Rabu, 10 Februari 2010

interpersonal deception theory and ....

Interpersonal Deception Theory
hasyim ali imran

Semua orang pernah berbohong tetapi tujuannya berbeda-beda. Ada yang berbohong (menipu) demi kebaikan dan ada yang melakukaknnya untuk niat jelek. Fenomena muatan isi pesan komunikasi yang dilakukan baik oleh komunikator maupun komunikan ini, telah dipelajari secara khusus oleh David Buller & Judee Burgon dan hasilnya mereka tuangkan ke dalam teori yang mereka sebut Interpersonal Deception Theory.
Mereka mendefinisikan konsep pembohongan sebagai suatu pesan yang dengan sadar disampaikan oleh pengirim untuk menimbulkan kepercayaan atas kesimpulan palsu bagi si penerima. Dijelaskan, ada tiga strategi atau cara dalam upaya pengirim untuk berbohong pada penerima. Pertama falsification (pemalsuan); kedua concealment (menyamarkan atau menyembunyikan kebenaran); dan ketiga Equivocation (mengaburkan).
Pesan pengirim yang mengandung kebohongan, dijelaskan biasanya mempunyai ciri : (1) pesan yang disampaikan tidak mengandung kepastian atau tidak jelas; (2) dalam penyampaian pesannya pengirim tidak segera menjawab, pernyataan yang sudah disampaikannya ditarik kembali; (3) pesan yang disampaikan itu tidak relevan dengan topik (disassociation); (4) dalam berperilaku saat berkomunikasi, pengirim berupaya untuk menjaga hubungan dan imej.

Dalam realitas kehidupan sehari-hari, korespondensi penjelasan konsep-konsep teoritik itu kerap kita jumpai. Terkait konsep falsification misalnya, ketika saya berada di kereta api dalam perjalanan menuju kantor, saya mendengar pembicaraan seorang penumpang yang berkomunikasi menggunakan hand phone. Saat itu posisi perjalanan sudah berada di Cipinang (Jaktim). “Oke, baik, Pak..., saya sekarang sudah di Jalan Sudirman (Jakpus), ... ya, ya, Oke, terima kasih, Pak ,” kata penumpang itu mengakhiri pembicaraannya. Jadi, si penumpang kereta api tersebut telah berbohong dengan cara menginformasikan keadaan yang palsu (di Jalan Sudirman), bukan sebenarnya (di Cipinang). Menyangkut konsep Equivocation, maka dalam sidang kasus indisipliner pegawai, Kepala kantor (sebutlah kantor B) bertanya kepada pegawai, “Saudara Badu, coba jelaskan, kenapa kamu tidak masuk selama 40 hari ?” Badu menjawab, “Begini, Pak, saya ini sudah lama menjadi pegawai di sini. Namun, sejauh itu saya belum pernah mendapatkan perlakuan simpati dari pihak kantor. Waktu ibu saya meninggal, gak, ada satupun yang datang.” Kepala kantor mengintrupsi, “Saudara Badu, tolong langsung jawab pertanyaan saya tadi, ...”. Jawaban Badu itu merupakan pernyataan yang berupaya mengaburkan permasalahan. Terkait dengan konsep Concealment, kita pun kerap menemukannya ketika kita ataupun pihak lain sedang berkomunikasi. Ini terjadi saat dalam keberlangsungan proses komunikasi ada partisipan yang berupaya menutup-nutupi bagian penting dari topik yang dibicarakan.

Keberhasilan teori ini tampaknya baru sebatas pengkonseptualisasian fenomena pembohongan dalam proses komunikasi. Karenanya, berdasarkan kriteria kebaikan teori menurut Littlejohn, teori ini hanya baru memenuhi satu dari empat komponen, yaitu komponen konsep. Komponen lainnya, yaitu komponen asumsi filosofis, eksplanasi, dan prinsip, terlihat belum dipenuhi oleh teori ini.

sumber bacaan :
Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill., Chapter 7,p. 95-112.

@@@

Social Judgement Theory
hasyim ali imran

Teori yang bekerja dalam tradisi positivistik ini merupakan salah satu teori psikologis yang tergabung dalam prikologi kognitif behavioral. Teori yang dirumuskan Muzafer Sherif ini menjelaskan tentang fenomena sikap manusia terhadap sesuatu obyek. Konsep-konsep yang dikemukakan Sherif dalam menjelaskan fenomena sikap terdiri dari: ego involvement: dalam bersikap terhadap obyek, individu dipengaruhi oleh keterlibatan ego ilvolvement dalam dirinya, yaitu relevansi individu dengan sesuatu masalah. Relevansi ini misalnya karena faktor-faktor internal seperti nilai-nilai agama, ideologi, atau nilai-nilai tertentu lainnya seperti karena persahabatan, teman sekampung, dan lain sebagainya.

Dalam jiwa manusia terdapat wilayah sikap. Dalam struktur wilayah sikap manusia terdapat tiga bentuk sikap yang terdiri dari : latitude of acceptance (sikap menolak) ; latitude of non commitment (netral) ; latitude of rejection (sikap menolak). Dalam kenyataan sehari-hari, fenomena variasi sikap demikian banyak dijumpai. Misalnya sikap terhadap terbit kembalinya majalah Playboy beberapa waktu lalu di Bali. Pihak FPI menolak keras dan geram melihat terbit kembalinya majalah itu. Atau pada fenomena RUUAPP, gerakan kaum perempuan di bawah koordinasi Ratna Sarumpaet menolak keras diundangkannya RUU tersebut. Sementara Pihak FBR atau kelompok Islam lainnya, mendukung diundangkannya RUU ini dengan segera.

Konsep lain yang berhubungan dengan teori ini adalah kontras dan assimilasi. Kontras atau tentangan dan assimilasi berkaitan dengan ego seseorang dalam bersikap. Pada dasarnya jika suatu pesan relatif dekat dengan posisi seseorang, pesan itu akan diasimilasi, sementara pesan-pesan yang lebih jauh akan ditentang. Contoh assimilasi, misalnya saya tidak suka bepergian keluar rumah bila hari libur, namun karena menghormati teman sekampung yang baru sekali ke Jakarta, yang nota bene kepingin jalan-jalan melihat kota Jakarta, saya terpaksa mengassimilasikan atau meleburkan sikap menolak saya untuk kemudian menemaninya jalan-jalan.

Dalam kehidupan nyata khususnya dalam berkomunikasi, teori dari Sherif ini secara praktis bermanfaat bagi kita dalam merancang suatu pesan dengan bijak. Sebagai contoh, jika kita mengetahui kolega kita mempunyai sikap tertentu mengenai sesuatu hal tertentu (bisa berupa benda atau kata-kata tertentu), maka sebaiknya kita menghindarkan hal tertentu tersebut demi terjaganya harmonisasi dalam berkomunikasi di antara sesama.



sumber bacaan : Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill., Chapter 13,p. 186-195.

Senin, 08 Februari 2010

Teori Penetrasi Sosial

Bekerjanya Teori dalam Fenomena Kemasyarakatan
(Telaah Kasus Komunikasi Interpersonal Dalam Konteks Teori Penetrasi Sosial)
hasyim ali imran
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai salah satu dari sekian banyak ilmu sosial, maka ilmu komunikasi mengkhususkan kajiannya pada fenomena human communication. Fenomena tersebut, dalam telaah aspek ontologis pada filsafat ilmu komunikasi disebut sebagai obyek forma ilmu, yakni obyek formanya ilmu komunikasi.

Fenomena human communication sendiri menurut Littlejohn terjadi pada beberapa level (konteks). Konteks tersebut terdiri dari : (1) interpersonal, (2) group, (3) public or rhetoric, (4) organizational dan (5) mass. Interpersonal communication deals with communication between people, usually in face to face, private settings. Group communication relates to the interaction of people in small groups, ususally in decision-making settings. Group communication necessarily involves interpersonal interaction, and most of the theories of interpersonal communication apply also at the group level. Public communication, traditionally focuses on the public presentation of discourse. Organizational communication occurs in large cooperative networks and includes virtually all aspects of both interpersonal and group communication. It encompasses topics such as the structure and function of organizations, human relations, communication and the process of organizing and organizational culture. Mass communication deals with public communication, usually mediated. Many aspects of interpersonal, group, public and organizational communication are involved in the process of mass communication (Littlejohn, 2005 : 11).

Terhadap sejumlah konteks terjadinya fenomena human communication itu, menurut catatan Gayatri (2006) para akademisi komunikasi telah berhasil merumuskan ratusan teori komunikasi. Dari jumlah tersebut, maka rumusan teori lebih banyak berasal dari hasil studi terhadap fenomena human communication pada level mass, dengan mana satu di antaranya yang sangat populer yaitu agenda setting theory. Sementara yang paling sedikit yaitu rumusan teori dari hasil studi terhadap fenomena pada level interpersonal. Salah satu teori komunikasi yang tergolong sebagai teori yang berupaya menjelaskan fenomena human communication pada level interpersonal, yaitu teori penetrasi sosial atau Social Penetration Theory. Teori ini dikemukakan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor (Lihat, Griffin, 2003).

Tulisan ini sendiri akan mencoba meninjau Social Penetration Theory dimaksud dalam hubungannya dengan fenomena komunikasi antar manusia (human communication). Sesuai dengan salah satu ciri utama sebuah teori yang berfungsi sebagai penjelas fenomena sosial (baca=fenomena komunikasi interpersonal), maka tinjauan ini dimaksudkan sebagai upaya dalam menunjukkan relevansi penjelasan suatu teori dengan suatu fenomena sosial. Dalam upaya dimaksud, maka dalam pembahasannya dilakukan dengan mengemukakan konsep-konsep teoritik dalam Social Penetration Theory. Pengertian dari konsep-konsep teoritik dimaksud, selanjutnya akan dijadikan dasar untuk menganalisis contoh kasus komunikasi interpersonal dalam rangka mengetahui relevan tidaknya teori dimaksud dengan fenomena komunikasi yang dijelaskannya.

PEMBAHASAN
Beberapa Konsep Teoritik Dalam Teori Penetrasi Sosial
The social penetration theory menyatakan bahwa berkembangnya hubungan-hubungan itu, bergerak mulai dari tingkatan yang paling dangkal, mulai dari tingkatan yang bukan bersifat inti menuju ke tingkatan yang terdalam, atau ke tingkatan yang lebih bersifat pribadi. Dengan penjelasan ini, maka teori penetrasi sosial dapat diartikan juga sebagai sebuah model yang menunjukkan perkembangan hubungan, yaitu proses di mana orang saling mengenal satu sama lain melalui tahap pengungkapan informasi.

Perkembangan hubungan sebagaimana dimaksudkan tadi, oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor, berlangsung dalam empat tahap. Tahapan mana, perkembangan hubungan itu dianalogikannya dengan sebuah bawang merah yang memiliki lapisan-lapisan kulit. Dengan analogi tersebut, maka dijelaskan bagaimana orang melalui interaksi saling mengelupasi lapisan-lapisan informasi mengenai diri masing-masing. Ini pulalah apa yang dimaksudkan dengan penetrasi itu, yakni proses pengelupasan bagian-bagian informasi setiap individu dari suatu pasangan secara perlahan.

Pada lapisan pertama atau terluar kulit bawang (tahap pertama), maka informasinya bersifat superficial. Informasi yang demikian wujudnya antara lain seperti nama, alamat, umur, suku dan lain sejenisnya. Biasanya informasi demikian kerap mengalir saat kita berkomunikasi dengan orang yang baru kita kenal. Tahapan ini sendiri disebut dengan tahap orientasi.

Tahap kedua (lapisan kulit bawang kedua) disebut dengan tahap pertukaran afektif eksploratif. Tahap ini merupakan tahap ekspansi awal dari informasi dan perpindahan ke tingkat pengungkapan yang lebih dalam dari tahap pertama. Dalam tahap tersebut, di antara dua orang yang berkomunikasi, misalnya mulai bergerak mengeksplorasi ke soal informasi yang berupaya menjajagi apa kesenangan masing-masing. Misalnya kesenangan dari segi makanan, musik, lagu, hobi, dan lain sejenisnya.

Tahapan berikutnya adalah tahap ketiga, yakni tahap pertukaran afektif. Pada tahap ini terjadi peningkatan informasi yang lebih bersifat pribadi, misalnya tentang informasi menyangkut pengalaman-pengalaman privacy masing-masing. Jadi, di sini masing-masing sudah mulai membuka diri dengan informasi diri yang sifatnya lebih pribadi, misalnya seperti kesediaan menceritakan tentang problem pribadi. Dengan kata lain, pada tahap ini sudah mulai berani “curhat”.

Tahap ke empat merupakan tahapan akhir atau lapisan inti, disebut juga dengan tahap pertukaran yang stabil. Pada tahap tersebut sifatnya sudah sangat intim dan memungkinkan pasangan tersebut untuk memprediksikan tindakan-tindakan dan respon mereka masing-masing dengan baik. Informasi yang dibicarakan sudah sangat dalam dan menjadi inti dari pribadi masing-masing pasangan, misalnya soal nilai, konsep diri, atau perasaan emosi terdalam.

Permasalahannya sekarang adalah, apakah proses penetrasi lewat interaksi yang terjadi pada suatu pasangan selalu terjadi dalam proses yang linier melalui empat tahapan itu? Menurut Altman dan Taylor, dengan mengacu pada teori pertukaran sosial dari John Thibaut dan Harold Kelley, itu tergantung pada setiap individu suatu pasangan dalam melihat untung ruginya hubungan yang mereka buat terhadap diri mereka masing-masing. Jika setiap individu menilai bahwa hubungan tersebut pada setiap tahapnya (tahap 1, 2 dan 3) bisa saling menguntungkan diri masing-masing, maka tahapan tersebut akan berlanjut hingga tahap empat. Namun bila yang terjadi sebaliknya, misalnya sejak tahap pertama menuju tahap kedua sudah dinilai telah terjadi penurunan keuntungan dan peningkatan kerugian, maka hubungan akan merenggang atau tahapan berikutnya tidak akan terjadi di antara sesama individu dalam suatu pasangan.

