Senin, 19 April 2010

IDEOLOGI DAN WACANA MEDIA

IDEOLOGI DAN WACANA MEDIA
Hasyim Ali Imran

Pendahuluan

Ideologi merupakan salah satu jargon yang sudah tidak asing lagi di kalangan akademisi komunikasi yang tertarik mempelajari fenomena komunikasi bermedia melalui paradigma kritis. Jargon lainnya yang juga termasuk dianggap lazim, diantaranya yaitu power dan hegemony.
Paradigma kritis sendiri, yakni sebagai satu dari sejumlah paradigma yang ada dalam paradigma ilmu sosial (baca : ilmu komunikasi), jika ditelusuri dari segi historikal kemunculannya, maka pada hakekatnya merupakan reaksi dari rangkaian reaksi yang ada dalam paradigma ilmu sosial ketika paradigma dimaksud diorientasikan pada upaya menemukan kebenaran dari beragam fenomena sosial yang ada .
Paradigma kritis diketahui muncul sebagai reaksi kritis terhadap epistemologisnya paradigma konstruktivis dalam menemukan kebenaran ilmu. Dalam pandangan paradigma kritis, termasuk terhadap fenomena komunikasi bermedia, maka rumusan kebenaran itu tidak cukup hanya diacu menurut perspektif obyek kebenaran yang nota bene dinilai memiliki free will belaka sehubungan obyek kebenaran itupun tidak eksis dalam ruang yang vakum, melainkan terikat dengan lingkungannya. Lingkungan dimaksud, misalnya menyangkut karakteristik, latar belakang historis, dan tentunya termasuk di sini menyangkut ideologi. Dengan demikian, dalam paradigma kritis, faktor lingkungan dimaksud diyakini sangat mempengaruhi obyek kebenaran dalam bereaksi terhadap sesuatu obyek, misalnya menyangkut benda atau situasi yang dalam jargon kritikal lazim disebut dengan teks. Karena itu, menurut paradigma kritis, maka kebenaran dapat diperoleh hanya jika dilakukan proses unmasking terhadap faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi obyek kebenaran dalam bereaksi terhadap sesuatu obyek tadi guna diperolehnya jawaban “Why”. Sejalan dengan ini, maka dalam kaitan menemukan kebenaran menyangkut fenomena teksasi media mengenai sebuah wacanapun misalnya, juga harus dilakukan proses unmasking karena media dalam pewacanaannya memang dicurigai terikat dengan ideologi tertentu.
Terkait dengan posisi penting ideologi sebagai sebuah jargon dalam paradigma kritikal tadi, tulisan ini akan mencoba menelaah lebih jauh menyangkut ideologi dimaksud. Telaahnya akan dibatasi pada upaya mengetahui konsep ideologi itu sendiri. Termasuk pula di sini akan dibahas khusus menyangkut keterkaitan ideologi dengan media. Hasil bahasan yang demikian diharapkan dapat berguna sebagai pengantar awal bagi akademisi yang mulai tertarik terhadap paradigma kritikal khususnya dalam kaitan upaya memahami fenomena wacana media.

