984, p 69). .

Istilah ideologi sendiri pertama kali dilontarkan oleh Antoine Destutt de Tracy (1754 - 1836), pada saat bergejolaknya Revolusi Prancis . De Tracy mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang pemikiran manusia, yang mampu menunjukkan arah yang benar menuju masa depan. Namun, seperti dikatakan Novel Ali pemikiran ini mengalami distorsi makna. Napoleon Bonaparte (1769-1821) yang sebelum berkuasa sangat menghormati De Tracy, memanipulasi pengertiannya mengenai ideologi setelah menjadi kaisar dengan cara memojokkan De Tracy. Ideologi yang sebelumnya ditafsirkan De Tracy sebagai sebuah konsep yang konkritpun berubah menjadi konsep yang abstrak.

Di era kekuasaan Napoleon, ideologi dipandang sebagai konsep yang abstrak, sehingga membuka peluang untuk tidak lagi bisa menjadi definisi yang tunggal pada pergantian generasi. Artinya, setiap generasi menganut definisi yang tidak tunggal tentang ideologi. Pemikiran umat manusia tentang ideologi, yang sebelumnya mengandung nilai-nilai luhur untuk menyongsong hari esok, dimanipulasi hasrat yang tidak lagi luhur. Akibatnya, ideologi diposisikan dan difungsikan sebagai sebuah doktrin yang memberikan rangsangan bagi berkembangnya inspirasi perorangan atau kelompok manusia mengarah gerakan massa. Mulai yang bersifat santun, lembut dan persuasif sampai dalam bentuk perebutan kekuasaan dengan menggunakan kekerasan yang melanggar konstitusi negara.

Sejalan dengan itu, berbagai pahampun bermunculan mewarnai sejumlah penafsiran ideologi setelah De Tracy. Di antaranya demokrasi, liberalisme, nasionalisme, marxisme, komunisme, fasisme, sosialisme, dan anarkhisme. Belakangan, seperti disebutkan dalam situs Atheism.com, ideology inipun cenderung dibuat dengan mengacu pada kebiasaan-kebiasan psikologis, kepercayaan, anggapan-anggapan, harapan-harapan dan lain sebagainya. Karena itu bermunculanlah beragam ideologi lainnya seperti kapitalisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, kristen, fasisme, monarkisme, nazisme, libertarianisme, sosialisme, dan demokrat sosial, elitism, extremism, federalism,imperialism, leftism , meritocracy , progressivism, radicalism , reactionism, republicanism , rightism , dan Utopianism.

Sebagai sebuah konsepsi bagi setiap individu atau kelompok dalam kehidupan sosialnya, maka itu dapat diartikan bahwa ideologi itu dengan sendirinya cenderung menjadi basis bagi individu maupun kelompok dalam berperilaku sosialnya. Atau, meminjam istilah Seliger, ideologi berperan sebagai pembimbing tindakan. Perilaku sosial itu sendiri, seperti dikatakan Gramsci (1971:326) sebagaimana dikutip Fairclougn , baik terkait dengan bidang kehidupan seni, hukum, aktifitas ekonomi maupun dalam manifestasi kehidupan individu dan kolektif. Dengan demikian, ideologi itu memang erat dengan tindakan dan ideologi ditentukan dalam konteks efek-efek sosial mereka ketimbang nilai-nilai kebenaran mereka . Ini berarti bahwa aplikasi suatu ideologi cenderung inheren dengan perilaku orang per orang dalam kehidupan rutin berdasarkan pertimbangan efek yang diinginkannnya ketimbang berdasarkan kebenaran ideologi itu sendiri. Kehidupan rutin itu sendiri bisa dalam konteks kehidupan di lingkungan rumah tangga, tempat tinggal maupun lingkungan pekerjaan seperti dalam organisasi media.

2. Ideologi dan Media

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, eksistensi suatu teks itu dapat muncul di beragam tempat dan salah satunya di media (baca: suratkabar). Media suratkabar sendiri, sebagai sebuah institusi bisnis, juga sekaligus menjadi sebuah organisasi yang di dalamnya terdapat sebuah struktur dan jenjang yang kemudian menjadi pembeda peran dan fungsi bagi setiap orang yang terdapat dalam struktur organisasi. Di sisi lain, hal itu sekaligus juga menjadi pembentuk bagi munculnya sejumlah komunitas dalam suatu keseluruhan organisasi media. Terkait dengan kategori umum media yang dibagi menurut bidang isi yang dikelolanya, yaitu isi bidang redaksi dan isi bidang perusahaan, maka sejumlah komunitas tadi pada dasarnya menjadi terdiri dari dua bagian besar pula, yaitu sejumlah komunitas yang tergabung dalam struktur organisasi perusahaan dan yang tergabung dalam struktur organisasi bidang redaksi.