Lalu, apakah ukuran bagi setiap individu dalam suatu pasangan dalam menentukan dilanjutkan tidaknya tahapan-tahapan hubungan dalam suatu proses penetrasi sosial lewat interaksi? Menurut Altman dan Taylor, ada dua standar ukuran bagi keseimbangan antara cost and rewards. Pertama comparison level (CL): Ukurannya adalah kepuasan yang dicapai seseorang dalam hubungan yang dibuatnya. Kedua, comparison level of alternatives (CL alt). Ukuran yang digunakan adalah hasil terendah atau terburuk dalam konteks cost and reward yang sifatnya dapat ditolerir seseorang dengan mempertimbangkan alternatif-alternatif yang dimiliki seseorang.

Dengan kata lain, ukuran pertama berarti, bahwa individu suatu pasangan akan terus melakukan hubungan sampai ke tahap inti bila ia menilai hubungan tersebut menguntungkannya. Sementara pada ukuran kedua, meskipun hubungan yang dibuat menurut ukuran cost and rewards kurang menguntungkan bagi individu dari suatu pasangan, namun karena mengingat pertimbangan-pertimbangan tertentu terhadap hubungan yang dibuat, maka hubungan tersebut akan tetap dilakukannya.

Contoh Kasus Komunikasi Interpersonal

Guna memudahkan pengertian bagaimana teori penetrasi sosial itu sesungguhnya, kiranya banyak cara dapat dilakukan. Salah satunya mungkin yang lebih tepat adalah dengan cara menunjukkan bagaimana teori dimaksud bekerja dalam dunia empiris. Atas keyakinan tersebut, dalam artikel ini karenanya penulis mencoba menyajikan sebuah contoh dialog yang terjadi pada suatu pasangan. Contohnya, sebagai berikut:


Latar Belakang Pasangan
:

Pria (Edi), fotografer sebuah majalah, sedang kesulitan mencari cover girl majalah dan sudah berulangkali dimarahi atasannya karena terlalu sering gagal menemukan cover girl yang diinginkan atasan. Suatu ketika memfoto close up seorang gadis yang dinilai atasan ideal menjadi cover girl (Dian) di atas bus. Dian, seorang gadis yang bekerja sebagai penjual tiket Trans Jakarta, yang setiap pulang menunggu bus di halte tertentu, halte yang sudah diketahui Edi. Suatu ketika, Edi menghampiri Dian yang duduk sendirian di halte. Percakapanpun terjadi:


Tahap Orientasi
:

“Boleh saya duduk, Mbak?”, tanya Edi. Dian mengangguk sambil terheran memandang dengan penuh tanya. Edipun duduk agak rapat di samping Dian, sementara Dian dengan sikap sopan agak merenggangkan jarak duduknya.
“Kenalkan, Mbak, saya Edi”, kata Edi sambil menjulurkan tangannya untuk bersalaman.
“Dian ….” kata Dian lirih sambil menyambut salaman namun tetap masih penuh dengan tanya. Edipun segera membuka amplop sembari menunjukkan isinya berupa foto Dian kepada Dian.
“Ini foto kamu, kan?” kata Edi basa-basi.
“Eh, koq, kamu punya …… ?” kata Dian dengan ekspresi wajah heran namun gembira. “Kamu sales, ya, ……. ?” Dian melanjutkan pertanyaannya.
“Bukan, saya seorang fotografer ……, kamu ingin saya jadikan cover girl pada majalah saya yang akan segera terbit, kamu mau, kan?” kata Edi sembari menyerahkan foto yang juga diterima Dian. Dian mengamati fotonya dengan ekspresi wajah gembira namun bingung, heran, dan seperti tidak percaya.
“Ya, sudah, begini saja. Ini kartu namaku, hubungi aku bila kamu berubah fikiran.” Kata Edi pada Dian sembari menyerahkan kartu dan menyilahkan foto untuk dibawa Dian pulang. Dianpun menerimanya dengan wajah masih terheran-heran namun berseri-seri.
”Ya, udah, ya, sampai ketemu…. “ kata Edi seraya beranjak meninggalkan Dian sambil terus menatap wajahnya dengan ekspresi penuh harap akan kesediaan Dian menjadi cover girl.


Tahap pertukaran afektif eksploratif
:

Keesokan harinya, saat Edi baru terbangun dari tidurnya, telepon berdering. Edi mengangkat dan dari seberang sana terdengar suara wanita.
“Halo…., Mas, ini Dian… !” Edi terdiam sejenak mendengarnya namun ekspresi wajahnya penuh dengan kegembiraan.
“Oh, ya, Dian,,,,,,, gimana …., jadi ?” Tanya Edi dengan wajah gembira karena cover girl-nya berhasil ditemui.
“Ya, jadi, Mas.., gimana, nih, selanjutnya?”Tanya Dian.
“Ya, udah, gini, aja. Kita ketemu sejam lagi di studio majalah X di Jalan Y, Ok? kata Edi.
“Ok, Mas, saya segera ke sana, ya !?” kata Dian yang setelah itu segera bergegas ke alamat yang ditentukan.

Pada tahap ini, di antara keduanya masing-masing merasa bahwa hubungan mereka sama-sama dinilai memberikan peningkatan keuntungan dan penurunan kerugian. Bagi Dian, peningkatan keuntungan berupa besarnya harapan menjadi seorang model terkenal. Sedang bagi Edi, yaitu berupa ditemukannya model ideal sebagaimana diinginkan atasannya di kantor.

Selanjutnya, di lokasi yang disepakati, proses pemotretan pun dilakukan. Selesai, lalu fotonya dijadikan cover girl majalah dan dicetak serta diedarkan. Dengan majalah itu, Edipun segera mendatangi Dian yang sedang tugas di loket penjualan tiket. Di loket Edi menunjukkan majalah kepada Dian.
“Mas…!!!??? Ucap Dian hampir tak terkontrol dengan situasi lingkungannya, ketika dia melihat wajahnya tercetak di majalah yang ditunjukkan Edi.
“Ya, selamat, ya…….” kata Edi sembari pamit untuk pergi.

Hubungan selanjutnya antara Edi dan Dian, jauh meningkat ke tahap yang lebih bersifat inti, personal. Suatu tahap yang disebut tahap pertukaran afektif. Dian jadi sering menelepon untuk membuat ”date” dan mengunjungi tempat kost Edi.

Dian yang merasa diperhatikan Edipun, jadi jatuh cinta pada Edi. Sebaliknya Edipun demikian, karena ia merasa bahwa Dian dalam memandang dirinya tidak sebatas hubungan eksplosif belaka, akan tetapi dinilainya sudah meningkat pada taraf hubungan romantika di antara mereka berdua. Hubungan intim yang demikian, dengan sendirinya membawa Dian dan Edi terperosok dalam tahap hubungan pertukaran yang stabil. Beberapa contoh kalimat dalam dialog Edi dan Dian pada pase yang demikian, diantaranya yaitu : ”Mas Edi ...., kemarin saya teleponi dari kantor berkali-kali, koq, nggak diangkat, sih ? Saya jadi, nggak enak kerja, kepikiran terus ...., ke mana, sih, Mas ?” ucap Dian suatu ketika di tempat kost Edi. ”Oh, ya, maaf, kemarin nggak sempat bilangin kamu dulu. Soalnya Bos ngasi tugas mendadak. Eh, ngomong-ngomong, tanggapan Ibumu soal hubungan kita gimana, Dian?”.

Melihat Hubungan Edi dan Dian melalui dialog di antara mereka kiranya mencerminkan sebuah proses penetrasi yang melewati empat tahap, dari lapisan paling luar sampai paling dalam. Proses penetrasi yang demikian terjadi karena: Pada tahap pertama proses penetrasi, antara Edi dan Dian masing-masing sudah memiliki bayangan kalau tahapan kedua dilanjutkan akan memberikan keuntungan pada diri masing-masing.

Bagi Edi keuntungan atau kepuasannya berada pada standard Comparison Level (CL), yakni berupa ditemuinya cover girl majalah yang ideal sesuai dengan tuntutan atasannya. Demikian halnya dengan Dian. Baginya, menjadi cover girl adalah sebagai pintu masuk bagi sebuah popularitas yang menjanjikan kekayaan.

Pemahaman yang sama di antara Dian dan Edi mengenai “keuntungan” yang mereka peroleh atas hubungan yang mereka perbuat, menyebabkan mereka sepakat untuk meningkatkan hubungan pada tahapan yang lebih tinggi, yakni : dari tahapan orientasi meningkat pada tahap pertukaran afektif eksploratif, pertukaran afektif dan berakhir pada pertukaran yang stabil sebagai lapisan paling inti dalam sebuah hubungan interpersonal. Suatu peningkatan hubungan yang dalam kaitan standar ukuran bagi keseimbangan antara cost and rewards sebagaimana dikatakan Altman dan Taylor sebelumnya, sesuai indikasi dalam komunikasi interpersonal yang dilakukan Edi dan Dian, tentu dibangun Edi dan Dian cenderung karena standar pertama, yakni comparison level (CL).

PENUTUP

Seperti telah dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, tinjauan ini dimaksudkan sebagai upaya dalam menunjukkan relevansi penjelasan suatu teori dengan suatu fenomena sosial. Dengan menggunakan konsep-konsep teoritik dalam Social Penetration Theory dari Altman dan Taylor sebagai patokan dalam mengevaluasi relevansi penjelasannya (explanation) dengan kasus komunikasi interpersonal antara Edi dan Dian sebagai contoh kasus fenomena komunikasi interpersonal, maka sesuai hasil telaah makalah ini memperlihatkan bahwa kasus komunikasi interpersonal yang dilakonkan oleh Edi dan Dian itu, secara relatif telah membuktikan bekerjanya penjelasan-penjelasan konsep teoritik yang terdapat dalam Social Penetration Theory yang dikemukakan Altman dan Taylor.

Mengambil manfaat dari hasil telaah makalah tersebut, maka dalam kehidupan sehari-hari, teori ini diantaranya dapat diimplementasikan ketika kita terlibat dalam suatu situasi komunikasi interpersonal dalam suatu komunitas yang bagi kita masih relatif baru. Dengan kata lain, yakni ketika kita berkomunikasi dengan orang-orang yang belum kita kenal, atau belum kenal dekat. Manfaat praktisnya, antara lain kita bisa dengan lebih bijak untuk menetapkan apakah kita akan melanjutkan hubungan dengan seseorang atau tidak. Kita juga bisa menjadikannya sebagai alat untuk mendeteksi mana orang yang bisa kita jadikan teman dekat, teman sejati, atau hanya sekadar teman just say hello.

Sumber Bacaan:

Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill.
Imran, Hasyim Ali, 2006, “Beberapa Aspek Penting Dalam Hubungan Antara Teori dan Metode Riset Komunikasi”, dalam Jurnal Studi Komunikasi dan Media, Jakarta, Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi Wilayah II, Vol. 10 (1),
Littlejohn, Stephen W, 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.
Gayatri, Gati, 2006, Catatan Perkuliahan “Teori dan Perspektif Komunikasi”, PPS Magister Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Doktor Moestopo (Beragama) Jakarta.

Minggu, 07 Februari 2010

MASYARAKAT PEDESAAN DAN MASYARAKAT INFORMASI

MASYARAKAT PEDESAAN DAN MASYARAKAT INFORMASI
Hasyim Ali Imran
Abstracts
This paper presents the results of analysis about rural community in relation to make them as a part of information society in Indonesia. The discussion is focused in understanding concept of Information Society; commitment of the world society towards the realization of Information Society; commitment of realizing the Information Society in Indonesian rural areas; ICT enabling problem, ICT literacy in realization the Information Society; and digital divide problem in rural areas. Results show that commitment of the world society towards the realization of Information Society was poured in two meetings of WSIS. Commitment of Realizing the Information Society in rural community in Indonesia refers to the agreement in WSIS meeting in Tunis 2005, that is based on the agenda that was placed in order 23.b. Totally 178 countries in the WSIS meetings in Geneva and Tunis agreed that ICT enabling factor become main enabler that must be realized for connecting the whole world society. Another supporting enabler is ICT Literacy factor; and to South countries as Indonesia agreed that the digital divide problem become intruder to realization efforts of the information society so it should be overcome. Digital divide problem in Indonesian rural areas, beside related to availability factor of infrastructures (enabling), also connected with "capacity of the community's economics that was not restored yet, insignificance of the quality of human resources that were linked with the education level, work variances, economic standard of living and the other social variables that were tightly connected to their preference of one of the technological products like internet.
Kata-kata kunci: Masyarakat Pedesaan; Masyarakat Informasi.

PENDAHULUAN

Latar Belakang dan permasalahan

Menurut McLuhan , perubahan budaya dalam kehidupan manusia itu ditentukan oleh teknologi. Guna maksud pemahaman lebih dalam tentang asumsi ini, McLuhan melakukan studi interpretative terhadap perjalanan sejarah manusia dalam perspektif media. Untuk keperluan ini, maka dia membagi semua sejarah manusia ke dalam empat periode, yakni : tribal age, literacy age, print age, dan electronic age.