Pembahasan

1. Ideologi
Secara leksikal ideologi diantaranya diartikan sebagai suatu tubuh gagasan yang mencerminkan aspirasi dan kebutuhan sosial dari seorang individu, kelompok, kelas atau budaya. Atau, sebagai satu set doktrin atau kepercayaan yang membentuk basis dari sebuah pandangan politik, ekonomik atau sistem lainnya. Dalam kamus lain juga disebutkan bahwa ideologi merupakan suatu doktrin, filosofi, tubuh kepercayaan atau prinsip yang dimiliki oleh seorang individu atau kelompok. Dari dua definisi leksikal ini memberikan pengertian bahwa pada hakikatnya ideology itu merupakan sebuah konsepsi seseorang atau suatu kelompok mengenai kehidupan social yang mengandung prinsip dan aspirasi.
Dengan hakikat yang seperti itu, dalam pandangan beberapa akademisi ideologi juga tampak memiliki arti yang tidak jauh berbeda dengan pengertian ideologi dalam artian leksikal. Hanya saja, pengertian akademisi dimaksud tampak sudah dengan tegas memperlihatkan fungsi dari ideologi itu. Fungsi dimasud tercermin dari kata-kata :mengontrol” dan ”mengatur”. Terkait dengan ini, Raymond Williams misalnya, mendefinisikan ideologi itu sebagai sebuah bentuk yang relatif formal dan mengartikulasikan sistem makna, nilai-nilai dan kepercayaan, ataupun semacamnya yang diabstraksikan sebagai sebuah “pandangan dunia” atau “pandanganan kelas” (Williams, 1977, p 109). Samuel Becker (1984; p 69), ideologi merupakan “cara kita mempersepsi dunia kita dan diri kita; ideologi mengontrol apa yang kita lihat sebagai sesuatu yang “alami”. “Sebuah ideologi merupakan suatu bentuk setting, diintegrasikan dalam bingkai referensi, di mana di dalamnya melewati masing-masing dari kita untuk melihat dunia dan yang mengatur tindakan kita semua” (Beckers, 1984, p 69). .
Istilah ideologi sendiri pertama kali dilontarkan oleh Antoine Destutt de Tracy (1754 - 1836), pada saat bergejolaknya Revolusi Prancis . De Tracy mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang pemikiran manusia, yang mampu menunjukkan arah yang benar menuju masa depan. Namun, seperti dikatakan Novel Ali pemikiran ini mengalami distorsi makna. Napoleon Bonaparte (1769-1821) yang sebelum berkuasa sangat menghormati De Tracy, memanipulasi pengertiannya mengenai ideologi setelah menjadi kaisar dengan cara memojokkan De Tracy. Ideologi yang sebelumnya ditafsirkan De Tracy sebagai sebuah konsep yang konkritpun berubah menjadi konsep yang abstrak.
Di era kekuasaan Napoleon, ideologi dipandang sebagai konsep yang abstrak, sehingga membuka peluang untuk tidak lagi bisa menjadi definisi yang tunggal pada pergantian generasi. Artinya, setiap generasi menganut definisi yang tidak tunggal tentang ideologi. Pemikiran umat manusia tentang ideologi, yang sebelumnya mengandung nilai-nilai luhur untuk menyongsong hari esok, dimanipulasi hasrat yang tidak lagi luhur. Akibatnya, ideologi diposisikan dan difungsikan sebagai sebuah doktrin yang memberikan rangsangan bagi berkembangnya inspirasi perorangan atau kelompok manusia mengarah gerakan massa. Mulai yang bersifat santun, lembut dan persuasif sampai dalam bentuk perebutan kekuasaan dengan menggunakan kekerasan yang melanggar konstitusi negara.
Sejalan dengan itu, berbagai pahampun bermunculan mewarnai sejumlah penafsiran ideologi setelah De Tracy. Di antaranya demokrasi, liberalisme, nasionalisme, marxisme, komunisme, fasisme, sosialisme, dan anarkhisme. Belakangan, seperti disebutkan dalam situs Atheism.com, ideology inipun cenderung dibuat dengan mengacu pada kebiasaan-kebiasan psikologis, kepercayaan, anggapan-anggapan, harapan-harapan dan lain sebagainya. Karena itu bermunculanlah beragam ideologi lainnya seperti kapitalisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, kristen, fasisme, monarkisme, nazisme, libertarianisme, sosialisme, dan demokrat sosial, elitism, extremism, federalism,imperialism, leftism , meritocracy , progressivism, radicalism , reactionism, republicanism , rightism , dan Utopianism.
Sebagai sebuah konsepsi bagi setiap individu atau kelompok dalam kehidupan sosialnya, maka itu dapat diartikan bahwa ideologi itu dengan sendirinya cenderung menjadi basis bagi individu maupun kelompok dalam berperilaku sosialnya. Atau, meminjam istilah Seliger, ideologi berperan sebagai pembimbing tindakan. Perilaku sosial itu sendiri, seperti dikatakan Gramsci (1971:326) sebagaimana dikutip Fairclougn , baik terkait dengan bidang kehidupan seni, hukum, aktifitas ekonomi maupun dalam manifestasi kehidupan individu dan kolektif. Dengan demikian, ideologi itu memang erat dengan tindakan dan ideologi ditentukan dalam konteks efek-efek sosial mereka ketimbang nilai-nilai kebenaran mereka . Ini berarti bahwa aplikasi suatu ideologi cenderung inheren dengan perilaku orang per orang dalam kehidupan rutin berdasarkan pertimbangan efek yang diinginkannnya ketimbang berdasarkan kebenaran ideologi itu sendiri. Kehidupan rutin itu sendiri bisa dalam konteks kehidupan di lingkungan rumah tangga, tempat tinggal maupun lingkungan pekerjaan seperti dalam organisasi media.