Dalam kaitan pernyataan sebelumnya bahwa aplikasi suatu ideologi itu cenderung inheren dengan perilaku orang per orang dalam kehidupan rutinnya, maka setiap anggota komunitas pada sejumlah komunitas yang ada dalam suatu struktur organisasi media, misalnya seperti struktur organisasi redaksi suratkabar, karenanya menjadi berpeluang untuk mempraktikkan ideologinya masing-masing. Terkait dengan teks media, maka praktik ideologi itu diaplikasikan lewat proses teksasi media itu sendiri melalui masing-masing peran individu dalam struktur organisasi redaksi media. Sementara mengenai pentingnya media bagi ajang praktik terhadap ideologi, maka menurut Althusser (1971, dalam Alzastraouw, 2000), sebagaimana dikutip Sobur ( 2001:30), itu karena media dianggap strategis dalam bekerja secara ideologis guna terbangunnya kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa. Kelompok berkuasa ini, wujudnya bisa berupa negara, pemilik media ataupun sejenisnya. Jadi, media di sini menjadi alat bagi penguasa untuk mengaplikasikan ideologinya melalui teks media demi terwujudnya kepatuhan khalayak, khususnya menyangkut substansi yang diwacanakan dalam teks. Dengan demikian, antara ideologi dan media sesungguhnya memiliki hubungan yang erat dalam kaitan proses produksi pesan. Keeratan itu, seperti dikatakan Hall yakni berupa melekatnya ideologi dominan dalam proses produksi isi media.

Dengan keeratan hubungan antara ideologi dan media yang seperti itu, dalam kaitan tingkatan pengaruh terhadap isi media yang dimodelkan oleh Shoemaker dan Reese , diketahui memang bahwa ideologi menjadi faktor paling dominan jika dibandingkan dengan empat faktor lainnya. Faktor lainnya dimaksud yaitu faktor pada level individu, level rutinitas media, level organisasi dan level ekstramedia. Dalam hubungan ini dikatakan bahwa ideologi menjadi faktor pengaruh yang paling menyeluruh dari semua pengaruh yang ada dalam proses mediasi. Ideologi di sini diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai individu untuk melihat realita dan bagaimana mereka menghadapinya.

Jika faktor-faktor lain yang sifatnya lebih konkrit, misalnya seperti dari faktor level individual yang diantaranya berbentuk karakteristik pekerja, maka level ideologi itu dengan demikian sifatnya abstrak. Meskipun demikian, para akademisi di USA misalnya, maka dalam upayanya mengkonkritkan keabstarakan ideologi, itu dilakukan dengan cara mengenal potensi-potensi dasar yang memunculkan ideologi itu sendiri. Dalam kaitan ini maka yang menjadi potensi dasar bagi munculnya suatu ideologi di USA secara fundamental yaitu berupa kepercayaan akan nilai-nilai sistem ekonomi kapitalis, kepemilikan pribadi, keuntungan pengusaha, dan pasar bebas . Dengan demikian, keabstrakan suatu ideologi sebenarnya memiliki peluang untuk dapat diidentifikasi menjadi konkrit, dan itu bisa dilakukan melalui upaya pengenalan terhadap potensi-potensi dasar yang memunculkan ideologi itu sendiri.

Sebagai faktor paling dominan dalam proses mediasi, maka dalam perspektif Timur (kritikal) karenanya ideologi media tadi menjadi penting untuk diketahui. Dalam pandangan Fairclough, sebagaimana sudah disinggung-singgung sebelumnya, maka kepentingan itu terutama untuk membuka kedok atau membongkar asumsi-asumsi ideological yang tersembunyi dalam kata-kata dari teks tertulis maupun percakapan lisan guna melawan dan menolaknya sebagai sesuatu yang tidak kita ketahui. Dalam hubungan ini maka asumsi-asumsi ideological yang tersembunyi itu secara teoritis diasumsikan Altschull sebagai idelogi yang merefleksikan ideologi pihak yang membiayai mereka. ”........... media reflect the ideology of those finance them, or ”pay the piper.” Demikian Altschull sebagaimana dikutip Shoemaker dan Reese, (1996:231) .

Terkait dengan soal pembiayaan tadi maka Altschull (1984, p.254) mengkategorikannya menjadi empat yaitu: Pertama, di dalam pola yang formal, media dikendalikan oleh Negara, (seperti halnya di banyak negara-negara komunis). Kedua, di dalam pola komersial, media merefleksikan ideologi para pengiklan dan pemilik media. Ketiga, di bawah pola kepentingan atau interest, isi media merefleksikan ideologi kelompok finansial yang membiayai media, misalnya seperti partai politik atau kelompok keagamaan. Keempat di dalam pola yang informal, isi media merefleksikan tujuan para individu kontributor yang ingin mempromosikan pandangan-pandangan mereka . Dengan demikian, ideologi media pada dasarnya berbasis pada soal pembiayaan operasionalisasi media yang berdasarkan sumbernya diidentifikasi bervariasi pada empat pola yang terdiri dari pola formal (merefleksikan negara), komersial (merefleksikan pengiklan dan pemilik media), kepentingan (interest) (merefleksikan kepentingan partai politik atau kelompok keagamaan), dan informal (merefleksikan kontributor).