Tribal Age, yaitu masa di mana masyarakat masih dalam kelompok-kelompok kesukuan. Dalam masa ini, maka dusun-dusun kesukuan merupakan tempat akustik di mana indera mendengar, merasa, dan mencium jauh melebihi kemampuan melihat. Belahan otak kanan mendominasi belahan kiri, mendengar adalah raja karenanya. Mereka bertindak dan bereaksi emosional pada saat bersamaan. Jadi, dalam berkomunikasi masyarakat lebih mengandalkan telinga. Literacy Age, pada masa ini maka sudah terjadi perubahan, yakni dari pengandalan indera telinga ke pengandalan mata. Abjad fonetik menggantikan penglihatan dan pendengaran untuk memimpin hieranchi indera. Orang yang dapat membaca mengganti telinga dengan mata. Logika menjadi model pada kemajuan linier selangkah demi selangkah. Menurut Luhan penemuan abjad ini mendorong kemunculan tiba-tiba matematika, iptek dan filsafat di Yunani kuno. Sementara, Print Age, yaitu zaman penemuan media cetak. Kalau abjad fonetik memungkinkan ketergantungan visual, maka percetakan membuatnya dapat tersebar luas. Karena revolusi percetakan menunjukkan produksi massal produk yang sama, maka McLuhan menyebutkannya sebagai perintis revolusi industri. Sedang Electronic Age, yaitu zaman elektronik yang ditandai dengan penemuan radio dan televisi. Kekuasaan “kata” yang tercetak pada masa ini menurut McLuhan telah berakhir dan digantikan oleh telegraf. Padahal penemuan Samuel Morse ini hanyalah bagian pertama dari alat komunikasi elektonik selanjutnya, hingga internet.

Meskipun McLuhan tidak memasukkan Cyber media sebagai salah satu age-nya, namun sebelum meninggal pada 1980 ia sempat meramalkan bahwa dampak budaya dari perangkat keras komunikasi tidak penting jika dibandingkan dengan gejolak yang disebabkan oleh perangkat lunak komputer yang akan datang. Digambarkannya, kita semua sebagai anggota dusun global tunggal. Media elektronik membuat kita semua dapat bersentuhan dengan siapa saja dan di mana saja dengan sekejab.

Apa yang diramalkan McLuhan tersebut menyangkut komputer, kiranya menunjukkan banyak fakta yang relevan dalam masyarakat saat ini, misalnya melalui kehadiran internet sebagai wujud dari hasil kombinasi kemampuan teknologi informasi dan komunikasi. Karena internet, kita dengan mudah bisa mengakses berbagai informasi dari berbagai sumber dan berbagai lokasi di belahan bumi yang kita butuhkan saat ini dengaan waktu yang relative cepat. Karena itu, maka dari segi sosial budaya, misalnya masyarakat saat ini menjadi tidak perlu harus beli buku yang ia perlukan, cukup dengan mengakses internet. Bahkan ia bisa berkomunikasi langsung dengan para penulis buku yang diperlukannya, misalnya dengan EM Griffin, kita bisa melakukannya dengan menggunakan internet.

Jadi, determinisme teknologi Marshal McLuhan itu pada hakikatnya menjelaskan bahwa teknologi itu mempengaruhi budaya komunikasi sebagai salah satu bentuk perubahan sosial. Sebuah perubahan sosial yang sangat fenomenal dan karenanya menyebabkan masyarakat dunia jadi terdorong untuk mengembangkan bentuk masyarakat baru yang kemudian dikenal dengan konsep Masyarakat Informasi (Information Society).

Sebagai sebuah perubahan sosial yang fenomenal, tulisan ini akan mencoba menelaahnya secara lebih jauh. Telaahannya akan difokuskan pada upaya mengetahui secara detil menyangkut konsep Masyarakat Informasi itu sendiri. Selain itu, juga akan ditelusuri mengenai bagaimana komitmen masyarakat dunia terhadap perwujudan Masyarakat Informasi. Persoalan lain yang menjadi fokus dalam makalah ini adalah menyangkut komitmen perwujudan Masyarakat Informasi di lingkungan Masyarakat Pedesaan Indonesia; masalah ICT enabling, ICT Literacy dalam kaitannya dengan perwujudan masyarakat informasi; dan persoalan yang terkait dengan problema digital devide di lingkungan Pedesaan dalam hubungannya dengan perwujudan masyarakat informasi

PEMBAHASAN
Masyarakat Informasi
Konsep ini secara umum menjelaskan bagaimana masyarakat dalam hubungannya dengan aktifitas informasi dan komunikasi yang difasilitasi oleh kemampuan produk Information and Communication Technologies (ICT) modern berupa internet . Dalam masyarakat yang demikian sendiri digambarkan, bahwa individu masyarakat yang melalui fasilitasi kemampuan internet dapat menciptakan, mendisdribusikan, menggunakan dan memanfaatkan informasi untuk kepentingan dalam bidang ekonomi, politik dan aktifitas kebudayaan.
Ciri masyarakat informasi yang notabene sangat berbeda dengan ciri masyarakat dalam fase-fase sebelumnya, banyak mendapat perhatian akademisi. Para akademisi berbeda pandang dalam hal ciri tersebut, diantaranya ada yang mengacu pada ukuran perolehan GNP dan tenaga kerja yang aktif di sektor information economy (Deutsch -1983). Jean-François Lyotard (1984: 5) menurut ukuran di mana pengetahuan dapat ditransformasikan menjadi sebuah komoditas. Peter Otto dan Philipp Sonntag (1985), cirinya menurut ukuran mayoritas tenaga kerja yang bekerja di perkerjaan-pekerjaan informasi. Ada pula yang mencirikannya berdasarkan indikator di mana a majority of jobs involves working with knowledge (Nico Stehr (1994, 2002a, b).

Sejalan dengan ragam ciri itu, konsep information society pun mendapat pendefinisian yang variatif menurut konseptualisasi yang juga jadi beragam. Diantaranya ada yang mengkonseptualisirnya menjadi network societies, the post-industrial society, post-modern society, knowledge society, Telematic Society, Information Revolution, informational capitalism, transnational network capitalism, knowledge industry, network society, dan the 'The Wired Society' .

Barney (2004: 25sq), melalui konsep network societies mengartikan masyarakat informasi dengan, reproduksi dan institusionalisasi melalui (dan antara) jaringan masyarakat sebagai bentuk dasar dari organisasi dan hubungan manusia melintasi batasan yang luas dari konfigurasi dan asosiasi sosial, politik dan ekonomi Dengan konseptualisasi serupa dengan Barney, Jan Van Dijk (2006) mendifinisikan masyarakat jejaring sebagai sebuah “formasi sosial dengan infrastruktur jaringan sosial dan media yang memfasilitasi mode utama dari organisasinya pada semua level Sementara Webster relatif berbeda dengan akademisi lainnya, information society didefinisikannya menurut lima konsep, yakni : information society menurut konsep technological, economic, occupational, spatial, dan cultural . Sedang James Martin (1978) yang mengkonseptualisir fenomena masyarakat informasi dengan konsep 'The Wired Society', mengartikannya sebagai suatu masyarakat yang terkoneksiasi dengan massa dan jaringan telekomunikasi.

Keragaman definisi itu menurut Mäkinen bukan menjadi sesuatu yang ideal, karena menurutnya konsep masyarakat informasi itu diperlukan untuk mendefinisikan konstruksi sosial bagi segala situasi di mana informasi itu ada. Dengan demikian ini dapat diartikan bahwa pengertian masyarakat informasi idealnya harus dapat mengadopsi segala situasi dan kepentingan di mana informasi itu eksis. Terkait dengan makna pernyataan Mäkinen tersebut, World Summit on the Information Society (WSIS) mendefinisikan masyarakat informasi sebagai suatu keadaan di mana setiap orang dapat membuat, mengakses, memanfaatkan dan berbagi informasi serta pengetahuan yang memungkinkan setiap individu, komunitas dan masyarakat untuk mencapai potensi mereka dalam rangka mengembangkan pembangunan yang terus terpelihara dan mengembangkan kualitas hidup mereka, sebagaimana yang telah dideklarasikan di dalam tujuan dan prinsip-prinsip dari Piagam PBB, dan, menghormati secara penuh serta menguatkan deklarasi Universal Hak Asasi manusia.

Definisi Masyarakat Informasi menurut WSIS tampaknya cukup akomodatif bagi semua pihak. Paling tidak, sifat akomodatif tersebut ditandai oleh kata-kata “dapat”, “mencapai potensi” dan “mengembangkan” dalam kaitan informasi dan pengetahuan pada Masyarakat Informasi. Meskipun definisi ini tidak mematok tegas target capaian ideal masyarakat informasi, sebagaimana digambarkan dalam banyak definisi lain, misalnya seperti masyarakat yang bekerja di bidang informasi atau pengetahuan, melainkan disesuaikan menurut potensi setiap pihak, akan tetapi melalui kata “dapat” definisi tersebut tetap saja menyiratkan bahwa ICT menjadi pre kondisi yang harus dipenuhi oleh setiap pihak yang mau membuat masyarakatnya menjadi bagian dari masyarakat informasi.

Dalam kaitan pemenuhan pre kondisi tadi, yakni ICT sebagai enabler yang menjadikan terkoneksinya masyarakat , karena biaya pemenuhannya yang sangat besar, banyak pihak yang menilai bahwa persoalan tersebut menjadi tanggung jawab setiap negara . Dengan kesadaran setiap pemerintahan negara, akhirnya persoalan ICT dalam kaitan penciptaan masyarakat informasi, disepakati untuk diatasi. Kesepakatan ini berwujud dalam bentuk penyelenggaraan dua pertemuan internasional yang diselenggarakan oleh WSIS sebagai perpanjangan tangan dari UNESCO. Pertemuan pertama tahun 2003 berlangsung di Jenewa Swis dan kedua tahun 2005 di Tunis.

Komitmen Dunia terhadap Perwujudan Masyarakat Informasi
Dalam WSIS 2003, para pemimpin dunia yang hadir saat itu mendeklarasikan tekad bersamanya untuk mengurangi kesenjangan digital ini. Tekad ini kemudian dituangkan ke dalam “deklarasi prinsip-prinsip pembangunan masyarakat informasi : tantangan dunia dalam millennium baru” yang diantaranya berbunyi :”Kami, wakil dari masyarakat dunia, berkumpul di Jenewa dari tanggal 10-12 Desember 2003 dalam forum pertama dari World Summit on the Information Society (WSIS) mendeklarasikan kesamaan keinginan dan komitmen kami untuk membangun masyarakat terpusat, sampai dengan dan berorientasi membangun Masyarakat Informasi, di mana semua orang dapat menciptakan, mengakses, menggunakan, dan membagikan informasi dan pengetahuan, memfasilitasi baik individu, komunitas, dan masyarakat untuk mencapai potensi maksimalnya dalam mendukung pembangunan berkesinambungan dan meningkatkan kualitas kehidupannya, berpegang pada tujuan dan prinsip dari Piagam PBB dan menghargai sepenuhnya dan menjunjung Deklarasi Hak Asasi Manusia”.

Tekad itu kemudian ditinlanjuti dan disikapi lebih mendalam pada pertemuan kedua WSIS di Tunis 2005. Sikap dimaksud tertuang dalam dokumen komitmen Tunis. Terdapat 40 komitment dalam dokument tersebut, salah satunya berkaitan dengan tekad untuk mengimplementasikan apa yang telah dideklarasikan dalam pertemuan WSIS di Jenewa Swis 2003, komitmennya yaitu : “Kami, wakil dari masyarakat di dunia, telah berkumpul di Tunis dari tanggal 16-18 November 2005 pada forum kedua dari World Summit on the Information Society (WSIS) untuk menyatakan kembali secara tegas mendukung Deklarasi Jenewa tentang Prinsip dan Rencana Kerja yang diambil dari forum pertama World Summit on the Information Society (WSIS) di Geneva pada bulan Desember 2003” .

Berdasarkan komitmen tersebut, kemudian dijabarkan ke dalam langkah-langkah nyata dalam upaya mewujudkan masyarakat informasi dunia dengan cara menekankan pentingnya soal financial dalam upaya mempersempit gab digital devide. Langkah-langkah dimaksud tertuang dalam “TUNIS AGENDA FOR THE INFORMATION SOCIETY”. Dari 122 agenda, ada dua agenda yang menandakan besarnya loncatan sikap internasional untuk segera mewujudkan masyarakat informasi dunia. Sikap dimaksud ditandai oleh sikap bersama anggota melalui deklarasi mereka, ”..…. Ini saatnya untuk bergerak dari prinsip kepada tindakan, mempertimbangkan kegiatan yang telah mulai dilakukan dalam mengimplementasikan Rencana Kerja Jenewa dan mengidentifikasi kemajuan-kemajuan terkait hal tersebut baik yang telah dilakukan, sedang dilakukan, atau yang belum dilakukan,” sebagaimana tertuang dalam agenda pertama. Indikator lain tertuang dalam agenda kedua, yakni : ”Kami menegaskan kembali komitmen yang telah dibuat di Jenewa dan disusun di Tunis dengan memfokuskan pada mekanisme financial untuk menjembatani kesenjangan digital, pada pemerintahan berbasis Internet dan yang berkaitan dengan hal tersebut, sebagai bentuk pengimplementasian dan tindak lanjut atas keputusan di Jenewa dan Tunis; agenda ke-12, “Kami menyetujui bahwa pembiayaan terkait ICT untuk kebutuhan pembangunan perlu ditetapkan dalam konteks semakin pentingnya peran ICT, bukan hanya sebagai media komunikasi, tetapi juga sebagai pendukung pembangunan, dan sebagai alat untuk pencapaian cita-cita dan tujuan pembangunan yang diakui di dunia internasional, termasuk Cita-cita Pembangunan Milenium”.