2. Ideologi dan Media

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, eksistensi suatu teks itu dapat muncul di beragam tempat dan salah satunya di media (baca: suratkabar). Media suratkabar sendiri, sebagai sebuah institusi bisnis, juga sekaligus menjadi sebuah organisasi yang di dalamnya terdapat sebuah struktur dan jenjang yang kemudian menjadi pembeda peran dan fungsi bagi setiap orang yang terdapat dalam struktur organisasi. Di sisi lain, hal itu sekaligus juga menjadi pembentuk bagi munculnya sejumlah komunitas dalam suatu keseluruhan organisasi media. Terkait dengan kategori umum media yang dibagi menurut bidang isi yang dikelolanya, yaitu isi bidang redaksi dan isi bidang perusahaan, maka sejumlah komunitas tadi pada dasarnya menjadi terdiri dari dua bagian besar pula, yaitu sejumlah komunitas yang tergabung dalam struktur organisasi perusahaan dan yang tergabung dalam struktur organisasi bidang redaksi.
Dalam kaitan pernyataan sebelumnya bahwa aplikasi suatu ideologi itu cenderung inheren dengan perilaku orang per orang dalam kehidupan rutinnya, maka setiap anggota komunitas pada sejumlah komunitas yang ada dalam suatu struktur organisasi media, misalnya seperti struktur organisasi redaksi suratkabar, karenanya menjadi berpeluang untuk mempraktikkan ideologinya masing-masing. Terkait dengan teks media, maka praktik ideologi itu diaplikasikan lewat proses teksasi media itu sendiri melalui masing-masing peran individu dalam struktur organisasi redaksi media. Sementara mengenai pentingnya media bagi ajang praktik terhadap ideologi, maka menurut Althusser (1971, dalam Alzastraouw, 2000), sebagaimana dikutip Sobur ( 2001:30), itu karena media dianggap strategis dalam bekerja secara ideologis guna terbangunnya kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa. Kelompok berkuasa ini, wujudnya bisa berupa negara, pemilik media ataupun sejenisnya. Jadi, media di sini menjadi alat bagi penguasa untuk mengaplikasikan ideologinya melalui teks media demi terwujudnya kepatuhan khalayak, khususnya menyangkut substansi yang diwacanakan dalam teks. Dengan demikian, antara ideologi dan media sesungguhnya memiliki hubungan yang erat dalam kaitan proses produksi pesan. Keeratan itu, seperti dikatakan Hall yakni berupa melekatnya ideologi dominan dalam proses produksi isi media.
Dengan keeratan hubungan antara ideologi dan media yang seperti itu, dalam kaitan tingkatan pengaruh terhadap isi media yang dimodelkan oleh Shoemaker dan Reese , diketahui memang bahwa ideologi menjadi faktor paling dominan jika dibandingkan dengan empat faktor lainnya. Faktor lainnya dimaksud yaitu faktor pada level individu, level rutinitas media, level organisasi dan level ekstramedia. Dalam hubungan ini dikatakan bahwa ideologi menjadi faktor pengaruh yang paling menyeluruh dari semua pengaruh yang ada dalam proses mediasi. Ideologi di sini diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai individu untuk melihat realita dan bagaimana mereka menghadapinya
Jika faktor-faktor lain yang sifatnya lebih konkrit, misalnya seperti dari faktor level individual yang diantaranya berbentuk karakteristik pekerja, maka level ideologi itu dengan demikian sifatnya abstrak. Meskipun demikian, para akademisi di USA misalnya, maka dalam upayanya mengkonkritkan keabstarakan ideologi, itu dilakukan dengan cara mengenal potensi-potensi dasar yang memunculkan ideologi itu sendiri. Dalam kaitan ini maka yang menjadi potensi dasar bagi munculnya suatu ideologi di USA secara fundamental yaitu berupa kepercayaan akan nilai-nilai sistem ekonomi kapitalis, kepemilikan pribadi, keuntungan pengusaha, dan pasar bebas . Dengan demikian, keabstrakan suatu ideologi sebenarnya memiliki peluang untuk dapat diidentifikasi menjadi konkrit, dan itu bisa dilakukan melalui upaya pengenalan terhadap potensi-potensi dasar yang memunculkan ideologi itu sendiri.
Sebagai faktor paling dominan dalam proses mediasi, maka dalam perspektif Timur (kritikal) karenanya ideologi media tadi menjadi penting untuk diketahui. Dalam pandangan Fairclough, sebagaimana sudah disinggung-singgung sebelumnya, maka kepentingan itu terutama untuk membuka kedok atau membongkar asumsi-asumsi ideological yang tersembunyi dalam kata-kata dari teks tertulis maupun percakapan lisan guna melawan dan menolaknya sebagai sesuatu yang tidak kita ketahui. Dalam hubungan ini maka asumsi-asumsi ideological yang tersembunyi itu secara teoritis diasumsikan Altschull sebagai idelogi yang merefleksikan ideologi pihak yang membiayai mereka. ”........... media reflect the ideology of those finance them, or ”pay the piper.” Demikian Altschull sebagaimana dikutip Shoemaker dan Reese, (1996:231) .