ooo
Penutup
Sebagaimana telah dibatasi sebelumnya pada awal, tulisan ini membatasi telaahnya pada upaya mengetahui konsep ideologi itu sendiri dan menyangkut bagaimana keterkaitan ideologi itu dengan media. Dari hasil pembahasan terhadap kedua topik dimaksud dapat dikemukakan beberapa hal sbb. : Terkait dengan topik pertama, maka : (1) pada hakikatnya ideology itu merupakan sebuah konsepsi seseorang atau suatu kelompok mengenai kehidupan social yang mengandung prinsip dan aspirasi; (2) Istilah ideologi pertama kali dilontarkan oleh Antoine Destutt de Tracy pada saat bergejolaknya Revolusi Prancis. De Tracy mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang pemikiran manusia, yang mampu menunjukkan arah yang benar menuju masa depan; (3) Sejalan dengan terdistorsinya makna ideologi dalam pandangan De Tracy, maka bermunculan beragam jenis ideologi yang terdiri dari Di antaranya demokrasi, liberalisme, nasionalisme, marxisme, komunisme, fasisme, sosialisme, dan anarkhisme, kapitalisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, kristen, fasisme, monarkisme, nazisme, libertarianisme, sosialisme, dan demokrat sosial, elitism, extremism, federalism,imperialism, leftism , meritocracy , progressivism, radicalism , reactionism, republicanism , rightism , dan Utopianism; (4) aplikasi suatu ideologi cenderung inheren dengan perilaku orang per orang dalam kehidupan rutin berdasarkan pertimbangan efek yang diinginkannnya ketimbang berdasarkan kebenaran ideologi itu sendiri. Kehidupan rutin itu sendiri bisa dalam konteks kehidupan di lingkungan rumah tangga, tempat tinggal maupun lingkungan pekerjaan seperti dalam organisasi media. Terkait dengan topik kedua, maka : (1) setiap anggota komunitas pada sejumlah komunitas yang ada dalam suatu struktur organisasi media, misalnya seperti struktur organisasi redaksi suratkabar, berpeluang untuk mempraktikkan ideologinya masing-masing; (2) Terkait dengan teks media, praktik ideologi itu bisa diaplikasikan lewat proses teksasi media itu sendiri melalui masing-masing peran individu dalam struktur organisasi redaksi media; (3) pentingnya media bagi ajang praktik terhadap ideologi, itu karena media dianggap strategis dalam bekerja secara ideologis guna terbangunnya kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa; (3) antara ideologi dan media sesungguhnya memiliki hubungan yang erat dalam kaitan proses produksi pesan. Keeratan itu berupa melekatnya ideologi dominan dalam proses produksi isi media. Ideologi menjadi faktor paling dominan jika dibandingkan dengan empat faktor lainnya yaitu faktor pada level individu, level rutinitas media, level organisasi dan level ekstramedia; (4) ideologi itu bersifat abstrak dan upaya mengkonkritkan keabstarakan ideologi, diantaranya dapat dilakukan dengan cara mengenal potensi-potensi dasar yang memunculkan ideologi itu sendiri; (5) Sebagai faktor paling dominan dalam proses mediasi, maka dalam perspektif Timur (kritikal) karenanya ideologi media menjadi penting untuk diketahui. Kepentingan itu terutama untuk membuka kedok atau membongkar asumsi-asumsi ideological yang tersembunyi dalam kata-kata dari teks tertulis maupun percakapan lisan guna melawan dan menolaknya sebagai sesuatu yang tidak kita ketahui; dan (6) ideologi media pada dasarnya berbasis pada soal pembiayaan operasionalisasi media yang berdasarkan sumbernya diidentifikasi bervariasi pada empat pola yang terdiri dari pola formal (merefleksikan negara), komersial (merefleksikan pengiklan dan pemilik media), kepentingan (interest) (merefleksikan kepentingan partai politik atau kelompok keagamaan), dan informal (merefleksikan kontributor).
ooo

Daftar Pustaka
Buku :
Fairclougn, Norman, 1995, Critical Discourse Analysis : The Critical Study of Language, London and New York, Longman, p.76.
Gurevith, Michael, Tony Bennett, James Curran and Woollacott, Culture, Society and The Media. Methuen London and New York, 1982, 263.
McGregor, Sue L.T., dalam, “Critical Discourse Analysis- A Primer”, dalam http://www.kon.org/ archives/forum/15-1/mcgregorcda.html.
Seliger, dalam John B. Thompson, Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, 2003, Diterjemahkan, Haqqul Yaqin, Yogyakarta, IRCiSoD, hlm. 132.

Shoemaker, Pamela J., Reese dan Reese, Stephen D., 1996, Mediating The Message, Theories of Influences on Mass Media Content,NY, Longman Publishers USA, p. 223.
Website :
http://www.thefreedictionary.com/ideology
http://www.allwords.com/word-ideology.html
http://atheism.about.com/library/glossary/general/bldef_ideology.htm
http://www.freelists.org/archives/ppi/03-2006/msg00142.html
http://atheism.about.com/library/glossary/general/bldef_ideology.htm
http://www.thefreedictionary.com/ideology; http://id.wikipedia.org/wiki/Ideologi;