Wilayah-wilayah seperti pedesaan, pulau-pulau terpencil dan sejenisnya, dinilai menjadi wilayah yang paling tinggi tingkat kesenjangan digitalnya. Meskipun demikian, problematika yang ada seperti di wilayah pedesaan, cenderung berbeda karakteristiknya antara yang dialami oleh pedesaan di negara-negara Utara dan di negara-negara Selatan. Karenanya, dalam kaitan “information society”, persepsi dan penanganan terhadap persoalan pedesaan menjadi relatif berbeda pula. Tidak seperti pada kebanyakan negara-negara Selatan yang sarat dengan persoalan ICT enabling, maka pada negara-negara Utara seperti negara Eropa, misalnya, yang menjadi problema dalam pembangunan pedesaan di sana bukan lagi menyangkut soal ICT enabler, melainkan justru masyarakat informasi itu sendiri yang dinilai menjadi enabler .

Komitmen Perwujudan Masyarakat Informasi di lingkungan Masyarakat Pedesaan Indonesia
Dalam peretemuan WSIS di Tunis 2005, terkait problema pedesaan tadi, juga termasuk menjadi bagian persoalan yang diakomodir dalam peng-agenda-an oleh para anggota delegasi. Agenda yang diletakkan dalam urutan ke 23.b. itu berbunyi ,“Akses komunikasi dan konektivitas terhadap layanan dan aplikasi berbasis ICT pada wilayah pedesaan, pulau-pulau kecil negara berkembang, daerah-daerah terpencil di negara-negara berkembang dan lokasi lain yang mewakili tantangan teknologi dan pasar yang unik” Dengan peng-agenda-an tersebut, berarti persoalan pedesaan menjadi krusial dalam upaya menjadikan masyarakatnya sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia. Karena, sebagaimana diketahui, peng-agenda-an pada tahun 2005 ini, sebenarnya merupakan penegasan sikap atau tekad untuk pembangunan desa yang sebelumnya telah dinyatakan dalam Plan of Action pada pertemuan WSIS 2003 di Geneva.

Sebagai negara peserta WSIS, Indonesia telah berupaya mengadopsi substansi deklarasi dan plan of action yang muncul dalam dua pertemuan WSIS tadi. Bukti untuk ini sendiri, antara lain itu tertuang dalam Government of Indonesia’s Action Plan to overcome the Digital Divide. Action Plan ini mencakup banyak hal yang terbagi ke dalam empat bidang masalah, terdiri dari : Policy and Legal Framework; Human Capacity Building; Infrastructure; dan Applications .

Terkait khusus tentang bidang aplikasi, maka dalam rencana aksi tersebut diketahui bahwa pemerintah akan membantu peran sentral sektor swasta dalam translating the potential of ICTs into activities that bring about real economic growth guna mengurangi kesenjangan digital di antara daerah perkotaan dan pedesaan. Dalam upaya mengejawantahkan komitmen tersebut, maka pemerintah menjadualkan pihak swasta untuk melaksanakan program pembangunan telekomunikasi/kios internet dalam rangka mengimplementasikan konsep Community Telecenter. Sektor swasta juga dijadualkan pemerintah untuk memperluas daerah akses elektronik sehingga dapat menyediakan informasi dasar berkaitan dengan kegiatan sosial dan ekonomi setempat untuk mempromosikan daya saing dari daerah tersebut (misalnya Desa Maju). Aplikasi rencana aksi ini sendiri dijadualkan sejak tahun 2001-2005, dan oleh pemerintah dijadikan sebagai program A (prioritas).

Kuatnya komitmen Pemerintah Indonesia untuk membawa yang diimbangi dengan upaya pembangunan infrastruktur yang memadai tadi, karenanya tentu dapat jadi pengurang bagi lebarnya kesenjangan digital (digital devide) dalam masyarakat Indonesia. Suatu gambaran ideal yang tentunya di sisi lain dapat dijadikan sebagai indikasi kalau masyarakat desa semakin siap untuk menjadi warga masyarakat informasi dunia. Namun demikian, asumsi ini tampaknya berindikasi kurang relevan bila dikaitkan dengan data ITU (International Telecommunication Union) tentang Digital Access Index 2002 . Sebagaimana diperlihatkan data tersebut, tingkat ICT Literacy penduduk Indonesia berada di urutan k-51 dalam kategori medium access dan urutan ke-116 dari total 178 negara yang masuk dalam index ITU.

Data ITU tersebut hampir sama dengan data resmi World Internet User Statistics yang di perbarui 10 Maret 2007 mengenai jumlah pengguna internet di Indonesia. Dengan 18,000,000 pengguna dari populasi 224,481,720 jiwa, Indonesia diketahui menempati urutan ke-15 dunia dengan penetrasi internet sebesar 8 % (1,6 % dari total pengguna internet dunia). Dengan acuan deskripsi data akses digital menurut ITU dan internet users menurut World Internet User Statistics, kiranya dapat ditafsirkan bahwa kesiapan masyarakat, termasuk masyarakat pedesaan Indonesia yang sebelumnya diasumsikan relatif membaik karena sejalan dengan kuatnya komitment pemerintah, dalam realitas, ternyata berdasarkan fenomenanya menunjukkan masih jauh dari harapan.

Pemerintah sendiri melalui Departemen Komunikasi dan Informatika, melalui Renstra-nya tahun 2004-2009 di bidang Aplikasi telematika : antara lain telah menetapkan, agar ”Meningkatnya aksesibilitas teknologi informasi dan e-literacy dan Meningkatnya pemanfataan teknologi informasi untuk semua sektor” , dapat diwujudkan. Membandingkan komitmen sebelumnya serta target capaian renstra dimaksud dengan fenomena minimnya digital access dan internet users masyarakat Indonesia sebelumnya, dengan mana mengindikasikan fenomena irrelevansi antara das solen dan das sein, tentu ini dapat menjadi factor yang bisa melemahkan upaya perwujudan ciri masyarakat informasi di lingkungan masyarakat pedesaan khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Dikatakan menjadi pelemah karena keminiman digital access dan internet users tadi berdasarkan pendapat para ahli menjadi salah satu penanda bahwa persoalan ICT enabling dan ICT Literacy di lingkungan masyarakat memang masih relatif belum teratasi.

ICT enabling, ICT Literacy dan Perwujudan masyarakat informasi Fenomena kehadiran teknologi informasi dan komunikasi (baca : TIK atau ICT) di tengah-tengah kehidupan masyarakat, dari beberapa literatur diketahuai telah banyak berperan dalam meningkatkan kualitas peradaban umat manusia, terutama dalam hubungannya dengan aktifitas kehidupan di bidang komunikasi dan informasi. Telepon, gramofon, film, video, radio dan televisi, kiranya menjadi contoh wujud produk ICT yang dulu begitu besar perannya dalam keseharian kehidupan masyarakat. Namun, wujud produk ICT tersebut menjadi kuno atau old ICT ketika perkembangan Iptek yang pesat dan canggih berhasil mewujudkan produk ICT modern yang mampu melakukan revolusi digital melalui medium internet , sebuah teknologi yang dirintis pertama kali oleh kalangan militer Amerika Serikat pada tahun 60-an.

Dengan kemampuan teknologi ini dalam hal fasilitasi aktifitas komunikasi dan informasi, dengan mana sangat jauh berbeda dengan kemampuan yang dimiliki oleh medium konvensional yang ada sebelumnya, menjadikannya sebagai masalah menarik oleh banyak kalangan. Dari kalangan akademisi misalnya, maka dengan berangkat dari fenomena kehidupan masyarakat di Amerika Serikat dalam kaitan ICT , Bell melalui bukunya The Coming of Post industrial Society (1973), menyebut masyarakat yang demikian dengan masyarakat pasca industri. Kemunculan masyarakat yang demikian kata Bell akan mencakup terjadinya suatu transformasi besar dalam dasar masyarakat. Masyarakat ini berbeda dengan masyarakat industri yang bertumpu pada harta benda,di mana lebih menekankan pengetahun, khususnya pengetahuan teoritis. Sebagai tambahan pada dan dalam hubungan dengan perubahan itu, masyarakat pasca industri memberi suatu penekanan baru kepada waktu luang. Orang memperoleh bentuk-bentuk pendidikan yang maju bukan saja untuk kegunaan sosial yang penting, tapi juga untuk peningkatan kesenangan dan intelektual.

Menurut Sanderson, pasca publikasi opini Bell melalui bukunya tadi, ungkapan masyarakat pasca industri jadi sering dimunculkan dan diterima dalam sejumlah buku teks sosiologi dan karya-karya lainnya. Sejalan dengan terus berkembanganya ICT, seiring itu pula peristilahan terhadap masyarakat pasca industri yang disebut Bell tadi terus mengalami perubahan dan penambahan jumlah konsep. Diantaranya ada yang mengkonseptualisirnya menjadi post-modern society , knowledge society, Telematic Society, Information Revolution, informational capitalism, transnational network capitalism, knowledge industry dan network society. Namun, sebagaimana telah dibahas sebelumnya pada bagian awal, ini semua dimaksudkan untuk menunjukkan fenomena kemasyarakatan dalam kaitan ICT sebagaimana dimaksudkan dalam pengertian konsep information society menurut WSIS.

Dalam perkembangannya, konsep ICT yang sebelumnya hanya dikenal akrab di kalangan negara-negara Utara yang memang telah mendahului fase-fase awal pertumbuhan dan perkembangan ICT, karena kemampuannya dalam melakukan digital revolution, menyebabkannya jadi dipandang sebagai enabler utama dalam upaya mencerdaskan, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan dan mengurangi keterisolasian antar sesama masyarakat dunia . . Ini terutama ketika kepentingan ICT enabling tadi dikaitkan dengan konsep information society, yang oleh 178 negara dalam pertemuan WSIS di Jenewa dan Tunis memang disepakati untuk segera diwujudkan dengan cara mengkoneksiasi 50 % masyarakat dunia pada 2015 dan 100 % pada 2025.

Mengenai kepentingan ICT enabling dalam proses mewujudkan information society sendiri, berdasarkan literatur diketahui telah banyak mendapat pengakuan berbagai kalangan yang memandang positif terhadap ICT. Menurut McNamara , ICT dapat berperan sebagai hal yang menentukan dalam menopang pembangunan individu, masyarakat dan bangsa. Sementara menurut WSIS (2003) ICT dinilai sangat penting dalam pengembangan agenda karena ICTs diantaranaya dapat digunakan dalam admisitrasi public, bisnis, pendidikan, kesehatan dan lingkungan.

Lebih khusus lagi, diantaranya ICT juga disebutkan dapat berperan dalam membantu pengurangan kemiskinan (Duncombe 2001) , dan memperluas peluang pembangunan ekonomi (Prosser 1997, World Bank 1998 ). Dengan pemanfaatan ICT, menurut Ellis (2000, p.31) , “akses terhadap informasi memberikan kesempatan bagi seseorang “untuk menjalankan usaha/produksi, menggunakan bursa tenaga kerja, dan terlibat dalam pertukaran timbal-balik dengan orang lain. Sebuah studi terbaru menemukan bahwa adanya suatu hubungan di antara akses terhadap telepon selular dengan pertumbuhan ekonomi, dengan mana dampaknya lebih signifikan pada negara berkembang dibandingkan dengan negara terkebelakang.

Meskipun begitu, sehubungan pengalaman masyarakat di negara-negara Utara dan Selatan di bidang fase perkembangan ICT memiliki perbedaan besar, peran ICT sebagai enabler tadi justru kerap menjadi persoalan yang mendapat perhatian besar ketika semua negara tanpa dikotomi Utara-Selatan, dipersamakan dalam upaya mewujudkan target information society yang nota bene diyakini pula oleh semua negara yang tergabung dalam WSIS sebagai terwujud karena ICT sebagai enabler utama. Persoalan-persoalan seperti digital divide, yakni suatu ‘situasi yang ditandai oleh adanya jurang dalam mengakses atau menggunakan peralatan ICT’ , karenanya menjadi persoalan serius bagi kebanyakan negara-negara developing dan developed countries. Digital devide ini sendiri, selain diidentifikasi muncul karena adanya keterbatasan fisik ICT device yang menyebabkan tidak ter-networking-nya masyarakat, juga disinyalir karena berkaitan dengan factor human resources berupa ICT illiterate .

Menyimak factor ICT literacy mengindikasikan sebagai enabler lain yang menentukan dalam memaksimalkan peran ICT dalam membawa masyarakat menuju masyarakat informasi, maka mempelajari ICT Literacy masyarakat pedesaan Indonesia yang disinyalir lebih lebar the gap of digital divide-nya dibandingkan dengan masyarakat perkotaan, karenanya menjadi penting untuk dilakukan, terutama itu jika dikaitkan dengan upaya memahami masalah bridging the rural– urban devide, misalnya.

Problema digital devide di lingkungan Pedesaan dan Perwujudan masyarakat informasi
Upaya menjadikan masyarakat pedesaan untuk menjadikannya sebagai bagian dari Masyarakat Informasi global telah menjadi problema bagi banyak negara di dunia, terutama pada negara-negara Selatan seperti Indonesia, yang bersama negara-negara peserta WSIS lainnya, memang telah sepakat untuk segera mengatasi problem dimaksud, yakni cenderung menyangkut persoalan digital devide.

Persoalan digital devide memiliki dimensinya sendiri pada setiap negara. Pada negara-negara Eropa, kesenjangan itu antara lain berupa : 1) rintangan-tintangan sosial penduduk pedesaan terhadap informasi, fasilitas pendidikan, kesehatan dan layanan-layanan sosial, dan lain-lain ; 2) hambatan-hambatan informasi – dalam situasi terakhir di banyak daerah pedesaan dan fasilitas-fasilitas yang mereka miliki tidak memungkinkan mereka bagi "dunia luar–wilayah-wilayah lainnya, pusat kota atau provinsi lain – wisata pedesaan, produk local, dll.”.