Terkait dengan soal pembiayaan tadi maka Altschull (1984, p.254) mengkategorikannya menjadi empat yaitu: Pertama, di dalam pola yang formal, media dikendalikan oleh Negara, (seperti halnya di banyak negara-negara komunis). Kedua, di dalam pola komersial, media merefleksikan ideologi para pengiklan dan pemilik media. Ketiga, di bawah pola kepentingan atau interest, isi media merefleksikan ideologi kelompok finansial yang membiayai media, misalnya seperti partai politik atau kelompok keagamaan. Keempat di dalam pola yang informal, isi media merefleksikan tujuan para individu kontributor yang ingin mempromosikan pandangan-pandangan mereka . Dengan demikian, ideologi media pada dasarnya berbasis pada soal pembiayaan operasionalisasi media yang berdasarkan sumbernya diidentifikasi bervariasi pada empat pola yang terdiri dari pola formal (merefleksikan negara), komersial (merefleksikan pengiklan dan pemilik media), kepentingan (interest) (merefleksikan kepentingan partai politik atau kelompok keagamaan), dan informal (merefleksikan kontributor).
ooo
Penutup
Sebagaimana telah dibatasi sebelumnya pada awal, tulisan ini membatasi telaahnya pada upaya mengetahui konsep ideologi itu sendiri dan menyangkut bagaimana keterkaitan ideologi itu dengan media. Dari hasil pembahasan terhadap kedua topik dimaksud dapat dikemukakan beberapa hal sbb. : Terkait dengan topik pertama, maka : (1) pada hakikatnya ideology itu merupakan sebuah konsepsi seseorang atau suatu kelompok mengenai kehidupan social yang mengandung prinsip dan aspirasi; (2) Istilah ideologi pertama kali dilontarkan oleh Antoine Destutt de Tracy pada saat bergejolaknya Revolusi Prancis. De Tracy mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang pemikiran manusia, yang mampu menunjukkan arah yang benar menuju masa depan; (3) Sejalan dengan terdistorsinya makna ideologi dalam pandangan De Tracy, maka bermunculan beragam jenis ideologi yang terdiri dari Di antaranya demokrasi, liberalisme, nasionalisme, marxisme, komunisme, fasisme, sosialisme, dan anarkhisme, kapitalisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, kristen, fasisme, monarkisme, nazisme, libertarianisme, sosialisme, dan demokrat sosial, elitism, extremism, federalism,imperialism, leftism , meritocracy , progressivism, radicalism , reactionism, republicanism , rightism , dan Utopianism; (4) aplikasi suatu ideologi cenderung inheren dengan perilaku orang per orang dalam kehidupan rutin berdasarkan pertimbangan efek yang diinginkannnya ketimbang berdasarkan kebenaran ideologi itu sendiri. Kehidupan rutin itu sendiri bisa dalam konteks kehidupan di lingkungan rumah tangga, tempat tinggal maupun lingkungan pekerjaan seperti dalam organisasi media. Terkait dengan topik kedua, maka : (1) setiap anggota komunitas pada sejumlah komunitas yang ada dalam suatu struktur organisasi media, misalnya seperti struktur organisasi redaksi suratkabar, berpeluang untuk mempraktikkan ideologinya masing-masing; (2) Terkait dengan teks media, praktik ideologi itu bisa diaplikasikan lewat proses teksasi media itu sendiri melalui masing-masing peran individu dalam struktur organisasi redaksi media; (3) pentingnya media bagi ajang praktik terhadap ideologi, itu karena media dianggap strategis dalam bekerja secara ideologis guna terbangunnya kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa; (3) antara ideologi dan media sesungguhnya memiliki hubungan yang erat dalam kaitan proses produksi pesan. Keeratan itu berupa melekatnya ideologi dominan dalam proses produksi isi media. Ideologi menjadi faktor paling dominan jika dibandingkan dengan empat faktor lainnya yaitu faktor pada level individu, level rutinitas media, level organisasi dan level ekstramedia; (4) ideologi itu bersifat abstrak dan upaya mengkonkritkan keabstarakan ideologi, diantaranya dapat dilakukan dengan cara mengenal potensi-potensi dasar yang memunculkan ideologi itu sendiri; (5) Sebagai faktor paling dominan dalam proses mediasi, maka dalam perspektif Timur (kritikal) karenanya ideologi media menjadi penting untuk diketahui. Kepentingan itu terutama untuk membuka kedok atau membongkar asumsi-asumsi ideological yang tersembunyi dalam kata-kata dari teks tertulis maupun percakapan lisan guna melawan dan menolaknya sebagai sesuatu yang tidak kita ketahui; dan (6) ideologi media pada dasarnya berbasis pada soal pembiayaan operasionalisasi media yang berdasarkan sumbernya diidentifikasi bervariasi pada empat pola yang terdiri dari pola formal (merefleksikan negara), komersial (merefleksikan pengiklan dan pemilik media), kepentingan (interest) (merefleksikan kepentingan partai politik atau kelompok keagamaan), dan informal (merefleksikan kontributor).
ooo

Daftar Pustaka
Buku :
Fairclougn, Norman, 1995, Critical Discourse Analysis : The Critical Study of Language, London and New York, Longman, p.76.
Gurevith, Michael, Tony Bennett, James Curran and Woollacott, Culture, Society and The Media. Methuen London and New York, 1982, 263.
McGregor, Sue L.T., dalam, “Critical Discourse Analysis- A Primer”, dalam http://www.kon.org/ archives/forum/15-1/mcgregorcda.html.
Seliger, dalam John B. Thompson, Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, 2003, Diterjemahkan, Haqqul Yaqin, Yogyakarta, IRCiSoD, hlm. 132.

Shoemaker, Pamela J., Reese dan Reese, Stephen D., 1996, Mediating The Message, Theories of Influences on Mass Media Content,NY, Longman Publishers USA, p. 223.
Website :
http://www.thefreedictionary.com/ideology
http://www.allwords.com/word-ideology.html
http://atheism.about.com/library/glossary/general/bldef_ideology.htm
http://www.freelists.org/archives/ppi/03-2006/msg00142.html
http://atheism.about.com/library/glossary/general/bldef_ideology.htm
http://www.thefreedictionary.com/ideology; http://id.wikipedia.org/wiki/Ideologi;

Kamis, 01 April 2010

Functional Perspective on Group Decision Making

BEKERJANYA TEORI DALAM REALITAS SOSIAL
hasyim ali imran
Latar Belakang dan Permasalahan
Salah satu isu penting dan terus beraktualisasi dalam dunia akademik, adalah isu yang berkaitan dengan elemen epistemologis dalam tataran filsafat ilmu. Elemen mana, secara esensial berkaitan dengan persoalan bagaimana cara menemukan kebenaran ilmiah dari obyek ontologis suatu ilmu.
Ada beberapa topik penting yang menjadi fokus dalam telaah elemen epistemologis tadi, diantaranya menyangkut komponen-komponen paradigma penelitian (misal : positivis, konstruktivis, kritikal), metode penelitian (misal : fenomenologi, studi kasus, semiotika, framing, CDA, survey, dll), pendekatan penelitian (kuantitatif vs kualitatif); dan teori.
Pada proses bekerjanya suatu ilmu dalam menemukan kebenaran dari obyek formanya, yang notabene lazimnya dimulai dari upaya melakukan perumusan masalah, semua komponen tadi sejatinya bukanlah sebagai sesuatu yang partial, melainkan bekerja secara terpadu. Artinya, ketika suatu fenomena yang menjadi obyek amatan hendak dirumuskan menjadi sebuah masalah penelitian, maka ketika itu telah terjadi upaya melakukan proses konseptualisasi gejala. Upaya ini sendiri dalam prosesnya hanya dapat terjadi kalau digunakannya teori sehubungan konsep itu adanya hanya dalam teori.
Dalam kaitan itu, seiring keterpaduan tadi, maka dalam penggunaan suatu teori--paradigma, metode penelitian dan pendekatan yang dikandungnya sangat perlu diperhatikan dalam relevansinya dengan kandungan aspek aksiologis penelitian yang menjadi orientasi peneliti. Ibnu Hamad menyebut proses kerja ilmiah yang demikian dengan istilah ”tepuk tigo”. Maksudnya, sekali membuat masalah penelitian, maka dengan kesadaran ilmiah yang tinggi langsung tercakup tiga komponen penting dalam proses riset, yakni : (I) Perumusan Masalah ; (II) Konsep/Teori ; (III) Paradigma penelitian, metode penelitian dan pendekatan penelitian.
Dari ’keterpaduan ilimiah’ barusan, komponen teori tampak sangat berperan vital bagi terlaksananya suatu aktifitas riset yang ideal secara ilmiah itu. Karenanya, itu berarti pula bahwa pemahaman akan sebuah teori secara substansial menjadi sangat penting. Misalnya dari segi model bekerjanya teori (transmisi atau ritual); genre-nya, atau perspektifnya (Barat atau Timur).
Dalam realitas akademis (baca = komunikologi), apa yang menjadi ideal tadi dalam aplikasinya ternyata masih cukup banyak dapat ditemui yang tidak implementatif. Berdasarkan fenomenanya, itu berindikasi karena teori dipahami secara tidak komprehensif. Teori dipahami secara parsial, misalnya tanpa mengaitkan sebuah teori dengan perspektif yang dianutnya. Akibatnya, antara lain teori berperspektif Timur diacu dalam menjelaskan suatu fenomena komunikasi yang menggunakan paradigma positivis. Terutama ini terjadi pada kalangan pemula, misal pada pembuatan skripsi-skripsi pada program studi ilmu komunikasi.
Fenomena akademis yang tidak ideal itu, tentunya menjadi ironi bagi proses pengembangan ilmu komunikasi. Mungkin banyak faktor yang menyebabkan munculnya fenomena akademis tersebut, misalnya mungkin terkait dengan proses pengajaran filsafat ilmu komunikasi. Namun begitu, salah satu diantaranya yang juga tidak kalah pentingnya, mungkin karena berkaitan dengan soal pemahaman dasar tentang bagaimana sebuah teori itu bekerja dalam realitas sosial. Guna maksud tersebut, kiranya pemaparan tentang bukti-bukti bekerjanya sebuah teori komunikasi menjadi penting untuk dilakukan. Tentu saja, hal yang nota bene menjadi upaya konvergentif antara dunia teori (ide) dengan dunia empirik tersebut, bisa diharapkan berperan menjadi sebagai salah satu alat dini dalam upaya memahami teori yang sejatinya memang kompleks itu.
Sebagai salah satu ilmu sosial yang obyek formanya difokuskan pada fenomena human communication, ilmu komunikasi telah memiliki banyak teori. Berdasarkan catatan akademisi komunikasi, teori itu jumlahnya telah mencapai ratusan. Terkait dengan ini, untuk kepentingan maksud tulisan ini, maka sebagai kasus ditetapkan ”Functional Perspective on Group Decision Making” sebagai obyek telaah.
Functional Perspective on Group Decision Making
Dari apa yang dikemukakan oleh kedua penulis perspektif tersebut mengenai fenomena komunikasi individu dalam suatu kelompok yang terlibat dalam suatu proses pengambilan keputusan (lihat, Griffin, 2003), kiranya belum merupakan sebuah teori namun masih sebatas perspektif. Meskipun demikian, sehubungan telah dimunculkannya sejumlah konsep, sesuai dengan ciri-ciri teori yang notabene satu diantaranya mengandung unsur konsep, maka perspektif tersebut sudah dapat pula disebut sebagai teori komunikasi. Akan tetapi, terkait dengan belum terlihatnya upaya penghubungan konsep-konsep (eksplanasi) yang dikemukakan dalam perspektif tersebut oleh kedua pencetusnya, yaitu Randy Hirokawa & Dennis Gouran, maka sebagai teori komunikasi, perspektif tersebut masih tergolong sebagai teori taksonomi.
Menurut perspektif tersebut, maka setiap komunikasi yang dilakukan anggota kelompok dalam suatu proses komunikasi guna terbentuknya keputusan kelompok, itu mempunyai fungsi-fungsi. Fungsi-fungsi tersebut dikemukakan melalui konsep-konsep yang terdiri dari : 1) fungsi promotive; 2) fungsi disruptive; 3) fungsi counteractive. Dengan fungsi ini, maka ini berarti pula bahwa setiap orang yang berkomunikasi dalam kelompok, pada dasarnya individu dalam kelompok itu tengah berupaya memainkan peran yang bervariasi pada tiga fungsi sebelumnya.
Individu yang memerankan fungsi promotive, ini berarti individu tersebut merupakan individu yang mendukung topik-topik yang diangkat dalam diskusi kelompok. Sementara individu yang memerankan fungsi disruptive, adalah individu yang mengganggu proses pengambilan keputusan dalam kelompok. Sedang Individu yang memerankan fungsi counteractive yaitu individu yang berupaya mengendalikan jalannya proses pengambilan keputusan dengan jalan selalu berupaya menyadarkan anggota kelompok lainnya akan isu yang menjadi topik utama dalam proses diskusi pengambilan keputusan.