Pada negara Selatan seperti Nigeria, kesenjangan digital ini jumlahnya mencapai 14 dimensi, diantaranya menyangkut soal ketersediaan layanan fasilitas ICT, peluang untuk belajar dan menggunakan media baru, budaya, kesadaran, sikap, dan ketidakmampuan . Menyangkut Indonesia sendiri, menurut data resmi World International User statistics hingga 10 Maret 2007, jumlah penetrasi internetnya baru mencapai 8 % dari total populasi bangsa Indonesia. Dengan kata lain, baru 1,6 % dari populasi pengguna internet dunia. . Dari jumlah ini, sejalan dengan teledensity di desa Indonesia lebih tinggi (0,2 %) dari pada di kota (11-25 %) , maka ini menjadi indikasi kalau pengguna internet di desa itu jauh lebih sedikit jumlahnya dari pada di kota.

Selain faktor ketersediaan infra struktur, ada beberapa indikasi lain yang menyebabkan tingginya tingkat digital devide masyarakat di pedesaan Indonesia. Beberapa diantaranya, berkaitan dengan "kemampuan ekonomi masyarakat yang belum pulih, tapi tarif broadband internet kita 45 kali lebih mahal dibandingkan dengan negara-negara lain”. Termasuk pula menyangkut soal minimnya SDM, bahkan, pegawai pemerintah yang tahu internet masih sedikit jumlahnya. Menurut Indonesia Internet Research Center (IIRC), hal yang nota bene berkaitan dengan soal literasi ICT masyarakat ini, ada kaitannya dengan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, taraf hidup ekonomi dan variabel sosial lainnya yang hubungannya sangat erat dengan preferensi pilihan mereka terhadap salah satu produk teknologi seperti internet. .

Melihat kondisi masyarakat pedesaan yang mengacu pada sejumlah indikator yang memposisikan mereka sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang relatif tinggi tingkat digital devide-nya, maka internet sebagai salah bentuk produk ICT modern, tampaknya masih benar-benar menjadi sesuatu yang inovatif bagi mereka. Namun, terkait dengan tingginya tingkat digital devide tadi, itu menandakan kalau masyarakat pedesaan masih belum banyak yang mengadopsi internet sebagai sesuatu yang inovatif. Sebagai inovasi yang masih belum banyak diadopsi, kiranya ini dapat diasumsikan kalau ini akan berkaitan dengan kadar ICT literacy masyarakat pedesaan, yang nota bene mungkin akan banyak yang masih rendah.

Dalam kaitan upaya mewujudkan masyarakat pedesaan menjadi bagian dari Masyarakat Informasi global, dengan fenomena ICT literacy tadi, tentunya itu menjadi kurang ideal. Kondisi ini cenderung memposisikan mereka menjadi pihak-pihak yang kurang kemungkinannya untuk dapat beraktifitas sebagai individu masyarakat informasi, yakni masyarakat yang mengutamakan internet sebagai médium komunikasi dan informasi.

PENUTUP
Sebagaimana telah ditetapkan sebelumnya pada awal makalah, tulisan ini mencoba menelaah fenomena upaya perwujudan masyarakat informasi di lingkungan pedesaan, khususnya di lingkungan pedesaan Indonesia. Pembahasannya difokuskan pada beberapa hal, yaitu: menyangkut pengertian konsep Masyarakat Informasi; komitmen masyarakat dunia terhadap perwujudan Masyarakat Informasi; komitmen perwujudan Masyarakat Informasi di lingkungan Masyarakat Pedesaan Indonesia; masalah ICT enabling,ICT Literacy dalam hubungan perwujudan masyarakat informasi; dan menyangkut problema digital devide di lingkungan Pedesaan.

Dari hasil pembahasan menunjukkan bahwa : (1) pengertian masyarakat informasi itu sangat variatif, namun yang relatif akomodatif bagi semua pihak adalah seperti yang dikemukakan World Summit on the Information Society (WSIS), bahwa masyarakat informasi sebagai suatu keadaan di mana setiap orang dapat membuat, mengakses, memanfaatkan dan berbagi informasi serta pengetahuan yang memungkinkan setiap individu, komunitas dan masyarakat untuk mencapai potensi mereka dalam rangka mengembangkan pembangunan yang terus terpelihara dan mengembangkan kualitas hidup mereka, sebagaimana yang telah dideklarasikan di dalam tujuan dan prinsip-prinsip dari Piagam PBB, dan, menghormati secara penuh serta menguatkan deklarasi Universal Hak Asasi manusia. Ciri akomodatif tadi ditandai oleh kata-kata “dapat”, “mencapai potensi” dan “mengembangkan” dalam kaitan informasi dan pengetahuan pada Masyarakat Informasi. Meskipun definisi ini tidak mematok tegas target capaian ideal masyarakat informasi, sebagaimana digambarkan dalam banyak definisi lain, misalnya seperti masyarakat yang bekerja di bidang informasi atau pengetahuan, melainkan disesuaikan menurut potensi setiap pihak, akan tetapi melalui kata “dapat” definisi tersebut tetap saja menyiratkan bahwa ICT menjadi pre kondisi yang harus dipenuhi oleh setiap pihak yang mau membuat masyarakatnya menjadi bagian dari masyarakat informasi.;(2) Komitmen masyarakat dunia terhadap perwujudan Masyarakat Informasi tertuang dalam dua pertemuan WSIS. Dalam WSIS 2003, para pemimpin dunia yang hadir saat itu mendeklarasikan tekad bersamanya untuk mengurangi kesenjangan digital. Tekad ini lalu dituangkan ke dalam “deklarasi prinsip-prinsip pembangunan masyarakat informasi : tantangan dunia dalam millennium baru”. Tekad itu kemudian ditinlanjuti dan disikapi lebih mendalam pada pertemuan kedua WSIS di Tunis 2005. Sikap dimaksud tertuang dalam dokumen komitmen Tunis. Terdapat 40 komitment dalam dokument tersebut, salah satunya berkaitan dengan tekad untuk mengimplementasikan apa yang telah dideklarasikan dalam pertemuan WSIS di Jenewa Swis 2003, komitmennya yaitu : “Kami, wakil dari masyarakat di dunia, telah berkumpul di Tunis dari tanggal 16-18 November 2005 pada forum kedua dari World Summit on the Information Society (WSIS) untuk menyatakan kembali secara tegas mendukung Deklarasi Jenewa tentang Prinsip dan Rencana Kerja yang diambil dari forum pertama World Summit on the Information Society (WSIS) di Geneva pada bulan Desember 2003”.; (3) Komitmen Perwujudan Masyarakat Informasi di lingkungan Masyarakat Pedesaan Indonesia mengacu pada kesepakatan dalam pertemuan WSIS di Tunis 2005, yakni berdasarkan agenda yang diletakkan dalam urutan ke 23.b. yang berbunyi ,“Akses komunikasi dan konektivitas terhadap layanan dan aplikasi berbasis ICT pada wilayah pedesaan, pulau-pulau kecil negara berkembang, ........”. Komitmen ini merupakan penegasan sikap atau tekad untuk pembangunan desa yang sebelumnya telah dinyatakan dalam Plan of Action pada pertemuan WSIS 2003 di Geneva. Dalam upaya mengejawantahkan komitmen tersebut, maka pemerintah menjadualkan pihak swasta untuk melaksanakan program pembangunan telekomunikasi/kios internet dalam rangka mengimplementasikan konsep Community Telecenter. Sektor swasta juga dijadualkan pemerintah untuk memperluas daerah akses elektronik sehingga dapat menyediakan informasi dasar berkaitan dengan kegiatan sosial dan ekonomi setempat untuk mempromosikan daya saing dari daerah tersebut (misalnya Desa Maju). Aplikasi rencana aksi ini sendiri dijadualkan sejak tahun 2001-2005, dan oleh pemerintah dijadikan sebagai program A (prioritas); (4) Dalam kaitan upaya perwujudan masyarakat informasi maka sebanyak 178 negara dalam pertemuan WSIS di Jenewa dan Tunis sepakat bahwa faktor ICT enabling itu menjadi enabler utama yang harus diwujudkan guna terkoneksasinya 50 % masyarakat dunia pada 2015 dan 100 % pada 2025. Enabler lain yang juga menjadi faktor pendukung bagi terwujudnya masyarakat informasi yaitu faktor yang terkait dengan factor human resources, yaitu faktor ICT Literacy.; dan (5) Pada negara-negara Selatan seperti Indonesia, yang bersama negara-negara peserta WSIS lainnya sepakat bahwa persoalan digital devide itu menjadi penggangu (problem) bagi upaya perwujudan masyarakat informasi terutama di pedesaan, dan karenanya harus diatasi. Persoalan digital devide di pedesaan Indonesia, selain menyangkut faktor ketersediaan infra struktur (enabling), juga berhubungan dengan "kemampuan ekonomi masyarakat yang belum pulih, minimnya kualitas SDM yang berkaitan dengan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, taraf hidup ekonomi dan variabel sosial lainnya yang hubungannya sangat erat dengan preferensi pilihan mereka terhadap salah satu produk teknologi seperti internet.

Berdasarkan kesimpulan sebelumnya, dalam hal ini terutama menyangkut persoalan digital devide di pedesaan Indonesia yang muncul dari faktor minimnya kualitas SDM, maka guna menemukan data akurat untuk kepentingan pengembangan kualitas SDM tadi, secara akademik diperlukan upaya penelaahan akademik yang lebih jauh, misalnya melalui riset kesadaran masyarakat pedesaan akan inovasi baru di bidang ICT. Dengan topik penelitian yang demikian, maka dimaksudkan bisa menjadi sebagai salah satu upaya dalam memetakan tingkat literasi ICT masyarakat pedesaan dan hubungannya dengan karakteristik anggota masyarakat. Melalui maksud tersebut, maka penelitian sejenis ini dapat ditujukan : 1) untuk mengukur tingkat literasi ICT masyarakat pedesaan; dan 2) untuk menjelaskan hubungan variabel literasi ICT dengan variabel karakteristik anggota masyarakat pedesaan. Perwujudan dua tujuan dimaksud, selanjutya secara praktis diharapkan dapat menjadi masukan, terutama bagi Depkominfo dalam perumusan kebijakan di bidang pembangunan ICT Litercy dalam rangka proses bridging the rural– urban devide. Sementara dari segi akademis, hasil penelitian sejenis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan teori difusi inovasi, khususnya menjelaskan penyebarluasan inovasi ICT dalam masyarakat pedesaan.