Bekerjanya Konsep-Konsep Dalam Realitas
Beberapa waktu lalu diadakan diskusi tentang pembuatan kuesioner penelitian penggunaan media internet di kalangan masyarakat Propinsi Jambi, Babel, Bengkulu dan Jakarta. Hadir dalam diskusi ini dua sarjana (S1) teknik elektro arus lemah yang mahir di bidang internet yang diposisikan sebagai konsultan.
Rapat dibuka oleh kepala BPPI dengan menyampaikan maksud dan tujuan dari diadakannya pertemuan. Singkatnya, kepala menyampaikan bahwa pertemuan bertujuan agar pihak BPPI yang awam di bidang internet terbantu oleh kehadiran konsultan dalam menyusun kuesioner penelitian yang baik menyangkut penggunaan internet, yang respondennya dirancang sebagai terdiri dari aparat pemerintah dan masyarakat biasa. Disampaikan juga, bahwa penelitian ini merupakan pertama kali dilakukan BPPI dan karenanya diorientasikan sebagai penelitian awal.
Saat diberi kesempatan berbicara, konsultan menyampaikan bahwa dalam meneliti penggunaan internet, tidak cukup hanya sekedar menelusuri bagaimana masyarakat mengakses internet, akan tetapi perlu ditelusuri lebih jauh, yakni mencapai pada tahap manajemen informasi. Dalam kaitan penjelasannya, maka muncullah konsep-konsep portal pelayanan publik; organisasi pengelola; infrastruktur dan aplikasi dasar. Konsep-konsep yang demikian dijelaskan dalam konteks variabel mayor yang bernama Planning organized. Lanjutan proses manajemen berikut, yaitu organizing. Dalam komponen manajemen ini dijelaskan berkaitan dengan soal pengimplementasian apa yang telah direncanakan. Kemudian dilanjutkan pada kaitannya dengan komponen manajemen berikut, yaitu aktuating. Aktuating dijelaskan dalam kaitannya dengan pengelolaan isi pesan internet yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Setelah selesai presentasi, waktu dikembalikan kepada Kepala BPPI. Kepala BPPI melemparkan kepada floor untuk bertanya. Salah seorang pesertapun ambil waktu untuk berbicara. “ ..... tadi saya mendengar istilah portal. Namun saya masih kurang jelas. Tapi kalau saya tak salah tangkap, portal itu semacam tampilan pertama di layar yang memberikan banyak pilihan, atau bagaimana ....?” Pembicara lainnya mengatakan, “....jadi kalau e-govt itu dari segi manajemen tadi masuk dalam komponen mana ?” Kemudian disusul oleh pembicara lain, “ ... infra struktur dan aplikasi dasar itu kira-kira berupa apa saja, Pak ?” Jenis-jenis pertanyaan yang dicontohkan barusan kiranya mencerminkan perilaku komunikasi anggota kelompok diskusi yang memerankan fungsi promotive, karena pertanyaan-pertanyaan mereka sifatnya mendukung saja apa saja yang telah disampaikan konsultan tadi dalam presentasinya.
Setelah pertanyaan tadi dijawab, penanya lain berkesempatan untuk menyampaikan pemikirannya kepada presenter. “Pak, kalau HP itu masuk internet juga nggak, sebab banyak HP sekarang yang ada fitur WAP-nya, gimana tuh, Pak?”. Pertanyaan ini dapat diklasifikasikan sebagai pemeranan fungsi disruptif dari seorang peserta dalam proses komunikasi kelompok karena topiknya sudah melenceng dari topik utama yang sebelumnya sudah disepakati, bahwa internet yang dimaksud dalam diskusi adalah yang dikomputer, tidak termasuk yang terfasilitasi lewat HP.
Terakhir, pertanyaan datang dari seoranng peneliti. “Menyimak semua materi presentasi serta penjelasan-penjelasan dari konsultan barusan, saya melihat kita ini sudah terlalu jauh ke luar dari konteks pertemuan ini. Saya memang awam dibidang internet, namun bagi saya, dalam melihat fenomena internet sebagai salah satu bentuk media komunikasi, maka dalam upaya memahaminya kita harus tetap mendudukkannya dalam konteks fenomena proses komunikasi cyber yang positivistik. Karena itu, maka kita tetap harus menempatkannya dalam proses komunikasi yang komponennya terdiri dari komunikator-pesan-media dan komunikan. Jadi kalau kita kembalikan kepada tujuan semula, seperti disampaikan oleh Kepala BPPI dalam pembukaannya tadi, maka mempelajari internet di sini kita tidak perlu sampai sejauh seperti yang dikemukakan presenter sebelumnya. Mana ada orang awam yang tahu apa itu aplikasi dasar, portal, yah kalau pun ada terbataslah.... Poin utama kita,kan, hanya berupaya mengetahui bagaimana masyarakat menggunakan internet. Itu saja, sesuai dengan ciri penelitian awal. Jadi posisi konsultan di sini kita harapkan adalah, bagaimana membuat kuesioner yang menelusuri gambaran masyarakat dalam menggunakan internet. Kami awam internet, jadi tolong bantu kami memahami jargon-jargon mastel supaya tidak keliru menyusun kuesioner. Sekian dan terima kasih.”
Komentar yang dikemukakan oleh peneliti tadi dapat digolongkan sebagai individu dalam kelompok yang berupaya memerankan fungsi counteractive. Individu tersebut berupaya menyadarkan semua peserta diskusi agar tidak ke luar dari topik utama diskusi. Pasca komentar tersebut, akhirnya konsultan sadar dan menanyakan kembali maksud dan tujuan penelitian yang sebenarnya kepada Kepala BPPI. Setelah disadari, diskusi kembali normal dan menghasilkan butir-putir masukan yang relavan dengan penelitian yang dimaksudkan pihak BPPI.
Implikasi
Konsep-konsep yang ada dalam perspektif ini secara praktis bermanfaat dalam melihat peran-peran individu dalam kelompok. Pengetahuan tentang ini dapat membantu dalam berupaya memposisikan diri kita memainkan peran fungsi counteractive guna tidak terjebaknya kelompok dalam posisi debat kusir yang tidak efektif dan tidak efisien.