Daftar Pustaka
Albirini, Abdulkafi, 2006, “Cultural perceptions: The missing element in the implementation of ICT in developing countries“, International journal of education and development using ICT ; Vol 2(1) 2006, http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=146&layout=html.
Alampay, Erwin A., “Beyond access to ICTs: Measuring capabilities in the information society”, International journal of education and development using ICT;Vol.2(3)2006,
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id-=196&-layout =html.
@rural Conference Brussels, 200-, 15/09/2003, dalam
http://ec.europa.eu/infor-mation society/activities/atwork/erural_at_ work/-documents/at_rural_conf-_concls.pdf; taken on April 16, 2007.
Bill Martin, “The Information Society and the Digital Divide: Some North-South comparisons” , International journal of education and development using ICT ; Vol 1(4) 2005. taken on March, 31, 07 by hasyim ali imran; in : http://-ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=128&layout=html.
Braa, Jørn, et. al,” A Study of the Actual and Potential Usage of Information and Communication Technology at District and Provincial Levels in Mozambiqu”, dalam International journal of education and development using ICT,
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php.
Campbell, D. (2001) "Can the digital divide be contained?", dalam Erwin A. Alampay, “Beyond access to ICTs: Measuring capabilities in the information society”, dalam International journal of education and development using ICT ; Vol 2(3) 2006, taken on March, 31, 07 by hasyim ali imran; in :
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle .php?id=196&layout=html :
Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 2006, Rencana Strategis Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 2004-2009., Jakarta Depkominfo.
E.L.Adebayo danO.M.Adesope,2007, “Awareness, access and usage of information and communicationtechnologies between female researchers and extensionists", dalam ,
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=282&layout=html.
Elijah, Obayelu A. dan Ogunlade, I., 2006, “Analysis of the uses of information and communication technology for gender empowerment and sustainable poverty alleviation in Nigeria”, dalam International Journal of Education and Development Using ICT; Vol 2(3) 2006, dalam,
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=172&layout =html.
(Gay and Blades, 2005)—( Gay, G. and Blades, R. (2005), Information Technology for CXC CSEC, Oxford University Press, Oxford, UK).
Glenda Gay, et.al., 2006, “Perceptions of information and communication technology among undergraduate management students in Barbados”, dalam International journal of education and development using ICT, Vol 2(4) 2006,
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=223&layout=html.
Gomez & Hunt 1999, Telecentre Evaluation. A Global Perspective, International Development Research Centre., http://www/idrc.ca/telecentre/ evalutation/-nn/00Cov.htm .
Gyanendra Narayan and Amrutaunshu N. Nerurkar, 2006 , ” Value-proposition of e-governance services: Bridging rural-urban digital divide in developing countries” dalam , International journal of education and development using ICT ; Vol 2(3) 2006. taken on March, 31, 07 by hasyim ali imran;
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=189&layout=html
Khor, Martin, 2001, Globalisasi, Perangkap Negara-Negara Selatan, terjemahan AB Widyanta dan Scholastica Siane dari judul asli “Globalization and the South : Some Critikal Issues”, Yogyakarta, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Koanantakool, Thaweesak, “Understanding Changes in The Information Society, Working Towards The Internationally Harmonized Views”, dalam, htk@nectec.or.th. http//www.nectec or. Th/uses/htk/.
Leksono, Ninok, 2007, “Tantangan Penelitian Komunikasi dan Informatika”, makalah, disajikan 15 Pebruari 2007).
Machlup,dalam,http://en.wikipedia.org/wiki/Information_society#Development_of_the_in-formation_ society_model.
Mäkinen, Heikki, 2006, “Knowledge Society or Information Society ?”, dalam : www.yhtelskunnantleto.fl
Mc Luhan, Marshal, ”Technology Determinism”, In A First Look at Communication Theory, Fifth Edition, by EM Griffin, New York, McGraw Hill, 2003.
McNamara, K.S. (2000). “Why be Wired? The Importance of Access to Information and Communication Technologies”, TechKnowLogia, March/April 2000. Knowledge Enterprise, Inc., dalam, Erwin A. Alampay, “Beyond access to ICTs: Measuring capabilities in the information society”, International journal of education and development using ICT ; Vol 2(3) 2006. taken on March, 31, 07 by hasyim ali imran; in : http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id= 196&layout=html :
Narayan, Gyanendra and Nerurkar , Amrutaunshu N. , 2006 , ” Value-proposition of e-governance services: Bridging rural-urban digital divide in developing countries” dalam , International journal of education and development using ICT ; Vol 2(3) 2006. taken on March, 31, 07 by hasyim ali imran;
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=189&layout=html.
Sambuu, Uyanga, 2005, “The usage of ICT for secondary education in Mongolia”, dalam International Journal of Education and Development Using ICT ; Vol 1(4) 2005, dalam
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=140&layout =html
Sanderson, Stephen K., 1991, Makro Sosiologi, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, edisi kedua, terjemahan, Farid Wajidi dan S. Meno, cetakan ketiga, 2000, Jakarta, RajaGrafindo Persada, PT., hal. 606.
Setiyadi, Maswigrantoro Roes, 2005, “Kebutuhan Teknologi Informasi dan Komunikasi Masyarakat Indonesia di Masa depan”, dalam, Konvergensi, edisi Desember 2005, hlm. 8, Jakarta, Departemen Komunikasi dan Informatika. UNESCO,
http://portal.unesco.org/ci/en/ev.php
Webster, Frank, 1995, The Theories of The Information Society, London and New York, Routledge.
WSIS, 2003, WSIS-03/GENEVA/DOC/5-E-12, December 2003, dalam : http://www.itu.int/wsis/docs/geneva/official/poa.html.
WSIS, 2005, Dokumen WSIS-05/TUNIS/DOC/6(Rev. 1)-E, 18 November 2005, dalam, http://www.itu.int/wsis/docs2/tunis/off/6rev1.html.
WSIS 2003, dalam Erwin A. Alampay, “Beyond access to ICTs: Measuring capabi-lities in the information society”, dalam , International Journal of Education and Development Using ICT; Vol 2(3) 2006. taken on March, 31, 07 by hasyim ali imran; in :
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle. php?id =196 &layout=html :
Sumber lain :
http://www.itu .int/home/feedback/index.phtml?mail=indicators.
hhtp://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Information_Society&printable
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=196&layout=html
http://en.wikipedia.org/wiki/Indonesia# Struc-ture_and_affiliations
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=172&layout=html. http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/apcity/unpan 002101.,
diambil 27 April 2007.
http://www.itu.int/newsarchive/press_releases/2003/30.html, TAKEN ON 28 April 07.
http://www.internetworldstats.com/top20.htm, taken on Apr 30,2007.

Selasa, 02 Februari 2010

tinjauan buku

Tinjauan Buku
Wacana dan Varian Epistemologis
Dalam Penemuan Kebenaran Ilmiah

Hasyim Ali Imran*

Judul : ANALISIS WACANA, Teori dan Metode
Penulis : Marianne W. Jorgensen dan Louise J. Phillips
Penerbit : Pustaka Pelajar (2007)
Tebal : 394 + x halaman

Kebenaran ilmiah dalam ilmu sosial, eksistensinya merupakan sesuatu yang given di tengah-tengah kehidupan manusia dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Karena asumsi ini, makanya ilmu-ilmu sosial itu, secara filosofis ilmu menjadikan eksistensi tadi sebagai obyek materia.

Tidak seperti ilmu filsafat yang menjadikan obyek kajiannya dalam skala non fragmentaris, ilmu-ilmu sosial yang di antaranya memiliki ciri-ciri’disiplin’ itu, dalam praktik pencarian dan penemuan kebenaran ilmiahnya, obyek materia tadi dijadikan ke dalam bentuk-bentuk serpihan atau bagian-bagian. Serpihan dimaksud lazim juga dikenal dengan istilah fragmentaris. Selanjutnya, fenomena fragmentaris dalam obyek materia itu sendiri, oleh masing-masing ilmu sosial, guna memenuhi tuntutan ciri ’disiplin’ yang dimilikinya, dijadikannya sebagai obyek forma[1]. Sebagai contoh, sosiologi menjadikan fenomena interaksi antarmanusia yang eksis di masyarakat sebagai obyek formanya. Psikologi Sosial menjadikan fenomena masyarakat dari sudut kejiwaan sebagai obyek formanya. Sementara ilmu komunikasi menjadikan fenomena komunikasi antar sesama manusia (human communication) sebagai obyek formanya.

Terkait dengan obyek forma ilmu komunikasi itu sendiri, sehubungan fenomenanya memang relatif luas dan kompleks, beberapa akademisi sudah berupaya dan berhasil mereduksi fenomena komunikasi itu ke dalam konsep-konsep yang simpel. Di antaranya seperti yang dikonseptualisir oleh Lasswell dan Littlejohn. Lasswell yang sarjana ilmu politik itu mengonseptualisirnya sebagai model komunikasi yang secara tepat dapat digunakan untuk mengalisis fenomena komunikasi. Model yang sudah tidak asing itu sendiri berbunyi : Who, Says what, in which channel, to whom dan with what ef[2] Sementara itu, Littlejohn mereduksi fenomena komunikasi dan mengkonseptualisirnya dengan konteks atau setting komunikasi. Berdasarkan konsep ini, ia membagi fenomena human communication itu berdasarkan fenomena ’keterjadiannya’ dalam kehidupan real manusia ke dalam lima kategori, yaitu : interpersonal, group, organization, public, dan mass.[3] Jadi, dengan konsep tersebut tampak akademisi komunikasi, setidaknya dari segi ’keterjadian komunikasi’, sudah sangat terbantu dalam menentukan focus of interest-nya ketika hendak menelaah fenomena komunikasi yang luas dan rumit tadi. Selain itu, ada juga kubu akademisi yang mem-forma-kan fenomena teks dalam aktifitas komunikasi. Hal ini misalnya seperti yang dilakukan dalam tradisi Timur melalui studi-studi wacana-nya.

Selanjutnya, selain memiliki obyek forma, ilmu-ilmu sosial dan termasuk tentunya ilmu komunikasi, dalam menggali dan menemukan kebenaran ilmiahnya, maka sejalan dengan eksistensi manusia yang variatif dalam perspektif terhadap obyek forma, variasi epistemologis pun jadi bermunculan. Varian epistemologis ini, paling tidak dikenal melalui eksistensinya dalam konsep paradigma. Melalui konsep ini selanjutnya diketahui ada dua paradigma. Pertama paradigma yang digolongkan menurut sudut pandang teorisasi fenomena komunikasi dan kedua menurut sudut pandang jalan atau metode yang tepat digunakan dalam upaya menemukan kebenaran ilmiah itu.

Jika mengacu pada pengertian paradigma konteks pertama, maka di sini dikenal ada teorisasi fenomena komunikasi yang terbangun berdasarkan tujuh domain konseptual, yaitu : konseptualisasi menurut domain Rhetorical, Semiotic, Phenomenological, Cybernatic, Sociopsychological, Sociocultural, dan Critical. Sementara bila mengacu pada pengertian paradigma konteks kedua, maka di sini dikenal ada beberapa paradigma metode yang utama dan populer di lingkungan akademisi. Paradigma dimaksud yaitu, positivistic, konstruktifistik/interpretif, dan kritikal. Dengan demikian terlihat, bahwa upaya menemukan kebenaran ilmiah ilmu komunikasi itu bukan sesuatu yang mudah, melainkan kompleks dan harus memiliki pemahaman yang memadai akan eksistensi variasi epistemologis yang hidup di lingkungan akademisinya. Dari eksistensi dan saling keterkaitan paradigma tadi setidaknya mengindikasikan itu, di mana prinsip konsistensi dan relevansi yang jitu dari pengguna dalam pengaplikasiannya, tampak sangat dituntut.

Menyadari akan persoalan tadi, banyak akademisi yang mencoba melakukan upaya-upaya solutif. Upaya-upaya ini ada yang dilakukan melalui jalur-jalur formal maupun informal. Jalur formal misalnya melalui perkuliahan methodologi ilmu komunikasi di lingkungan civitas akademika komunikasi. Sementara jalur informal, selain lewat cara-cara umum seperti melalui penerbitan buku-buku ilmiah, ada juga yang melakukannya lewat pendidikan-pendidikan praktis, misalnya seperti melalui uploading teks dalam situs-situs internet, atau melalui kursus-kursus dan sejenisnya sebagaimana banyak diketahui melalui iklan-iklan media cetak.

Dalam hubungan upaya solutif melalui cara informal yang umum seperti penerbitan buku-buku ilmiah tadi, maka itupun sangat banyak karya-karya tulis akademisi yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku. Dari sejumlah karya-karya tulis itu, tampak ada yang menawarkan upaya solutif menyangkut upaya penemuan kebenaran ilmiah itu berdasarkan sajian ragam paradigma beserta contoh metodenya, dan ada sajiannya yang dilakukan menurut paradigma tertentu saja. Paradigma itu ada yang khusus menurut positivistic, konstruktivis, atau kritikal. Khusus menyangkut paradigma yang disebut terakhir, maka inipun tampak sudah ada yang berupaya melakukan upaya solutif tadi pada target kompetensi tingkat ’bijaksana’ di kalangan pengkonsumsinya dalam pengaplikasian suatu perspektif dalam tataran empirikal. Dalam hubungan ini, maka tersebutlah, misalnya MarianneW. Jorgensen dan Louise J. Phillips, dengan fokus pada fenomena kewacanaan.
ooo

Gagasan solutif kedua penulis menyangkut konsep wacana itu sendiri mereka paparkan ke dalam buku berjudul Analisis Wacana, Teori dan Metode. Dengan latar belakang penggunaan konsep wacana secara sembarangan dan tanpa adanya upaya pendefinisian terlebih dahulu, yang dinilai berakibat menjadi taksa[4] dan kaburnya makna wacana (hlm.1), maka dengan buku ini keduanya bermaksud menjadikannya sebagai upaya untuk memberikan pengantar dalam memahami bidang interdisipliner yang luas, yakni analisis wacana konstruksionisme sosial[5] (hlm.vi).

Konstruksionisme sosial sendiri disebutkan merupakan sebuah istilah pokok yang memayungi sederet teori baru budaya dan masyarakat. Analisis wacana dikatakan merupakan salah satu pendekatan di antara beberapa pendekatan konstruksionis sosial, namun merupakan salah satu pendekatan yang banyak digunakan dalam konstruksionisme sosial (hlm. 8).

Sejalan dengan popularitas analisis wacana di lingkungan pendekatan konstruksionis sosial yang tidak diimbangi dengan penggunaannya secara ’ideal’ ini, maka upaya solutif yang coba digagas kedua penulis dalam buku ini, pertama-tama tampak mereka lakukan melalui penyeleksian terhadap sejumlah perspektif yang ada menyangkut analisis wacana.dalam domain konstruksionis sosial. Hasilnya menunjukkan bahwa tiga pendekatan yang berbeda terhadap analisis wacana konstruksionis sosial, terpilih sebagai bahan dasar argumentasi solutif berikutnya dalam kaitan fungsinya sebagai kerangka bagi analisis wacana. Ketiga pendekatan dimaksud mencakup, teori wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe; Analisis Wacana Kritis, dan Psikologi Kewacanaan.

Mengenai dasar keterpilihan ketiga perspektif dimaksud penulis beralasan karena ketiga perspektif mengandung teori-teori dan metode-metode yang berguna dalam penelitian di bidang komunikasi, budaya dan masyarakat. Teori dan metode tersebut bisa diterapkan untuk menganalisis banyak domain sosial yang berbeda, termasuk organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga, dan untuk mengekplorasi peran penggunaan bahasa dalam perkembangan-perkembangan budaya dan kemasyarakatan yang luas seperti globalisasi dan persebaran komunikasi dengan media massa (hlm 3). Jika ditilik dari titik pangkal konstruksionis sosial, pandangannya terhadap bahasa yang berasal dari linguistik strukturalis dan poststrukturalis, serta pemahaman mereka terhadap individu berdasarkan versi Marxisme strukturalis, di antara pendekatan-pendekatan inipun dinilai memilik kemiripan (hlm 4). Selain itu, tiga perspektif dimaksud juga dinilai memiliki kesamaan menyangkut wacana, di mana ketiganya memiliki titik awal yang sama, yakni cara-cara kami membahasnya tidak secara netral mencerminkan dunia, identitas, dan hubungan-hubungan sosial kami, tetapi ketiganya memainkan peran aktif dalam menciptakan dunia, identitas, dan hubungan sosial tersebut (hlm.2).

Selanjutnya, dengan didahului penyampaian kata pengantar dan ucapan terima kasih dari penulisnya, buku ini sendiri sajian isinya dibagi ke dalam enam bab. Bab I Bidang Analisis Wacana, Bab II Teori Wacana Laclau dan Mouffe, Bab III Analisis Wacana Kritis, Bab IV Psikologi Kewacanaan, Bab V Lintas Pendekatan, dan Bab VI Penelitian Konstruksionis Sosial Kritis.

Dalam Bab I pengonsumsi teks akan diperkenalkan tiga pendekatan yang berbeda pada analisis wacana konstruksionis sosial, yaitu teori wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe; Analisis Wacana Kritis, dan Psikologi Kewacanaan. Dalam upaya pengenalan ini, penulis mencoba memaparkan apa persamaan dan perbedaan di antara ketiganya. Persamaan mereka kemukakan dalam halaman 2, 4, 5, 9 dan 10. Satu di antara persamaan yang mereka kemukakan itu adalah terkait dengan premis yang dimiliki ketiga pendekatan. Dipaparkan, ada empat premis yang sama-sama dicakup oleh ketiga pendekatan tadi. Premis itu misalnya, bahwa pendekatan kritis pada pengetahuan yang dianggap lumrah apa adanya; Kekhususan kultural dan historis; ....(hlm. 9-10). Sementara menyangkut perbedaan dikemukakan dalam halaman 5. Perbedaan ini diantaranya berkaitan dengan ketidaksepakatan di antara ketiga perspektif tadi menyangkut lingkup wacana.

Secara teknis, Bab I ini disajikan dengan menyertai judul-judul sub bab. Judul-judul sub bab ini selengkapnya terdiri dari: Paket Lengkap; Premis-premis Utama; Tiga Pendekatan pada Wacana; Dari Sistem Bahasa ke Wacana; Genealogi dan Arkeologi Foucault; Subjek; Penolakan Determinisme; Perbedaan Antarqa Pendekatan-pendekatan; Peran Wacana dalam Penyusunan Dunia; Fokus analisis; dan Peran analisis wacana.

Menyangkut Bab II, di sini penulis mencoba memaparkan secara khusus Teori Wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Dikatakan, Teori Wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe yang mereka sajikan dalam bab ini merupakan teori post strukturalis yang paling ’murni’ dalam bacaan kita ini. Teori ini titik pangkalnya dari gagasan post strukturalis yang menyatakan bahwa wacana mengonstruk makna dalam dunia sosial dan karena secara mendasar bahasa itu tidak stabil, makna tidak pernah bisa tetap secara permanen. Tidak ada wacana yang merupakan entitas tertutup: namun wacana senantiasa mengalami transformasi-transformasi karena adanya kontak dengan wacana-wacana lain. Oleh sebab itu, kata kunci teori ini adalah perjuangan kewacanaan (discursive struggle)(hlm. 12).

Sajian dalam bab ini, juga dilakukan dengan model serupa dengan bab satu, di mana di dalamnya dilengkapi dengan judul-judul sub bab. Hal ini meliputi: Menuju ke Arah Teori Wacana; Kritik terhadap Marxisme; Teori Fenomena sosial; Keunggulan Politik; Masyarakat yang Mustahil; Identitas dan Formasi Kelompok; Posisi subjek; Teori ”Subjek” Lacan; Formasi Kelompok; Representasi; Antagonisme dan hegemoni; Cara Menggunakan Teori Wacana; Kontingensi dan Permanensi.

Kemudian Bab III, Analisis Wacana Kritis. Analisis Wacana Kritis yang dibahas penulis dalam Bab III ini difokuskan pada Analisis Wacana Kritis model Norman Fairclough. Pendekatan ini dikatakan juga menekankan peran aktif wacana dalam mengonstruk dunia sosial. Menurut Fairclough wacana hanyalah salah satu di antara sekian banyak aspek praktik sosial. Pembedaan antara wacana dan non wacana dalam aspek praktrik sosial ini, oleh penulis dianggap bahwa teori Fairclogh itu menggambarkan sisa-sisa Marxisme yang lebih tradisional (hlm. 13).

Bidang utama yang menarik dalam analisis wacana kritis yang dikemukakan Fairclogh adalah penyelidikannya terhadap perubahan. Penggunaan bahasa konkrit selalu berdasarkan struktur kewacanaan awal karena pengguna bahasa membangunnya berdasarkan makna yang telah mapan. Fairclough memusatkan perhatiannya pada persoalan ini melalui konsep antartekstualitas, yakni bagaimana teks individu bergantung pada unsur-unsur dan wacana teks-teks lain. Dengan jalan menggabungkan unsur-unsur yang berasal dari wacana-wacana yang berbeda itulah penggunaan bahasa konkrit bisa mengubah wacana individu tersebut dan dengan demikian juga mengubah dunia sosial dan kulturalnya. Melalui analisis antartekstualitas kita bisa menyelidiki reproduksi wacana yang tidak memperkenalkan unsur-unsur baru dan perubahan kewacanaan melalui gabungan-gabungan baru wacana.

Guna menjelaskan gagasan penulis menyangkut Analisis Wacana Kritis dari Fairclough ini, maka sebelum menjelaskannya secara rinci, dalam Bab III itu pertama kali penulis buku mencoba memaparkan lima ciri utama di antara pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam Analisis Wacana Kritis. Kelima ciri-ciri utama tersebut, mereka sajikan dalam halaman 115-121. Paparan ini lalu diikuti oleh perihal perbedaan di antara pendekatan-pendekatan. Setelah melewati dua bagian ini, penulis baru fokus menjelaskan Analisis wacana Kritis pendekatan Fairclough. Untuk keperluan itu, penulis memberikan sub-sub judul dalam Bab III ini. Jadi, style-nya sama dengan bab-bab sebelumnya. Sub-sub judul selengkapnya mencakup : Analisis Wacana Kritis Fairclough; Model Tiga Dimensi Fairclough; Tatanan Wacana dan Peristiwa Komunikatif; Antartekstualitas dan Antarkewacanaan; Wacana Ideologi dan Hegemoni; Metode dan Desain Penelitian; Praktik Kewacanaan (dilengkapi contoh); Teks (dilengkapi contoh); Praktik Sosial (dilengkapi contoh) ; Beberapa Komentar Kritis.

Dalam Bab IV dengan titel Psiklogi Kewacanaan, pokok persoalan yang dibahas adalah sama-sama memiliki fokus kajian empiris dengan analisis wacana kritis yakni persoalan-persoalan khusus penggunaan bahasa dalam interaksi sosial. Namun tujuan para ahli psikologi kewacanaan tidak banyak diperuntukkan menganalisis ’wacana berskala besar’ masyarakat yang bisa diakibatkan oleh penggunaan bahasa konkrit, melainkan untuk menyelidiki bagaimana orang menggunakan wacana-wacana yang ada secara fleksibel untuk menciptakan dan menegosiasikan representasi dunia dan identitasnya dalam interaksi pembicaraan dan menganalisis konsekuensi-konsekuensi sosial interaksi tersebut. Kendati untuk pendekatan ini- yakni Psikologi Kewacanaan- ada pemilihan label-focus utamanya tidak ditujukan pada kondisi-kondisi psikologis internal. Psiko0logi kewacanaan merupakan suatu pendekatan pada psikologi sosial yang telah mengembangkan jenis analisis wacana untuk mengekplorasi cara-cara terbentuknya dan berubahnya emosi-emosi, pikiran-pikiran , dan diri orang-orang melalui interaksi sosial dan untuk menjelaskan peran proses-proses tersebut dalam perubahan dan reproduksi sosial dan kultural. Banyak ahli psikologi kewacanaan dengan jelas menggunakan teori post strukturalis, namun dengan hasil yang berbeda, misalnya dengan Laclau dan Mouffe. Dalam psikologi kewacanaan penekanan diberikan pada konteks-konteks khusus interaksi, sedangkan teori wacananya Laclau dan Mouffe cenderung memandang individu –individu hanya sebagai subjek wacana. (hlm. 14).

Guna menjelaskan secara rinci menyangkut analisis wacana dalam paradigma Psiklogi Kewacanaan ini, penulis membagi bab ini melalui sejumlah sub-sub bab. Rinciannya sebagai beriktu : Psikologi Kewacanaan sebagai Tantangan terhadap Post Strukturalis Kognitif; Penelitian Sikap; Konflik kelompok; Posisi Psikologi Kewacanaan; Ikhtisar; Konstruksionisme Sosial dan Psikologi Kewacanaan; Untaian Psikologi Kewacanaan yang Berbeda; Repertoar Interpretatif; Jiwa, diri, dan Identitas; Investasi Psikologis;Refleksivitas; Ikhtisar; Metode dan Disain Penelitian (dilengkapi contoh); Psikologi Kewacanaan VS Metodologi Survei; Psikologi Kewacanaan VS Metode Kualitatif Lain ; Komentar Terakhir.

Setelah itu, melalui Bab V dengan titel Lintas Pendekatan, di sini tampak kedua penulis mencoba mengemukakan kemiripan-kemiripan dan perbedaan-perbedaan teoritis dan metodologis di antara ke tiga pendekatan tadi. Mereka membanding-bandingkan pendekatan itu dan menimbang kelebihan dan kekurangannya, serta menunjukkan sisi-sisi yang menunjang satu sama lain dari ketiga pendekatan itu. Terakhir, mereka membahas beberapa pertanyaan yang relevan dengan ketiga pendekatan itu semua. Bagaimana kita membatasi suatu wacana? Bagaimana kita bisa memulai melakukan analisis wacana? Bagaimana kita bisa melaksanakan penelitian perspektif ganda yang menggabungkan pendekatan-pendekatan wacana dan pendekatan-pendekatan non wacana?(hlm. 15).

Bab terakhir buku ini, yakni dengan titel Penelitian Konstruksionis Sosial Kritis, penulis buku ini mencoba menyajikan pembahasan tentang hakikat penelitian kritis yang terdapat dalam paradigma konstruksionisme sosial. Di sini, penulis membahas dan mengevaluasi sederet usaha untuk menangani masalah-masalah yang muncul sewaktu melaksanakan penelitian kritis di sepanjang garis konstruksionis sosial yang memusatkan perhatian padfa sudut pandang mereka yang berbeda dalam membahas pertanyaan tentang relativisme dan status kebenaran dan pengetahuan(hlm. 15-16).

Dengan membaca buku ini, maka kesan yang muncul di benak kita, setidaknya mempunyai sejumlah kelebihan. Kelebihan itu, baik substantif maupun teknis hingga terkonsumsinya teks yang dikandung buku ini. Dari segi substantif misalnya, maka dengan paparan penulis, setidaknya pembaca kemungkinan besar memang akan terhindar dari taksa akan ’kewacanaan’, sebagai mana memang diharapkan penulisnya dalam awal-awal tulisan (hlm.1). Potensi keterhindaran ini sendiri dimungkinkan karena dalam pemaparannya penulis menyajikan akan adanya varian perspektif epistemologis terhadap studi ’wacana’. Selain itu, varian perspektif epistemologis ini juga masing-masing dilengkapi dengan bentuk disain penelitiannya berikut contoh-contohnya, sehingga sangat membantu para penggunanya dalam mengurangi ketidakpastian akan studi ’kewacanaan’ yang beragam secara epistemologis itu. Dengan begitu, substansi yang demikian tentunya sangat berguna, terutama bagi para pemula yang tertarik akan studi-studi wacana. Sedang bagi para pengguna advance, kelebihan substantif buku ini tampaknya sangat terasa ketika membaca Bab V buku ini, di mana paparan penulis memang tampak berupaya menjawab apa yang mereka risaukan tentang studi wacana, yang mana menurut mereka sampai kini belum ada konsensus yang jelas tentang apa itu wacana atau bagaimana menafsirkannya (hlm.2). Sementara menyangkut kelebihan teknis, selain dilengkapi dengan contoh disain penelitian dan contoh-contoh, sebagaimana disinggung sebelumnya, buku ini juga hadir ke pembaca setelah melewati proses akurasi. Proses akurasi ini terlihat ketika masuk pada pembahasan masing-masing pendekatan yang mereka angkat. Untuk Analisis Wacana Kritis yang memakai model Fairclough atau Teori Wacana Laclau dan Mouffe misalnya, sebelum penerbitan buku ini, sebagai penggagas pendekatan, Fairclough dan Mouffe mereka ajak untuk mendiskusikan draf-draf akhir bab-bab buku ini.(hlm. vii-viii). Kelebihan teknis lainnya adalah, mereka juga sangat membantu pembaca dalam upaya memahami isi buku ini. Upaya tersebut dilakukan dengan cara membuat summary masing-masing bab dalam Bab I buku ini.

Meskipun begitu, kekurangan-kekurangan tampaknya masih kerap juga dijumpai dalam buku ini, terutama menyangkut masalah teknis, bahkan ada yang pengaruhnya sampai ke masalah substansi. Ini misalnya tampak di halaman 15. Di situ tertulis ...bab 4, padahal substansinya tidak nyambung. Dengan substansi yang dijelaskan di situ, logikanya bab itu bukan bab 4, melainkan seharusnya bab 5-lah yang relevan. Kesalahan dalam penulisan juga masih dijumpai dalam buku ini, dan ini terjadi pada keyword dari topik yang dibahas penulis. Hal yang demikian terjadi pada penulisan kesalahan yang berulang-ulang pada konsep post strukturalis atau post strukturalisme, lihat misalnya di halaman 11,12, dan 20, tertulis di situ postrukturalis/postrukturalisme. Kesalahan lain dalam penulisan bisa juga ditemukan ketika kita melihat daftar isi buku menyangkut Bab VI. Dalam daftar isi disebutkan Penelitian Konstruksionis Sosial Kritis, tapi dalam penyajiannya sendiri, judul bab itu berubah menjadi Penelitian Konstruksionis Kritis (hlm. 319). Kesalahan sepele namun bisa mengubah arti, juga dijumpai di halaman 133, tertulis di situ ’memiliki’ dan karenanya menyebabkan rangkaian kalimat jadi tidak berkorespondensi. Dengan melihat rangkaian kalimat, tampaknya menjadi berkorespondensi jika kata ’memiliki’ tadi diganti dengan ’memilih’.