Sumber bacaan : Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill
Muted Group Theory
By Cheris Kramarae
Perempuan dinilai sebagai kelompok yang terbungkam pertama kali dikemukakan oleh antropolog sosial dari Universitas Oxford Edwin Ardener. Menurut Ardener bersama rekan sejawatnya Shirley Ardener, keterbungkaman ini disebabkan oleh karena kurangnya kekuatan yang menimpa di semua kelompok yang menempati posisi terbawah dari tiang lambang suku. Orang-orang dengan pengaruh yang kecil memiliki kesulitan dalam menyampaikan suara dari persepsi mereka yang kaum perempuan. Menurut Ardener “struktur kebungkaman mereka ada “di sana” tetapi tidak dapat ‘disadari’ dalam bahasa struktur yang lebih dominan”. Sebagai hasilnya mereka mengabaikan, mengeluh dan membuatnya menjadi tidak terlihat.
Shirley Ardener memperhatikan bahwa teori kebungkaman tidak selalu berarti bahwa kelompok yang terbungkam selalu diam. Masalahnya adalah apakah orang dapat mengatakan apa yang mereka ingin katakan kapan dan di mana mereka ingin katakan, atau haruskah mereka “mengubah pikiran mereka untuk dapat membuat mereka mengerti dalam ruang publik ?”
Cheris Kramarae yakin bahwa posisi kekuatan dominasi laki-laki dalam sebuah kelompok masyarakat merupakan jaminan bahwa ekspresi mode publik tidak akan tersedia secara langsung untuk perempuan. Pengembangan Cheris Kramarae dari konsep awal Ardener menawarkan pengetahuan tentang mengapa perempuan terbungkam dan apa yang bisa dilakukan kepada pihak yang kalah, kunci laki-laki dalam mode komunikasi publik.
Kramarae berpendapat bahwa perbedaan antara publik-pribadi yang umum dalam bahasa adalah cara yang tepat untuk memperbesar perbedaan gender dan membedakan lingkaran pengaruh seksual dalam sebuah aktifitas. Dalam logika asumsi dual lingkaran pengaruh, kata-kata perempuan biasanya dihubungkan dengan tinggal di rumah, sebuah dunia yang kecil dalam sebuah komunikasi antar manusia. Dunia pribadi ini tidak penting dibandingkan dengan dunia besar pada debat publik yang signifikan, tempat di mana kata-kata kaum laki-laki didengar.
Menurut Kramarae, bahasa adalah buatan kaum laki-laki. Bahasa pada sebuah kebudayaan tertentu tidak digunakan secara merata oleh para pengguna/pembicaranya, tidak semua pengguna bahasanya memiliki kontribusi yang sama dalam pembentukan bahasa tersebut. Perempuan tidak sebebas atau semampu laki-laki dalam menyampaikan apa yang diharapkannya, kapan dan di mana harapan mereka, karena kata-kata dan tata cara penggunaannya dibuat oleh kelompok yang dominan, yakni kaum laki-laki.
Contoh Bekerjanya Teori :
Di Indonesia, fenomena yang menunjukkan bahwa kaum perempuan sebagai kelompok terbungkam dalam komunikasi (terutama dalam pembuatan bahasa) masih kerap dijumpai di lingkungan institusi resmi, misalnya BUMN. Pada PT Taspen misalnya, peran wanita dianggap masih sebatas pada peran domestik yang nota bene tidak setara dengan kaum pria. Ini misalnya terlihat dari segi penggajian, maka dalam struktur gaji seorang karyawan pria berbeda dengan karyawan wanita. Karyawan kalangan pria diposisikan sebagai penanggung kaum wanita (istri) dari segi penggajian, sementara karyawan wanita tidak, sehingga karyawan wanita bersuami dianggap sebagai bujangan abadi yang tidak akan pernah menanggung suaminya dari segi gaji. Contoh lain, misalnya dari program-program nasional. Pada kegiatan PIN misalnya, melalui kampanye sosial kaum perempuan dicitrakan sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam menyukseskan program PIN di tingkat pelaksanaannya di masyarakat. Program PKK termasuk pula diantaranya yang menjadi simbol-simbol peran domestik perempuan yang kerap ditonjolkan. Namun dalam proses pembentukan UUAPP, sudah mulai terlihat adanya upaya sekelompok kaum perempuan untuk ikut aktif dalam proses ‘pembahasaan’ dalam RUUAPP, misalnya seperti yang dilakukan oleh Ratna sarumpaet atau ‘Oneng’.


Sumber bacaan :
Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill

soal

SOAL UJIAN UAS SKI
Penguji : Drs. Hasyim Ali Imran
Waktu : Rabu, 31 Maret 2010
Sifat : Tutup Buku ( 1 jam )

I. Beri tanda silang (X) pada jawaban yang menurut Anda benar (Jawaban benar
bernilai 1, maksimal 10)

1. B- S : Kasus Frita dengan RS Omni Internasional berhubungan dengan masalah tata cara berkomunikasi dalam sub system komunikasi Indonesia melalui media elektronik.
2. B- S : Bangsa Indonesia memiliki beragam suku bangsa. Terkait dengan itu, maka masing-masing juga memiliki norma-norma yang dijunjung tinggi di lingkungan masyarakatnya. Karenanya, setiap individu bangsa Indonesia juga menjadi wajib menjunjung tinggi norma-norma itu ketika berkomunikasi di antara sesama individu bangsa Indonesia.
3. B- S : Jika Anda menjawab ‘B’ pada soal nomor ‘2’, kewajiban itu diantaranya karena berhubungan dengan pencapaian target Sistem Komunikasi Indonesia.
4. B- S :Tingkatan bahasa yang terdapat pada suku Jawa seperti Kromo Inggil; Madyo dan Ngoko, menjadi bukti bahwa di lingkungan suku bangsa Indonesia terdapat norma-norma yang dijunjung tinggi.
5. B- S : Salah satu ciri system dalam konteks teoritis adalah memiliki intersection. Terkait dengan Sistem Komunikasi Indonesia maka jika diadopsikan wujud intersection itu adalah berupa peraturan pemerintah.
6. B- S : Environment adalah sebagai ciri lain dari sebuah system. Dalam kaitan SKI maka salah satu wujud environment itu adalah berupa system-sistem lainnya dalam system sosial Indonesia.
7. B -S : Tujuan dalam Sistem Komunikasi Indonesia disebut target dan tujuan dalam sub Sistem Komunikasi Indonesia disebut goal.
8. B–S : Goal system komunikasi Indonesia adalah mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tertera dalam Pembukaan UUD 1945 Alenia IV melalui penciptaan harmonisasi dalam berkomunikasi di antara sesama bangsa Indonesia.
9. B-S : Target Sub Sistem Komunikasi Indonesia melalui pers cetak secara yuridis diupayakan terwujud melalui UU Pers No. 40 Thn 1999.
10. B-S : Sistem Komunikasi Indonesia saat ini secara relative bersifat terbuka dan demikian pula halnya ketika Indonesia di bawah rejim Orde Baru.