Kelemahan lain dari buku ini yaitu tidak ditemukannya daftar rujukan yang digunakan penulis dalam memaparkan argumentasinya. Mereka hanya menampilkan footnote dengan informasi sangat minim tentang identitas yang dirujuk, yakni menyangkut nama dan tahun terbit saja. Kekurangan ini, di samping kurang umum terjadi dalam penerbitan buku ilmiah, tentunya menjadi kurang baik buat penulis buku dalam upayanya mewujudkan sasaran dari terbitnya buku ini. Sementara bagi pengonsumsi buku, yang nota bene tidak sama kualitas kognisinya, efek kekurangan itu tentu bisa bermacam-macam. Bagi pengonsumsi awal yang biasanya cenderung kurang korektif, bagian-bagian informasi dalam buku ini bisa jadi justru bisa menyesatkan karena akan menerima bagian isi buku secara taqlid. Sementara bagi pengonsumsi kritis, kekurangan tadi bisa melemahkan daya korektifnya terhadap isi buku, terutama menyangkut isi yang sifatnya kutipan dari buku lain.

Dalam buku ini sendiri, kesalahan kutipan isi buku itu diantaranya bisa dijumpai pada halaman 127, yakni menyangkut Model Tiga Dimensi Fairclough untuk Analisis Wacana Kritis. Dalam gambar model itu, tertulis Pengonsumsian teks terletak dalam domain Praktik Sosial (di luar domain praktik kewacanaan). Padahal Fairclough sendiri, menggambarkan modelnya itu tidak dengan cara demikian, melainkan menempatkan Pengonsumsian teks (text consumption) dalam domain praktik kewacanaan (discourse practice). Begitu juga dengan level Praktik Sosial yang tertera dalam model yang disajikan penulis, Fairclough tidak menggunakan konsep ini dalam modelnya, melainkan sociocultural practice.[6] Jadi, ketiadaan daftar referensi ini bisa menyebabkan pembaca jadi kesulitan mengoreksi kebenaran isi kutipan yang disajikan penulis dalam buku ini. Di sisi lain, tentunya ini menyebabkan para pengonsumsi buku jadi kesulitan untuk bisa mengendalikan isi buku ini, sebagaimana justru sangat diharapkan oleh penulisnya seperti disampaikan dalam pengantar buku ini (hlm.viii).

Buku ini kekurangannya juga terlihat dari kerangka daftar isinya. Dari kerangka itu, terlihat hanya diberitahu judul-judul dalam bab saja, tidak terlihat adanya rincian dalam masing-masing bab. Kekurangan ini tentunya menyulitkan pembaca dalam pencarian secara cepat atas informasi yang dibutuhkannya dalam buku ini. Selain itu, penyajian kerangka isi yang demikian juga tidak dapat dengan cepat memberikan gambaran kepada pembaca mengenai keseluruhan isi buku secara umum.

Kekurangan lain yang menyebabkan jadi kurang afdolnya buku ini, yaitu tidak disajikannya informasi tentang identitas penulis buku. Padahal informasi yang demikian, berdasarkan pengalaman orang-orang dalam membaca dan memahami isi buku, terkadang sangat terbantu ketika pembaca mengetahui persis tentang sosok sang penulis. Menyangkut keterangan judul asli buku ini juga, tidak dapat dijumpai dalam buku ini. Informasi ini sepele namun penting, karena tidak jarang juga ditemui buku-buku terjemahan dilakukan dengan cara mengikuti motivasi tertentu sang penerjemah dalam penerbitannya. Buku Martin Khor (2000) dengan judul asli Globalization and the South: Some Critical Issues Third World Network, yang diterjemahkan dan diterbitkan (2001) menjadi GLOBALISASI Perangkap Negara-Negara Selatan, kiranya dapat menjadi contoh kalau informasi tentang judul asli tadi memang menjadi penting diberitahukan kepada pembaca.

Buku ini sendiri sebenarnya merupakan hasil terjemahan, dari bahasa Denmark ke bahasa Inggris, dan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Dengan melihat sejumlah kekeliruan-kekeliruan sebelumnya, maka kemungkinan pemunculannya bisa datang dari penulis sendiri dan bisa pula datang dari pihak penerjemah atau penerbit. Namun, terlepas dari sejumlah kekurangan yang tentunya masih bisa diperbaiki jika nanti terbit pada cetakan kedua, buku ini tentunya sangat layak disambut baik oleh kalangan akademisi, terlebih akademisi komunikasi di Indonesia. Buku ini sangat menjanjikan bagi perluasan horison tentang perihal studi wacana kritis, karena varian epistemologis dalam upaya penemuan kebenaran ilmiah dari wacana itu, bisa dijumpai di sini. Karenanya, sangat layak di baca oleh kalangan akademisi, terlebih di lingkungan akademisi komunikasi. Untuk itu, atas kehadiran buku ini, ucapan terima kasih sudah selayaknya dialamatkan kepada penulis buku, penerjemah dan penerbit atas upaya mereka menghadirkannya di tengah-tengah khalayak pembaca. Selamat membaca !

Daftar Pustaka

Fairclough, Norman, (1995), Media Discourse, Voices Intertextuality, p.39.
Fairclough, Norman, (1995), Critical Discourse Analysis : The Critical Study of Language, London and New York, Longman, p.76.

Khor, Martin, (2001), Globalisasi, Perangkap Negara-Negara Selatan,Yogyakarta, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.

Littlejohn, Stephen W., (2005), Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.

Siregar, Ashadi, (2008), “Eksplorasi Epistemologi: Ilmu Komunikasi dan/atau Kajian Media?”, dalam, Metodologi Riset Komunikasi, Panduan untuk Melaksanakan Penelitian Komunikasi, penyunting, Pitra Narendra, Cetakan I, Yogyakarta, Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi Wilayah IV Yogyakarta dan Pusat kajian Media dan Budaya Populer.
footnotes:

* Peneliti Madya Bidang Studi Komunikasi dan Media pada BPPKI Jakarta, Badan Libang SDM Kominfo, Depkominfo.
[1] Merupakan salah satu jargon dalam filsafat ilmu. Istilah lain untuk konsep ini yaitu spesifikasi obyek atau ada juga yang menyebut focus of interest, misalnya oleh Ashadi Siregar (2008).
[2] Wiryanto, 2004, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Grasindo, PT.
[3] Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.
[4] Kabur meragukan, atau ambigu (hlm. KBBI ed III Depdiknas , Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hlm.1125)
[5] Istilah ini sebenarnya dimaksudkan kedua penulis sinonim dengan konsep konstruktivisme social. Namun untuk menghindari kebingungan dengan teori konstruktivis Piaget, sebagaimana mereka jelaskan dalam footnote ketujuh dalam halaman 43, keduanya sepakat menggunakan konstruksionisme sosial‘.
[6] Lihat, Fairclough, Norman, 1995, Media Discourse, Voices Intertextuality, p. 59.

komentar ringkas teori !!

Interpersonal Deception Theory*
hasyim ali imran
Semua orang pernah berbohong tetapi tujuannya berbeda-beda. Ada yang berbohong (menipu) demi kebaikan dan ada yang melakukaknnya untuk niat jelek. Fenomena muatan isi pesan komunikasi yang dilakukan baik oleh komunikator maupun komunikan ini, telah dipelajari secara khusus oleh David Buller & Judee Burgon dan hasilnya mereka tuangkan ke dalam teori yang mereka sebut Interpersonal Deception Theory.

Mereka mendefinisikan konsep pembohongan sebagai suatu pesan yang dengan sadar disampaikan oleh pengirim untuk menimbulkan kepercayaan atas kesimpulan palsu bagi si penerima. Dijelaskan, ada tiga strategi atau cara dalam upaya pengirim untuk berbohong pada penerima. Pertama falsification (pemalsuan); kedua concealment (menyamarkan atau menyembunyikan kebenaran); dan ketiga Equivocation (mengaburkan). Pesan pengirim yang mengandung kebohongan, dijelaskan biasanya mempunyai ciri : (1) pesan yang disampaikan tidak mengandung kepastian atau tidak jelas; (2) dalam penyampaian pesannya pengirim tidak segera menjawab, pernyataan yang sudah disampaikannya ditarik kembali; (3) pesan yang disampaikan itu tidak relevan dengan topik (disassociation); (4) dalam berperilaku saat berkomunikasi, pengirim berupaya untuk menjaga hubungan dan imej.

Dalam realitas kehidupan sehari-hari, korespondensi penjelasan konsep-konsep teoritik itu kerap kita jumpai. Terkait konsep falsification misalnya, ketika saya berada di kereta api dalam perjalanan menuju kantor, saya mendengar pembicaraan seorang penumpang yang berkomunikasi menggunakan hand phone. Saat itu posisi perjalanan sudah berada di Cipinang (Jaktim). “Oke, baik, Pak..., saya sekarang sudah di Jalan Sudirman (Jakpus), ... ya, ya, Oke, terima kasih, Pak ,” kata penumpang itu mengakhiri pembicaraannya. Jadi, si penumpang kereta api tersebut telah berbohong dengan cara menginformasikan keadaan yang palsu (di Jalan Sudirman), bukan sebenarnya (di Cipinang). Menyangkut konsep Equivocation, maka dalam sidang kasus indisipliner pegawai, Kepala kantor (sebutlah kantor B) bertanya kepada pegawai, “Saudara Badu, coba jelaskan, kenapa kamu tidak masuk selama 40 hari ?” Badu menjawab, “Begini, Pak, saya ini sudah lama menjadi pegawai di sini. Namun, sejauh itu saya belum pernah mendapatkan perlakuan simpati dari pihak kantor. Waktu ibu saya meninggal, gak, ada satupun yang datang.” Kepala kantor mengintrupsi, “Saudara Badu, tolong langsung jawab pertanyaan saya tadi, ...”. Jawaban Badu itu merupakan pernyataan yang berupaya mengaburkan permasalahan. Terkait dengan konsep Concealment, kita pun kerap menemukannya ketika kita ataupun pihak lain sedang berkomunikasi. Ini terjadi saat dalam keberlangsungan proses komunikasi ada partisipan yang berupaya menutup-nutupi bagian penting dari topik yang dibicarakan.

Keberhasilan teori ini tampaknya baru sebatas pengkonseptualisasian fenomena pembohongan dalam proses komunikasi. Karenanya, berdasarkan kriteria kebaikan teori menurut Littlejohn, teori ini hanya baru memenuhi satu dari empat komponen, yaitu komponen konsep. Komponen lainnya, yaitu komponen asumsi filosofis, eksplanasi, dan prinsip, terlihat belum dipenuhi oleh teori ini.

Social Judgement Theory*
hasyim ali imran

Teori yang bekerja dalam tradisi positivistik ini merupakan salah satu teori psikologis yang tergabung dalam prikologi kognitif behavioral. Teori yang dirumuskan Muzafer Sherif ini menjelaskan tentang fenomena sikap manusia terhadap sesuatu obyek. Konsep-konsep yang dikemukakan Sherif dalam menjelaskan fenomena sikap terdiri dari: ego involvement: dalam bersikap terhadap obyek, individu dipengaruhi oleh keterlibatan ego ilvolvement dalam dirinya, yaitu relevansi individu dengan sesuatu masalah. Relevansi ini misalnya karena faktor-faktor internal seperti nilai-nilai agama, ideologi, atau nilai-nilai tertentu lainnya seperti karena persahabatan, teman sekampung, dan lain sebagainya.

Dalam jiwa manusia terdapat wilayah sikap. Dalam struktur wilayah sikap manusia terdapat tiga bentuk sikap yang terdiri dari : latitude of acceptance (sikap menolak) ; latitude of non commitment (netral) ; latitude of rejection (sikap menolak). Dalam kenyataan sehari-hari, fenomena variasi sikap demikian banyak dijumpai. Misalnya sikap terhadap terbit kembalinya majalah Playboy beberapa waktu lalu di Bali. Pihak FPI menolak keras dan geram melihat terbit kembalinya majalah itu. Atau pada fenomena RUUAPP, gerakan kaum perempuan di bawah koordinasi Ratna Sarumpaet menolak keras diundangkannya RUU tersebut. Sementara Pihak FBR atau kelompok Islam lainnya, mendukung diundangkannya RUU ini dengan segera.

Konsep lain yang berhubungan dengan teori ini adalah kontras dan assimilasi. Kontras atau tentangan dan assimilasi berkaitan dengan ego seseorang dalam bersikap. Pada dasarnya jika suatu pesan relatif dekat dengan posisi seseorang, pesan itu akan diasimilasi, sementara pesan-pesan yang lebih jauh akan ditentang. Contoh assimilasi, misalnya saya tidak suka bepergian keluar rumah bila hari libur, namun karena menghormati teman sekampung yang baru sekali ke Jakarta, yang nota bene kepingin jalan-jalan melihat kota Jakarta, saya terpaksa mengassimilasikan atau meleburkan sikap menolak saya untuk kemudian menemaninya jalan-jalan.

Dalam kehidupan nyata khususnya dalam berkomunikasi, teori dari Sherif ini secara praktis bermanfaat bagi kita dalam merancang suatu pesan dengan bijak. Sebagai contoh, jika kita mengetahui kolega kita mempunyai sikap tertentu mengenai sesuatu hal tertentu (bisa berupa benda atau kata-kata tertentu), maka sebaiknya kita menghindarkan hal tertentu tersebut demi terjaganya harmonisasi dalam berkomunikasi di antara sesama.



* Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill., Chapter 7,p. 95-112. Disajikan oleh Hasyim Ali Imran.
* Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill., Chapter 13,p. 186-195.