II. Pilihan Berganda (Jawaban benar bernilai 2, maksimal 20)
11. Wujud supra system dari system komunikasi Indonesia adalah :
a. Sistem Hukum Indonesia b. Sistem Ekonomi Indonesia c. Sistem Budaya Indonesia d. Sistem Sosial Indonesia
12. Sub Sistem Komunikasi Indonesia melalui pers cetak dalam Orde Baru, secara yuridis tertuang melalui :
a. UU Pokok Pers No. 21/1982 b. UU No. 32/2003 c. UUD 1945 d. UU No.11/2008
13. Regulasi yang berorientasi pada terciptanya harmonisasi dalam iklim komunikasi melalui media elektronik adalah :
a. UU.No.9/1998 b. UU No. 11 Th 2008 c. UU No. 32/2003 d. UU No 40/1999
14.Sistem Komunikasi Indonesia relatif bersifat tertutup terjadi dalam era kepemimpinan:
a. Orde Baru b. Orde Lama c. Orde Reformasi d. “a” dan “b” benar
15. Jumlah kepentingan yang diakomodir dalam UU No. 40 Tentang Pers/1999 adalah :
a. Jumlah kepentingan pemerintah lebih besar dari pada jumlah kepentingan
masyarakat dan pers
b. Jumlah kepentingan Pers lebih besar dari pada jumlah kepentingan masyarakat dan
kepentingan pemerintah
c. Jumlah kepentingan masyarakat lebih besar dari pada jumlah kepentingan pers dan
pemerintah
d. Jumlah kepentingan Pers, masyarakat dan pemerintah diakomodir secara
berimbang
16. Payung hukum eksistensi institusi Dewan Pers dalam era reformasi adalah :
a. UU.No.9/1998 b. UU No. 11 Th 2008 c. UU No. 32/2003 d. UU No 40/1999
17. Payung hukum eksistensi institusi Media Watch adalah :
a. UU.No.9/1998 b. UU No. 11 Th 2008 c. UU No. 32/2003 d. UU No 40/1999
18. Legalitas eksistensi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam rangka
penyelenggaraan penyiaran di Indonesia adalah :
a. UU Penyiaran No.32/2002 b. UU Penyiaran No. 24/1997 c. UU No. 11 Th 2008
19. Demontrasi adalah hak setiap warga negara Indonesia yang dijamin oleh UUD 1945
yang kemudian pelaksanaannya dijabarkan di dalam undang-undang. Undang-undang
yang menjabarkannya adalah :
a. UU No. 9 /1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
b. UU No. 11/2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
c. UU No.32/2002 Tentang Penyiaran
d. UU No 21/1982 Tentang Pokok-Pokok Pers

20. Pilihlah alternatif jawaban di bawah ini yang menurut Anda paling benar:
a. Sehubungan frekuensi itu menjadi milik Public, maka penggunaan dan pemanfaatannya harus menjadi tanggung jawab negara. Karenanya ekspresi melalui komunikasi bermedia yang berhubungan dengan frekuensi menjadi relatif bebas.
b. Sehubungan frekuensi itu menjadi milik Public, maka penggunaan dan pemanfaatannya harus menjadi tanggung jawab negara. Karenanya ekspresi melalui komunikasi bermedia yang berhubungan dengan frekuensi menjadi relatif tidak bebas.
c. Sehubungan frekuensi itu menjadi milik Public, maka penggunaan dan pemanfaatannya harus menjadi tanggung jawab negara. Karenanya ekspresi melalui komunikasi bermedia yang berhubungan dengan jalur frekuensi menjadi relatif bebas. Prinsip ini banyak diadopsi oleh banyak negara yang menganut liberalisme dalam sistem pemerintahannya, seperti Australia, Amerika, Eropa Barat pada umumnya dan termasuk Indonesia.

III. Lengkapilah bagian yang kosong (bertanda ……. ) dalam narasi berikut ini
dengan sejumlah jawaban pada angka pilihan yang terdapat di bawah narasi :
(Jawaban yang benar bernilai 6,36, maksimal 70)
Indonesia adalah bangsa yang memiliki banyak etnis. Seiring itu maka norma-norma
sosial yang hidup dan dijunjung tinggi oleh masing-masing etnis menjadi banyak
juga. Namun demikian, keragaman norma-norma sosial itu, bagi bangsa Indonesia bukan menjadi masalah karena dianggap sebagai keragaman yang satu sifatnya. Keragaman yang satu sifatnya itu di kalangan bangsa Indonesia lazim dikenal dengan konsep(21) ......................... Pengakuan akan nilai ini sendiri, secara historis diketahui tertuang pada sumpah pemuda yang dicetuskan pada 28 Oktober 1928, yang bunyinya sbb:
Pertama.
Kami Poetera Dan Poeteri Indonesia Mengakoe Bertoempah-Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia.
Kedoea.
Kami Poetera Dan Poeteri Indonesia Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia.
Ketiga.
Kami Poetera Dan Poeteri Indonesia Mendjoendjoeng Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.

Jadi, dalam konteks Sistem Komunikasi Indonesia (SKI) yang nota bene mengadopsi konsep-konsep dalam teori sistem itu, sumpah pemuda tadi secara ideal dapat memainkan peran fungsi (22) ………………….bagi individu bangsa Indonesia ketika berkomunikasi dalam konteks SKI. Dengan kesadaran ini, maka (23) .............................SKI secara relatif akan mudah diwujudkan. Demikian pula halnya dalam pencapaian (24) ………...........................sub SKI, misalnya sub SKI Pers (cetak) yang diatur dalam (25) ............................. Meskipun dalam undang-undang tersebut kepentingan itu relatif tidak seimbang yang sifatnya lebih memihak kepada (26) ……..................., kesadaran berbangsa sebagaimana tertuang dalam sumpah pemuda tadi, bisa berfungsi sebagai (27) .............................bagi pihak pers dalam berkomunikasi melalui media cetak yang harmonis. Terlebih lagi di era reformasi ini, factor tersebut memang sangat diperlukan oleh kalangan praktisi media cetak sehubungan regulasi yang ada mengkondisikan sub SKI ini pada sifatnya yang (28) ......................... yang memungkin banyaknya pengaruh (29) ...............................yang menggangu bekerjanya sub sistem. (30) ......................itu misalnya menyangkut nilai-nilai (31) ..................................dan lain sejenisnya yang nota bene berseberangan dengan nilai-nilai kebangsaan yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia sebagai tertuang dalam Pancasila.

Pilihan Jawaban :
1. Bhinneka Tunggal Ika; 2. intersection; 3. goal; 4. target ; 5. UU No. 40/1999’
6. pers; 7. self cencorship; 8. terbuka; 9. virus-virus; 10. Virus-virus; 11. liberalisme, separatisme; 12. environtmen; 13. supra sistem; 14. komponen

Selamat Ujian , semoga lulus !!!